1. Pasangan Impian

Jangan lupa love dan komen, ya.

.
.
.
.
.

BAB 1

Pasangan Sempurna

"Wah! Itu Dwita. Lihat! Padahal masih smester satu, tapi dah narik perhatian banget, dan digosipin sana-sini. Yah, walau bukan digosipin jelek, sih."

"Tapiiii... siapa yang gak ngiri coba? Tuh, tunangannya ganteng mampus, sumpah perfect, naik limosin hitam pula."

"Anjir! NGIRI! Siapa dah di sini yang dianter cogan naik mobil semewah itu. Noh, lihat! Perfect couple juga, gak sih? Penasaran sama cowoknya, crazy rich mana sumpah!"

"Dwita kan memang kaya raya juga, turunan bule kan, ya? Rambut pirang, mata rubi loh."

Perbincangan yang selalu ia dengar, mengembuskan napas, Dwitara Khandra melewati orang-orang yang menatapnya sembari memberikan senyum karena ingin menyapa. Orang-orang itu membalas dengan sama lebar, walau terlihat kikuk. Melambaikan tangan, ia menyapa teman-temannya yang melangkah mendekat dan menggandeng tangan.

Mereka mengembuskan napas, yang satu terlihat menggelengkan kepala, dan mendengkus lelah karena lagi-lagi hampir semua mata memandang ke arah mereka.

"Susah deh, jalan sama orang ngartis." Kirana mengomel, agak kesal melihat pemuda yang menatap intens dan terlihat ingin mendekati Dwitara, apalagi senior-senior menyebalkan. "Jangan sampai kemakan gombalan buaya darat, deh." Lanjutnya.

"Ih, yang bener aja. Alay banget, lo." Dwitara membalas. Mereka pun tertawa kecil.

Sembari berbincang, tiga sekawan itu menuju koridor jurusan mereka dan masuk kelas karena lima belas menit lagi jam pertama akan dimulai. Namun, ketika nyaris masuk, seseorang menghadang mereka. Siapa lagi kalau bukan Chandra, salah satu rekan kelas yang menyukai Dwita.

Mereka mendelik, menyuruh pria itu minggir, tetapi tidak diindahkan juga. Kirana sudah hampir meraung, bersyukur beberapa orang rekan di belakang mereka juga ingin masuk sehingga membuat Chandra terpaksa memberikan ruang.

Walau telah berada di dalam kelas, pria itu sengaja mengambil kursi di belakang Dwita, dari sana dia berkata, bertanya apa yang kurang dari diri dan cintanya yang suci ini. Mendengarnya saja, membuat alis Dwita berkerut, kalau sang tunangan tahu hal ini, pria itu pasti tidak akan membiarkan. Apalagi kalau dipikir-pikir, Kala adalah orang yang sangat kaku, berwajah sangat jutek sampai-sampai sering kali disalah artikan seseorang.

Menolehkan badan ke belakang, ia menatap Chandra dan ingin mengatakan sesuatu kepada pria itu.

"Chandra, lo mau jadi pacar gue?"

"Kurang jelas apa perasaan gua, Dwi!" lantang pria itu, terlihat bersemangat.

"Coba deh kalau beneran cinta, ngomong langsung kayak tadi ke tunangan gue, kalau berani, gue kasih kesempatan deh." Ia tertawa setelah melihat wajah melongo Chandra, memeletkan lidah, Dwitara pun cekikikan di bangkunya.

Ia mengatakan hal ini karena tahu Chandra tidak akan berani berhadapan dengan Kala. Mengehela napas, Dwita berpikir sebenarnya Chandra bukanlah pria yang jelek, malah cenderung tampan, tetapi sifatnya yang kadang tidak bisa diam membuat siapa saja menjadi sebal. Apalagi pengakuan cinta sepihak pria itu, baru saja duduk di smester satu, hampir sepenjuru jurusan sastra tahu. Kalau dipikir lagi, semua itu karena mereka satu kelompok saat menjadi mahasiswa baru.

Dalam batin berkata, bahwa Chandra juga anak yang cukup cerdas dan menjadi pusat perhatian karena ketangkasannya, tetapi itu semua tidak cukup untuk membuat hati Dwitara berpindah dari Kala.

Ah, dosen mereka telah datang, pria berusia diatas tiga puluh lima itu berkata bahwa presentasi bisa dimulai sekarang. Untuk pertemuan selanjutnya, absen akan dihitung dari kehadiran di seminar yang diadakan klub sastra, di acara bedah novel dan akan menggundang salah satu novelist yang tengah naik daun.

Beberapa mahasiswa meributkan hal ini, bertanya dan penasaran siapa yang dimaksud, tetapi sang dosen mengatakan akan diinfokan lebih lanjut di grub kelas.

Keluar dari ruangan, kelas menjadi ricuh karena tidak sabar dengan seminar minggu depan. Apalagi di kampus mereka wajib mengumpulkan sertifikat minimal dua puluh lima lembar untuk syarat kelulusan nanti.

"Eh, Guys! Gue ngecek toko buku di situs, novel terbaru Author Ksatria udah naik cetak dong! Udah bisa dibeli, gila!" Kirana tiba-tiba berdiri dari kursinya, terbelalak sehingga matanya yang biru karena kontak lensa berbinar.

"Gila! Gila! Jangan-jangan Author Ksatria dong yang novelnya dibedah nanti? Kok gue mikir kayaknya dia juga yang isi seminar?" tanya Dwita, ia mendatangi Kirana dan melihat buku yang telah terpampang di situs jual beli buku. "Gue pesen satu juga anjir sekalian, pokoknya gua harus baca dulu."

"Kalau beneran, gue pingsan, sih. Beliau kan gak pernah nunjukin sosoknya. Penasaran, malah isunya ganteng banget loh!"

Mereka menekan tombol yang tertulis kata beli, memesan beberapa novel berjudul 'Setengah Rembulan Telah Dicuri'.

Dwita membaca blurb dari novel tersebut, menceritakan seorang penyihir yang mencari kembarannya, mereka terpisah setelah pembantaian di malam bulan purnama. Seorang pria datang bersama pasukan, membunuhnya dan sang dara, menjelang kematian dia membangkitkan sihir gelap yang berakhir mengutuk mereka bertiga.

"Kayaknya ini novel fantasi kelahiran kembali, gak sih? Lagi booming juga kan tema begini." Ia berkomentar, tetapi berbeda dengan cerita yang lain, novel tersebut bertema gelap seperti kesukaannya. "Tapi sumpah, tema dark gini buat makin penasaran dan tegang."

Anggukan kepala dari teman-teman menyetujui. Salah satu ciri khas dari Author Ksatria adalah tema dark yang dikemas dengan konflik yang komplek, membuat mereka terkadang memutar otak dengan twist yang disajikan. Tidak akan mengecewakan untuk mereka, dan bahkan beberapa ada yang menjadi penggemar berat dan memfollow akun media sosial sang penulis.

"Tapi sadar gak sih, Guys? Author Ksatria tuh suka nulis tema saudara yang terpisah gitu. Dua tahun lalu, novelnya yang booming dan jadi serial komik di web, juga tema adik dan kakak yang dipisahkan. Plot twist banget waktu tahu villain boss malah kekasih si adik perempuan MC." Dea mengomentari, gadis berkucir satu itu menatap kedua temannya.

"Makanya tuh aku jadi gak sabar, bakal digimanain sama beliau kalau pakai tema mirip gini. Aku juga tahu novel sebelumnya belum lama ini, keknya saat MaBa, direkomendasiin Chandra," aku Dwitara.

Tak mau kalah, Kirana pun berkata kalau ia lebih penasaran dengan rupa sang penulis. Apalagi tidak ada yang tahu siapa dia. Sunggu sangat misterius dan membuat hati pembaca wanita berdebar-debar.

"Tapi, Ran, lo yakin authornya ganteng mampus? Kalau gak sesuai ekspektasi, gimana? Misal gendut dan botak?"

Kepala Dwita mendapat jitakan pelan dari sahabatnya, ia mengaduh dan mencebikkan bibir.

"GILA LO! Jangan rusak ekspektasi gueeee!" Suara gadis itu menggelegar di telinga dan seisi ruangan. Membuat mereka yang mendengar deskripsi Dwitara tentang fisik penulis novel tertawa terbahak.

Menggelengkan kepala, Chandra yang mendengar keributan mereka karena membicarakan satu orang cowok yang tidak jelas bagaimana bentuknya merasa prihatin, bisa-bisanya mereka mengabaikan pria nyata sepertinya dan terus membahas sosok yang bahkan tak tahu di mana rimbanya sekarang.

"Gue berdoa, semoga lebih ganteng dari tunangan lo, dan bakal gue gebet jadi pacar, hohoho!" Kinara tertawa nakal, membuat yang lainnya berwajah malas karena gadis itu kumat ke model jelalatan.

"Hiihh! Misal ganteng pun, kayak mau aja sama lo, Nenek lampir," cibir Chandra, pria itu peka dan langsung mengambil langkah aman agar tidak terkena goresan kuku Kirana yang runcing seperti cakar setan.

"Sini lo, Bangsat! Pantes jomlo terus, monyet pun bakal mikir kalau dikasih bentukan kayak lo." Kedua orang itu saling mengejar, yang sialnya Kirana kalah cepat dan tak bisa menghantam kepala sang pria dengan tas bermerek di tangannya.

***

Melangkah beriringan saat keluar dari koridor jurusan, mereka mampir sebentar ke perpuastakaan dan mengembalikan buku yang dipinjam. Dwita mengambil ponsel yang bergetar di sakunya, ia lantas menekan tombol hijau dan menjawab panggilan dari sang tunangan yang tengah menunggu di depan gedung fakultas.

Sebenarnya ia agak malu, tetapi Kala memanglah seprotektif itu. Meski ia katakan bahwa di lingkungan kampus teramat aman, pria itu tetap saja tak mengindahkan untuk membiarkan pulang sendirian.

Menutup panggilan, Kirana menebak bahwa yang menghubunginya tadi adalah sang pria.

"Udah rutinitasnya deh antar dan jemput aku, kadang mikir kayak anak TK aja!" Dwita mendengkus kesal, menyedekapkan tangannya, ia mencibir sikap sang tunangan yang menurutnya berlebihan.

"Sabar dong, Tuan Putri. Kan tunangan lo cuma khawatir. Apalagi lo pernah kecelakaan parah sampe gak sadarkan diri, dan amnesia sampai sekarang."

Embusan napas dilepaskan pasrah, Dwita menganggukkan kepala. Ia paham sifat Kala datang dari rasa khawatir dan ketidakinginan hal mengenaskan itu terjadi dua kali. Makanya dia seprotektif ini.

"Lo masih belum inget apa-apa, Dwita?" tanya Chandra, ia menatap dengan cukup intens ke lensa sang wanita.

Gelengan kepala menjawab, bahkan tidak ada satu pun yang bisa ia raba di dalam ingatannya. Semua itu seperti terkubur begitu saja, bahkan saat sadar dahulu ia tak tahu nama dan apa yang terjadi kepada dirinya. Syukurlah Kala saat itu sangat sabar menjaganya, mengajarinya banyak hal karena setahun tidak bisa mengenal dunia.

"Gue juga kadang penasaran, gimana keluarga di masa lalu? Masa kanak-kanan gue, dan seperti apa gue yang dulu." Ia menghela sekali lagi, kemudian tersenyum miris. "Tapi kayaknya semua percuma, gue sama sekali gak inget, dan kemungkinan permanen kata dokter."

Kirana mencoba menguatkan, ia mengelus punggung rapuh Dwita dan menjelaskan bahwa dia adalah gadis yang kuat karena bisa bertahan dan melewatinya sampai seperti sekarang.

"Tapi akhirnya hati lo tetap sama, jatuh cinta sama Kala salah satunya."

Benar perkataan Kirana, tersenyum menanggapi, Dwita menjadi lebih semangat sekarang. Ia pun berterimakasih kepada sahabat wanitanya.

"Yaudah deh, jangan galau lagi. Semangat untuk kita!" Dwita mengangkat kedua tangan dan menjadi lebih ceria.

"Tuh! Pangeran lo dah nunggu di depan kuda hitamnya."

Mendengar hal itu dari Kirana, Dwita lantas tersenyum lebih cerah dan melambaikan tangan. Berjalan lebih cepat, ia sekarang beberapa langkah di depan teman-temannya. Menjumpai pria yang ia cintai dan yang ia ingat paling berjasa dalam hidupnya.

"Hai, Kala. Udah lama nunggu?"

"Tidak. Ayo kita pulang." Kala menatap Dwita kembali setelah memandangi kedua temannya selama beberapa detik, kemudian menggandeng tangan sang gadis dan mempersilakannya masuk ke dalam mobil terlebih dahulu.

Dwita membuka jendela, ia melambaikan tangan kepad teman-temannya dan mobil pun melaju pergi sampai keluar dari gerbang utama. Setelah mereka tak tampak di pelupuk mata, napas kedua orang muda dan mudi yang berdiri di sana menjadi lega.

"Gila! Susah banget normal di depan orang macam itu." Chanda mengomentari, mengusap-usap dada karena merasa napas dan jantungnya sempat berhenti. "Heh! Lo belum sadar?"

"Apa, sih? Gue juga kayak merinding tahu. Memangnya dia demit apa? Lebay banget sampe gak napas segala."

Mendecak keras, Chandra memandangi Kirana dengan malas, padahal wanita itu sendiri terpaku sampai tak membalas perkataannya selama beberapa saat karena ditatap oleh Kala. Mengembuskan napas dalam, ia berpikir apakah ada aura seseorang yang segelap itu. Bahkan ditatap saja benar-benar membuat mati kutu. Ah, ia jadi mengingat apa yang dikatakan Dwita beberapa waktu lalu, gadis itu menantangnya menyatakan cinta di depan Kala. Dasar gila, mungkin ia akan diterkam setelah mengutarakan perasaan di depan tunangannya Dwita.

"Ngapain juga Dwita mau sama modelan laki macam gitu?" omelnya sendiri.

"Hentikan omong kosong lo itu. Sudah dibilang monyet pun gak akan sudi sama lo. Jangan ngarep berlebihan deh."

Berdua di dalam mobil dan duduk di jok belakang, Dwitara terdiam sejenak karena memikirkan pertanyaan dari Chandra tentang ingatannya. Ia sangat sering berdoa, mengharapkan bahwa semua akan kembali seperti semula, tetapi mungkin belum dikehendaki untuk mendapatkan masa lalu yang ia lupakan.

Suara seseorang membuatnya terkejut ringan, ia menoleh dan mengalihkan atensi kepada Kala yang menatap dirinya.

"Gak apa, kok. Aku malah khawatir sama kamu, takut kamunya kelelahan."

Pria itu tidak berekspresi apa pun, tidak menjawab pernyataan yang sering kali dibicarakan oleh Dwitara kepada dirinya.

Beberapa detik berlalu begitu saja, masih memandangi Kala, akhirnya celah bibir sang pria terbuka.

"Kamu sedari tadi melamun, ada yang kamu pikirkan?"

"Emm... tidak apa, cuma hal-hal yang sering aku pikirkan, kok. Makasih udah khawtir."

Anggukan terlihat, senyuman Dwita pun terbentuk karenanya.

"Kalau tentang ingatanmu, aku pun berharap kamu kembali memilikinya." Kala menatap mata sewarna rubi, menyentuh punggung tangan sang gadis dan meremasnya dengan lembut untuk memberikan kekuatan. "Apa pun akan kulakukan untuk mengembalikan ingatanmu, jadi jangan terlalu sedih, Dwitara."

Kecerian lantas kembali kepada Dwitara, apalagi ketika melihat senyuman setipis kertas dari bibir sang tunangan. Ia pun membalas genggaman tangan, hingga mereka saling bertautan dan tak mau melepaskannya.

Dalam batin Dwitara berkata, hari ini ia mendapati sesuatu yang teramat langka.

Aku melihat senyuman yang kurasa tulus dari hati, tetapi tatapannya sedingin lautan tak tergapai di malam nan sepi. Yang kutahu, kami berdua saling mencintai. Namun, entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di sanubari, sehingga membuatku setakut ini.

.

.

.

Bersambung

Akhirnya publish juga. Setelah mikirin konflik dan resolusi mau gimana, akhrinya selesai juga alurnya huhu.

Selamat membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top