The Boy Drowning Again

Choromatsu menekuk bibirnya tidak tahu apa yang harus dilakukannya pada seorang lelaki yang baru saja tenggelam di danaunya. Choromatsu membawa pria tersebut ke pinggir danau.

Manusia itu masih belum siuman, berbaring tidak berdaya di tanah yang penuh rumput dan bunga-bunga liar. Apa ini yang dinamakan Deja-vu? Bagi Choromatsu yang memiliki tubuh hampir abadi, rasanya seperti hanya beberapa hari yang lalu semenjak ia menyelamatkan seorang anak laki-laki yang juga bernasib sama dengan pria di hadapannya ini.
Bisa saja ia juga melakukan hal yang sama untuk memecahkan masalah nya ini, yaitu memanggil Jyushimatsu. Namun seharusnya pria itu memiliki malaikat pelindungnya sendiri, dimana gerangan makhluk surga tersebut? kenapa meninggalkan manusianya?

Kalau diingat kembali bukannya anak laki-laki yang sebelumnya juga tidak bersama dengan malaikatnya? Apakah gerbang wilayahnya menghalangi mereka? Seharusnya tidak bukan?

“Ini kedua kalinya manusia biasa memasuki wilayahku,” keluh Choromatsu kewalahan. Makhluk yang berwujudkan lelaki muda itu menyentuh tubuh manusia asing yang jelas membutuhkan pertolongan itu. Tangan Choromatsu meraba dada bidang pria tersebut. Tubuh yang dibalut oleh kemeja putih polos yang basah kuyup tersebut masih bergerak naik turun, tanda aman yang sedikit meredakan  kepanikan Choromatsu.

“Hmm?” Choromatsu menyadari sesuatu. Tanpa sengaja tangannya menyentuh sebuah kalung salib. Ia pernah melihat lambang tersebut, lambang yang terbordir jelas di pakaian Jyushimatsu. Ini pertama kalinya ia menemukan individu selain Jyushimatsu mengenakan lambang salib.

Rasa penasarannya naik. Choromatsu menunduk, mendekatkan wajahnya pada kalung yang masih dikenakan si pria. “Jangan-jangan pria ini...” sambil memainkan liontin kalung tersebut, Choromatsu mengintip wajah lelaki itu.

“Satu-satunya nama manusia yang pernah kudengar hanyalah kepala biarawan muda, Karamatsu.” Sang penjaga danau menjauhkan dirinya dari pria yang diduganya bernama Karamatsu tersebut. Sepasang mata bagaikan Emerald terus memperhatikan Karamatsu. Dibandingkan Choromatsu yang kurus dan berkulit pucat, Karamatsu nampak berisi dan memiliki tubuh yang lumayan kekar. Mungkin karena terlalu banyak menghabiskan waktu di hutan kulit Karamatsu memerah terbakar matahari, membuatnya memiliki warna yang hampir mendekati tan.                

Choromatsu merebahkan tubuhnya disamping Karamatsu. Dengan posisi miring ke arah sang biarawan, ia nampak menikmati saat-saat ia dapat mengamati manusia tersebut. Entah kenapa keberadaan Karamatsu membuatnya nyaman.

Hilir-hilir angin musim panas yang hangat menerpa mereka berdua, begitu juga dengan kelopak-kelopak bunga berwarna-warni yang baunya harum semerbak. Kalau di biarkan begitu saja cepat atau lambat pakaian Karamatsu akan kering dengan sendirinya, begitu pikir Choromatsu di tengah-tengah melawan rasa kantuknya.

“Choromatsu nii-san!” sebelum Choromatsu dapat menutup matanya, suara berat yang familiar membangunkan dirinya. Jyushimatsu terbang ke arah mereka lalu mendarat sekitar dua-tiga langkah dari tempat mereka berbaring.
Malaikat itu melihat Karamatsu dengan tatapan ragu, seolah ada sesuatu yang dilakukan pria tersebut sampai membuatnya tidak bisa mengatakan apapun.

“Jyushimatsu ?” Choromatsu yang tidak menyadari ekpresinya memanggilnya heran. “Kau datang di saat yang tepat. Manusia ini tenggelam di danau dan terpaksa aku harus menyelamatkannya,” terangnya sekaligus bangkit berdiri.

“Apa kau mengenalnya?” tanya Choromatsu. “Dia membawa lambang salib jadi kukira namanya Karamatsu. Salah satu manusia yang kau bilang memiliki kebijaksanaan di atas rata-rata....Meskipun dia juga satu-satunya manusia biasa yang pernah kau ceritakan padaku haha...”  

Choromatsu tertawa garing. Entah kenapa malaikat yang biasanya sangat bersemangat itu sedari tadi hanya diam saja dan memasang raut muka yang sukar dijelaskan. Tidak lama kemudian Jyushimatsu mengangguk. “Dia memang Karamatsu yang kumaksud,” katanya.

“Bagaimana bisa dia sampai kesini?” tanya Choromatsu lagi. “Dia pemimpin gereja bukan? Bisa gawat kalau orang-orangnya mencarinya.”

“Choromatsu nii-san,” panggil Jyushimatsu lembut. Malaikat itu akhirnya menoleh pada si penjaga danau, memberikan senyuman lebar terbaiknya. “Maaf,” ucapnya tiba-tiba. “Karamatsu adalah manusia yang kubimbing.”

“O-oh,” Choromatsu mengganguk mencoba memahami. “Lalu kenapa kau minta maaf padaku? Memangnya kau yang menenggelamkan manusia ini ke danauku?”

“A..Apa yang terjadi?”

Mulut Jyushimatsu terbuka hendak menjelaskan semuanya. Namun sayangnya suara pihak ketiga menghentikannya. Karamatsu siuman. Pria tersebut bangkit dari berbaringnya, duduk dan memperhatikan sekelilingnya. Choromatsu masih tidak mempermasalahkannya sampai akhirnya pandangan Karamatsu mendarat pada dirinya.

“Tunggu kau...Penjaga danau suci!” tiba-tiba Karamatsu berteriak sambil menudingnya. “Apa aku tenggelam di danaumu?” tanya pria itu setelah menyadari tubuhnya yang basah kuyup. “Aaah setelah bertengkar dengan Jyushimatsu tidak kusangka aku masih bisa bertemu denganmu, Choromatsu-sama!”

Ini terlalu tiba-tiba, bahkan Choromatsu tidak tahu harus berbuat apa. Si penjaga danau hanya membeku di tempatnya sementara Jyushimatsu pura-pura masa bodoh dengan berpaling melihat arah lain, masih memasang senyum lebarnya itu.

Melihat situasinya kelihatannya Jyushimatsu masih enggan untuk menjelaskan semua ini. Choromatsu mendekati Karamatsu, duduk di sebelahnya. Seketika wajah sang biarawan bersemu merah. Pria itu menjadi sangat gugup.

“Kau bisa melihat kami?” tanya Choromatsu. Mau tidak mau dia sendiri yang mencari tahu, sebenarnya apa yang telah terjadi dengan Jyushimatsu dan Karamatsu. “Berapa hari yang kau butuhkan untuk sampai ke tempat ini?”

“Kurang lebih seminggu?” jawab Karamatsu. “Aku sampai lupa menghitung hari. Waktu itu aku juga tidak percaya kalau ternyata memang benar ada malaikat yang selalu mengikuti kita haha...”

“Sebelumnya dia tidak bisa melihatku,” tambah Jyushimatsu lalu ikutan duduk di sebelah Choromatsu. “Dia hanya manusia biasa yang kebetulan saja dipilih sebagai kepala biarawan di usianya yang muda,” terangnya.

“Oi kau tidak perlu bilang begitu kan Jyushimatsu?” protes Karamatsu. “Rasanya terdengar seperti kalau aku tidak punya kemampuan padahal aku adalah kepala biarawan!”

“Ketika kerjaanmu tidak beres Kamimatsu yang memperbaikinya!”

“Tentu saja karena dia asistenku, itu pekerjaannya!”

“Haha...”

Melihat mereka berdua yang berdebat seperti itu, Choromatsu terkekeh geli. Pipinya memerah dan bibirnya yang bagaikan kelopak sakura di musim semi tersenyum ramah. Jantung Karamatsu berdetak lebih cepat daripada biasanya, berpikir jika sang penjaga danau lebih daripada yang dikatakan legenda.

Makhluk mulia yang hampir mendekati kesempurnaan, aura yang membuat orang takjub. Meskipun Jyushimatsu juga memiliki dua hal tersebut namum Karamatsu lebih terpana oleh keberadaan Choromatsu. Di sisi lain dari kekagumannya terhadap penunggu danau suci, Karamatsu bisa merasakan sebuah penyesalan yang tersembunyi di lubuk hatinya yang paling dalam.

Perasaan misterius itu muncul dari bawah alam sadarnya, bahkan dirinya sendiri tidak mengerti.

“Singkatnya. Karamatsu nii-san bukan sepenuhnya orang biasa. Tidak seperti para penyihir yang mempunyai indera keenam sejak lahir, dia adalah orang yang memiliki kemampuan tersebut setelah sesuatu terjadi pada dirinya,” jelas Jyushimatsu. “Aku tidak tahu apa yang memicunya tapi—“

“Di hutan dia tidak bertemu dengan harimau dan kau terpaksa membantunya bukan, Jyushimatsu?” sela Choromatsu. Entah maksudnya candaan atau apa tapi dia mengatakannya dengan wajah datar.

“Ha!? Di hutan ini ada harimau!?” teriak Karamatsu dan Jyushimatsu bersamaan. Wajah keduanya pucat ketakutan.

“Kalian tidak tahu? Jangan ganggu mereka karena mereka adalah teman-temanku,” ujar Choromatsu bersedekap dada. “Apalagi mereka adalah favorit Ichimatsu.”        

“Ichimatsu?” Karamatsu menaikan salah satu alisnya.

“Sang dewa kematian,” jawab Jyushimatsu singkat. “Karamatsu nii-san tidak jadi seperti ini karena aku melanggar aturan apapun!” lanjutnya berusaha meyakinkan Choromatsu.

“Pasti ada pemicunya bukan?” tanya Choromatsu dengan nada bosan. Sebenarnya dia tidak terlalu peduli dengan keadaan Karamatsu karena sebenarnya keadaan si biarawan lebih bagus seperti ini menurutnya. Habisnya, kalau Karamatsu tidak bisa melihat dirinya ataupun Jyushimatsu mereka bertiga tidak akan bisa berinteraksi bukan? Dan menurutnya Karamatsu cukup menarik, setelah ini dia berencana ingin bertanya banyak hal mengenai dunia luar.

Seperti apakah Karamatsu pernah pergi ke laut atau pernah bertemu dengan raja dan ratu yang katanya dapat memerintah manusia lainnya.

Choromatsu ingin tahu bagaimana persepsi seorang manusia mengenai jaman modern ini.

Sebagai makhluk yang tidak pernah meninggalkan wilayahnya tidak ada salahnya kan untuk mempunyai rasa ingin tahu sebesar ini? begitu pikirnya.

“...Sebelum aku bisa melihat ataupun mendengar hal-hal gaib aku terserang demam yang cukup tinggi,” kata Karamatsu. “Aku merasa seperti pecundang. Bisa-bisanya aku terserang demam di tengah hutan, terlebih lagi di musim panas.”

“Padahal katanya orang bodoh tidak bisa sakit,” komen Choromatsu. “Hanya orang bodoh yang percaya akan legenda ku bukan? Bahkan sampai mati-matian mencarinya...”

“A-apa yang kau katakan!?” tiba-tiba saja Karamatsu berdiri, wajahnya merah karena marah. “Pada akhirnya aku menemukanmu bukan?”  

...

Hari kelima setelah Karamatsu memutuskan untuk pergi mencari danau suci di dalam legenda kuno. Sambil membawa sebuah kantong kain pria tersebut terus menyusuri hutan, tanpa peduli arah mata angin. Selama arah tersebut belum di lewatinya ia akan terus berjalan dan pada malam harinya berkemah.

Malam itu, Karamatsu berkemah di pinggir sungai. Sungai tersebut adalah satu-satunya mata air di desa. Arus sungai sampai ke bawah kaki gunung, tempat para penduduk.

Karamatsu memutuskan untuk memancing. Selama menunggu umpannya dimakan, kebiasaannya yang baru-baru ini muncul kian menjadi. Rasa gatal di lehernya masih belum menghilang. Namun pada hari itu ia merasa semakin tidak enak badan. Selain rasa gatal, ia juga jadi sering batuk. Selama perjalanan ia juga cepat lelah dan mengeluarkan keringat yang berlebihan.

Malam itu Karamatsu tidak bisa menyantap makan malamnya. Kondisinya tidak memungkinkannya untuk memancing. Akhirnya pria itu memutuskan untuk tidur lebih awal.
Jyushimatsu yang selalu mengikuti Karamatsu merasa prihatin dengan kondisinya. Malaikat itu mendekat, memperhatikan kondisi mengenaskan manusia yang di bimbingnya. Nafas Karamatsu tersenggal-senggal seperti habis berlari marathon, mukanya merah seperti kepiting rebus.

“Aaah dia bisa mati kalau dibiarkan seperti ini terus!” seru Jyushimatsu panik. Biasanya bahkan hewan pun tidak akan bisa mendengarkan suaranya. Namun hari itu Karamatsu terbangun karena teriakannya.

“S-siapa?” tanya Karamatsu lemah.

Jyushimatsu menatap horor pemandangan Karamatsu yang berlahan membuka matanya dan mulai berbicara padanya.

“Kenapa kau ada di tengah hutan seperti ini?” tanya Karamatsu lagi di sela-sela nafasnya yang berat. Hanya dengan berbicara saja sepertinya pria itu sudah melakukan hal yang paling melelahkan di dunia ini.

“Kau...Bisa melihatku?”  Jyushimatsu balik bertanya seraya menunjuk dirinya sendiri.

“Hah...tentu aku melihatmu dengan jelas...Tapi cahaya...cahaya apa ini?...”

Karamatsu tersilaukan oleh cahaya suci Jyushimatsu, bersamaan dengan kondisinya yang semakin melemah akhirnya dirinya pingsan.

Jyushimatsu mematung di tempatnya. Setelah berpikir keras ia memutuskan untuk menyembuhkan Karamatsu dengan sihirnya. Proses penyembuhan Karamatsu lebih lama daripada seharusnya. Ada sesuatu yang menghalangi energi Jyushimatsu, membuatnya harus menguras staminanya lebih banyak.

Keesokan harinya Karamatsu sembuh total. Dirinya segar bugar dan masih ingat ‘pertemuan’ nya dengan Jyushimatsu. Mulanya Jyushimatsu ragu untuk mengungkap jati dirinya namun kondisi Karamatsu yang misterius itu  tidak bisa di abaikannya.

“Aku malaikat pelindungmu....”

Jyushimatsu menjelaskan semuanya pada Karamatsu. Manusia yang dulunya bahkan tidak bisa melihat malaikat pembimbingnya sendiri itu sekarang bahkan bisa melihat peri-peri kecil yang berterbangan di tengah hutan. Dengan mata kepalanya sendiri Karamatsu menyaksikan apa yang tertulis di buku-buku dongeng.

Hal tersebut membuatnya semakin percaya akan keberadaan sang penjaga danau suci, yang sebenarnya malah membuat Jyushimatsu merasa terbebani.

Kalau sampai Karamatsu bertemu dengan Choromatsu, biarawan itu pasti akan terseret berbagai masalah yang mengancam nyawanya. Bukan. Semenjak Karamatsu bukanlah ‘orang biasa’ lagi berbagai hal bisa mengancam nyawanya.

Hanya saja kasus yang paling memungkinkan saat ini adalah rencana misterius sang pangeran iblis dan dendam pribadi si penyihir muda pada desa—kedua makhluk merepotkan tersebut berhubungan dengan Choromatsu!

“Aku tidak ingin kau bertemu dengan Choromatsu nii-san!”

“Kumohon...Meskipun hanya sekali dalam seumur hidupku...”

Pada akhirnya mereka bertengkar. Karena kekeras kepalaan Karamatsu pria itu tetap melanjutkan perjalanan, ia tetap ingin mencari danau suci meskipun tanpa bantuan Jyushimatsu. Sementara Jyushimatsu. Sebelum ia pergi mencari Osomatsu ia kembali ke gereja, memutuskan untuk membantu teman-temannya yang ada disana dan mengabaikan kepala biarawan yang keras kepala dan suka nekat itu.
.
.
...
......
...............To be Continue

     
    
                              

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top