XXIII. Pengobat Hati
BAB XXIII
Pengobat Hati
.
.
.
Jendela kamar yang terbuka lebar kini menjadi penghubung antara ruangan dan langit malam, udara dingin musim gugur membuat si gadis mengeratkan mantelnya. Walau rembulan bersinar terang, dirinya tak merasakan kedamaian atau terpesona karena melihat hal itu. Entah kenapa, pikirannya membawa kepada sosok lelaki yang terlihat amat berbeda tadi.
Hatinya berbisik, mendoakan agar hubungan antara Kakak dan Adik yang tak terlalu akur—apalagi dirinya melihat secara terang-terangan bagaimana sang Raja Muda terlihat tak suka kepada si Half Blood, membuat Arran semakin merengkuhkan tangan untuk berdoa kepada sang Pencipta. Yang ia tahu, Ouran benar-benar tak menginginkan Ourin berada di istana, bahkan Kerajaan Ferifatyn ini.
Pintu yang berderit menandakan seseorang telah masuk ke kamarnya, dari arah belakang, sosok itu terdengar melangkahkan kaki dan mendekatinya. Berdiri di samping tubuhnya dan melihat ke arah langit malam di depan jendela.
"Paduka Raja, kenapa ... kenapa tidak percaya kepada iblis? Tuan Daveus dan Ourin sangat baik hati, hamba—"
Desah napas terdengar, Ouran yang berada di sampingnya kini menyandarkan kepala ke kusen jendela.
"Arran, jangan menggunakan kata itu untuk menyebutkan dirimu. Aku tak menyukainya, berkelakuanlah seperti biasa, saat ada di sampingku. Sebut namamu, Arran."
Matanya yang perak kini mengarah ke wajah si gadis yang terlihat bingung. Seperti memikirkan apakah yang dilakukan benar atau salah.
"Tetapi, Paduka Raja, itu sangat tidak sopan. Nyonya Elsa bilang—"
"Aku yang menginginkannya, Arran. Apa kau tak mau mengabulkannya?"
Si gadis terlihat gelagapan, gelengan kepala dengan cepat ia lakukan, dengan kedua tangan yang mengibas-ngibas pula agar Sang Raja memercaianya. Namun, sebelah tangannya kemudian digenggam, dibawa oleh tangan yang lebih besar dan kuat itu untuk menyentuh wajah Raja Sahraverta. Lelaki itu terlihat memejamkan mata.
"Paduka Raja?" suaranya nyaris berbisik, merasa tak mengerti kenapa lelaki ini berkelakuan agak aneh, masih dengan sebelah tangan yang menggenggam punggung tangan Arran dan menyentuhkannya ke pipi pemuda itu.
"Panggil aku Ouran." Kelopak mata yang terpejam, sekarang terbuka, menatap sang Gadis Berambut Kemerahan dengan sorot perak yang teramat serius.
Tidak tahu harus mengatakan apa, Arran pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum kecil.
Mereka terdiam untuk beberapa saat, kemudian si gadis mengingat bahwa ia menanyakan sesuatu tadi, walau tidak mendapatkan jawabannya.
"Jadi, O-ouran, kenapa tidak mau berbaikan dengan Ourin?" tangannya ia tarik dari pipi sang Raja dan ia menundukkan pandangan. "Ourin, dia selalu terlihat sedih, dan Ouran selalu terlihat menderita."
"Ada sesuatu yang bisa kaucampuri dan yang tidak perlu kaucampuri, Arran. Itu adalah masalahku dengan si Half Blood."
Menatap kecewa, Arran pun hanya terdiam dan menganggukkan kepala, gadis itu lalu berpamit diri untuk beristirahat dan meninggalkan Ouran yang berdiri sendirian di depan jendela dengan alis yang berkerut dalam dan rahang yang mengeras.
Gadis itu melangkah semakin jauh, tetapi tiba-tiba tubuhnya tertarik dan dirinya sudah berada di dalam rengkuhan sang Raja, pungungnya menyentuh dada Ouran.
Terkejut bukan main, Arran lantas menolehkan kepalanya. Namun, yang ia dapat hanyalah kepala pirang yang sedang terjatuh lemah di bahu mungil yang ia miliki. Pelukan lengan kekar itu semakin mengerat, ketika ia mendengar suara lirih yang amat menyayat hati. Jantung Arran berdebar, dirinya ikut merasakan kesedihan dan penderitaan yang sedang mendera sang Raja.
"Ini ... sangat tak mudah, kumohon." Ouran tahu, ia amat berengsek saat ini. Menimpahkan kesalahan kepada Ourin, padahal ia tak jauh lebih baik dari ibu si Half Blood itu. Dirinya tak tahu harus bagaimana, jika nantinya Arran mengetahu siapa orang yang bertanggung jawab dari peristiwa pembakaran orang tua gadis itu dahulu, sungguh ia tak ingin memikirkan semua ini.
"Ouran, maafkan Arran. Arran tidak akan memaksa lagi," bisiknya sambil menggenggam jemari Ouran, mencoba menguatkan lelaki itu. "Namun, Arran tetap akan mendoakan Ouran dan Ourin, agar bisa bersatu. Itu, pasti akan sangat membahagiakan. Iya 'kan?" sebelah tangan Arran kini tengah membelai surai pirang keperakan yang masih berada di atas bahunya.
"Aku tak tahu, tetapi terimakasih, Arran." Diangkatnya kepala dan dilepaskannya pelukan sepihak itu. Ouran pun menyunggingkan senyum dan tersentak karena mendapati Arran yang menyerukan nama sang Half Blood.
Tak mau ambil pusing, sebelah telapak sang Raja mengusap pelan kepala Arran dan menyerukan agar gadis itu segera beristirahat, kemudian berjalan tanpa merasa harus bersapaan dengan lelaki yang masih berdiri di depan pintu.
Setelah Pemimpin Kerajaan Ferifatyn itu keluar dan menuju ruangannya sendiri, Ourin pun masuk dan menutup pintunya. Menatap Arran yang sudah bersiap untuk tidur dan sedang menarik selimut.
Senyuman mengembang, saat kedua tangannya membantu si gadis untuk memperbaiki posisi selimut. Sedikit penasaran dengan kehadiran tiba-tiba sang Raja di ruangan mereka berdua. Namun, sebelum bertanya, Arran sendirilah yang memberitahu maksud dari kedatangan Ouran ke tempat peristirahatan mereka ini.
"Arran ingin Paduka Raja dan Ourin berbaikan, tetapi ternyata cukup sulit, Ourin." Gadis itu menatap langit-langit kamar, lilin-lilin tergantung indah di sangkar lampu yang terbuat dari perak.
"Bukan salahmu, Nona Manis." Senyuman sang Half Blood membuat perasaan Arran menjadi lebih baik.
Laki-laki berbola mata biru sejernih awan di siang yang cerah lalu menyerukan agar si gadis memejamkan mata agar bisa beristirahat, tidak seperti dirinya, Arran hanyalah gadis biasa yang membutuhkan tidur. Setelah melihat sosok itu terlelap, Ourin pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju jendela. Menutupnya dengan korden dan mendudukkan diri di sofa yang ada di ruangan mereka.
Pikirannya kembali merenungi ucapan Arran tadi, gadis itu sepertinya telah berbicara secara langsung agar sang Raja bisa memaafkan kesalah ibunya yang telah membunuh Raja dan Ratu Sahraverta keenam. Dari pandangannya, sangat terlihat jelas kebencian yang selalu disoroti Ouran kepada dirinya. Walau ia mencoba tak mengambil hati, tetapi tetap saja kadang rasa sakit itu menghampiri, seperti sekarang ketika ia memikirkan satu-satunya adik yang ia punya ternyata benar-bener tak mengharapkannya ada di tanah ini.
"Andai saja aku bisa seperti Arran, yang dengan berani meminta pengampunan untuk diriku dan berdamai dengan adikku sendiri, mungkinkah saat itu akan tiba?" selama ini Ourin memang hanya diam dan merelakan segala yang dituduhkan adiknya itu, tak berniat melawan lagi dan mencari kebenaran atas ketidakadilan yang menimpanya. Namun, ia rasa itu sia-sia belaka, Ouran adalah Raja negeri ini, dan dia berhak melakukan apa pun atas kesalahan ibunya.
Menghela napas, Ourin menggelengkan kepalanya, permasalahan ini bukan hanya ibunya yang bersalah, tetapi ayahnya juga bersalah di sini. Ace Marcus Sahraverta lah yang paling bisa disalahkan dalam tragedi mengerikan yang menimpa dirinya dan sang Adik.
.
.
.
Lukisan sang Raja dan Ratu keenam terpampang di depan wajah sang Raja Muda, Ouran Liam Sahraverta tengah termenung sambil menatap sosok orang tua yang amat dirindukannya. Pembicaraannya dengan Arran tadi membuat ia berpikir panjang, nyaris beberapa jam dan ia tidak bisa mengalihkan pikiran yang terus berputar. Pantaskah ia merasa rasa sakit ini, di saat dirinya pun telah berubah menjadi monster keji yang sama sepert wanita iblis itu?
Arran adalah korban deri kekejiannya, gadis itu bisa teresenyum dan mengkhawatirkannya karena tak tahu bahwa dirinya adalah pembunuh kedua orang tua gadis berambut kemerahan itu. Kalau semua kebusukannya terbongkar, sudikah Arran menatap dan tersenyum untuknya lagi? Sudikah gadis itu berdekatan dan disentuh olehnya?
Setetes air mata kembali mengalir, dendam telah membutakan nuraninya. Menjadi Raja kejam yang tak kenal ampun. Menghukum sosok yang tak pantas dan tak bersalah hanya karena ego semata. Apa yang didapatnya? Tidak ada, rasa bencinya semakin tak terhingga, rasa puasnya tak jua mereda. Yang ada rasa kecewa yang kini membelenggunya, menatap sosok sang Ayah yang tak akan menjawab berbagai pertanyaan yang terus-terusan berputar di kepalanya.
"Ibunda, apakah ini karmaku? Jatuh hati kepada gadis yang orang tuanya telah kubunuh? Dia pasti akan membenciku, seperti wanita iblis itu yang membenci Ayah?" Ouran jatuh berlutut, air matanya menetes semakin banyak, kepalanya tertunduk dan kepiluan memenuhi dadanya. "Maafkan aku, maafkan aku, Arran, Kakanda."
.
.
.
Kelopak mata Arran terbuka, gadis itu membangkitkan tubuh dan mendudukkan diri. Menatap sekitar, menemui Ourin yang duduk di depan jendela, sementara angin dingin terus bertiup menggoyangkan rambut pirang si lelaki.
Menyibak selimut, kemudian melangkah dan mendekati sosok itu, Arran menatap heran pemuda yang masih entah memandang apa di luar sana. Padahal sinar bulan sedang tertutup awan dan langit benar-benar sudah tak indah seperti saat dirinya dan Ouran menatap langit malam beberapa jam yang lalu.
Ketika menyentuh kecil bahu Ourin, lelaki itu langsung tersentak, sadar akan kehadirannya, tetapi tak mau membalikkan wajah. Tentu saja membuat Arran kebingungan.
"Ourin, ada apa?" Arran semakin mendekat, dan tercekat saat ia menemukan mata sebiru langit cerah itu tengah dihiasi embun-embut lensa. Laki-laki yang masih tak mau menghadapkan wajahnya itu, tengah menangis dalam diam. "Ourin, kenapa?" desah napas terdengar, sang Lelaki mencoba menenangka diri, kemudian menghapus air matanya dengan sebelah tangan.
"Tak apa, kenapa tidak tidur?"
Gadis itu menggelengkan kepala, dan berwajah muram.
"Arran mendengar suara Ouran yang memanggil, dia kelihatan tengah bersedih dan Ourin juga melakukan hal yang sama."
Laki-laki yang sejak tadi mengalihkan wajah agar tak dilihat si gadis, kini langsung menatapnya. Bagaimana Arran bisa mengetahu apa yang tengah ia rasakan dan benarkah yang dikatakan gadis itu kalau adiknya juga tengah bersedih?
Sorot matanya redup, dan ia mengembangkan senyum untuk menghibur Arran. Namun, gadis itu tak bisa ditipu, sebelah tangan yang mungil menyentuh pipinya, jejak air mata masih tersisa di sana.
"Ouran terlihat amat besedih dan menderita, begitu juga dengan Ourin. Jangan seperti ini, Ourin. Maafkan Arran yang tidak bisa berbuat apa-apa."
Menghela napasnya, Ourin pun menarik tubuh gadis itu agar lebih dekat dengan dirinya, memeluknya dan memejamkan mata.
"Terimakasih telah menjadi obatku, tetapi mungkin Ouran lebih membutuhkan Arran. Pergilah, cari dia dan obati hatinya."
Gadis itu terdiam, terlihat berpikir, tetapi senyuman kini mewarnai wajahnya. Mengusap sekali lagi wajah Ourin dan memberikan semangat kepada lelak itu sebelum melangkah menjauh dan mencari keberadaan sosok lelaki yang sekarang tengah terpuruk dalam kubangan kesedihan dan penyesalan.
.
.
.
.
.
Bersambung
Haloooo terimakasih selalu mengikuti Ourinran. Semoga selalu semangat.
Pict: Arran Cobelt, mukanya masih unyu unyu bangettt heheheh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top