XLII. Berpisah

BAB XLII

Berpisah

.

.

.

Pangeran Luis tak salah menjelaskan kalau dia memang memiliki urusan lain di Tanah Drakos, Naga Hitam Agung memang menyuruhnya untuk kembali datang setelah perang benar-benar telah usai. Dan sekarang, ketika Ferifatyn telah membereskan segalanya, berkat bantuan sang Naga, dirinya pun berpamitan dari negeri Elf itu.

Dengan sihir yang telah dipelajari, walau tentu saja tidak semenakjubkan Raja Ouran, setidaknya Luis telah berhasil menguasai sihir teleportasi sehingga ia tidak memerlukan waktu yang lama untuk bisa sampai di Kerajaan lain yang jaraknya cukup jauh dan bahkan akan memakan waktu. Seperti Drakos yang memang letaknya di di pulau yang terpisah dari tanah Ferifatyn, dan harus menyebrang lautan terlebih dahulu jika ingin mengunjunginya.

Ia tiba di pengunungan hitam, bagian pantai adalah kesukaan sang Naga untuk berjemur di terik matahari. Para Naga penjaga sudah tak lagi menghalangi kedatangannya, untuk sekarang ini ia diterima, tetapi tentu saja semua itu karena Naga Hitam Agung, setelah urusannya selesai, dirinya pun akan kembali terlarang untuk Drakos seperti yang dijelaskan oleh penguasa negeri ini.

Sayap putih bak malaikan mengepak, Luis mendekati sang Naga dan berlutut sebagai tanda hormat.

Naga Hitam Agung membuka matanya, kemudian menegakkan kepala.

"Ah, Pangeran Orc telah tiba."

"Hormat saya, Naga Hitam Agung."

Dirinya pun berdiri ketika sang Penguasa menyerukannya untuk menegakkan tubuh. Setelah itu, langsung saja sang Naga mengaum untuk memanggi Naga bersisik hijau yang telah menjadi lawannya tempo hari. Seperti janji yang telah disepakati, ketika berhasil mengalahkan Naga Hijau, maka naga itu akan menjadi penjaga untuk Luis. Begitu pula dengan Negeri Surtaherus.

Mendengar hal itu awalnya membuat Luis tidak percaya, akhirnya Tanah Surtaherus tidak akan mendapatkan serangan lagi karena adanya sosok naga yang akan melindungi negeri.

Bersama Naga Hijau, Luis terbang menuju Surtaherus, kembali ke tanah kelahirannya dan bertemu dengan orang tua dan rakyatnya. Dengan sosok naga di sisi Kerajaan Surtaherus, para Penyihir Delaverna dan Prajurit Guenestin pasti tidak akan mau mengambil risiko untuk menyerang kerajaan ini lagi. Dan mereka pun tak perlu menyusahkan Raja Ouran lagi dengan selalu mengawasi dan membantu tanah mereka.

.

.

.

Putri Gisella baru saja berpamitan untuk segera kembali ke Revmarmedian, bagaimana pun udara musim dingin di Ferifatyn membuat tubuhnya tak berdaya. Iklim kerajaan ini tidak terlalu cocok untuk para Duyung yang bisa tinggal di pesisir pantai dari Kerajaan Revmarmedian.

Gadis itu kemudian memeluk Arran, dan mengelus kepala berambut kemerah itu, diperlakukan seperti itu tentu membuat Arran senang bukan main, ia seperti mendapatkan sosok kakak perempuan, mengingat Alea yang adalah anak dari Tuan Herridas yang dahulu adalah tuannya tak pernah memperlakukannya dengan lembut, bahkan walau ia berusaha untuk bersikap lebih baik, yang didapat malah hardikan atau pukulan.

"Kapan-kapan berkunjunglah ke istana Revmarmedian, aku akan menyambut kehadiranmu, Nona Arran."

"Terimakasih, Putri Gisella. Arran sangat bahagia jika nanti bisa berkunjung. Ng, jadi Putri Gisella benar-benar bisa berubah mejadi Duyung dan bisa bernapas di dalam air?" sorot mata yang ingin tahu terlihat jelas di bola mata keabuan Arran, hal ini membuat Gisella tertawa kecil dan menganggukkan kepalanya.

"Iya kami para duyung dahulu tinggal di dalam lautan, tetapi semenjak Ratu Auroran menghilang, Siren tidak bisa dikendalikan lagi, dan kami pun pindah ke pulau yang disebut Revmarmedian. Namun, tetap saja walau kami sudah beradaptasi dan bisa menggunakan kaki, jika berada di lautan atau di dalam air, kami akan berubah menjadi Duyung."

"Wah, luar biasa, Arran bahkan tidak bisa berenang, Putri Gisella."

Mereka berbincang sekali lagi, sebelum Gisella dan para pengikutinya kembali ke kerajaan mereka menaiki kapal. Sementara itu, penawaran tentang pencarian Ratu Auroran pun sempat mereka perbincangkan dan entah kenapa Ourin merasa cukup tertarik dengan pencarian ini.

Setelah mengantar kepergian Putri Gisella ke luar istana, Raja Sahravert itu kembali masuk dan mengajak Arran yang berada di sampingnya, juga sang lelaki Half Blood beserta kakeknya. Suasa setelah perang tak membuat Ouran dan Ourin lebih banyak berbincang antara satu sama lain.

Dalam benak Arran bertanya-tanya, apakah di sini yang tidak bisa berenang hanyalah dirinya? Jika dia memiliki ekor pasti itu terlihat mengasyikan.

.

.

.

Butuh waktu yang tidak sebentar, untuk pergi ke Kerajaan Revmarmedian, apalagi mereka harus menyeberangi lautan, walau ia bisa mengendalikan kecepatan kapal, tetapi Gisella lebih memilih untuk beristirahat. Kalau dipikir-pikir, sudah sangat lama ia tidak berenang bebas di lautan dan semua ini karena lautan di sekitar kerajaan bahkan lebih dari separuh telah dikuasai para Siren. Jika saja Ratu Auroran tidak menghilang mereka pasti akan tetap berada di lautan dan tinggal di kerajaan bawah air.

Mengingat kembali, pastinya tidak mengetahui entah kapan Ratu para Siren itu menghilang, satu-satunya yang hidup sebagai Ratu dan mengendalikan Siren yang sering memangsa daging manusia atau ras lain. Dalam benak, ada keinginan untuk mencari di mana sang Ratu berada, jika mereka menemukannya, keadaan lautan pasti bisa lebih tenang, Duyung bisa hidup dengan aman tanpa gangguan dan yang lebih penting mereka bisa menjelajahi lautan.

Dari atas kapal layar, Gisella menatap ombak yang tenang, membiarkan angin berembus pelan dan menggerakkan layar, mengantarkan mereka ke mana arah pulang. Nakhoda kapal mengawasi Awak yang selalu bersiaga, mengatur layar, melihat kecepatan angin dan memeriksa gelombang ombak.

Menghirup napas dan bau asin pada laut, Gisella merasa teramat rindu untuk menggerakkan ekornya, dan bernapas menggunakan ingsang yang berada di balik kulit leher samping atasnya.

Berpisah dengan kerajaan Ferifatyn cukup membuatnya bersedih, ternyata rumor yang selama ini didengar tidaklah begitu benar, Raja Ouran memang dingin dan cukup tidak bersahabat, tetapi pemuda yang lebih muda setahun darinya itu tetaplah memiliki sisi baik. Buktinya, saat mereka bersama Nona Arran, pemuda itu lebih banyak tersenyum walau samar.

Namun, yang membuatnya tertarik bukanlah Raja negeri Elf, melainkan si Half Blood yang teramat pendiam. Yang sepertinya memiliki perasaan terpendam yang ingin disampaikan kepada sang Raja, entah kenapa Gisella bisa melihat kesedihan ketika Ourin menatap Raja Ouran. Sorot mata yang menggambarkan rasa penyesalan, meski ia tak tahu apa pun yang sebenarnya terjadi sebelum kedatangnnya.

Mengingat kedudukan Ourin sebagai Half Blood, agaknya Gisella sedikit bisa menebak, apalagi bau iblis kuat menyelimuti tubuh sang Pemuda. Lelaki itu kemungkinan adalah anak yang tidak diakui oleh keluarganya sendiri, melihat rambut pirang yang nyaris sama, juga nama yang hanya berbeda di tengahnya saja, Gisella menyimpulkan bahwa Ourin adalah kakak lelaki tidak sah dari sang Raja.

"Namun, dia telah mendapat gelar penghormatan sebagai Pangeran, lantas kenapa masih memandangi adiknya dengan sorot mata seperti itu? Ah, jangan-jangan, apa mereka terlibat cinta segi tiga dengan si gadis jelita? Mengingat gadis itu benar-benar tulus dan menggemaskan?" Gisella berpikir ngaur, walau di luar sosoknya sangat anggun dan selalu diagungkan sebagai putri yang sempurna, tetapi tidak banyak yang tahu sebenarnya Gisella adalah seorang gadis yang sering jahil dan semaunya sendiri, mungkin hanya orang istana dan ibunya yang mengetahu sifat aslinya ini.

Daripada itu, ah, Pangeran Ourin benar-benar membuatnya memiliki keinginan untuk menjahili. Jika benar lelaki itu menyukai Arran, maka cintanya pasti tertolak atau yang bisa dilakukan hanyalah berpasrah diri. Mengingat seperti apa karakter Raja Ferfiatyn ini. Namun, jika dipikir-pikir lagi, Arran terlihat lebih nyaman saat bersama Ourin? Ah, ia bingung. Yang terpenting, selain dari pikiran ngaurnya ini, ada masalah serius yang membuat secara tidak langsung Ourin dan Ouran berperang dingin atau salah satu pihak yang berpikiran demikian.

.

.

.

Ruangan makan sang Raja sedang cukup senyap karena masing-masing mereka tengah menyantap hidangan, kecuali Ourin yang memang tidak pernah memakan makanan manusia dan juga tidak memiliki keinginan untuk menyantap jiwa yang murni. Setelah hidangan utama selesai disantap, makanan pembuka pun datang. Di saat ini, Arran sudah mulai bercakap-cakap dan memuji betapa enaknya kue yang ia santap.

Musim dingin masih berlangsung, mereka yang di istana memakai pakaian yang lebih tebal, begitu juga Arran yang memakai mantel kebesaran milik Ourin. Entah kenapa ia menyukai hal tersebut walau beberapa kali ditegur oleh Ouran karena itu tidaklah baik dan tak nyaman untuk dilihat.

Sendok Arran tengah ia mainkan di jari, kue ini begitu nikmat tetapi Ourin tetap tak tertarik untuk mencicipinya walaupun berulang kali Arran menawari. Mereka duduk tidak jauh dari sang Raja. Di kepala meja Ouran mendudukkan diri, di samping kanan ada Arvid yang terlihat jenuh dan ingin segera usai, di samping Arvid ada Daveus, kemudian di samping kiri Raja ada Arran dan Ourin. Tidak seperti dahulu, sekarang Raja Ferifatyn tidak masalah dengan keberadaan iblis yang teramat dekat dengan dirinya, khususnya sang Kakak.

Setelah cukup lama terdiam, tiba-tiba Arran mengingat sesuatu.

"Ah, Ourin, tahu tidak?"

"Ya, ada apa?" pemuda itu menolehkan wajahnya, menatap Arran yang juga berlaku sama.

"Arran bermimpi aneh sebelum bangun dari tidur panjang," ucapnya mencoba mengingat, melihat wajah serius Arran, Daveus pun mengomentari. Mereka semua tahu apa maksud tidur panjang, itu berarti saat Arran tertidur setelah jiwanya dikembalikan Mariposa.

"Oh, ya? Kau bermimpi apa? Jangan bilang kau bermimpi mesum?" Daveus tertawa setelahnya, ia melihat Arran menatap sambil mengerutkan alis dalam, terlihat tidak paham. Namun, tawa itu terhenti tepat setelah kepala Daveus dijitak oleh Arvid.

Mereka saling pandang, begitu sengit.

"Dasar Kakek Cabul, kau seharusnya sadar diri, Iblis!" Arvid menimpali, tidak rela Arran terlihat bingung dan mungkin sebentar lagi akan bertanya yang aneh-aneh.

"Kau buta? Kau juga kakek berusia ratusan tahun, beruntung kau tidak peot."

Tidak memedulikan pertengkaran antara dua orang kakek, Ouran tetap menyantap dengan tenang hidangannya. Matanya memejam, sedikit penasaran tentang mimpi yang didapat Arran sebelum gadis itu terbangung dari tidurnya yang saat itu membuatnya benar-benar khawatir.

"Ke-kenapa jadi bertengkar? Pangeran Arvid, Tuan Daveus? Maafkan Arran, tetapi Arran tidak paham, mesum dan cabul itu apa?" Daveus malah tergelak.

"Tanyakan saja kepada Ourin, Nona Arran." Kepala sang gadis pun menoleh menatap sang Pemuda yang disebutkan namanya, tetapi Ourin malah membuang muka, menatap entah apa yang ada di luar jendela. Walau Arran menarik-narik lengan baju si lelaki, dirinya tak mendapatkan respons juga.

"Sudahlah, lebih baik ceritakan tentang mimpimu, Arran."

Meski sempat cemberut kesal ketika tidak dipedulikan Ourin, wajah Arran kembali ceria saat ditanyai tentang mimpinya.

"Iya, saat itu rasanya Arran belum pernah mendapatkan mimpi yang seperti ini," jedanya, mengingat kilas mimpi dan mencoba bertampang serius sambil mengerutkan alis.

Mendengar perkataan itu, membuat mereka yang ada di meja terdiam, memasang kuping baik-baik. Sementara Daveus menganggukkan kepala dan menggumam 'sudah kuduga' sebelum kembali mendapatkan pukulan dikepala oleh Arvid. Ourin yang awalnya menatap jendela, kini ikut memandang sang Gadis, sementara Ouran sedang mengira-ngira dan kini mengernyitkan alis penasaran.

Saat itu, Ouran jelas tak mungkin lupa, sebelum Arran sadarkan diri, ia memberikan energi kehidupannya melalui salah satu bagian tubuh yang terletak di wajah. Memikirkan hal ini membuat Ouran mengehela napas, sepintas ia merasa dirinya benar-benar tak waras karena memikirkan Arran dan dirinya yang—arrgg! Apa yang? Kalut, ia pun memejamkan mata, kemudian mengambil air dan meminumnya untuk menjernihkan pikiran.

"Arran bermimpi dicium oleh keledai, aneh ka—Paduka Raja!"

Bruuuusssss!

Ouran menyemburkan air yang diminumnya, terbatuk mengerikan dan dalam beberapa detik kesulitan bernapas. Sialan, perih sekali dan seperti terbakar seluruh tenggorokan, hidung dan paru-paru karena air yang menyembur dari mulut dan hidung.

"UHUK! UHUK!" menundukkan kepala, menaruh wajahnya di atas meja, Ouran benar-benar merasa malu bukan main.

.

.

.

.

.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top