The First and Only
Karamatsu berdiam diri di ruang kerjanya. Di tatapnya lekat setumpuk dokumen yang belum tersentuh sejak pagi. Pria itu menghela nafas panjang lalu beranjak dari tempat duduknya dan membuka jendela. Ah salju pertama tahun ini sudah turun. Cukup lama ia berdiri di depan jendela yang terbuka. Nafasnya memutih, hidungnya memerah. Tidak terlihat anak-anak kecil bermain di halaman depan.
Jyushimatsu tiduran di atas udara. Senyum lebarnya senantiasa menghiasi wajah kekanakannya. Namun matanya berkata lain. Sang malaikat pembimbing mengetahui kegundahan pria itu. Semenjak lelaki itu mendapatkan kemampuan untuk melihat bahkan menyentuh makhluk tak kasat mata, hidup pria itu telah berubah total.
Apa yang selama ini di pelajari Karamatsu. Bagaimana kesan masyarakat terhadap penyihir dan makhluk selain yang berasal dari surga. Dunia sangatlah luas. Sebuah buku suci yang di ciptakan oleh manusia tidak cukup untuk mengetahui segalanya.
Kadang sang kepala biarawan mempertanyakan. Sebenarnya dimana dan apa yang di lakukan Tuhan yang mereka percayai. Pada era ini, bisa dikatakan. Tuhan mereka adalah atasan Jyushimatsu kan? Raja kerajaan surga.
Dan siapapun yang tidak memuja raja kerajaan surga maka akan di anggap sebagai penyihir atau seorang pendosa. Karamatsu tahu betul bagaimana masyarakat memperlakukan Todomatsu.
Kasus seperti Todomatsu sangatlah jarang terjadi, tidak semua penyihir mendapatkan pengampunan dari gereja.
Rata-rata mereka di eksekusi secara publik, di bakar hidup-hidup di atas tiang api. Tentu saja. Sang kepala biarawan Dekapan tak akan sanggup melihat anak sekecil Todomatsu terbunuh oleh eksekusi tak berprikemanusiaan seperti itu.
10 tahun yang lalu. Saat Karamatsu masih berusia 15 tahun.
Dia bersama Dekapan dan Kamimatsu mengunjungi ibukota, demi melaksanakan tugas penting yang di terima mereka dari gereja pusat.
Sebenarnya keponakan kembar Dekapan lahir di ibukota. Jalanan pasar yang ramai dan penuh sesak adalah pemandangan nostalgia di mata kedua anak tersebut.
Saat itu, seperti hari ini salju pertama turun. Langit mendung, angin dingin berhembus menyapu sekeliling. Di tengah alun-alun kota, orang-orang berkerumun. Kiranya ada pertunjukan besar, festival meriah yang jarang di saksikan oleh anak desa seperti Karamatsu. Anak berjaket biru itu berlari mendekati keramaian, dan saudara kembarnya mengikuti di belakang.
Orang-orang tertawa, berbisik, berteriak, memaki, bersorak dan bertepuk tangan.
Segala jenis orang berkumpul menjadi satu di sana.
Hari itu menjadi trauma bagi Karamatsu. Apa yang di saksikannya berbeda jauh dari pertunjukan yang di kiranya. Kobaran api raksasa memantul dari iris matanya. Bau gosong dan bau busuk daging manusia yang terbakar memenuhi indra penciumannya. Teriakan dan tangisan kesakitan seorang gadis belia menjadi musik di telinga para penonton tak berperasaan.
"Aku bukan penyihir aku bukan penyihir." Perempuan itu terus meneriakan kata itu seperti sebuah mantra atau doa. Sangat berharap jika akan ada yang mempercayainya dan menolongnya.
Karamatsu kecil belum begitu mengerti apa yang telah di saksikannya. Namun anak itu tak kuasa menahan tangisnya. Air matanya tak bisa berhenti jatuh. Anak itu terus menangis tanpa bersuara.
Ingatannya jelas, bagai terjadi di hari lusa. Kamimatsu berusaha menghiburnya. Dekapan yang terlambat selangkah langsung mengendong keponakannya itu.
Karamatsu memendamkan wajahnya ke dada pamannya, dan tak berhenti menangis sampai tertidur karena lelah.
Kelemahan, atau lebih tepatnya, kebaikan Karamatsu justru membuat Dekapan memilihnya. Sayangnya, keinginan sang paman malah memberi keponakannya beban yang tak perlu.
Selama ini Karamatsu merasa sisa hidupnya tidaklah berguna. Dia hanya menjadi pelayan Tuhan, pekerjaaan yang mulia sekaligus membosankan. Gereja bagaikan sangkar untuknya, mengurung fisik dan mentalnya.
Secara fisik, dia mengabdi pada kegiatan gereja sampai kelelahan. Secara mental dan pikiran, tertutup agar tak menoleh ke jalan yang lain. Atau dia akan di cap sebagai pendosa.
Apakah lebih baik aku tidak pernah bertemu dengan Choromatsu?
Pertanyaan itu terus terngiang di dalam kepalanya. Saat pertama kali melihat sosok sang peri penjaga. Karamatsu menahan nafas, terpesona akan keelokan makhluk gaib tersebut.
Segala yang ada pada diri Choromatsu sungguh memukau di matanya.
Bagaimana sang peri bergerak, berbicara, atau tersenyum. Karamatsu tidak bisa melupakannya, tidak akan pernah.
Tidak. Aku tidak menyesal karena telah menemuinya...
Sebaliknya. Aku akan lebih menyesal apabila aku tidak pernah menemukannya.
Membulatkan tekadnya. Karamatsu menutup jendela. Perubahan sikap yang tiba-tiba itu, membuat Jyushimatsu menaikan satu alisnya dan bertanya "Mau kemana Karamatsu-nii san?"
"Danau suci," jawab Karamatsu singkat lalu menutup pintu dari luar.
Seharian penuh sang kepala biarawan tak menyentuh pekerjaannya. Kini pria itu mengendap-endap pergi ke hutan. Jyushimatsu hanya bisa patuh mengikuti manusia itu. Meski suara sang malaikat di dengarnya, Karamatsu memilih untuk mengabaikan nasehat Jyushimatsu.
"Karamatsu nii-san...." Senyuman Jyushimatsu memudar. Dia menyerah untuk membujuk Karamatsu kembali ke gereja.
"Maaf Jyushimatsu. Aku sudah lelah." Karamatsu memaksakan senyumnya. Pria itu melewati beberapa pohon tinggi yang gersang, melewati semak-semak kering. "Aku ingin mengikuti kata hatiku....meski hanya untuk sekali saja."
Jyushimatsu merapatkan mulutnya. Sebelum ia bertugas menjaga Karamatsu, dia adalah malaikat yang menjaga Dekapan. Sudah cukup lama ia menetap di gereja. Jyushimatsu tahu betul masa lalu Karamatsu, dia lah yang paling memahami keinginan terbesar pria berkalung salib itu.
Karamatsu tidak terhentikan. Hanya dalam waktu singkat ia menemukan jalan setapak menuju area suci gunung Akatsuka.
Begitu memasuki area tersebut, keduanya di sambut oleh rengekan alay Osomatsu.
Sang pangeran iblis berguling-guling sampai menabrak kaki Karamatsu yang tiba-tiba muncul.
"Mmm...Osomatsu?" Pria itu menatap aneh makhluk gaib di bawah kakinya. Kelakuan iblis yang dulunya di kenalnya sebagai anak asuh pendeta Dekapan, seburuk yang di kabarkan.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Karamatsu sambil mengulurkan tangannya.
OXO
Kerutan di dahinya semakin bertambah. Ichimatsu berdiri di salah satu rak buku raksasa yang berjejer rapi memenuhi perpustakaan utama neraka. Tangannya membuka folder bertuliskan "Matsu" dalam huruf kanji.
Sang dewa kematian yang suasana hatinya kian memburuk menjejalkan folder tersebut kembali ketempatnya. Dengan langkah kesal ia keluar dari perpustakaan. Suara langkah kakinya menggema di lorong. Tanpa bersuara lebih, mulutnya komat-kamit mengutuk keberadaan seorang pangeran yang tak kunjung pulang ke istana.
Tenang saja. Osomatsu tidak pernah menyentuh hal-hal yang berbau politik. Tidak ada yang berani mempercayakan urusan berat seperti itu kepada pangeran bodoh yang senantiasa merepotkan orang di sekitarnya.
"Matsuyo dan Matsuzo....." Ichimatsu menghentikan langkahnya. Emosinya kian kacau. Dia sudah capek untuk menjadi pihak yang selalu mengetahuinya segalanya.
Matsuyo dan Matsuzo adalah sepasang suami istri. Keduanya di berkahi 6 anak laki-laki kembar identik. Dari anak pertama bernama Osomatsu, Karamatsu, Choromatsu, Ichimatsu, Jyushimatsu, dan Todomatsu.
Mereka berenam selalu bersama, melakukan hal-hal gila untuk menganggu orang lain, hanya untuk sekedar menghabiskan waktu.
Mereka semua tumbuh menjadi sekumpulan lelaki dewasa yang tak bisa diandalkan. Pengangguran, tanpa pekerjaan, tanpa uang. Hanya bisa menjadi parasit bagi kedua orang tuanya.
Itulah informasi yang tertulis di dalam dokumen berfolder "Matsu"
Sebagai dewa kematian, Ichimatsu ingat betul bagaimana saat jiwanya berada dalam tubuh seorang Matsuno Ichimatu, anak keempat dari pasangan Matsuyo dan Matsuzo.
Diam-diam setiap dia memiliki waktu luang, walau hanya beberapa menit. Ichimatsu membaca ulang dokumen yang menceritakan keluarga Matsuno. Memperlakukannya seperti dongeng pengantar tidur.
Pada usianya yang hampir mencapai 30. Matsuno Choromatsu, anak ketiga dari keluarga tersebut pergi mendahului keluarganya.
Saat di jemput oleh dewa kematian. Ia tidak bisa melupakan reaksi lelaki itu.
"Woah kau sangat mirip dengan Ichimatsu!" seru lelaki yang sudah menjadi arwah. Kedatangan sang dewa kematian selalu di tangisi/ditakuti oleh arwah yang di jemputnya. Namun saat itu Choromatsu melihatnya dengan tatapan berbinar. Dengan bodohnya terkagum-kagum oleh penampilan sang pencabut nyawa yang kebetulan saja mirip dengan saudara kembarnya.
"Ukh....Kau tidak punya kata-kata terakhir?" Sangatlah merepotkan untuk menjelaskan cara kerja reinkarnasi. Ichimatsu tidak mau menghabiskan energi hanya untuk mengoceh mengenai masalah itu. Karena pada akhirnya, setelah bereinkarnasi Choromatsu akan melupakan segalanya.
Choromatsu tidak pernah mengungkap kan keinginan terakhirnya sebagai Matsuno Choromatsu. Dia sudah menuliskan surat untuk keluarganya, katanya seolah sudah meramal kematiannya. Dan itu terdengar mengerikan di telinga Ichimatsu.
Setidaknya Choromatsu meninggalkan keluarganya dengan senyuman. Tipe hantu yang tak mempunyai penyesalan di dalam hidupnya.
Setelah itu Ichimatsu membawanya melewati sungai penghubung kehidupan dan kematian. Setelah menyebrangi sungai tersebut, tidak akan ada satupun arwah yang bisa kembali. Choromatsu di antar masuk ke ruang persidangan, dan di sanalah tugas Ichimatsu selesai. Hanya sang raja neraka yang punya hak menghakimi para arwah dan Keputusannya bersifat mutlak.
Ichimatsu tidak hanya menangani satu atau dua jiwa. Setelah berurusan dengan Matsuno Choromatsu, dia langsung pergi untuk mengerjakan tugas yang setiap detiknya bertambah.
Tanpa menonton persidangan pun. Catatan kehidupan sudah menceritakan segala hal mengenai keluarga Matsuno. Terterang dosa apa saja yang di lakukan oleh para anggota keluarga tersebut. Ada yang ringan ada yang berat. Tidak ada cara yang pasti dalam mengukurnya.
Dari keenam anak kembar. Hanya satu dosa yang tak pernah Ichimatsu ingin akui. Dosa terberat yang pernah di lakukan oleh Matsuno Choromatsu. Huruf kanji "Cinta" bertinta merah tertulis jelas di dalam data kehidupan Choromatsu.
Mau berapa kalipun Ichimatsu menyelidiki kasus yang berkaitan dengan dosa yang di lakukan oleh Matsuno Choromatsu. Hasilnya tetap sama. Tragis dan penuh drama.
".......Kumohon hentikan semua ini," gumam Ichimatsu, menahan frustasi sambil melipat tangannya di depan dada. Dia adalah dewa kematian, makhluk yang tidak di perbolehkan untuk mencampuri urusan duniawi. Tugasnya hanya sebagai penonton.
Ichimatsu hanya bisa berharap. Tragedi yang sama tidak akan terulang lagi di era ini.
Pada era yang jauh dari era modern dimana keluarga Matsuno hidup. Sekali lagi mereka berenam berkumpul kembali. Ada kesenangan ada juga kesedihan, dua perasaan itu bercampuk aduk membuat sang dewa kematian kewalahan.
Andai dia bisa melakukan sesuatu. Andai dia bisa merubah perasaan orang lain. Menghapus perasaan bernama cinta, asal muasal tragedi atau bisa di bilang sumber ketakutannya.
"Osomatsu nii-san.....Karamatsu. Aku berharap kalian berdua tidak pernah bertemu kembali."
To be Continue
A/n:
Membingungkan? Yup pada tahap segini saya juga kagak paham apa yang saya tulis. Bagaimana menurut para readers? Gimana kalian nangkapnya coba?
Sedikit bocoran: yang pasti plot ini gak berubah dari rencana aslinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top