XLI. Energi Kehidupan

BAB XLI

Energi Kehidupan

.

.

.

Tatapan sang Raja terus mengarah ke seorang gadis yang tengah terlelap selama lebih dari empat hari, sendu matanya saat menerima kenyataan bahwa yang ditunggu tak jua sadarkan diri. Arran Cobelt, setelah jiwanya yang disandra dikembalikan ke dalam tubuh, mereka tak menyangka hal ini akan terjadi. Detak jantung bedek, semuanya kelihatan normal, bahkan Elsa yang adalah tabib kerajaan pun mengatakan Arran baik-baik saja. Namun, kenapa hingga sekarang si gadis dengan rambut kemerahan tidak juga membuka mata?

Sentuhan tangan Ouran ke helai kemerahan itu semakin gencar dilakukan, berharap dengan hal kecil ini dapat mengganggu tidur si gadis, hingga dia akan terbangun.

Beberapa saat hanya memperhatikan, sekarang tangan Ouran menyentuh wajah Arran, dan ia berkata, "Apa aku harus menyerahkan seluruh energi kehidupanku agar kau tersadar? Itu tak masalah bagiku, Arran. Namun, aku tak akan pernah melihat kau lagi nanti." Senyum sedih dilayangkan, ia memejamkan mata dan mendekatkan wajahnya.

Lebih saksama, wajah Ouran semakin menunduk, dari jarak yang tak hanya lebih dari sejengkal, tangan Ouran bergerak dan memegangi dagu Arran. Bibir gadis itu terbuka karen dagu yang ditarik dengan perlahan, setelahnya kepala sang Raja pun dimiringkan, bibirnya sendiri dibuka, dan memberikan energi kehidupanya dengan embusan napas. Kelopak mata yang sewarna dan seindah purnama pun terpejam.

Sebelah tangan Arran digenggam Ouran, disatukan di setiap celah jari. Berkedip, dirinya merasakan pergerakan dari jari-jari si gadis hingga bola matanya dengan penuh terbuka. Menjauhkan kepala untuk melihat yang lebih jelas dari diri Arran, Ouran pun menjadikan sikunya sebagai tumpuan, jaraknya masih teramat dekat dengan dari wajah si ramut kemerahan yang sekarang mulai membuka mata.

Melihat hal itu, bola matanya melebar, alisnya bekerut untuk meyakinkan diri bahwa hal ini bukanlah khayalahnnya semata. Telapaknya ia gerakkan untuk menyentuh pipi sang Gadis, ketika kelopak Arran sudah terubuka sepenuhnya.

"Ng, O-urin?"

Meski bukan yang diharapkan sang Raja, ia tak peduli nama orang lain yang terucap dari bibir si gadis. Tersenyum, Ouran langsung membawa tubuh lemas Arran ke dalam pelukannya.

"Terimakasih, terimakasih, Arran."

Tentu saja, ketika menyadari suara orang yang berbeda dari bayangannya, Arran langsung terkejut bukan main karena ia telah salah mengira seseorang. Fatal sekali, yang ada dihadapannya ini adalah Paduka Raja Ouran, tetapi sekarang pemuda itu tengah memeluknya teramat kuat, rengkuhan yang sarat dengan rasa rindu membuncah. Ia bahkan tidak tau apa yang tengah terjadi, padahal ia hanya tidur untuk mengistirahatkan diri.

"O-ouran? Ng, kenapa? Tidak perlu berterimakasih, Arran tidak melakukan apa-apa." Gadis itu masih tak mengerti, betapa ketakutannya Raja negeri ini karena dia tak sadarkan diri selama berhari-hari.

Gelengan kepala dapat dirasakan, kelopak Arran berkedip dan ia mendongakkan kepala walau agak kepayahan karena sekarang berada di pelukan sang Raja. Tidak jelas apa yang dilihatnya, tetapi keterkejutan tiba-tiba menghantam hati, sekarang ia merasakan air yang jatuh menetesi pipinya. Kenapa? Apa yang terjadi? Air apa yang menetes ke wajahnya ini? Apakah atap istana bocor? Di dalam benak, terus saja Arran bertanya-tanya. Hingga isakan mulai terdengar saat sang Raja menyebut namanya.

"Arran," suara itu terdengar bergetar dan membuat hati Arran terasa sesak. Sebenarnya apa yang terjadi kepada Paduka Rajanya? Apakah laki-laki ini tengah bertengkar dengan Ourin, hingga menangis lagi seperti dahulu.

Saat itu ia melihat Raja negeri ini tengah sangat terpuruk, di bawah lukisan Raja dan Ratu terdahulu, sosok Ouran berlutuh dengan kedua terulur ke tembok untuk menjadi tumpuan dan kepala tertunduk. Mengingatnya saja sudah membuat perasaan Arran kalut. Dan yang bisa ia lalukan ketika itu adalah ikut berlutut, menatap wajah Ouran yang penuh air mata dan menggigit bibir untuk menghalau suara, sementara mata seindah bulan itu terpenjam.

Ia memanggil, tetapi tidak dipedulikan, kemudian ia pun mulai mengelus punggung sang lelaki. Mengetahu kehadirannya, Ouran mengalihkan wajah agar tak dapat dilihat oleh Arran.

"Tidak apa, menangislah, jika Ouran menginginkan hal ini." Suara Arran bahkan sudah bergetar, ia sendiri berusaha untuk tak meneteskan air mata.

Napas-napas sang Raja terlihat terengah, sepertinya berusaha untuk mengendalikan diri agar tak terlihat lemah dihadapan sang Gadis.

"Aku terlihat lemah, bukan?" sekarang Ouran berdiri, menatap Arran yang juga melakukan hal yang sama. Matanya kemerahan, tetapi air matanya sudah tidak mengalir. Sorotnya terlihat serius memandangi wajah sedih si gadis.

Menggelengkan kepala, rambut kemerahan yang dipunya gadis dihadapannya ini bergoyang.

"Tidak selalu lemah, air mata juga akan membuat merasa kelegaan, bukan? Tuan Jhonatan mengatkan hal ini kepada Arran. Jadi, kalau Ouran ingin menangis, lakukanlah. Ouran akan selalu terlihat kuat di mata Arran."

Telapak tangan menegadah, mengidentigfikasi bahwa ia menginginkan Arran meletakkan sebelah tangannya di atas sana. Setelah mendapatkan tangan Arran di genggamannya, ia pun membawa dan menaruh telapak yang lebih kecil itu ke tengah hatinya. Menatap si gadis jelita, kemudian memejamkan mata.

"Bisakah kau membantuku menghilangkan beban ini? Walau hanya sedikit, Arran?"

Menatap wajah sang Raja, Arran kemudian menganggukkan kepala. Berharap dengan memberi bantuan kepada Ouran dapat meringankan beban hati pemuda tersebut dan menjadikan Ouran dan Ourin berdamai dan saling memaafkan.

.

.

.

Telapak tangan si gadis mengelus kepala Ouran, laki-laki itu masih bersandar di dadanya, menenggelamkan kepala di sana dan menutup mata. Mereka duduk bersama di atas ranjang, terdiam cukup lama menikmati kesunyian. Setelah bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja sang Raja Muda bertindak aneh.

Masih berusaha menenangkan Raja Sahraverta ketujuh, tiba-tiba pintu terbuka tanpa permintaan izin terlebih dahulu, Ourin dan Daveus masuk ke kamar dan langsung terdiam karena menemukan Raja negeri ini yang masih bersama Arran dengan kepala lelaki itu yang bersandar penuh di dada sang Gadis. Padahal mereka berdua ingin melihat kondisi si gadis berambut kemerahan yang baru saja tersadar dan Ourin juga mengira lelaki yang adalah adiknya itu telah berpamit diri, padahal sudah cukup lama ditinggal berdua.

Sepertinya si lelaki Elf masih belum menyadari kehadiran mereka, sebab dia sedang memejamkan mata dengan kepala yang dielus oleh Arran. Mungkin tengah tertidur. Entahlah, Ouran dan Daveus tak bisa menerka-nereka. Melihat Arran yang menatap ke arah mereka, gadis itu kemudian tersenyum. Sebelah tangan digerakkan, menunjukkan gesture menyerukan agar mereka tidak membuat suara. Ternyata benar, Ouran tengah terlelap.

Mendekat, mereka melihat bahwa memang benar sang Raja tertidur, kelopak matanya tertutup, tetapi jika diperhatikan lebih teliti, maka ada air mata yang mongering di pipi.

Menarik napas, Ourin pun menggerakkan tangannya, ikut mengelus rambut pirang dan nyaris perak milik Ouran. Sorot matanya haru, melihat sang Adik yang mulai bisa mengekspresikan apa yang dia rasakan. Terkadang, seseorang harus membagi perasaan mereka, masalah mereka, hal itu tidak akan menunjukkan mereka lemah, tetapi malah membantu diri mereka dan merasa lega.

Namun, tiba-tiba saja Ouran tersentak, dirinya langsung menegakkan kepala dan menatap dua orang iblis yang ternyata juga berada di kamar ini. Ditatapnya mereka dengan pandangan tak acuh, kemudian memalingkan muka dan kembali menatap Arran.

"Sebaiknya kau beristirahat, Arran. Kau baru saja sembuh, mengerti." Sebelah tangannya mengacak rambut Arran, dan lelaki itu langsung keluar dari kamar tanpa bersapa dengan Ourin dan Daveus yang melihat sang Raja keheranan.

Sebelah alis Daveus naik, lelaki itu lalu bergumang tentang sang Raja yang terlihat sangat manja dan selalu lembut ketika bersama Arran.

"Hah, tidak kusangka hal ini benar-benar terjadi," ucapnya acuh.

"Apa maksud Tuan Daveus?" Arran menanggapi, kepalanya miring dan alisnya berkerut karena memikirkan perkataan sang Iblis.

"Seorang gadis yang perlahan menghancurkan kebekuan di hati sang Raja." Dengan dramatis, Daveus mengangkat kedua tangannya ke arah Arran, dan kemudian tersenyum. Sementara itu, Arran dan Ourin saling tatap, hela napas dikeluarkan sang Half Blood, tetapi satu-satunya gadis di kamar ini masih kelihatan bingung.

"Maksud Tuan Daveus, Paduka Raja sudah lebih bersikap baik karena Arran mau menasihatinya." Kepala sang gadis dibelai si lelaki. "Sekarang, sebaiknya Arran beristirahat." Nyatanya, sebelum mulut Arran mengeluarkan suara untuk menanggapi apa yang dikatan kakak dari sang Raja, pemuda itu malah menyerukan agar ia kembali meristirahatkan diri.

Ketika terbangun, Arran merasa dirinya lebih segar daripada kemarin. Pagi-pagi ia telah berada di meja makan dan melihat seseorang yang cukup asing baginya, seorang gadis yang cantik berambut piran panjang gelombang dengan telinga yang mirip kulit kerang. Bagian tangannya pun tak wajar, sisik-sisik keemasan terlihat luar biasa sekaligur agak menakutkan, telapak tangan gadis itu berselaput dengan kuku yang telihat meruncung dan akan menjadi senjata yang berbahaya.

"Ah, kalian belum bertemu, bukan. Putri Gisella, dia adalah anggota baru kerajaan, beranam Arran Cobelt. Nah, Arran, dia adalah Putri dari Kerajaan Revmarmedian dan anak dari Ratu Miranda Ocsiana, namanya Gisella Ocsiana." Mereka saling tersenyum dan menundukkan kepala memberi hormat.

"Senang berkenalan dengan Anda, Putri Gisella." Gadis yang adalah bangsa Duyung itu tersenyum ramah, dan membalas sapaan Arran.

"Begitu pula denganku, Nona Arran."

"Eh, Pangeran Luis tidak terlihat, Paduka Raja?" kepala kemerahan itu celangak-celinguk, mencari sosok Pangeran Orc yang tidak tampak di meja makan ini.

Yang ditanya pun menghentikan makannya yang telah usai, garpu diletakkan dan diambilnya sapu tangan untuk membersihkan bibir.

"Pangeran Luis telah berpit terlebih dahulu, dia memiliki beberapa urusan yang harus diselesaikan, Arran."

Sorot mata sedih tampak di wajah Arran, gadis itu menghela napan dan berguman pelan karena tidak bisa berpamitan dengan Pangeran yang memiliki mata biru menawan.

"Sayang sekali, Arran tidak bertemu untuk berpamitan," bisiknya, lirih suara itu dapat didengar oleh penghuni meja makan ini.

Tersenyum melihat wajah murung si gadis berambut kemerahan, Ouran pun mengatakan sesuatu untuk menghibur gadis itu.

"Kapan-kapan, kita akan berkunjung ke Kerajaan Surtaherus, dan kau bisa bertemu lagi dengan Pangeran Luis, Arran."

Tentu saja sorot mata keabuan itu langusng berubah ceria, binar-binar terlihat ketika menatap Paduka Raja yang sekarang juga ikut tersenyum.

.

.

.

.

.

Bersambung

Halooo, Erza bawa gambar buatan Erza nih, Arran versi digital tapi belum jadi hehe.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top