The Goddess kindness

Pada bulan desember. Choromatsu menyaksikan salju pertama tahun ini sendirian. Sebentar lagi dia akan masuk masa hibernasi, lebih baik dia mulai mengumpulkan sisa kekuatannya untuk membuatnya tetap hangat di musim dingin.

Semenjak kedatangan 5 tamu. Wilayahnya kembali sepi dan damai. Karamatsu kembali ke realita, mengerjakan kesibukannya sebagai kepala biarawan dan masih di temani malaikat pelindungnya, Jyushimatsu. Todomatsu masih harus menyelesaikan urusannya dengan sang pangeran iblis Osomatsu. Sedangkan Ichimatsu, seperti biasa dia datang tak di undang pulang pun tak diantar, sang dewa kematian punya hobi untuk menghilang tanpa jejak dan  setelah itu muncul secara tiba-tiba seperti hantu.

Choromatsu menatap ke arah langit. Kepingan-kepingan es jatuh dari atas sana, yang lama kelamaan menumpuk menutupi hutan dan sekitarnya. 

Bahkan makhluk sepertinya bisa merasakan dingin. Iseng. Ia menghembuskan nafasnya. Asap putih menutupi pandangannya lalu menghilang di telan udara kosong.

"Membosankan sekali," keluhnya tidak pada siapapun. Selama bertahun-tahun dia hidup sendiri menjaga danau suci. Kesunyian ini tidak lah berarti apapun baginya.

"Choromatsu nii-san!" 

Tiba-tiba suara seseorang membuyarkan lamunannya. Tak di sangka. Todomatsu datang bersama dengan osomatsu. Entah sejak kapan mereka berdua seakrab itu.

Choromatsu tersenyum menyambut kedatangan mereka berdua. "Kukira baru musim semi tahun depan kau akan mendatangiku," ujar sang peri dengan sorot mata yang lembut.

"Seperti biasa kau cantik sekali, Choromatsu." Osomatsu mengambil satu tangan sang peri lalu mengecup punggung tangannya yang pucat.

"Kau tidak masalah menyentuhku?" tanya Choromatsu keheranan. Elemen mereka berdua bertolak belakang. Osomatsu ada di elemen kegelapan dan Choromatsu ada di elemen suci. Bahkan Ichimatsu tidak sembarangan mendekatinya.

"Tsk tsk tsk...." Dengan sombong Osomatsu mengerakan jarinya. "Kau anggap putra mahkota iblis itu siapa? Tentu saja aku bisa menyentuhmu sesuka hatiku," ocehnya lalu sekali lagi menarik tangan Choromatsu, memaksa sang peri untuk lebih mendekat.

Tangan Osomatsu yang lebih kekar dan besar mengosok punggung tangan Choromatsu, lalu kepala sang iblis menunduk untuk mencium pergelangan tangan sang peri yang seketika wajahnya bersemu merah muda.

Todomatsu tidak tahan menontonnya. Kebetulan saja dia membawa satu ember kacang kenari. Di keluarkan semua isinya lalu digantinya dengan satu ember air dingin yang berasal dari danau suci. Geram karena peri yang di pujanya di sentuh secara sensual oleh iblis jahanam yang terkenal akan rekornya bermain wanita. Todomatsu menyiram kan satu ember penuh air dingin ke Osomatsu.

"O-ooi! Apa yang kau lakukan Totty!?" teriak Osomatsu seraya meloncat-loncat menahan dingin. "Choromatsu lakukan sesuatu!" mintanya pada sang peri yang terpaku oleh serangan tiba-tiba si penyihir.

"Siapa bilang kau boleh menyentuh Choromatsu nii-san seenaknya!" seru Todomatsu seraya berdiri di depan sang peri, seolah menjadikan dirinya dinding pelindung di antara mereka berdua, si iblis dan si peri.

"Kalau air biasa sih tidak masalah. Tapi itu air dari danauku...." Choromatsu bergeleng pelan, sedikit mengasihani nasib sang pangeran iblis yang kena siraman air suci di tengah musim dingin. "Bagaimana kalau kalian menyalakan api unggun di sana?" tawarnya sambil menunjuk halaman kosong di dekat mereka.

"Awas kau Totty..." rutuk Osomatsu masih tak terima. Mau tak mau ia menerima tawaran Choromatsu. Sang iblis menjentikan jarinya dan seketika tumpukan kayupun jadi. Setelah itu dia duduk di dekatnya dan pada saat yang sama, tumpukan kayu itu terbakar.

Selagi Osomatsu menghangatkan dirinya. Todomatsu menumpuk kacang kenari yang di bawanya di atas tangan Choromatsu, sambil merapalkan doa hariannya.

"Semoga di musim dingin sekalipun kau tetap sehat dan bahagia," ucap Choromatsu lalu meletakan satu jarinya ke dahi Todomatsu yang bersinar hijau untuk sesaat. "Agar kau bisa menanti tahun baru yang cerah dan hangat."

"Terima kasih Choromatsu nii-san!" seru Todomatsu lalu langsung berlari menghampiri si iblis yang kedinginan. "Ayo Osomatsu nii-san aku tidak akan membiarkanmu berlama-lama disini!" serunya galak sambil menyeret sang pangeran iblis untuk ikut bersamanya pulang.

"Apa cuma begitu saja!? Aku ingin lebih lama lagi disini!!!" Osomatsu dan sifat kekanakannya, berguling-guling di atas tanah sambil menggerutu tidak jelas.

Lama kelamaan iblis itu berguling terlalu jauh. DUK! Tubuhnya menabrak ujung sepatu hitam seseorang. "Mmm...Osomatsu?" Itu Karamatsu bersama Jyushimatsu yang terbang di belakangnya. "Apa yang kau lakukan?" tanya sang biarawan lalu mengulurkan tangannya.

Osomatsu memajukan bibirnya. Tiba-tiba ia menarik tangan Karamatsu sampai ikut jatuh di sebelahnya. Jyushimatsu yang merasa ketinggalan ikut-ikutan menjatuhkan diri di atas tubuh Karamatsu yang meringis kesakitan.

"O-osomatsu! Jyushimatsu juga!" protes Karamatsu lalu memaksa untuk berdiri. Namun beban tambahan yang di atas punggungnya tidak mau minggir. Jyushimatsu lebih berat daripada kelihatannya.

"Ne Karamatsu. Waktu kecil kau memanggilku Osomatsu nii-san. Kenapa kau tidak tetap memanggilku begitu saja?" tanya sang iblis dengan jari menyentuh dagu si kepala biarawan yang salah tingkah.

Karamatsu memicingkan matanya, berusaha melawan tatapan menyelidik Osomatsu. "Saat ini kita terlihat seumuran kan. Terdegar aneh kalau aku masih memanggilmu kakak," jawabnya seraya menepis tangan Osomatsu. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Tapi bukannya lebih baik kalau kau menuruti Todomatsu?"

Sementara itu Todomatsu berkomen 'waaah' di dalam hati. Atmosfer di sekitar sang kepala biarawan dan sang iblis terasa sesak, hanya Jyushimatsu yang terlalu polos, yang tidak merasakannya.

"Todomatsu. Sebaiknya kau melerai mereka berdua," ujar Choromatsu bijak. "Banyak yang sudah terjadi diantara mereka. Sebaiknya mereka berdua jangan di satukan dulu."

"I-iya..." Todomatsu menjawab demikian. Namun sang penyihir tak kunjung melaksanakannya. Tatapannya berpindah antara Osomatsu dan Karamatsu lalu ke Choromatsu. Pemuda itu terpaku untuk beberapa saat.

"Hmm...Todomatsu?" Choromatsu mulai mencemaskannya. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sambil mendekati si penyihir.

Todomatsu langsung geleng kepala. "A-aku baik-baik saja!" serunya memaksakan diri. Kelakuan anehnya membuat seluruh perhatian tertuju kepadanya. Mencoba untuk mengalihkan perhatian mereka. Todomatsu menoleh dan meneriaki sang iblis. "O-osomatsu nii-san!" panggilnya sambil kembali menyeret si empunya nama. 

Mau tidak mau, Osomatsu harus enyah dari tempat tersebut. Secepat mungkin.

"Kalau kau mau kembali. Pulang saja sendiri!!" Osomatsu masih membelot. Hanya dengan kekuatan Todomatsu seorang tidak akan cukup untuk memaksa sang pangeran iblis untuk keluar dari wilayah suci tersebut.

"Jyushimatsu coba kau bantu Todomatsu," minta Choromatsu setelah lelah menonton dua orang tersebut. Jyushimatsu langsung menurutinya.

Gerombolan itu meninggalkan Choromatsu berduaan dengan Karamatsu. Tanpa ada mereka bertiga, sunyi senyap kembali membelengu kawasan suci gunung Akatsuka.

"Karamatsu. Kukira kau sibuk?" Pertanyaan Choromatsu memecah kecanggungan di antara mereka. "Sebentar lagi natal. Pasti gereja bakal sangat sibuk kan?"

Karamatsu mengangguk seraya mengacak belakang kepalanya. "Iya. Beberapa hari ini gereja sangat sibuk," jawabnya. Matanya sayu, kantung matanya menebal. Seperti katanya, kelihatannya sang kepala biarawan kurang tidur lantaran pekerjaannya yang menumpuk.

"Tenang saja. Saudara kembarku, beserta para anggota gereja lainnya juga ikut membantu."

Mendengarnya, Choromatsu tersenyum lega. Malam natal selalu di habiskan bersama keluarga atau orang-orang terpenting, itu yang selalu dikatakan Jyushimatsu padanya. Namun pada malam itu, Choromatsu akan tidur sendirian di dasar danaunya yang membeku, menunggu datangnya musim semi.

Kesibukan yang dialami Karamatsu saat ini pasti akan membawa hasil yang berlimpah di kemudian hari. Dengan usaha sang kepala biarawan untuk menyenangkan anak-anak yatim piatu, di tengah musim dingin yang membeku, gereja itu akan menjadi tempat berlindung yang hangat.

Sebagai penguasa hutan Akatsuka, Choromatsu dapat memahami hati seseorang. Seperti bagaimana dia menilai perangkai penyihir Moegi dan penyihir Todomatsu, dia tahu betul bagaimana perangkai Karamatsu.

"Kemarilah Karamatsu." Choromatsu merentangkan kedua tangannya, mengajak sang biarawan muda masuk kedalam pelukannya. "Karna kau sudah susah payah sampai ke sini, bagaimana kalau beristirahat sejenak?" tawarnya diikuti senyuman lembut yang mempesona.

Melangkah ragu, Karamatsu bimbang apakah dia pantas mendapatkan perlakuan spesial dari makhluk mulia semacam Choromatsu. Jantungnya berdetak cepat, kulit wajahnya menghangat.

"Kau manusia berhati baik dan tulus. Kau selalu mengutamakan orang lain dan takut mengecewakan orang lain. Kau berjuang keras agar orang-orang di sekitarmu mengakuimu," tutur Choromatsu lembut seraya memeluk Karamatsu. Suaranya begitu tenang dan menghanyutkan, membuat sang biarawan mengantuk.

"Ada kalanya kau harus bersikap egois dan bergerak sesuai dengan hati nuranimu. karena pada dasarnya manusia hanyalah makhluk yang egois, makhluk yang ingin menguasai ibu pertiwi. Namun kau berbeda. Mungkin suatu saat nanti kau akan di beri kesempatan untuk bereinkarnasi menjadi malaikat."

Di luar kuasanya, Karamatsu tak bisa menahan kantuknya. Sang biarawan tertidur pulas dengan posisi kepala dalam pangkuan sang peri. Choromatsu mengelus surai hitam legam pria itu, menatap sayang manusia yang kelelahan itu.

"Semoga kau selalu di cintai dan di lindungi oleh sang dewa takdir. Matsuno Karamatsu....."

To be continue 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top