The Wise Man
"Kalau menangis saja bukunya tidak akan ketemu bukan?"
Seorang pria berdiri di hadapan seorang anak laki-laki yang sedang menangis sambil memeluk lututnya. Iris merah pria dewasa itu bersinar di dalam kegelapan, memantulkan cahaya redup lilin kecil yang hampir meleleh habis.
Tangisan anak itu berhenti. Kedua matanya sembab dan basah karena sudah menangis selama dua jam penuh. "Mmm...mm..." Anak laki-laki itu mengusap-ngusap matanya sambil mengangguk-angguk, rasanya malu karena sudah di tegur oleh pria yang di ketahuinya bernama Osomatsu.
Teguran Osomatsu cukup ampuh. Anak itu sudah bangkit berdiri. Kedua tangan kecilnya menepuk-nepuk bajunya yang jadi penuh debu. "Dasar," Osomatsu berjongkok, membantu membersihkan pakaian Karamatsu. "Menangis karena hal seperti ini,"
"Mana mungkin kau dihukum hanya karena kau menghilangkan buku itu," lanjutnya setengah mengomel. "Tapi...Tapi," Karamatsu komat-kamit ingin membalasnya. Anak itu terlihat tidak setuju dengan pernyataannya tapi terlalu takut untuk membantah.
Melihatnya, Osomatsu terkekeh geli "Anak yang baik huh," komennya lalu mengelus puncak kepala Karamatsu, sebelum bangkit berdiri dan melihat sekitar mereka. Sejauh mata memandang tidak di temukannya secercah cahaya, tanda-tanda keberadaan para makhluk suci.
Mungkin alkohol sudah terlalu mempengaruhi akal sehatnya. Seenaknya saja pria itu bertanya "Jadi kemana malaikat pelindungmu?"
Anak laki-laki yang polos itu juga ikut mengerakan kepalanya, menoleh ke kenan dan ke kiri. Karamatsu tidak mengerti apa yang sedang di cari Osomatsu, tapi seperti yang lainnya dia menjawab "Aku tidak bisa melihat mereka tapi bukannya mereka selalu menemani kita?"
"Err yah," Osomatsu mengangguk malas. "Tapi masalahnya sekarang aku tidak bisa melihat mereka."
"Tentu kita tidak bisa melihatnya kita hanya bisa merasakannya," balas Karamatsu sambil menyentuh dadanya. "Mereka selalu melindungi kita," lanjutnya diikuti senyuman lembut.
"Begitu...." Osomatsu manggut-manggut "Kau memang anak yang baik ya."
Sekali lagi tangan besar pria tersebut mendarat di puncak kepala anak itu. Ketika Karamatsu mendongak untuk mengintip wajah Osomatsu. Pria berparas tampan itu melihatnya dengan tatapan sendu.
Semenjak hari itu Karamatsu mulai memberanikan dirinya untuk berinteraksi dengan Osomatsu. Banyak yang mengatakan kalau pria itu adalah preman yang merusak nama baik Dekapan dan juga gereja. Akan tetapi kesan Karamatsu terhadap Osomatsu sangat berbeda dengan orang-orang. Dimatanya pria tersebut hanyalah laki-laki yang kesepian.
Mereka tidak banyak bertemu karena Osomatsu yang lebih suka berkeliaran di luar sampai akhirnya pria tersebut benar-benar meninggalkan gereja.
Dan,
10 tahun telah berlalu semenjak pria bernama Osomatsu itu meninggalkan gereja.
Tanpa sepengetahuannya gereja telah banyak mengalami perubahan. Terutama posisi kepala Biarawan, yang merupakan tahta tertinggi di sebuah gereja.
Dekapan telah meninggal. Sebelum sang dewa kematian datang menjemputnya pria tua itu memberikan posisinya pada Karamatsu, salah satu keponakan tercintanya.
Sebenarnya tidak ada yang pernah menyangka jika Karamatsu yang akan terpilih. Mereka semua selalu berharap jika Kamimatsu mendapatkan posisi kepala Biarawan.
Saudara kembarnya itu diberkahi sepasang mata berwarna emas. Konon iris emas hanya dimiliki oleh para malaikat dan jika manusia yang mendapatkannya, orang itu selalu berakhir menjadi sosok yang hebat.
Dirinya tidak pintar, juga tidak serajin atau sedewasa Kamimatsu.
Masa kanak-kanak Karamatsu hanya di penuhi perbandingan dirinya dengan Kamimatsu. Padahal mereka kembar, keduanya juga adalah keponakan kandung Dekapan. Namun eksistensi Karamatsu selalu menjadi yang lebih rendah dari pada saudaranya, Kamimatsu saja yang selalu di banggakan.
Karnanya ketika Dekapan memutuskan untuk memilih dirinya sebagai penggantinya banyak pihak yang melakukan protes. Padahal pria tua itu punya kandidat istimewa seperti Kamimatsu, kenapa harus memilih Karamatsu yang kualitasnya ada di bawahnya?
Bahkan di tahun ketiga Karamatsu menjabat sebagai kepala Biarawan, pria tersebut tetap tidak mengerti dengan keputusan pamannya.
Sekarang, Kamimatsu menjadi asistennya. Saudaranya tersebut selalu membantunya menyiapkan materi-materi yang di perlukan, mengatur waktunya, dan melakukan pekerjaan administrasi lainnya.
Semenjak ajaran gereja semakin meluas setiap tahunnya orang berbondong-bondong datang untuk mendaftar pembaptisan.
Sebelum di baptis orang-orang harus mempelajari pelajaran khusus yang mengharuskan mereka untuk mengenal lebih lanjut ajaran-ajaran yang berhubungan. Yang mengajar mereka adalah para pendeta dan suster, lalu yang melakukan pembaptisannya adalah sang kepala Biarawan sendiri.
Selain pelajaran tambahan mereka-jemaat yang akan di baptis juga harus tetap menghadiri misa. Dari misa pagi, siang, dan malam semuanya biasa di pimpin oleh Karamatsu sendiri. Pendeta dan suster hanya bertugaskan menyiapkan properti, beberapa bergabung di dalam panduan suara, beberapa lagi menyambut para jemaat.
Semenjak mendapatkan posisi terhormat nan mulia di gereja tersebut, Karamatsu tidak pernah memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Hari demi hari yang sibuk di lewatinya tanpa mengeluh. Raga ini sudah seperti bukan miliknya seorang lagi.
Menjadi sosok penting itu melelahkan dan juga merepotkan, karena semua orang selalu melihatmu.
Kalau saja Karamatsu mengeluh sedikit pasti akan ada orang yang mendatanginya; entah datang karena mencemaskannya atau menasehatinya sebab semua tugas berat gereja sudah menjadi alasan dari hidupnya.
Sudah berkali-kali Karamatsu ingin meninggalkan jabatannya dan memberikannya pada Kamimatsu. Namun saudaranya tersebut selalu menolaknya dengan alasan jika keadaan yang sekarang adalah keinginan Dekapan.
Lalu bagaimana dengan keinginannya? Kenapa semua orang selalu memaksakan kehendak mereka padanya?
Dunia memang tidak adil ya?
Karamatsu sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Biarkan saja dirinya di cap sebagai pendosa, di cap sebagai seorang munafik, tapi dirinya tidak akan merubah cara pandangnya terhadap dunia ini.
Bukan berarti dirinya mau belok dari ajaran seperti yang dilakukan oleh seseorang. Karamatsu hanya sedang meratapi nasibnya lantaran sudah terlalu lelah dengan pekerjaannya hari ini.
"Haah," sudah keberapa kalinya untuk hari ini dirinya menghembuskan nafas lelah. Kalung berliontin lambang salib emas berayun-ayun mengikuti gerakannya yang sedang mencatat beberapa dokumen dari buku-buku lama. Lengan panjang dari jubah putih sucinya ternodai tinta hitam setiap kali pria tersebut menggerakan tangannya yang mengkontrol ujung tajam sebuah pena bulu. Satu demi satu huruf latin di torehkan di atas kertas kasar berwarna putih kekuningan, sesuatu yang normal di jamannya.
Karamatsu sudah tenggelam ke dalam pekerjaannya. Bahkan ketika suara pintu kayu berderit menghancurkan kesunyian, sang Biarawan masih sibuk menulis.
Kamimatsu membuka pintu tanpa segan memasuki ruangan. "Bapa ada seseorang yang ingin bertemu denganmu," ujarnya lembut memberitahu.
Kali ini suara saudara kembarnya sekaligus asistennya membuat Karamatsu menghentikan tangannya. Kedua iris birunya bertemu dengan iris emas yang di bangga-banggakan.
"Seseorang?" Karamatsu menaikan salah satu alisnya. Biasanya memang ada satu atau dua orang yang datang mencarinya untuk melakukan pengakuan dosa tapi seharusnya mereka semua tahu kalau Karamatsu sedang sibuk mengerjakan dokumen yang diminta kepala desa, bahkan misa pagi ini bukan dirinya sendiri yang memimpin melainkan Kamimatsu.
"...Sebenarnya aku tidak yakin kalau orang itu benar-benar mencarimu," jawab Kamimatsu terlihat ragu-ragu.
"Memangnya siapa dia?" melihat kelakuan itu Karamatsu jadi semakin keheranan, tidak biasanya Kamimatsu melakukan hal yang tidak perlu seperti ini. "Kau tahu kalau apa yang kukerjakan saat ini harus kuantarkan besok pagi bukan?" lanjutnya sedikit dengan nada menegur.
"Iya ya aku tahu," Kamimatsu mengangguk, wajah teduhnya tidak pernah berubah. "Hanya saja kupikir orang itu pasti ingin bertemu denganmu begitu juga denganmu, kau pasti juga ingin bertemu dengan orang itu."
"Kepala desa?"
"Kalau memang pak kepala desa yang mencari kan aku tidak perlu bicara berputar-putar seperti ini."
Kedua pundak bidang Karamatsu melemas. Entah kenapa hari ini Kamimatsu jadi suka bermain teka-teki. Saudaranya tahu kalau ia tidak terlalu pintar bukan?
Kamimatsu diam, tidak berbicara lagi sambil menatapnya penuh arti. Mau tidak mau Karamatsu beranjak dari kursinya dan keluar dari ruangannya, yang akhirnya diikuti Kamimatsu dari belakang.
Anak-anak yatim sedang bersih-bersih. Kegiatan bersih-bersih dilaksanakan setelah usainya misa pagi, sebelum sarapan dan mandi. Semua orang mengucapkan salam demi menghormati kepala Biarawan yang berjalan melewati mereka. "Selamat pagi juga semuanya," dan sapaan mereka dibalas dengan senyuman tipis oleh Karamatsu.
Begitu sampai di gerbang utama, dari diantara kerumunan anak yang sedang menyapu halaman, pandangan mereka fokus pada seorang pria berkemeja merah, bercelana panjang hitam. Sambil membawa jaket hitamnya pria tersebut menoleh ke kanan kiri, nampak sedang kebingungan.
"Orang itu mirip sekali dengan Osomatsu nii-san bukan?"
Bola mata Karamatsu membulat sempurna. Berlahan iris birunya bergerak kesamping demi melihat senyuman Kamimatsu yang berdiri di sebelahnya.
Benar yang dikatakan saudaranya itu. Laki-laki yang ada di tengah halaman itu persis sekali dengan anak asuh paman mereka yang telah lama meninggalkan gereja.
Kamimatsu membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu namun sebelum suaranya sempat keluar Karamatsu sudah meningalkan sisinya, berlari menuju pria asing berkemeja merah.
Tidak seperti dirinya, Karamatsu sudah menganggap Osomatsu sebagai kakaknya. Keberadaannya sudah tidak di perlukan lagi. Dengan senyuman hangat menghiasi wajahnya pria itu kembali masuk ke dalam bangunan, berencana menggantikan Karamatsu mengerjakan pekerjaan yang terlantarkan.
"Osomatsu nii-san!"
Suara Karamatsu tersampaikan pada si empunya nama. Sang iblis dalam penyamaran segera menoleh nampak terkejut karena seseorang telah mengenali dirinya. "Kau!?" Osomatsu segera menyadari identitas pria berjubah putih yang mengejarnya.
Iris merah bertemu dengan sepasang iris biru langit yang cerah, di bingkai dengan alis tebal dan bulu mata yang lentik. Mengetahui Karamatsu tumbuh sebagai pria dewasa rupawan, tanpa sadar Osomatsu tersenyum sendiri seperti orang bodoh.
Ketika mereka benar-benar berdiri berhadapan, Osomatsu berdehem. Bagaimanapun caranya dirinya harus meluruskan kesalah pahaman yang sebenarnya bukan. "Maaf," katanya sambil mengosok bawah hidungnya, rasanya enggan untuk sekali lagi melihat wajah Karamatsu. "Mungkin Bapa salah orang, namamu bukan Osomatsu."
Wajah Karamatsu memerah, malu karena sudah terbawa suasana. "A-aku juga minta maaf," katanya malu-malu sambil setengah menunduk. "Tuan mirip sekali dengan seseorang yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri."
"Eh!?" Osomatsu tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Karamatsu menganggap dirinya sebagai kakak? Orang atau bisa di bilang makhluk seperti dirinya ini?
"Tapi tentu saja tidak mungkin karena kita kelihatannya seumuran," tambah Karamatsu. "Dia berbeda 9 tahun denganku tentu dirinya tidak semuda tuan sekarang."
"Hahaha," Osomatsu tertawa canggung. "Semoga Bapa bisa bertemu dengan beliau," katanya. Perutnya jadi terasa aneh karena sedang membicarakan dirinya sendiri.
"Jadi maksud kedatangan tuan hari ini adalah..."
"Ah sebelumnya ada sesuatu yang ingin aku tanyakan," Osomatsu menyambar cepat. Sekarang matanya menuju seorang malaikat yang ada di belakang Karamatsu. Dia tidak akan pernah lupa, dimana ada manusia pasti akan ada makhluk suci tersebut.
Sang malaikat menatapnya curiga apalagi mereka sudah saling kenal, kebohongannya yang barusan tentu saja tidak berlaku untuknya.
"Silahkan," Karamatsu mengulurkan tangannya, gestur untuk mempersilahkan tamunya untuk berbicara.
"Kudengar kepala Biarawan disini adalah seorang senior yang
bijaksana," katanya sambil melirik kalung emas yang dikenakan Karamatsu. Kalung tersebut adalah aksesoris yang selalu digunakan Dekapan dan simbol pemegang posisi kepala Biarawan. Tentu kurang lebih Osomatsu tahu artinya tapi tetap saja dirinya hanya ingin memastikannya. "Mengenai beliau..."
"Bapa Dekapan?" kali ini Karamatsu yang menyambar. "Kalau tuan sedang mencarinya sayang sekali karena aku adalah penerusnya sekarang," jelasnya.
Osomatsu mengangguk berlahan, hatinya sedikit lebih lega karena Karamatsu sendiri yang mengatakannya. Dilihatnya lagi sang malaikat familiar di belakang sang kepala Biarawan muda. Jyushimatsu sudah menjadi pembimbing Karamatsu. Entah kenapa malaikat hiperaktif tersebut selalu mendapatkan manusia yang berurusan dengan sang pangeran iblis.
"Pangeran iblis kau pasti tahu kematian Dekapan karena kau selalu menghabiskan waktumu bersama Ichimatsu nii-san," Jyushimatsu terbang mendekati tempat Osomatsu, berbicara dengan nada jengkel.
"Maaf aku tidak tahu," jawab Osomatsu sebagai kode untuk membalas sang malaikat. "Aku turut berduka cita Bapa."
"Terima kasih," Karamatsu mengulurkan tangannya sekali lagi. Kedua tangannya meraih wajah Osomatsu, mengamati rupa lelaki itu dengan seksama. "Kalau dilihat sedekat ini kau benar-benar mirip dengan Osomatsu nii-san. Apalagi caramu mengkhawatirkan paman Dekapan itu bisa membuatku serangan jantung karena saking miripnya," ucapnya dalam jarak yang cukup dekat.
Tiba-tiba berada di jarak sedekat itu membuat wajah Osomatsu memanas. Matanya beralih untuk melihat hal lain kecuali sepasang bola mata biru di depannya. "Bapa aku tidak pernah bertemu dengan beliau," katanya berusaha untuk meyakinkan. "Aku hanya merasa kecewa karena tidak bisa bertemu dengannya."
"Hahaha," Karamatsu tertawa renyah sempat membuat Osomatsu tersinggung karena merasa di permainkan. Sang Biarawan mundur beberapa langkah, kembali menciptakan jarak di antara mereka. "Banyak yang mengatakannya tapi kurasa hanya kau yang tulus."
Jyushimatsu mengerutkan dahinya, kedua tangannya berada di depan dada. "Meskipun kenyataannya kalau bertemu Dekapan malah kau sendiri yang akan panik huh," tambahnya dimaksudkan untuk Osomatsu. "Lalu apa tujuanmu sebenarnya?"
"Penyihir yang tinggal di atas gunung Akatsuka," jawab Osomatsu tanpa basa-basi, yang dari pihak Karamatsu terdengar sangat tiba-tiba. "Aku seorang peneliti yang tertarik untuk mempelajari klan mereka," tambahnya untuk satu-satunya manusia biasa disana, agar tidak terkesan aneh.
""Todomatsu?"
"Kau mengenalnya, Bapa?"
"Pamanku tidak membiarkanku mendekatinya," jawab Karamatsu diikuti helaan nafas kecil. "Anak malang itu memang tidak mendapatkan eksekusi tapi kurasa dia tidak bisa bertahan hidup sendirian di atas gunung. Jadi kurasa sudah tidak ada harapan lagi
untuk..."
"Aku pernah mendengar legenda tentang penjaga danau suci gunung Akatsuka," Osomatsu menyela, tidak rela Karamatsu mengakhiri pembicaraan mereka dengan sesuatu yang tidak diinginkannya. "Dengan kemampuan mereka kurasa anak itu bisa berinteraksi dengan peri danau dan entah bagaimana caranya anak itu bisa bertahan hidup."
"Kau mempercayainya?"
"Tentu," jawab Osomatsu singkat. Bagaimana bisa ia meragukan eksistensi pujaan hatinya sendiri?
"Untuk apa kau mencari Todomatsu?" kali ini Jyushimatsu bertanya. Sang malaikat dari tadi sudah gemas ingin memukul si iblis berpangkat tinggi d hadapannya dengan tongkat baseball kesayangannya. Jujur saja kedatangan Osomatsu sangat mengganggunya. Bagaimana kalau nanti dirinya ketahuan membiarkan manusia bimbingannya berbicara dengan iblis dan kena hukuman?
"Bukannya kau bisa cari anak itu sendirian?"
"Seseorang katanya mau membantuku tapi rupanya dia hanya ingin membuatku kewalahan," jawab Osomatsu ambigu, yang sebenarnya dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan sinis sang malaikat. "Sebenarnya aku punya patner tapi dia tidak bisa datang hari ini."
"Hmm..." Karamatsu mengangguk, berusaha untuk mengerti situasi pria asing di hadapannya. "...Kalau memang benar-benar ingin bertemu dengannya..." sang kepala biarawan berdekap dada, mencoba mengingat sesuatu. "Beberapa hari yang lalu seorang bertapa tinggal di desa untuk beberapa hari. Pria itu bilang agar pendaki gunung tidak melewati hutan sebelah utara karena bisa membuat si penyihir marah."
"Bertapa itu benar," tambah Jyushimatsu lebih meyakinkan. "Meskipun akhirnya orang-orang mengabaikannya dan malah mulai melakukan uji nyali di daerah sana."
"Utara?" Osomatsu mengulang. Padahal sejauh manapun dirinya terbang melewati puncak gunung ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda kehidupan manusia.
Bagaimana bisa bertapa yang di maksudkan Karamatsu merasakan sesuatu di 'daerah utara'?
Apalagi Todomatsu bukan hantu atau makhluk sejenisnya. Buat apa orang-orang melakukan uji nyali di sana?
"Baiklah kalau begitu akan kucoba untuk memeriksa daerah sana."
Sebenarnya informasi yang di dapatkannya masih sangat ambigu tapi lebih baik daripada tidak dapat apapun.
Setelah itu mereka berdua saling diam. Suasana diantara keduanya sangat tenang. Mereka saling menatap untuk beberapa saat sampai Osomatsu menyadari keganjalan pada pakaian Karamatsu. Hari ini sang biarawan memakai jubah putih padahal seragam para pelayan gereja selalu berwarna gelap. "Bapa baru saja selesai melakukan upacara besar?" tanyanya, hanya sekedar ingin tahu betapa sibuknya Karamatsu sekarang. Selain pakaian Osomatsu juga menyadari kantung mata yang sduah mencolok. Dia tidak membahasnya sedari tadi karena takut menyinggung sang biarawan namun setelah dipikir dua kali dirinya juga jadi mulai mencemaskan lelaki-yang dulunya pernah dianggap sebagai adik sendiri. Sekarang dia tidak bisa menganggap Karamatsu sebagai adiknya seenaknya saja karena dia sadar dia bukanlah Osomatsu nii-san yang dimaksudkan.
Karamatsu mengeleng. "Hari ini aku mengerjakan permintaan kepala desa, asistenku yang handal menggantikan ku pemimpin misa pagi ini. Sedikit malu mengatakannya tapi aku tidak sempat ganti baju dari kemarin malam haha," jelasnya sambil menggaruk sebelah pipinya sendiri.
Setelah mengetahui betapa sibuknya Karamatsu apalagi yang bisa dilakukannya? Osomatsu hanya bisa mengangguk berusaha memahami pekerjaan seorang biarawan. Berlahan manik matanya bergeser melihat Jyushimatsu, memberikan senyum penuh arti, setelah itu kembali memandang manik biru manusia di hadapannya. Sang iblis mengulurkan salah satu tangannya dan senyumnya masih terpatri di wajahnya yang melembut.
Menghilangkan tanduk iblis dan ekornya itu sangat memakan tenaganya. Sebentar lagi dirinya akan menjadi tidak kasat mata di depan indra penglihatan manusia biasa. Tangannya yang mulai mendingin menyentuh leher Karamatsu, membuat pria itu bergidik kejut dan geli.
Osomatsu mulai merapalkan mantra berbahasa latin. Makhluk dunia bawah itu meninggalkan sebuah lambang salib berwarna hitam di bagian yang di sentuhnya dan hanya dirinya dan sang malaikat yang dapat melihatnya.
Tubuh Jyushimatsu sudah basah di penuhi keringat. Sang malaikat tidak tahu harus mengatakan apa setelah sang pangeran iblis menarik tangannya kembali dan memberinya desisan pelan, menyuruhnya untuk tetap diam.
"Terima kasih. Semoga Bapa selalu di lindungi," Osomatsu membungkuk sekali lalu mulai berbalik badan, berjalan meninggalkan kawasan gereja. Langkah demi langkah sosoknya semakin menjauh membuat yang di tinggal merasa sedikit kesepian. Karamatsu kembali masuk ke dalam bangunan setelah memastikan Osomatsu sudah pergi jauh.
Di sisi lain Jyushimatsu tidak bisa diam saja. Baru saja manusia yang di bimbingnya sudah di tandai oleh iblis tepat di depannya. Sangat tidak bisa diterima.
Di balik sebuah pohon besar Osomatsu sudah menunggu sang malaikat yang menyusulnya. Sang iblis sudah dalam wujud aslinya, bersandar di batang pohon dengan ekornya yang bergoyang-goyang. Seringaian licik yang terpatri jelas di wajahnya. Pemandangan yang sungguh menjengkelkan bagi sang malaikat.
Sebelum Jyushimatsu mengatakan apapun Osomatsu sudah angkat bicara duluan. "Kau terlihat seperti mau membunuhku Jyushimatsu," katanya berhadapan dengan pandangan menusuk sang malaikat. "Kau tidak perlu memandangku seperti itu. Kuakui kali ini aku keterlaluan ini salahku karena punya ide bodoh seperti bertanya pada orang gereja mengenai si penyihir,"
"Tapi aku punya alasan untuk menaruh mantra pada Karamatsu," lanjutnya yang membuat Jyushimatsu mengangkat salah satu alisnya. "..." sang malaikat masih tidak mengatakan apapun, tanda untuk membiarkan sang iblis terus berbicara.
"Karamatsu itu berbeda dengan manusia lainnya," mulai Osomatsu lagi, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang di berikan. "Aku ingin melindunginya..."
"Dari apa?" merasa alasan Osomatsu tidak masuk akal Jyushimatsu mulai menekan nada suaranya. "Kau tahu? Mantra yang kau berikan bisa berpengaruh pada catatan kehidupannya!"
"Aku tahu..Aku tahu!" teriaknya diakhir. Entah kenapa Osomatsu juga jadi ikutan jengkel. Rasanya seperti dianggap bodoh oleh Jyushimatsu atau mungkin alasan lain. Sang iblis memperbaiki gesturnya, sudah tidak menyandar pada batang pohon melainkan berdiri tegak dengan kedua kakinya. "Hanya saja aku terpaksa melakukannya!"
"Aku tidak mengerti!" seru Jyushimatsu mulai menyeka wajahnya sendiri. Matanya basah, mulai menangis karena tidak tahu harus bagaimana menghadapi pengeran iblis di hadapan nya.
"Kau, Ichimatsu nii san, Choromatsu nii san, Todomatsu, kalian semua mengabaikan ku. Kupikir hanya Karamatsu nii san saja yang bisa kutemani sampai akhir tapi pada akhirnya kau juga mengambilnya dariku!"
"E-eh?...Karamatsu nii-san?" Osomatsu di buat kebingungan. Rasa jengkelnya sirna seketika. Mungkin dia bisa mencoba memahami kenapa sang malaikat muda itu menangis. Dia juga tahu jika sang malaikat biasa memanggil sang dewa kematian dan peri danau yang lahir lebih dulu dengan sebutan kakak, tapi sampai menyebut Karamatsu, si manusia biasa itu sebagai kakak juga itu
sedikit...Janggal.
.
..
......
..........
.................
.......................To be Continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top