XVIII. Arvid Sahraverta

BAB XVIII

Arvid Sahraverta

.

.

.

Toko perhiasan masih menjadi tempat bagi sang Raja untuk memilah mana gelang yang paling tepat, dan ingin diberikan kepada Arran sebagai hadiah nantinya saat gadis itu berusia tujuh belas tahun tepat. Namun, sejak tadi ia belum menemukan yang terbilang cocok untuk dipakai gadis bertubuh mungil.

Kebanyakan terlalu besar dan mencolok dengan banyak permata, sementara dirinya menginginkan yang lebih terkesan sederhana, tetapi terlihat menawan.

"Yang Mulia Ouran, toko ini juga memberikan kebebasan kepada pelanggan kami untuk membuat sendiri contoh perhiasan yang diinginkan, Yang Mulia." Pelayan yang adalah seorang pria berusia dua puluh lima tahun itu menunduk ketika berbicara, kepalanya tak berani menatap sang Raja yang berdiri dengan menaruh kedua telapak tangan di atas rak lemari kaca yang tinggi hanya setengah pinggang dan merupakan tempat untuk menyimpan perhiasan sebagai contoh.

Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia ditawarkan untuk duduk di sebuah sofa tunggal dan meletakkan alat tulis berupa pena yang terbuat dari bulu angsa, tinta dan juga sebuah kertas untuk menentukan desain yang diinginkan nantinya.

Mengalihkan fokus menuju selembar kertas dan tinta, Ouran sama sekali belum sadar kalau gadis yang ditinggalnya sendiri di ruangan tunggu sudah berpindah tempat, menggerakkan kaki untuk keluar ruangan karena melihat sosok yang dikenali.

Bunyi loncong kembali berdenting ketika Arran membukan pintu toko perhiasan, matanya yang keabuan baru saja melihat seseorang yang dikenalinya dan terlihat agak kebingungan. Dirinya pun mendekati dan menarik lengan sang anak lelaki.

"Arran!" bola mata biru nan cerah seperti langit itu kini memandang sang gadis yang memengang lengannya, terkejut bukan main, tetapi juga merasa bahagia di hati. Menatap seorang yang dirindukannya karena tiba-tiba menghilang entah ke mana.

Langsung saja, ketika mendenar suara yang dirindukan pun membuat Arran memeluk sosok tubuh yang belum lebih tinggi darinya.

Charlie yang sepertinya tengah tersesat kini meneteskan air mata saat ia memeluk perempuan yang sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri.

Melepas pelukannya, Arran menggerakkan tangan dan membelai wajah Charlie, menatap intens sorot mata biru yang indah dan sekarang berkaca-kaca karena bahagia.

"Arran, aku merindukanmu. Aku kira kita tak akan berjumpa lagi, Arran." Sekali lagi, Charlie menghamburkan diri ke dekapan Arran, sekarang telapak tangan sang gadis tengah mengusap-usap rambut kecokelatan pirang milik si anak lelaki yang berusia sepuluh tahun.

"Charlie, Arran juga rindu sekali." Terperangah, Charlie langsung menegakkan tubuhnya, terheran karena untuk pertama kali ia mendengar seorang Arran yang tengah berbicara.

Tatapan matanya melebar, telapak tangan si lelaki muda kini mengelus wajah Arran yang kemerahan karena udara dingin musim gugur. Menyadari hal itu, Charlie lantas membuka syalnya dan mengalungkan kepada leher Arran. Sosok gadis di depannya ini amat berbeda, sangat cantik dan indah dengan gaun terawat dan terkesan mahal, sebuah kalung tua masih melekat di leher seperti dahulu, rambutnya ditata rapi dan juga tengah memakai sepatu kulit yang sepertinya juga adalah buatan khusus.

"Aku sangat bahagia akhirnya kau sekarang terlihat indah dan bersih, Arran. Apakah sekarang ada yang merawatmu, ah, aku juga minta maaf karena selama ini keluargaku memperlakukanmu dengan buruk. Kalau saja aku sudah dewasa, aku akan pergi untuk membiayaimu dan mengurusmu, Arran." Laki-laki muda itu menggenggam tangan Arran dan mereka mulai melangkah, dirinya sama sekali tak sadar bahwa kata-katanya termasuk ucapan yang bisa diartikan lain bagi orang dewasa. Namun, Charlie dan Arran hanyalah sosok yang sama-sama tidak terlalu paham tentang hubungan antara orang dewasa, mereka akan mengatakan apa yang terlintas di pikiran dengan ketulusan.

Menggelengkan kepala, lantas Arran tersenyum.

"Tidak apa, Charlie. Aku juga menyayangi Tuan Jim, Nyonya Crissie, Nona Alea dan Charlie tentu saja. Ah, Kakek dan Nenek penjaga kebun, Arran juga sangat sayang." Dirinya menggoyang-goyangkan tangan yang menggenggam telapak Charilie, mereka berjalan semakin menjauh dari toko perhiasan, tidak sadar bisa saja tersesat karena ingin berjalan-jalan dengan Charlie.

Terdiam sebentar sambil melihat-lihat toko roti dan orang-orang yang berlalu lalang, tiba-tiba Arran bertanya kepada lelaki muda itu.

"Eh, Charlie ke pusat desa dengan siapa? Itu berbahaya, apa jangan-jangan Charlie tersesat, ya?"

Si anak lelaki tersenyum kecil, lalu membuang mukanya karena merasa malu, perkataan Arran terlalu tepat sasaran. Diakui di dalam benaknya kalau dirinya memang tersesat hingga kebingungan setengah mati. Tidak seharusnya ia berkeliaran di saat ibunya memilah bahan-bahan kain yang akan dijahit menjadi gaun musim dingin nanti. Ia yang terlalu bosan pun memutuskan berkeliling, tetapi sayang kini malah tersesat dan tak tahu sekarang berada di mana.

"Huh, iya. Namun, sekarang 'kan sudah ada Arran. Ibu ada di toko kain Nyonya Lussy, apa Arran ingat itu di mana?"

Wajah cerah langsung menghiasi Arran, gadis itu tentu hafal seluk-beluk pusat desa ini karena dirinya cukup sering melewati berbagai tempat dan jalan yang menghubungkan rumah ke pusat desa. Kepalanya mengangguk-angguk dan mereka pun terus melangkah sambil membagi kisah.

Dari arah belakang, tiba-tiba saja punggung Arran terdorong kuat, dia pun terhempas ke tanah dengan siku dan lutut yang menahan bobot tubuh, tangannya yang mengandeng telapak Charlie, membuat anak lelaki itu ikut terjatuh di sampingnya.

"Arg!" Charlie merintih, sedang sang gadis di sebelahnya mengerutkan alis dan menggigit bibir karena menahan rasa sakit.
"Ibu!" sang anak yang terduduk di tanah menatap ibunya dengan pandangan tak percaya, ia lantas berdiri dan membantu Arran yang telapak tangannya memerah karena luka goser sebab menghantam tanah.

Wanita itu kembali mendorong si gadis hingga dia kembali terjatuh, walau anak lelakinya menghentikan tindakannya itu, tak membuat Crissie bisa bersikap tenang.

"Kau! Apa yang kaulakukan di sini? Kau yang menculik anakku 'kan?" wanita itu garang memelototi, mencercanya hingga memancing orang-orang untuk berkerumun menyaksikan peristiwa menghebohkan ini. Tidak henti, Crissie berteriak dan menyerukan agar seseorang membantunya menangkap anak gadis berambut kemerahan ini, memanggilkan prajurit yang berpatroli agar kembali ditangkap dan penjara seumur hidup.

Tangan yang berkuku panjang itu, menjambak rambut kemerehan Arran. Tak ada perlawanan yang terlihat, dirinya hanya diam saja dan membiarkan mantan Nyonya tempatnya bekerja kembali berlaku sangat buruk.

"Ibu hentikan! Ini bukan salah Arran, kumohon, Ibu!" dari samping, Charlie menarik dan menahan lengan ibunya agar jangan lagi memukul dan menjambaki rambut gadis yang dianggapnya itu sebagai saudara.

Suara ribut-ribut tiba-tiba menghening, hanya terdengar teriakan Charlie dan makian Nyonya Crissie yang masih berlanjut di tengah kerumunan. Dari arah belakang, sesosok pria berwajah menawan melangkah, rambut pirangnya sangat kontras dengan penduduk yang dominan berambut cokelat atau kemerahan.

Sebelah lengan yang ingin menampar Arran, kini terhentikan ketika adanya lengan lain yang lebih besar dan kuat menahannya. Sang Nyonya yang merasa lengannya tertahan kini tak bersuara, menghadapkan wajah ke belakang dan ingin melihat siapa yang berani menahan tindakannya ini.

Seorang laki-laki berwajah menawan menatapnya tanpa ekspresi, kemudian sebuah senyum ramah terlihat dan dengan suaranya yang berat mulai menegur perlakuan yang sangat tak pantas ditampilkan di muka umum.

"Tindakan yang tak sepantasnya diperlihatkan di khalayak umum, apakah kau adalah kaum rendah? Tidak memiliki etika dan sopan santun, mendengar suaramu membuat orang-orang tak nyaman."

Dengan kasar, lengan wanita itu dihenpaskannya, senyum tak lepas dari bibir sang lelaki, matanya yang emerald menatap anak kecil yang meneteskan air mata memeluk Arran. Disentuhnya kepala berambut cokelat ikal itu, hingga sang anak menatap wajahnya.

"Sudah tidak apa-apa." Matanya kemudian menatap wanita yang masih menyorotinya tak senang. "Apa yang kalian lihat? Tidak sepantasnya menjadikan hal seperti ini sebagai tontonan. Pergilah dan kembali kepada pekerjaan kalian!" Tentu saja, mendengar perkataan sang lelaki, rakyat Ferifatyn langsung melakukan apa yang diserukan.

Hal yang lumrah, jika laki-laki itu langsung mendapatkan perhatian rakyat, dia adalah seorang Pangeran Kerajaan Ferifatyn yang merupakan adik dari Mendiang Raja Ace Marcus Sahraverta dan merupakan paman termuda dari Ouran. Arvid Sahraverta, laki-laki yang sekarang sedang membantu Arran bediri, dan kembali tesenyum kepada Crissie yang kini menatap sebuah kereta kuda kerajaan dan datang mendekat.

Matanya yang emerald memandang ramah sosok pemuda berusia sembilan belas tahun yang turun dan berlari mendekati mereka.

"Arran!" terkejut bukan main, Crissie dan Charlie langsung bersujud.

"Paduka Raja," bisik gadis itu, dan mengembangkan senyum. Rambutnya yang acak-acakan membuat Ouran mengerutkan alis.

"Apa yang tejadi?" gadis itu menggelengkan kepala. "Sebaiknya kita pulang. Ah, Arvid, apa kau baru saja tiba?" sang Raja mengambil alih tugas Arvid yang tadinya memengangi Arran, laki-laki itu lantas membimbing si gadis dan membantunya untuk naik ke kereta kuda.

"Tidak, aku hanya senang berkeliling." Dirinya lalu melangkah, dan menghadap kepada dua orang yang masih terus bersujud. "Ah, kalian, bersyukurlah buka Yang Mulia Ouran yang menemukan gadis itu tengah kau siksa, Nyonya. Gadis itu sepertinya berharga baginya, dan jika dia menemukan hal seperti tadi, mungkin tidak hanya kepalamu yang dipenggal, seluruh keluargamu akan bernasib sama." Arvid lantas meninggalkan perempuan yang usianya di atas tiga puluh tahun itu, dan memanggil kuda putihnya dengan sebuah siulan.

Kuda itu berlari mendekat dan berhenti tepat di depannya, tersenyum kembali, Arvid mengelus tangannya di tengkuk si kuda dan kemudian menungganginya.

Sesampainya di istana, Arvid langsung masuk dan mencari kehadiran sang Raja yang sudah cukup lama tak dijumpainya. Mata emerald dan indah itu lantas menatap sang keponakan yang sedang duduk di sofa bersama si gadis misterius yang tak ia tahu siapa dia.

Ouran langsung berdiri, ketika Arvid mendekat dan memeluk lelaki yang lebih tinggi beberapa senti darinya itu.

"Kerajaan memburuk dan kau baru kembali sekarang, eh?" sinis Ouran memandang sang Paman, tetapi sosok lelaki yang berambut pirang agak terang malah tersenyum amat lebar.

"Mau bagaimana lagi, kalau Serbuk Perak tak bisa digunakan, aku pun tak memiliki kuasa. Setidaknya aku menyelamatkan rakyat dan mengobati mereka dengan wawasan ramuanku." Mengalihkan wajah kepada si gadis berambut kemerahan, senyuman kembali terlihat. "Ah, tak heran aku merasa mengenalinya, saat itu kita pernah bertemu, bukan?" Duduk di samping Arran, Arvid pun menatap tepat ke arah wajah sang gadis.

Sementara itu, Raja pun mengerutkan alis, merasa tak suka karena pamannya dekat-dekat dengan Arran, kemudian berpikir bagaimana bisa pamannya mengenal gadis ini?

"Eh, bertemu di mana?" kepala berambut kemerahan Arran tersentak, tak merasa mengingat dirinya pernah bertemu pria yang kelihatan cantik ini.

"Saat itu situasinya memang agak tak mengenakan, aku sedang meniup suling dan kau telihat ketakutan, sedang mencari kayu bakar dan sangat awas. Jadi, karena tak ingin mengejutkanmu, aku pun menghilangkan diri."

Bola mata keabuan Arran perlahan melebar, jadi waktu itu ketika ia ketakutan saat mendengar suara aneh, itu adalah laki-laki di depannya ini. Menghela napas lega, Arran pun berdiri dan belutut, sebelah lututnya menyentuh lantai dan ia memperkenalkan naman.

"Salam kenal, saya bernama Arran Cobelt."

Bagi Ouran sendiri, baru kali ini dirinya mendengar marga Arran sejak mereka bertemu, pun dengan Arvid, dan tiba-tiba wajah dua orang Elf itu mengerut dalam, bagi sang Raja cukup lama dirinya menyadari, tetapi tidak dengan Arvid, dia membeku seketika karena mengingat siapa orang yang memiliki marga tak asing yang sama dengan si gadis.

"Co-belt," bisiknya kaku.

Dalam benak Arvid membatin, gadis ini adalah anak mereka berdua.

.

.

.

.

.

Bersambung

Terimakasih sudah suka, ditunggu kesan dan pesannya yaaa. Sangat diharapkan kritik dan sarannya.

Salam sayang,

zhaErza.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top