The Bond Which Binding Us
“Uji nyali huh...” Osomatsu menghela nafas lelah seraya mengacak belakang rambutnya. Iblis yang masih dalam penyamaran tersebut berjalan santai mengelilingi pasar di tengah desa. Selama ia masih tinggal di gereja ia tahu jika sepasang mata merahnya sangat menonjol dan menarik perhatian orang, memang sedikit menguras energinya namun ia masih harus tetap merubah warna bola matanya.
Manik yang seharusnya semerah batu rubi tersebut kini telah berubah menjadi coklat gelap hampir mendekati hitam. Matanya yang seperti biji almond memperhatikan sekitarnya dengan mulut tertutup rapat, menunggu kesempatan yang paling baik untuk berinteraksi dengan manusia; kaum yang berbeda jenis dengannya sekarang.
Pada suatu siang di tengah desa. Jalanan pasar penuh dengan orang-orang. Meskipun banyak desas-desus bahwa seorang penyihir ingin merusak kedamaian mereka namun belum terlihat jelas dimata para pendatang, salah satunya adalah Osomatsu.
Tidak banyak yang berubah. Desa pinggiran dimana ia sempat menghabiskan waktunya saat masih hidup di wadah manusia itu masih tentram dengan penduduknya yang kolot.
Orang-orang memperlakukan Todomatsu seperti hantu atau makhluk dari dunia lain. Nama anak itu jadi seperti sebuah spesies yang berbeda dari kaumnya sendiri, memperlakukannya seperti sebuah hiburan. Meskipun kata Ichimatsu tidak semua penyihir sejahat image yang dikatakan para manusia biasa, tapi siapa tahu dengan si Todomatsu ini bukan?
Apalagi setelah berkeliling selama seharian Osomatsu mendengar kabar jika si penyihir muda itu meracuni penduduk dengan menumbuhkan beberapa tanaman beracun. Seperti sebagaimana Choromatsu pernah menegur Todomatsu, Osomatsu hanya menguping tapi si penjaga danau memang sering membahasnya.
“Ma..Marcoo!”
Osomatsu yang tengah berjalan sambil memegangi dagunya; kebiasaanya setiap kali berpikir keras, tiba-tiba saja mendengar suara teriakan. Ia segera berlari kecil menghampiri sumbernya. Di depan sebuah toko kelontong seorang pria separuh baya sedang menangis sembari memeluk seorang pemuda berlumuran darah. Osomatsu menaikan kedua alisnya, tanpa sadar dirinya sudah berada di bagian paling depan dari kerumunan orang-orang yang juga penasaran dengan situasi tragis bapak tersebut.
“Lihat. Dia salah satu orang yang pergi ke tempat si penyihir bukan?”
“Padahal sudah tahu kalau tempat itu berbahaya masih saja pergi kesana untuk bermain-main.”
“Bukan. Katanya baru-baru ini ada gerombolan yang datang dari kota mau membasmi si penyihir, mungkin....”
"Oh...Tindakan kepahlawanan huh? Padahal ayahnya sudah tua dan ibunya sedang sakit.”
“Mungkin dia dibayar oleh mereka?”
Dari berbagai arah Osomatsu dapat mendengar bisikan-bisikan mereka, membicarakan si pria separuh baya dan pemuda bernama Marco tersebut. “Eeh...Jadi begitu,” gumamnya seraya mengangguk kecil. Tanpa banyak berpikir lagi Osomatsu mendekati pasangan ayah-anak tersebut mengabaikan gerombolan di belakang yang terkejut oleh tindakannya.
Osomatsu berjongkok lalu memeriksa nadi Marco. Meskipun denyutnya lemah namun pemuda tersebut masih hidup. Diam-diam ia menyalurkan energinya sedikit pada pemuda tersebut, mengulur waktu sampai ia sendiri dapat mencari jalan keluar untuk menyelamatkan Marco, manusia yang baru saja ditemuinya ini.
“Tenanglah dia masih hidup,” katanya lalu menarik tubuh Marco dan menggendongnya di punggung. Ayah Marco sampai di buatnya bengong. Osomatsu memang menyamar menjadi manusia namun pakaian yang sedang dikenakannya bukanlah pakaian lusuh yang dikenakan sehari-hari oleh para rakyat jelata. Setelan jas hitam yang dikenakan sang iblis telah ternoda dengan segala darah yang dikeluarkan oleh pemuda yang ada di punggungnya.
Tentu Osomatsu tidak memperhitungkan noda tersebut. Warna merah dari cairan kental tersebut pada akhirnya juga akan membaur dengan warna hitam pakaiannya.
“Kenapa?” tanya Osomatsu menunggu si pria separuh baya untuk segera berdiri dan membawanya ke klinik terdekat. “Pemuda ini kehilangan banyak darah kalau tidak cepat...”
“Ke-kesini!” akhirnya pria tersebut cepat tanggap dan segera berlari sekuat tenaga, menuntun Osomatsu menuju ke satu-satunya klinik di desa tersebut.
Klinik tersebut hanya berupa satu ruangan yang hanya memiliki dua kasur pasien dan satu meja kerja sang dokter. Begitu mereka sampai Osomatsu berlahan meletakan tubuh Marco diatas kasur dan pekerjaan selanjutnya di tangani oleh dokter yang sudah siap setelah mendengar keributan di tengah pasar.
Wanita bersurai pirang pendek dan ikal tersebut segera memasang berbagai alat transfusi darah. Gerakannya cepat dan teliti, hasil pekerjaan yang dilakukan seorang profesional. Osomatsu diam di sudut ruangan memperhatikan dokter perempuan itu dengan seksama. Semenjak ia menjadi iblis—atau bisa di bilang kembali menjadi iblis mentalnya sedikit mengalami perubahan. Mungkin memang pada dasarnya ia adalah makhluk dari dunia lain, berbeda spesies dengan para penghuni dunia fana. Sebagai Iblis ia adalah makhluk yang kurang bersimpati dengan makhluk lain.
Namun keberadaan Choromatsu menyelamatkannya. Perasaannya pada sang penjaga danau mengisi kekosongan dalam hatinya, membuatkannya ambisi baru, alasannya untuk tetap hidup.
“Aaah aku merindukan senyumannya....” gumamnya lalu menunduk menatap kedua kakinya. “Padahal selama ini aku sudah puas hanya dengan memperhatikanmu dari jauh...”
“A-anu...” Osomatsu menoleh dan mendapati wajah ayah Marco yang menegurnya. “Terima kasih kalau tidak ada tuan mungkin anakku...” tiba-tiba saja pria tua itu membungkuk badannya dan kembali menitikan air matanya. Melihatnya Osomatsu menghela nafas pendek. Tangannya yang masih berlumuran darah Marco menyentuh pundak pria tua tersebut lalu tersenyum canggung.
“Aku hanya membantumu membawanya sampai kemari selanjutnya tergantung dia sendiri...”
“Kamu bukan warga desa ini bukan? Ini pertama kalinya aku melihatmu,” kali ini sang dokter menghampirinya. Kelihatannya situasi sudah terkendali karena wanita itu sudah bisa memasang wajah lega dan berbicara bebas dengan tamunya.
“...Bisa di bilang begitu,” jawab Osomatsu. “Apa kau satu-satunya dokter di sini?” tanyanya balik.
“Tu-tunggu tuan, ini...” entah kenapa dua orang di dalam ruangan tersebut tiba-tiba nampak terkejut dengan pertanyaanya, terutama ayah Marco.
Memangnya pertanyaanku seaneh itu? tanya Osomatsu dalam hati.
“Mungkin sekarang nona Maryl hanyalah dokter di desa terpencil ini namun sebenarnya beliau adalah...”
Osomatsu memandang pria itu heran lalu beralih menuju wanita bernama Maryl yang dimaksud. Perempuan berparas cantik yang memiliki tahi lalat di sudut bibirnya itu tersenyum.
“Aku berasal dari keluarga bangsawan,” jelasnya diikuti tawa jenaka. “Itu hanya cerita lama paman Carlos. Mengenyampingkan statusku sekarang aku hanyalah seorang dokter.”
“Ooh?” Osomatsu ikut tersenyum. “Jangan-jangan kau anggota keluarga kerajaan? Apakah gerombolan dari kota yang sedang dibicarakan warga lain ada hubungannya denganmu? ” tanyanya tanpa basa-basi. Di sungai yang jernih, kalau bisa menangkap ikan dengan tangan kosong kenapa juga harus memakai umpan?
“Kamu ini,” Maryl berkacak pinggang. “Memang aku bilang kalau latar belakangku tidak ada hubungannya dengan aku yang sekarang tapi begini-begini aku lebih tua darimu!”
Osomatsu tetap tersenyum, menyembunyikan kekesalannya. Lebih tua? Kalau saja ia mengatakan umurnya yang sebenarnya. Lupakan. Memang salahnya karena telah gegabah. Ingat ia berada di sebuah desa yang penuh dengan manusia, begitu juga dengan malaikat pelindung. Bisa jadi masalah jika malaikat pelindung orang-orang ini mencurigainya.
“Nee-san apa kamu ada hubungannya dengan gerombolan yang sedang mencari orang untuk membasmi si penyihir?” tanyanya kembali, berusaha untuk tidak menggeram.
“Yaah...” wanita itu bersedekap dada, kilat matanya seolah berniat menjahili Osomatsu. “Sebelum itu bisa aku tahu namamu?” tanyanya balik dan tetap berpura-pura bodoh.
Dasar wanita sialan dari segala pertanyaan ia memilih yang paling susah. Senyuman Osomatsu masih belum menghilang, berusaha menutupi kesebalannya terhadap manusia yang mulai sok akrab padanya. Meskipun diluarnya nampak tenang di dalamnya Osomatsu sedang panik untuk mencari sebuah nama.
“Aku biasa dipanggil Matsuno haha...”
“Matsuno-kun huh....Apa kau dari luar negeri?”
“....Aku seorang Arkeolog yang ingin mencari tahu tentang sihir dan penyihir,” jelas Osomatsu masih dengan latar belakang yang diberitahukannya pada Karamatsu sebelumnya. “Jadi kalau bisa aku ingin bertemu dengan ketua kelompok yang bertujuan membasmi penyihir itu.”
“Tapi hal-hal mengenai penyihir selain berbahaya juga tabu....” Carlos angkat suara. “Setelah melihat apa yang sudah terjadi pada anakku, Marco. Apa tuan masih ingin melanjutkan perjalanan?”
“Penyihir itu. Selain menumbuhkan tanaman beracun terkadang hewan-hewan buas peliharaannya juga datang menyerang desa....” tambah Maryl.
“Hewan..Buas?” ini pertama kali Osomatsu mendengarnya. Selama ia mengintip di wilayah danau suci tidak pernah sekalipun Choromatsu menegur Todomatsu mengenai hewan buas. “Jadi bukan hanya tanaman beracun huh...”
“Kerusakannya memang tidak terlalu besar namun tetap saja melukai penduduk,” tambah Carlos. “Sebelum gerombolan dari kota itu datang para anak muda naik ke gunung untuk uji nyali dan entah sejak kapan malah jadi populer.”
“Keberadaan penyihir itu memunculkan beberapa teori di kalangan anak muda. Memang sebagian besar meremehkannya dan naik ke gunung Cuma untuk bermain-main namun ada juga yang sungguhan ingin bertemu dengan penyihir tersebut,” jelas Maryl. “Seperti dirimu. Hanya saja jarang dari mereka yang bisa kembali dengan selamat.”
“Mereka melakukannya didasari oleh berbagai alasan huh,” Osomatsu menghela nafas panjang. “Anak itu...Maksud tujuannya jelas sekali,” gumamnya pada diri sendiri.
“Nee-san Jii-san aku masih ingin bergabung dengan orang-orang bodoh itu,”tambahnya. Ketika mengatakannya pandangan mengintimidasi Osomatsu membuat keduanya merinding, namun di saat bersamaan tekad Osomatsu telah tersampaikan pada mereka berdua.
Malam itu Osomatsu menginap di rumah Carlos dan pria separuh baya itu menjelaskan segalanya padanya.
Gerombolan yang dimaksud menamai diri mereka sebagai; The Justice, nama yang membuat Osomatsu ingin muntah mendengarnya.
Dari yang dijelaskan Carlos padanya, menurutnya mereka hanyalah segerombolan orang rasis. Apanya yang bekerja demi Tuhan kalau mereka ingin membunuh semua penyihir di dunia ini? Mungkin ia banyak bolos kelas pagi atau pun misa semasa ia masih tinggal di gereja, tapi bukannya semua keyakinan suci dan dekritnya itu ada untuk membuat kedamaian?
Apalagi memangnya salah siapa sampai membuat Todomatsu seperti itu? Mungkin memang anak itu dibebaskan oleh Dekapan, lalu apa? Tidak merubah kenyataan bahwa ia telah di diskriminasi dan mengalami penderitaan karenanya. Tidak salah lagi kalau motif si penyihir adalah balas dendam.
“Makhluk bernama manusia itu terlalu emosional huh.”
Hampir saja Osomatsu jatuh dari kursinya. Tiba-tiba saja seorang malaikat berada di sebelahnya dan mengatakan sesuatu. Wajah sang iblis sampai pucat saking terkejutnya dan malaikat—Jyushimatsu yang merupakan si pelaku hanya memberinya senyuman lebar seolah menertawakan ekpresi tololnya.
“Sialan kau...” desis Osomatsu dengan nafas berderu. Ia berpegangan pada meja sudah bersiap melepaskan energi jahatnya. Ia segera mengenali malaikat familiar itu dan tidak jadi membuat ledakan energi.
Saking gugupnya. Tetes demi tetes keringatnya berjatuhan di atas meja kayu. Untung saja Carlos sudah kembali ke kamarnya tapi berkat kejutan Jyushimatsu ia jadi paranoid, takut kalau malaikat pembimbing pria itu mendatangi ruangannya. Dengan gelombang energi ia kembali memastikan keberadaan mereka. Iya, Carlos berada di kamarnya sendiri bersama dengan istrinya, begitu juga malaikat pelindung mereka.
“Apa maumu!?” serunya dengan volume berbisik. “Kau mengejutkanku brengsek...” keluhnya. Dengan jari-jarinya ia menaikan poni-poninya, berusaha membuat dirinya lebih segar.
“Ini pertama kalinya aku melihatmu setakut itu, pangeran haha....”
“Ini sama saja aku masuk ke sarang musuh!”
“Padahal kalau para malaikat mengetahui identitasmu mereka juga tidak akan berani menyentuhmu. Melukaimu berarti menyalakan api perang dan untuk saat ini surga tidak mau berperang dengan neraka,” jelas Jyushimatsu. “Kau tidak perlu setakut itu.”
“....huh,” Osomatsu mendengus sebal. “Menghadapi 1000 dari kalian juga tidak akan menghabiskan seperempat dari energiku,” ujarnya sombong.
“Tentu,” Jyushimatsu mengangguk mantap. Siapa sangka jika malaikat itu begitu saja menerima kesombongan iblis di hadapannya ini. Tapi jika pangeran sendiri yang mengatakannya, mungkin saja bukan omong kosong belaka bukan?
“Kau pasti punya alasan tersendiri huh, pangeran?” tanyanya masih memasang senyum lebarnya, yang dari luar terlihat seperti senyuman anak-anak yang polos namun entah kenapa malah membuat Osomatsu ingin menamparnya.
Itu karena setiap kali Osomatsu mendapatkan senyuman ‘polos’ tersebut rasanya malaikat itu menyembunyikan sesuatu darinya. Main petak umpet itu seharusnya tugasnya para iblis bukan? Osomatsu jauh merasa lebih mendingan jika Jyushimatsu marah padanya seperti ketika terakhir kali ia berjumpa kembali dengan Karamatsu, yang akhirnya di buat kacau olehnya dengan memasang mantra pada si biarawan.
Osomatsu menyandarkan tubuhnya pada sandaran keras kursi kayu. “....Kalau Tougou tahu aku berkeliaran di dunia manusia si brengsek itu pasti akan merantaiku di penjara bawah tanah,” katanya seolah berbicara pada api di dalam lantera penerang ruangan tersebut. Jyushimatsu berada di sisi lain menatap punggung Osomatsu yang sekilas terlihat kesepian. Sesuai kabarnya hubungan pangeran dan raja iblis memang tidak akur ya.
“Kesempatanku untuk bertemu si penjaga danau bisa hilang. Kalau seperti itu lebih lain selamanya saja aku hanya bisa mengamatinya dari kejauhan...”
“Kau sampai seperti ini hanya untuk bertemu dengan Choromatsu nii-san huh,”Jyushimatsu bersedekap dada, membiarkan kedua lengan bajunya kelongaran menguntai. “Padahal hanya melihatnya dari jauh tapi kau benar-benar mencintainya.”
“Habisnya...Siapa juga yang tidak jatuh cinta pada makhluk secantik dirinya,” bisik Osomatsu malu-malu, wajahnya merah sampai ke leher. Apalagi dari semua orang di tiga dunia ini kenapa harus Jyushimatsu yang menjadi teman curhatnya!?
“Hahaha,” parahnya lagi malaikat itu malah menertawakannya. Jyushimatsu memegangi perutnya yang mulai keram karena terlalu banyak tertawa. “Cinta pada pandangan pertama huh...” katanya di sela ia mengusap air matanya.
“Lupakan!” Osomatsu menarik lengan Jyushimatsu dan menutup mulut malaikat itu. Wajah si iblis masih panas dan merah tapi masih mencoba mengintimidasi si malaikat dengan melotot. “Padahal beberapa waktu yang lalu kau murka padaku dan sekarang kau menertawakanku. Sebenarnya apa keperluanmu dan kenapa kau tidak bersama Karamatsu!?”
“Ooh..” Jyushimatsu ber-oh santai. Saat ini bisa dibilang kalau tubuh bagian atasnya sedang ada di pangkuan Osomatsu. Sepasang mata emasnya melirik ke atas tepat menusuk kedua manik yang telah berubah warna. “Karamatsu sedang liburan dan untuk beberapa alasan aku tidak ingin menemaninya,” jawabnya.
“Haah!? Kau mangkir dari pekerjaan?” Osomatsu menaikan salah satu alisnya, memandang Jyushimatsu keheranan. Setelah bagaimana malaikat tersebut melindungi manusia tersebut sekarang dia malah tidak ingin menemaninya?
“Apa kau bertengkar dengannya? Tunggu...Dia kan tidak bisa melihatmu. Bagaimana bisa ia bertengkar denganmu?”
“Karamatsu nii-san sedang...Ia hanya ingin memuaskan rasa penasarannya. Yang mangkir dari kerjaan itu malah dia. Sekarang ia tidak sedang berada di gereja melainkan berkeliaran di tengan gunung, berusaha memecahkan misteri legenda sang penjaga danau suci,” jelas Jyushimatsu secara berlahan. Ia merasa kalau terlalu cepat bisa saja Osomatsu mengamuk dan salah tanggap. Entah kenapa tapi instingnya berkata demikian.
Malaikat memiliki kemampuan untuk menerawang jiwa. Jiwa manusia maupun jiwa makhluk gaib, mereka semua berhubungan. Bahkan ia tidak pernah mengatakannya pada Ichimatsu. Jika jiwa mereka berenam—Osomatsu, Karamatsu, Choromatsu, Ichimatsu, dirinya, dan Todomatsu saling terikat. Seperti sebuah tali setiap ikatan diantara mereka berbeda warna namun yang paling menonjol adalah Osomatsu dan Karamatsu.
Saat ini Jyushimatsu hanya bisa menyimpulkan jika ikatan yang menonjol itu ada karena kehidupan masa lalu mereka.
“Dia...Tidak berencana mencari Todomatsu bukan?” tanya Osomatsu bersamaan dengan melepaskan tangannya dari Jyushimatsu. Ekpresi tidak bisa dibaca tapi cukup membuat si malaikat was-was.
“Saat ini ia lebih fokus untuk mencari wilayah Choromatsu nii-san,” jawab Jyushimatsu.
“Tidak banyak yang bisa kesana apalagi manusia biasa seperti Karamatsu. Sedikit mengecewakan tapi dia tidak akan menemukan apapun,” ujar Osomatsu lagi terdengar lebih ringan. “Beda cerita kalau ia ingin bertemu dengan Todomatsu, tapi jika memang itu niatnya aku akan berusaha menghentikannya. Penyihir itu kelihatannya lebih berbahaya daripada yang kita duga...”
“Hmm,” Jyushimatsu mengangguk kecil tidak bisa menatap Osomatsu.
“Lalu...”
*Tok tok
“Matsuno-san apa sudah tidur?” di tengah pembicaraan mereka tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu yang akhirnya di susul oleh suara Carlos.
Tanpa membalas apapun Osomatsu beranjak dari tempatnya lalu membukakan pintu, sementara Jyushimatsu tetap di tempatnya berharap jika malaikat pembimbing Carlos tidak melihatnya.
“Ada perlu apa, Jii-san?”
“Kepala desa ingin bertemu denganmu besok. Kelihatannya beliau mendengar kabarmu dari salah satu warga yang melihatmu menolong Carlos. Mungkin dengan begini kamu juga bisa bertemu dengan ketua The Justice,” terang Carlos.
“....Tidak kusangka aku memiliki kesempatan secepat itu,” gumam Osomatsu lirih. sudut bibir Osomatsu menyungging. Carlos tidak dapat melihat senyuman licik si iblis karena dari sisinya Osomatsu sedikit menunduk dan terlihat seperti berpikir sejenak dengan kedua tangan berada di pinggang.
“Besok pagi aku akan mengantarkanmu.”
“Terima kasih,” sahut Osomatsu sebelum Carlos kembali ke kamarnya sendiri.
Setelah memastikan sosok pria tersebut menghilang Osomatsu menutup pintunya. Ketika membalikan badannya ia segera bertatapan pandang dengan Jyushimatsu. Sang malaikat berdiri di tempatnya, nampaknya ada sesuatu yang ingin di sampaikannya. Jelas saja, mana mungkin malaikat seperti Jyushimatsu mendatangi Osomatsu hanya untuk mengganggunya bukan?
“Osomatsu bukan?” tanya Jyushimatsu mencoba meyakinkan dirinya sendiri, karena selama ini ia selalu memanggil Osomatsu dengan julukan pangeran. Osomatsu mengangguk meng-iyakan.
“Kelihatannya aku datang di saat yang tepat. Akan repot jadinya kalau jati dirimu ketahuan oleh orang-orang The Justice itu.”
“Ha? Aku juga tidak mau ada manusia biasa yang ikut campur urusanku,” protes Osomatsu. “Kau berkata seolah-olah mereka akan langsung tahu jati diriku hanya dengan sekali bertemu.”
“Hmm,” Jyushimatsu mengangguk pelan. “Iya, jika mereka memang manusia biasa.”
“Jyushi-kun kau membuatku penasaran,” Osomatsu mendekat lalu mencengram salah satu pundak Jyushimatsu. Sambil melotot ia mendekatkan wajahnya, seperti preman yang memalak orang di tengah gang sepi. “Caramu berbicara seperti seolah-olah aku ingin mereka mengetahui jati diriku.”
“Kapan aku mengatakannya?” balas Jyushimatsu seraya menyingkirkan tangan Osomatsu dari pundaknya. “Aku Cuma mau bilang kalau gerombolan yang akan kau temui besok itu bukan orang-orang biasa!”
“Ha??”
Osomatsu nampak kebingungan. “Jadi dengarkan aku dulu,” ujar Jyushimatsu lebih menekan. “Aku juga baru-baru ini mengetahuinya bukan salahmu kalau kau juga tidak tahu mengenai masalah ini.”
“Tsk,” Osomatsu mendecih. Iblis itu menjauh dari Jyushimatsu dan lebih memilih untuk duduk di kursi yang bersebrangan dengan malaikat tersebut. Matanya tidak lepas dari pihak kuning, memelototinya seperti Jyushimatsu adalah mangsanya. “Jelaskan padaku!” mintanya dengan nada memerintah.
“Tentu. Karena masalah ini berhubungan dengan kita semua...”
To be Continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top