The Sacred Lake Goddess

Matanya berlahan terbuka. Tanpa secuil ingatanpun dirinya terbangun di atas tanah gersang tak berujung.

Waktu itu dirinya hanyalah perwujudan yang memiliki sosok seorang anak kecil yang bahkan tidak mampu berbicara.

Seorang pria menangis padanya, tiba-tiba saja memeluknya. “Choromatsu nii-san Choromatsu nii-san,” begitu panggilnya di sela-sela isakannya. Sepasang tangan kekar pria tersebut membalut tubuh mungil Choromatsu dan terus menangis sambil berkata “Akhirnya kau terlahir kembali. Meskipun hanya kau tapi aku senang akhirnya bisa menemukan salah satu saudaraku.”

Choromatsu bahkan belum mengerti apa itu bahasa. Anak itu sama sekali tidak paham apa yang dikatakan atau dilakukan pria asing berpakaian serba hitam itu. Namun ketika bertatapan mata dengan sepasang manik unggu yang berlinang air mata itu, tanpa sadar tangan mungilnya berusaha menggapai wajah Ichimatsu.

“Tidak kusangka kau akan terlahir kembali menjadi makhluk yang nantinya bakalan sejajar dengan para dewa,” gumam Ichimatsu lalu berlahan melepaskan pelukannya. “Maaf tidak bisa menemanimu lebih lama. Aku menantikan pertumbuhanmu, Choromatsu...”    

Setelah mengatakannya sang dewa kematian melanjutkan perjalanannya. Pertumbuhan Choromatsu mengikuti proses pembangunan alam di sekelilingnya. Setelah 200 sampai 300 tahun tanah gersang tersebut berubah menjadi pegunungan dan danau suci menjadi pusat keberadaan personifikasi alam di sana. Maka karna itu tidak seperti yang lainnya, Choromatsu tidak akan pernah bisa meninggalkan wilayahnya yang merupakan sumber kekuatan dan eksistensinya sendiri.

Jaman dulu para manusia masih mempercayai keberadaannya. Setiap tahunnya dimasa panen orang-orang akan berbondong-bondong mendatangi danaunya, mengumpulkan sesajen berupa tumbuhan, buah, atau biji-bijian. Sebagai gantinya Choromatsu akan menyalurkan energinya ke bumi dan menyuburkan desa mereka. Namun seiringnya waktu berjalan keberadaannya dilupakan dan akhirnya menjadi sebuah legenda.

Bagi manusia eksistensinya adalah sebuah kepercayaan kuno yang bahkan tidak bisa dimasukan logika.
Pada akhirnya Choromatsu tidak punya pekerjaan apapun. Ia hanya bisa berharap jika para manusia tidak berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya alam yang merupakan sumber kekuatan dan kesehatannya.

“Apa kau menjatuhkan cincin emas ini atau cincin perak ini?”

Lalu selang beberapa tahun kemudian seorang nenek tanpa sengaja menjatuhkan cincinnya ke dalam danau. Semenjak jaman telah berubah tidak ada manusia yang bisa mendatangi wilayahnya hal tersebut di sebabkan jalan setapak mistis yang bahkan Choromatsu sendiri tidak mengerti cara kerjanya.

Jalan setapak tersebut sudah seperti papan petunjuk untuk memasuki wilayah suci gunung Akatsuka, dan kelihatannya jalan tersebut memilih siapa yang berhak untuk melewatinya. Setelah melihat aura yang di keluarkan si nenek Choromatsu menyimpulkan jika jalan setapak tersebut hanya bisa dilewati makhluk berspritual tinggi atau mungkin siapapun yang dapat mempercayai eksistensinya.

“Aku setengah buta jadi tidak bisa melihat dengan jelas,” balas si nenek dengan suara parau namun terdengar tenang dan bijaksana. Entah kenapa sebagai manusia nenek itu terlihat tenang meskipun sudah berhadapan dengan makhluk mulia seperti dirinya. Choromatsu tidak mengatakan apapun bahkan ketika tangan penuh keriput wanita tua tersebut menyentuh telapak tangannya.

“Tapi jika salah satunya memiliki ukiran namaku maka cincin tersebut  memang punyaku.”

“Keduanya tidak memiliki ukiran namamu,” jawab Choromatsu. Pupil mungilnya terus memperhatikan si nenek berkerudung hitam tersebut. Baginya manusia di depannya ini sungguh misterius, sangat menarik perhatiannya. Hawa keberadaan wanita tua itu seperti menariknya, perasaan yang sulit di jelaskan. Setiap dirinya berbicara dengan nenek itu rasanya energinya terserap namun di saat bersamaan sebuah energi baru merasuki tubuhnya, membuatnya seolah dapat merombak kembali gunung Akatsuka.

“Kalau begitu keduanya bukan punyaku,” si nenek melepaskan pegangannya dan mundur beberapa langkah. “Aku pasti menjatuhkannya di tempat yang lain.”

“....”

Choromatsu diam, melipat kedua tangannya yang baru saja—untuk pertama kalinya bersentuhan dengan manusia. Senyuman menghiasi wajah sang peri, mukanya memerah dan memanas—Merasa bahagia karena akhirnya setelah sekian lamanya dapat berinteraksi dengan seseorang.   
“Jangan khawatir. Kau memang menjatuhkan cincinmu di danauku,” Choromatsu memberitahu. Untuk kedua kalinya tangannya terulur kembali menunjukan telapak tangannya pada manusia tersebut. Ditunjukannya cincin tembaga yang setengah karatan berukirkan nama penyihir ‘Moegi’.

Sebelum nenek itu pergi ia mengembalikannya beserta dua cincin mahal yang di tunjukannya sebelumnya.

“Aku tidak butuh kekayaan. Namun kalau aku tidak terlalu lancang apa aku boleh datang kemari lagi, Choromatsu-sama?”

Penyihir tua itu menolak pemberiannya. Meskipun begitu. permintaan manusia itu di balas anggukan oleh sang peri yang kesepian. Choromatsu menyambut nenek itu hangat bahkan memberinya berkah umur yang panjang, berharap wanita tua itu dapat menemaninya lebih lama.

Keesokannya, setelah pertemuan mereka. Sang malaikat muda datang, diam-diam mengikuti si penyihir. Hawa keberadaan suci Jyushimatsu sempat membuat Choromatsu kaget karena itu pertama kalinya dirinya merasakan hawa keberadaan makhluk surga.

Bahkan ketika berhadapan dengan Jyushimatsu, penyihir Moegi masih tidak berkeming. Reaksi wanita tua itu sangat terbanding terbalik dengan reaksi Choromatsu yang udik lantaran tidak pernah bertemu dengan makhluk mulia selain dirinya dan sang dewa kematian.

Makhluk suci bersayap bulu putih berlapiskan cahaya emas yang berkilauan. Rupa Jyushimatsu yang polos kekanak-kanakan merona merah seperti apel di musim semi, manik emasnya yang menawan berkedip-kedip, mengibaskan bulu-bulu matanya yang lentik. 

Sang peri danau menatap takjub. Di bandingkan dirinya yang pucat dan di penuhi akar tumbuhan wujud Jyushimatsu sangatlah mempesona. Mulutnya terbuka membentuk segitiga khasnya, karena tidak tahu harus bagaimana menyapa tamunya dia hanya membiarkan mulutnya terbuka dan tertutup, tidak mampu mengatakan apapun.

Melihatnya, Jyushimatsu angkat bicara.  “Ma-maaf aku tanpa sengaja....” katanya sambil setengah membungkuk. Malaikat itu nampak gugup berhadapan dengan Choromatsu yang bisa dikatakan adalah penguasa hutan gunung Akatsuka. Ia berpikir jika kedatangannya sangat lancang dan takut jika sang peri danau murka karenanya. “Aku penasaran apa yang dilakukan penyihir di tengah hutan jadi...”  

“....Penyihir?” Choromatsu ingat ukiran cincin milik si nenek. Pemuda pucat itu menoleh untuk melihat si wanita tua yang sudah mengelar kain lebar dan menyiapkan sesajennya. Ritual yang membawanya ke alam nostalgia mencegah Choromatsu untuk menegur Moegi. Sebagai gantinya ia kembali melihat Jyushimatsu yang masih berdiri di tempatnya.  

Mata emasnya menghindari tatapan Choromatsu.  “Mungkin kau tidak tahu,” mulainya dengan nada bersimpati. “Selama kau terisolasi di wilayahmu sendiri dunia manusia telah mengalami banyak perubahan. Kau pasti sadar jika keberadaanmu telah di abaikan tapi tidak semua manusia benar-benar mengabaikanmu, orang seperti Moegi adalah salah satunya. Dan sekarang dunia menyebut mereka sebagai penyihir...”

“....Lalu alasanmu memata-matainya?” tanya Choromatsu. “Maksudku, aku tidak menunduhmu akan mencelakai Moegi atau apa tapi aku penasaran kenapa makhluk sepertimu bersedia mengikuti manusia?...”

“Wanita itu diusir dari desa karena dia adalah penyihir,” jawab Jyushimatsu terlihat kesakitan ketika mengatakannya. “Dari awal tugasku memang mengikuti manusia tapi bukan mengikuti penyihir—Jadi kurasa ada benarnya pertanyaanmu. Kuharap mulai sekarang kau bisa membedakannya, Choromatsu nii-san.”

Sang peri mengerutkan dahinya. Apa-apaan itu? Memang apa bedanya manusia dan penyihir? Jelas-jelas wanita tua bernama Moegi itu adalah manusia, makhluk duniawi yang memiliki raga tubuh dan egonya!?

Dan lagi, mereka mengasingkan penyihir? Memang apa salahnya melakukan ritual di tengah hutan atau yang lebih penting lagi, memujanya!?

Jujur saja Choromatsu merasa sangat tersinggung dengan penjelasan sang malaikat. Kemurkaannya bahkan membuatnya melupakan kenyataan jika malaikat itu baru saja memangilnya “Choromatsu nii-san.”

“Maaf,” ucap Jyushimatsu menyesali penjelasannya barusan. “Aku tahu aku menyinggungmu tapi lebih baik kau mengatahuinya sekarang. Perang Ideologi di luar sana sungguh kejam dan bisa saja kau terluka karenanya. Mulai sekarang kau harus tahu yang mana musuhmu, Choromatsu nii-san.”

Dua kali. Malaikat itu memanggilnya dengan sebutan yang sama untuk kedua kalinya. Choromatsu mulai menyadari kejanggalan tersebut.

Ketika dirinya baru di lahirkan di dunia, ia bertemu dengan dewa kematian yang tiba-tiba menangis padanya dan memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’

Choromatsu tidak pernah bertemu Ichimatsu lagi. Sebagai gantinya ia malah bertemu Jyushimatsu, malaikat yang juga memanggilnya dengan sebutan yang sama.  

Sang malaikat membiarkan misteri tersebut, tidak memberi sang peri penjelasan lebih lanjut lagi. Pemuda bercahaya emas itu terbang ke sisi lain hutan, mungkin kembali ke sisi manusia yang di bimbingnya saat itu.

“Choromatsu-sama. Apa kau percaya dengan reinkarnasi?”

Suara parau wanita tua itu mengagetkan Choromatsu. Sang peri mengangguk polos membiarkan manusia itu memberinya penjelasan lebih lanjut.

Wanita itu percaya jika para makhluk gaib pun juga memiliki masa lalu yang terlupakan, alias kehidupan sebelumnya. Mungkin ingatan Choromatsu sudah lenyap tidak berbekas. Namun biasanya makhluk yang lebih kuat bisa menggali ingatan mereka sendiri, atau bahkan lahir dengan membawa serpihan ingatannya.

Sang dewa kematian adalah sosok yang paling kuat diantara mereka. Dia adalah makhluk pertama yang dapat mengetahui segalanya di dunia. Mengingat pekerjaannya yang berkeliling diantara ruang dan waktu mungkin saja dengan mata kepalanya sendiri ia telah menyaksikan kehidupan lampaunya.

Sedangkan para malaikat adalah makhluk suci yang sangat berurusan dengan hal-hal duniawi, yang paling lama menetap di dunia manusia. Kemungkinan besar ada suatu kejadian yang memukul ingatan mereka.

“Haaah...” Choromatsu menghela nafas panjang. Ia berjalan mendekati si nenek dan seenaknya saja mengambil salah satu apel di altarnya. Peri itu duduk di pinggiran danau tidak jauh dari wanita tua yang sedang tersenyum lembut padanya.  “Kalau kau bilang seperti itu rasanya seperti aku ini, dibandingkan mereka sangatlah lemah bukan?”

“Aku tidak ingat apapun sebelum aku dilahirkan.”

“Itu Cuma apa yang dikatakan para pendahuluku dan aku hanya mempercayainya,” balas Moegi. “Apalagi Choromatsu-sama. Lemah atau kuat bagiku itu tidaklah penting, yang penting adalah perasaanmu sendiri. Aku bersyukur setiap tahunnya, Choromatsu-sama tetap sehat. Dan meskipun kami sudah tidak mendatangimu kau tetap memberikan kesuburan untuk desa.”

“Kau masih berkata seperti itu meskipun kau telah diasingkan oleh mereka?” Choromatsu mendengus meremehkan. Dia mulai bertanya-tanya apakah nenek di depannya ini benar-benar manusia?

“Aku tidak melakukan apapun,” lanjutnya lalu merebahkan tubuhnya diatas rumput. Tangannya masih memegang apel merah segar yang baru di petik pagi ini, memainkannya dengan melemparkannya di udara lalu menangkapnya kembali. “Asalkan kalian tidak merusak gunung aku akan baik-baik saja. Masalah subur atau tidaknya desa kalian....” Choromatsu terdiam. Sang peri membuang wajahnya yang memerah, menyembuyikannya dari si penyihir tua yang terkekeh geli karena tingkah manisnya.

“Itu hanya kebiasaan, anggap saja sekedar latihan. Terlalu banyak menyimpan energi juga tidak baik,” gumamnya lirih.

“Hahaha,” si penyihir malah menertawakannya. Choromatsu mulai merajuk, menggigit apelnya dengan suara keras sebagai ganti pelampiasan rasa sebal dan malunya.

Choromatsu menikmati hari-harinya bersama dengan Moegi. Namun umur manusia itu pendek, meskipun telah di beri pemberkatan oleh sang penjaga danau suci.

Di suatu malam si penyihir datang melakukan ritual terakhirnya. Menyalakan dupa dan lilin putih, meletakan batu-batu berwarna di sekitar altarnya. Harum semerbak memenuhi wilayah danau suci. Wanita tua itu mengetahui ajalnya, seolah dewa kematian telah memberitahunya. 

Choromatsu tidak menunjukan sosoknya. Sang penjaga danau lebih memilih untuk tetap tidur menanti hari esok tanpa kehadiran wanita tua tersebut. Ritual itu adalah salam perpisahan Moegi untuknya dan sebagai makhluk yang di pujanya Choromatsu hanya bisa menghormatinya namun memiliki batasan untuk menerimanya.

“Selamat tinggal....”
.
.
....
.........
................
..........................To be Continue    

                              

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top