The Young Witch
Di sebuah pulau tak bernama terdapat sebuah gunung tinggi bernamakan Akatsuka Mountain. Hutannya masih lebat, pohon-pohon raksasa tidak membiarkan cahaya matahari masuk, membuat udara di sekitarnya lembab dan dingin. Namun di tengah hutan tersebut ada sebuah tempat dimana cahaya matahari bisa masuk. Sinar matahari menyinari sebuah danau yang sekitarnya di tumbuhi bunga-bunga berwarna-warni, baunya harum semerbak, sungguh tempat yang indah.
Seorang pemuda bernama Todomatsu tinggal di gubuk di puncak gunung. Pemuda tersebut adalah orang buangan, seseorang yang tidak di terima oleh masyarakat. Selama 10 tahun dirinya tinggal sendirian di gunung, setiap hari dia mengerjakan hobinya seperti; membuat kerajinan tangan, meramu herbal, atau berkunjung ke danau.
Setiap pagi Todomatsu pergi ke danau sambil membawa sekeranjang buah, kacang, atau gandum, dan selama setengah hari dia menghabiskan waktunya di sana. Pemuda tersebut sangat akrab, dapat berbaur dengan alam di sekelilingnya, maka karna itu dirinya tidak pernah kesepian.
Pagi ini juga Todomatsu pergi ke danau, duduk di pinggirannya. Hewan-hewan kecil seperti kelinci, anak rusa, burung merpati, selalu mendatanginya dan duduk bersamanya. Todomatsu bermain bersama mereka seolah sedang bermain bersama anak manusia yang lain, dia berbicara dengan para binatang tersebut.
Bukan, pemuda itu tidak gila.
Kenyataannya Todomatsu adalah seorang penyihir, dia adalah manusia yang memiliki jiwa spritualitas yang tinggi. Indera perasanya lebih banyak dari manusia pada umumnya, rasa cintanya terhadap alam lebih besar dari pada makhluk lainnya.
Todomatsu dapat berbicara dengan makhluk selain manusia. Pemuda itu bisa berkomunikasi dengan binatang, dengan jiwa lain yang manusia sebut sebagai arwah dan setan, makhluk gaib seperti peri dan kurcaci, bahkan makhluk mulia seperti dewa dewi dan malaikatnya.
"Choromatsu nii san," Todomatsu memanggil. Pemuda bergaun merah muda tersebut meletakan keranjangnya di tempat biasanya. Dia memandang tengah danau dengan tatapan berbinar diikuti senyuman kucingnya.
Tidak lama kemudian seorang pemuda muncul dari dalam danau. Pemuda asing tersebut membalas senyuman Todomatsu dan berlahan mendekat.
Pemuda tersebut memakai selendang putih untuk menutupi tubuhnya, kedua matanya sehijau batu emerald, kulitnya yang pucat terlilit oleh akar-akar tumbuhan. Pemuda yang di panggil Choromatsu tersebut memiliki hawa keberadaan yang lembut dan ringan, membuat manusia seperti Todomatsu selalu segan berhadapan dengannya.
Ketika Todomatsu masih berumur 6 tahun dia sudah di usir dari desanya. Dirinya yang tidak mengenal asal-usulnya dan tidak tahu harus pergi atau kembali kemana, akhirnya tersesat ke danau di tengah hutan.
Todomatsu pernah mendengarnya.
Lokasi tersebut selalu menjadi latar belakang di dalam cerita dongeng rakyat, namun tidak pernah ada orang yang tahu letak pastinya.
Di ceritakan bahwa hanya makhluk bertingkat spiritual tinggi yang dapat melihat jalan setapak menuju danau tersebut, kalau tidak siapapun yang mencoba menuju kesana selalu tersesat atau tidak menemukan apapun.
Banyak fenomena aneh dirasakan para pendaki gunung, beberapa ada yang bagus, beberapa yang lainnya jelek, tergantung bagaimana mereka memperlakukan gunung tersebut.Maka karna itu mereka mulai menyebut sungai tersebut sebagai "Tempat suci."
Karena Todomatsu adalah keturunan penyihir, dirinya bisa sampai ke tempat suci tersebut, bahkan bertemu dengan penjaga danau legenda itu.
"Bagaimana kabarmu hari ini?" hari ini juga pertanyaan yang sama, Choromatsu selalu menyapa Todomatsu dengan pertanyaan tersebut.
Suara Choromatsu sangat indah bak bernyanyi, suara tersebut tidak pernah berubah semenjak pertama kali mereka bertemu sampai sekarang.
Todomatsu mengangguk "Kehidupanku tidak pernah susah Choromatsu nii san," jawabnya. Dia memanggil Choromatsu kakak karena selama ini makhluk mulia tersebut sudah melakukan banyak hal untuknya, mungkin memang lancang tapi dia sudah menganggap Choromatsu seperti kakaknya sendiri.
"Haah," Choromatsu menghela nafas "Aku sudah dengar Todomatsu," katanya sambil menoleh, melihat wajah si penyihir muda yang masih tersenyum dengan senyuman imut khasnya "Lagi-lagi kau mengganggu penduduk dengan menanam tanaman beracun di sekeliling desa."
Todomatsu memalingkan wajahnya, bertingkah masa bodoh. "Aku hanya mempermainkan mereka, dan yang kutanam juga bukan racun yang mematikan," balasnya lalu mengambil sebuah apel merah dari keranjang.
Todomatsu menyodorkan apel tersebut pada Choromatsu. Choromatsu menerimanya lalu mengigitnya kecil, sambil mengunyah dia bertanya "Apa kau masih dendam pada mereka?"
Senyuman si penyihir menghilang "Aku tidak pernah dendam pada mereka, bagi mereka penyihir sepertiku memang pantas diperlakukan begini dan aku memakluminya. Penyihir sepertiku juga manusia, hanya saja sedikit berbeda."
"..." Choromatsu tidak jadi mengigit apelnya lagi, dia memegang sisanya dan meletakannya di pangkuannya. Makhluk tersebut melihat manusia di.sampingnya dengan tatapan prihatin "Aku tidak menyalahkanmu. Hanya saja kemarin Jyushimatsu datang."
Jyushimatsu, nama malaikat yang sedang menjaga seorang pendeta bernama Karamatsu. Dan mereka juga sedang tinggal di desa yang sama.
"Kau selalu pura-pura tidak bisa melihatnya jadi dia selalu datang mengomel padaku."
"Si pendeta juga tidak bisa melihatnya. Bukannya orang-orang gereja selalu mengaku kalau diri mereka merasakan 'sesuatu' dari ajaran mereka?"
"Haha..." Choromatsu tertawa garing. Sebagai makhluk gaib dia tidak pernah mengerti jalan pikiran manusia. Tidak seperti Jyushimatsu, dia tidak membela kebaikan, dia hanya melindungi alam dan siklusnya yang alami. Todomatsu mungkin jahat di mata Jyushimatsu, namun Choromatsu sangat suka pada pemuda tersebut.
Klan penyihir adalah kawan alam, mereka bekerja sama dengan alam semesta. Mereka tidak memiliki aturan mengenai baik dan jahat, yang kadang membuat pihak lain merasa mereka melakukan sesuatu yang tabu.
Banyak penyihir yang jahat tapi juga tidak sedikit yang baik. Tidak seperti manusia yang lainnya, penyihir tidak pernah berusaha merusak lingkungan-- itulah kenapa Choromatsu merasa nyaman bersama dengan Todomatsu.
Penyihir muda itu hanya jahil, dia tidak akan sampai memusnahkan desa.
"Manusia biasa harus lebih banyak berlatih untuk bisa mendapatkan kemampuan seperti kalian," tutur Choromatsu sambil mengelus anak rusa di sebelahnya, dia tersenyum pada Todomatsu, senyuman yang penuh arti "Klan kalian mendapatkan berkah lebih banyak dari pada manusia biasa."
"Choromatsu nii san, kita penyihir hanya menjadi bual-bualan mereka."
"Tidak semua orang berpikiran seperti itu. Bagaimana kalau kau berbicara dengan Karamatsu?" tanyanya dengan nada meyakinkan, mungkin kali ini dia bisa menghilangkan kegundahan hati manusia--yang sudah dianggapnya seperti saudara itu.
Senyum Todomatsu kembali "Tidak Choromatsu nii san," jawabnya "Aku belum pernah bertemu dengan penyihir selain diriku, tapi aku tahu kalau sejarah tidak akan pernah berubah."
Semua manusia itu keras kepala.
Choromatsu beranjak dari tempatnya, kepalanya mendongak melihat langit biru tak berawan. Semenjak dia ditugaskan untuk menjaga danau ini, pohon-pohon jadi berhenti tumbuh, seolah mereka mempersilahkan sinar matahari dan bulan untuk selalu menyinari tempat suci tersebut.
Choromatsu sendiri juga sudah tidak ingat sejak kapan dia menjaga danau ini. Dia selalu sendirian sampai Todomatsu datang dan tinggal di atas gunung.
Tapi...
Melihat Choromatsu yang diam sambil melamun, membuat Todomatsu bisa merasakan rasa kesepian dari sosok abadi tersebut. Tidak seperti kaum manusia, umur makhluk gaib sepertinya memiliki umur yang jauh lebih panjang.
Tanpa sengaja si penyihir muda bertanya "Apa sebelum aku kemari belum pernah ada yang berkunjung kemari?" pertanyaan tersebut muncul begitu saja di kepalanya, dan seketika itu juga dia menyesal karena telah bertanya.
Choromatsu melotot padanya, terkejut akan pertanyaan tersebut. Selama ini Choromatsu tidak pernah menggali informasi pribadi Todomatsu, dan sebaliknya. Mereka baru akan membahas masalah pribadi mereka jika salah satu dari mereka menceritakannya sendiri.
Berkat pertanyaan tersebut suasana di antara mereka jadi canggung, seperti pertama kali mereka bertemu.
Mereka berdua saling diam untuk waktu yang cukup lama sampai Choromatsu membuka mulutnya duluan. "Ada," jawabnya "Beberapa puluh tahun yang lalu seorang anak manusia sampai ke tempat ini."
...
......
...........
..............
To be Continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top