The One For Me
Osomatsu pergi. Pulang ke neraka dengan membawa ocehan-ocehan tak bermutu bersamanya. Todomatsu dan Jyushimatsu menatap punggung sang iblis yang masuk kedalam portal hitam dengan tatapan malas. Dalam hati berteriak: Jangan kembali lagi dasar kau iblis tak tahu malu! Menyusahkan orang saja!
Setelah portal itu lenyap. Tempat itu kembali sunyi senyap. Jyushimatsu dan Todomatsu saling bertukar pandang lalu tertawa bersamaan, merayakan keberhasilan mereka mengusir sang pangeran iblis yang bebal.
"Ah. Kita meninggalkan Karamatsu nii-san bersama dengan Choromatsu nii-san," ujar Todomatsu kelupaan. "Jyushimatsu nii-san apa kau akan segera pergi menyembutnya?" tanyanya dengan nada manis khasnya.
Jyushimatsu tidak langsung menjawab. Dilihatnya kegalauan sang malaikat untuk menjawab pertanyaan sederhananya, Todomatsu mendekat sambil memamerkan senyuman lebar yang ceria.
"Bagaimana kalau mampir kerumahku sebentar?" tawarnya lalu menarik Jyushimatsu untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Apa terjadi sesuatu dengan Karamatsu nii-san?"
Todomatsu menyeduh minuman herbal di meja dapur yang terletak di ruangan yang sama. Sementara Jyushimatsu duduk di atas kursi rotan di depan perapian kecil di tengah ruangan.
"Tidak biasanya kau semurung ini. Bahkan kalau di bandingkan dengan kematian bapa Dekapan," lanjut si penyihir lalu menuang cairan coklat kemerahan ke dalam dua buah cangkir tanah liat.
"Totty kau pasti melihatnya kan?" Akhirnya sang malaikat bersuara. "Meski hanya sekilas, Kau pasti telah melihat gambaran masa lalu kita semua," ujarnya sambil menunduk sedih.
"Hmm...." Todomatsu berdehem panjang. Pasti gara-gara kelakuan anehnya yang sebelumnya. Jyushimatsu benar. Dia memang sekilas melihat pandangan masa lalu.
"Tapi aku tidak tahu seberapa akurat itu," katanya lalu memberikan satu cangkir kepada Jyushimatsu.
"Kalau kau sampai bertingkah seperti itu. Aku berani jamin ke akuratannya." Jyushimatsu punya kebiasaan memaksakan senyumnya saat berusaha meyakinkan orang lain. "Osomatsu nii-san dan Karamatsu nii-san. Kurasa aku mulai paham kenapa Ichimatsu nii-san tidak ingin siapapun bertemu dengan Choromatsu nii-san."
"Sayangnya. Sang dewa kematian membiarkan si iblis itu mendatangi kediamanku," timpal Todomatsu. Alisnya tertaut tidak suka. "Apa kau juga tahu alasannya?" tanyanya lalu duduk di sebelah si malaikat.
"Kenapa Ichimatsu nii-san tiba-tiba berubah pikiran?" Pertanyaan di balas lagi dengan pertanyaan. Jyushimatsu bergeleng pelan. "Mungkin dia pikir Karamatsu nii-san tidak akan pernah bisa menemui Choromatsu nii-san," terkanya.
"Hahaha...Ketiga kakak tertua kita memang sumber masalah ya?" Todomatsu terkekeh namun tidak ada rasa humor dari kalimatnya.
"Choromatsu nii-san. Apa dia masih tidak ingat apapun?"
OXO
Dua orang pria saling berteriak. Salah satunya menarik kerah baju lawannya lalu melancarkan pukulan di wajahnya. Tampat itu sungguh kacau. Aura hitam dan merah menyelimuti pandangan. Semakin di dengar, semakin membuat kepala sakit. Dua orang itu saling adu pukul, bertukar kata kasar yang menyakitkan.
Hanya ada penyesalan di setiap gerakan.
Lalu seseorang bersuara lembut dan lemah mengatakan sesuatu. Suaranya tak terdengar. Kalah jauh dari suara teriakan kedua pria yang tak kunjung berhenti berkelahi.
Begitulah gambaran masa lalu yang sekilas terlintas di otaknya.
Pada asalnya, Todomatsu hanyalah seorang manusia. Mendapatkan pandangan yang berasal dari salah satu kehidupannya lampaunya bisa saja berdampak buruk pada mentalnya.
Beberapa saat yang lalu. Saat suasana diantara Karamatsu dan Osomatsu sedikit memanas, meski hanya untuk sesaat dan tidak lebih lama daripada itu.
Todomatsu bisa melihat gambaran mengerikan tersebut. Suara Choromatsu yang memintanya untuk melerai mereka berdua menyelamatkannya.
Terjerumus dalam gambaran masa lalu yang menyedihkan sama saja dengan masuk ke neraka kehampaan. Sangatlah menakutkan bagi seorang manusia.
".....Jyushimatsu nii-san apa kau mengingatnya?" tanya Todomatsu dengan mata yang berkaca-kaca. "Hari itu. Pada masa itu.....apa itu akan terulang lagi?"
Pada jaman ini. Choromatsu adalah peri kesayangan dewa bumi. Osomatsu adalah pangeran iblis yang mempunyai niat buruk terhadap sang raja. Dan Karamatsu adalah seorang manusia biasa yang kebetulan saja terperangkap dalam lingkaran sihir yang di ciptakan oleh dewa takdir.
Mengingat identitas mereka. Hampir mustahil mereka bertiga menciptakan tragedi yang sama. Apabila cinta merupakan salah satu dosa di antara mereka. Setidaknya mereka berdua, di tambah dengan sang dewa kematian mengetahui Choromatsu tidak akan pernah terlibat di dalam dosa tersebut.
Tragedi yang sama tidak mungkin terjadi kembali. "Choromatsu nii-san tidak akan memberikan cintanya hanya pada satu orang." ujar Jyushimatsu. "Seperti ajaran dewa bumi. Choromatsu nii-san mencintai seluruh yang ada di bumi pertiwi. Menyayangi segala hal yang ada di tiga dunia secara rata."
Osomatsu dan Karamatsu cuma akan menyakiti jiwa mereka untuk kedua kalinya.
OXO
Pria itu tersenyum pada pemandangan bahagia di depannya. Di tengah altar suci sepasang serasi mengenakan pakaian serba putih. Ucapan janji suci dan alunan musik memperiahkan acara.
Dia duduk di salah satu bangku tamu. Mengasingkan diri di barisan belakang. Namun pandangannya tak lepas dari jalannya acara. Setelah puas menyaksikan, lelaki itu melangkah pergi. Diam-diam, tidak ingin siapapun menyadari keberadaannya.
Tanpa di ketahuinya. Seseorang menyadari kebaradaannya yang tak ingin di abaikan. Orang itu sepertinya ingin menghormati keinginan lelaki tersebut. Olehnya dia hanya berdiam diri, tanpa menyapa lelaki yang punggungnya terlihat kesepian.
OXO
Berlahan Karamatsu membuka matanya. Wajah Choromatsu lah yang pertama kali di lihatnya. Matanya birunya bertemu dengan mata hijau sang peri yang setelah itu mengucapkan "Selamat pagi," kepadanya.
Karamatsu mengucek matanya. "....Ah. Rupanya bukan mimpi ya?" Dia yang masih setengah tidur berusaha bangkit dari bebaringnya. Sudah terlalu lama ia meletakan kepalanya di pangkuan sang peri, semoga saja dia tidak merepotkan.
"Kalau kau secapek ini. Seharusnya kau tidak perlu memaksakan diri untuk kemari....." Choromatsu menghela nafas panjang. "Apalagi kalau ada manusia lain yang memergokimu bukannya gawat? Mereka bisa salah sangka mengiramu penyihir," ocehnya panjang lebar setelah itu.
Sesuai kabarnya, kebaikan Choromatsu memang benar adanya. Karamatsu mengangguk sambil tersenyum kecil. Selama beberapa hari ini kegundahan hatinya membuatnya lekas lelah dan susah tidur. Kebaikan Choromatsu menyembuhkannya.
"Terima kasih Choromatsu-sama," ucapnya lalu mengecup punggung tangan sang peri penjaga yang menatapnya aneh. Beberapa saat yang lalu Osomatsu juga melakukan hal yang sama. Apakah mencium tangan seperti itu lagi terkenal di kalangan pria seumuran mereka?
Meskipun tidak begitu memahaminya. Choromatsu senang nasehatnya telah di dengarkan. "Tidak perlu seformal itu di hadapanku," ujarnya dengan senyum segitiganya yang menggemaskan. "Cukup panggil Choromatsu saja."
Wajahnya seketika itu menghangat. Karamatsu yang salah tingkah, menggeser pantatnya mundur, mengembalikan jarak di antara mereka. Mau bagaimanapun penampilan Choromatsu yang terlihat seperti seorang remaja laki-laki bertubuh kecil dan kurus. Choromatsu masih tetap sosok makhluk suci yang menjaga hutan dan desa yang di tinggalinya.
"Ma-maaf. Aku harus menolak permintaan yang satu ini," jawab Karamatsu menundukan kepala, demi menyembunyikan wajahnya yang kian memerah.
"Meskipun kau memanggil Jyushimatsu hanya dengan namanya?"
Choromatsu berkacak pinggang. Bahkan Todomatsu yang merupakan pengikutnya memanggil dengan sebutan kakak. Sang peri yang selama ratusan tahun hidup sendirian, akhirnya mendapatkan teman berbicara selain si penyihir muda.
Tentu saja dia tidak ingin Karamatsu membangun tembok transparan di antara mereka berdua. Dan panggilan formal itulah tembok tersebut.
Choromatsu bersi keras membuat Karamatsu membuang panggilan -sama. Dari kecil sang biarawan tidak lah pandai menolak permintaan orang lain. Terlebih lagi, saat ini sang peri yang di kaguminya lah yang berusaha membujuknya. Mau tak mau dia hanya bisa menyerah dan menuruti kemauan Choromatsu.
"Choromatsu....?" panggil Karamatsu coba-coba. Wajahnya kembali merona hebat setelah Choromatsu kembali tersenyum padanya, kali ini senyuman tersebut 10 kali lebih bercahaya daripada sebelumnya.
"Baiklah Karamatsu nii-san. Sampai kapan kau dingin-dinginan di sini? Bukannya lebih baik kau segera kembali ke desa?"
Todomatsu datang mengacaukan interaksi mereka berdua. Pemuda itu datang bersama malaikat berbaju kuning yang tengah cemberut dan bersedekap dada. Entah apa gerangan yang sampai membuat suasana hati Jyushimatsu memburuk.
"Tu-tunggu Todomatsu!" Karamatsu mengangkat satu tangannya. Sepertinya masih ada yang ingin di katakannya. "Tadi gara-gara Osomatsu aku sempat melupakannya...." Pria itu menjeda. Di tengah kalimat tiba-tiba lidahnya terasa kilu.
Choromatsu, Todomatsu, dan Jyushimatsu ketiganya saling bertukar pandang. Dengan sabar mereka semua menunggu Karamatsu untuk meyampaikan kalimatnya yang tergantung.
Sinar mata sang biarawan melembut. Mendongak ke arah langit mendung, ia membiarkan wajah tampannya tertimpa serpihan salju. Setiap salju yang menyentuh kulitnya meleleh. Dalam posisinya yang seperti itu. Pria itu terlihat seperti sedang meneteskan air mata.
"Todomatsu....." Karamatsu mulai berbicara. "Aku tahu betapa menakutkannya menjadi seorang penyihir di jaman ini. Kau boleh menyebutku naif atau bahkan memarahiku setelah ini. Tapi.....aku punya satu permintaan untukmu," ujarnya.
Sang penyihir mengigit dalam pipinya. Dia tidak menyukai arah jalan pembicaraan karamatsu. "Apa yang kau inginkan?" Namun dia masih ingin bertanya.
"Bagaimana cara untuk menjadi seorang penyihir?"
Semua yang ada di sana membelalakan mata. Semoga saja pendengaran mereka salah. Choromatsu tertegun. Jyushimatsu mulai meneteskan air matanya. Sedangkan Todomatsu, wajah pemuda itu menggelap. Ia mengepalkan kedua tangannya erat lalu pergi menghampiri sang biarawan yang barusan saja melontarkan pertanyaan konyol.
"Apa maumu Karamatsu nii-san?" Todomatsu meraih kerah baju Karamatsu. Pemuda itu tidak berteriak namun suaranya yang serak lebih terdengar mengancam. "Katakan apa yang ada di kepalamu saat ini!" tuntutnya lalu mendorong kasar tubuh Karamatsu yang terasa lemas tak bertenaga.
"...Aku ingin pensiun," jawab Karamatsu sambil terus menundukan kepalanya. "Karena aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan..."
Jyushimatsu menyeka air matanya. "Maksudmu Choromatsu nii-san?" tanyanya yang langsung membuat si empunya nama terkesikap.
"Maaf Jyushimatsu." Karamatsu mengigit bibir bawahnya. Sebenarnya tak mampu ia meneruskan, tapi dia sudah bertekad untuk meluruskan segalanya pada hari ini. "Aku tidak pernah mempercayai keberadaan Tuhan yang selama ini di puja oleh gereja."
Sorot mata Todomatsu melembut. Pemuda itu mulai memahami niat asli sang biarawan. "Jangan bilang kau....." ia kembali mendekat kali ini menyentuh pundak pria dewasa itu dengan lembut. "Alasanmu ingin mencari tahu bagaimana menjadi penyihir adalah...."
Kini semua mata tertuju pada Choromatsu. "E-eh!?" Sang peri sama sekali belum menangkap apapun. Dari tadi namanya di sebut-sebut dan semua orang menatapnya dengan aneh. "Tu-tunggu... apa aku melakukan sesuatu?" tanyanya untuk berjaga-jaga.
Mengabaikan ketidak pekaan Choromatsu. Todomatsu kembali bertanya, hanya untuk lebih meyakinkan. "Kau benar-benar ingin berganti Tuhan?"
OXO
Jangan pernah meremehkan kekuatan yang bernama sugesti. Manusia hanyalah salah satu makhluk berkhlak tinggi yang bisa melakukan apapun selama mereka berada di bawah kendali sugesti.
Selain seseorang yang baik hati. Karamatsu bukanlah lelaki bodoh. Pada era dimana gereja merupakan gudang ilmu. Pria itu tidak melewatkan kesempatan.
Seumur hidupnya Karamatsu menjalani rutinitas yang ada di luar keinginanya. Setiap hari ia menceritakan keluh kesahnya kepada sebuah buku catatan harian yang ia beli di sebuah toko buku bekas. Setengah dari buku itu sudah terpakai orang lain. Entah dapat ide darimana, karamatsu malah meneruskan buku harian tersebut.
Catatan harian pemilik buku sebelumnya sangatlah menarik. Tulisan-tulisan itulah yang membuat Karamatsu bersemangat untuk menulis buku hariannya sendiri.
Meskipun di sebut buku harian. Isinya terdengar puitis dan bermakna tinggi. Pemilik pertama buku itu adalah orang yang berpendidikan dan sepertinya mempunyai pola pikir yang amat sangat luas.
Setiap manusia pasti mempunyai pertanyaan di dalam benaknya. Setiap hari, setiap menit atau detiknya pertanyaan tersebut akan terus berganti. Bertanya bukanlah untuk orang bodoh. Justru pertanyaan lah yang membuat orang di sebut jenius.
Karena pertanyaan selalu diikuti jawaban. Tidak harus jawaban itu datang dari diri sendiri, selama kau mendapatkan jawaban maka pengetahuanmu akan terus bertambah.
Buku harian itu merubah total cara berpikir Karamatsu. Sekecil dan sesepele apapun pertanyaan selalu ia tulis dan jawab di dalam buku harian. Sampai pada beberapa pertanyaan yang tak sanggup ia sendiri jawab.
"Apakah aku mempercayai adanya Tuhan?"
"Lantas siapa itu Tuhan?"
"Apakah aku harus terus mempercayaiNya? Apa keuntungannya bagiku?"
Oh sungguh dia manusia berdosa. Karamatsu adalah kepala biarawan, pekerjaan suci yang bermartabat tinggi. Pada era dimana gereja memiliki hak campur tangan atas politik. Keberadaannya sama seperti seorang guru besar di daerahnya.
Setelah itu ia mendapatkan kemampuan aneh yang mampu membuatnya berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata. Akhirnya Karamatsu berhasil menemui sang peri penjaga yang keberadaannya di lupakan dan dianggap sebagai legenda semata.
Dan seketika itu. Semua pertanyaan tabunya terjawabkan. Jaman selalu bergerak cepat, begitupun manusia. Sama seperti desain pakaian, ideologi pun juga ikut berkembang dan berganti secara kilat.
"Choromatsu...." Karamatsu mengambil nafas dalam-dalam. Berlahan ia menarik tangan sang peri yang masih kebingungan. Sekali lagi ia mengecup punggung tangan pucat Choromatsu dan bertanya "Mau kah kau menjadi Tuhan ku?"
To be Continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top