III. Penjara Bawah Tanah
BAB III
Penjara Bawah Tanah
.
.
.
Tak bisa dipungkiri, tubuhnya menjadi mati rasa karena terlalu banyak luka dan sakit yang diderita. Hukuman yang diberikan Raja Ouran Liam Sahraverta tidaklah main-main, dengan kejam lelaki itu memberinya cambukan bertubi-tubi, belum lagi tendangan yang menjadi pengakhiran karena dia salah mengenali orang. Ourin, nama itulah yang disebutnya dan laki-laki yang berada di depan wajahnya langsung murka.
Bagaimana bisa? Arran yakin kalau pemimpin negeri ini adalah sosok yang sama dengan seseorang yang pernah menolongnya dahulu, saat ia masih berusia delapan tahun. Ia tak akan melupakan peristiwa itu karena di saat semua orang tak mengacuhkannya, anak lelaki yang lebih tua beberapa tahun darinya itu datang dan membantu. Dan yang ia ingat adalah nama Ourin yang melekat pada anak lelaki berambut pirang pucat dan bermata seindah rembulan.
Jadi, kenapa bisa salah? Ia yakin anak tersebut adalah Raja Ouran, tetapi dari tingkah dan pengakuan, sudah jelas kalau dia bukan Ourin―nama yang diingat Arran. Apalagi hukuman kejam yang bertambah ketika sang Raja mendengar nama itu, membuatnya kebingungan. Apakah Ourin makhluk yang kejam dan seorang penjahat sampai harus dipenjara dan begitu dibenci raja negeri ini?
Telapak kakinya yang mengelupas, semakin terluka karena terus diseret-seret ke arah bawa tanah. Menuruni tangga, situasi gelap dan hanya diterangi obor, kemudian kembali dibawa ke sebuah belokan, terus berjalan dengan tertatih atau kembali diseret.
"Ayo lebih cepat jalanmu, Bodoh!" umpatan demi umpatan terus terdengar. Hingga sekarang dirinya masuk ke sebuah ruangan khusus, sebuah pintu besi kembali menyambut mereka. Kuncinya dibuka oleh penjaga dan ia kembali diseret karena mereka melajukan langkah, di sana ada sebuah ruangan lagi yang dijaga banyak pengawal. Suasana begitu mengerikan karena remang cahaya obor. Ruangan apa itu? Inikah yang akan menjadi tempatnya untuk menerima hukuman, sel penjara yang sama dengan Makhluk Terkutuk yang dibicarakan Raja Ouran?
Tiba-tiba hawa dingin membuat Arran gemetar, ia takut dan panik. Memikirkan monster macam apa yang akan menyiksanya di dalam kelak. Arran menggelengkan kepala, memberontak meski beberapa pegawal memeganginya kuat. Karena kesal, mereka pun memberikannya tamparan, pukulan dan siksaan kembali. Ia tak menangis meski sakit itu kembali dirasa. Arran tak ingin bencana dan kutukan datang jika dia menangis, seperti kejadian di saat bersama keluarga Herridas dahulu. Mereka meneriaki Arran dan mencaci-makinya karena ia menangis dan menyebabkan terjadinya bencana.
Dalam gelap malam dan terang rembulan, sesosok laki-laki terdiam, memejamkan kelopak mata dan membiarkan kelam menyelimuti. Ia sudah nyaris sembilan tahun tinggal di dalam penjara bawah tanah yang pengap dan jauh dari kata nyaman, tak ada lampu minyak di dalam selnya, hanya ada penerang dari obor yang berada di setiap sisi dinding lorong yang cahayanya terpantul masuk dari pintu besi, juga dari jendela kecil di bagian atas. Sisanya berasal dari cahaya bulan purnama yang mengintip malu-malu dari celah satu-satunya jendela seukuran kepala. Petakan yang selalu menampilkan setitik dunia luar dan menemani hari-harinya di balik dinding batu berpintu besi.
Embusan napas terengar, ia duduk menyandar di bagian tergelap sudut dinding yang ada di sel. Tidak tertidur, di saat bulan purnama ia tidak akan pernah tidur maupun merasa lapar. Beberapa saat terus terdiam, laki-laki yang masih mempertahankan posisinya dan tak ada niatan untuk bergerak, mengerutkan alis di saat tiba-tiba mendengar suara langkah yang terburu-buru. Suara tersebut semakin dekat, dan bunyi pintu besi yang terbuka pun menjadikan sang lelaki sadar bahwa itu adalah selnya. Tanpa harus melihat, ia tahu bahwa ada seseorang dihempaskan masuk.
"Dasar gadis sialan, dia bahkan tidak menangis atau memohon ampun sepanjang hukuman cambuk, bahkan sekarang pun sama saja!" samar-samar, gerutuan para penjaga yang menyeret penghuni baru selnya masih terdengar.
Laki-laki itu masih diam, menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Membiarkan teman seselnya itu mulai bereaksi seperti apa.
Arran tak tahu, kenapa kejadian ini bisa menimpanya? Apakah benar karena dia adalah anak kutukan seperti yang sering diucapkan Keluarga Herridas? Keluarganya dibunuh dan dibakar di depan matanya dan ia dijual kepada keluarga Herridas. Ia bahkan tak tahu apa penyebab mereka melakukan hal kejam itu kepada dirinya?
Sekarang ia terpuruk di dalam penjara bawah tanah ini, namun ia tak menjumpai sosok yang ditakuti itu. Mata keabuannya menyisir ruangan gelap yang hanya diterangi cahaya remang obor dan purnama. Tak ada sosok apa pun, sebelah mata Arran memang membengkak, tetapi ia yakin matanya masih berfungsi dan baik-baik saja. Apakah makhluk mengerikan yang dibicarakan Raja Ouran hanya ancaman saja agar ia selalu ketakutan? Semoga saja begitu, pikirnya. Diam-diam Arran mengehela napas lega.
Arran hanya tak tahu, kalau setiap geriknya diperhatikan oleh sosok yang bersembunyi di dalam kegelapan. Gadis tersebut awalnya tak menyadari, namun lama kelamaan telinganya menangkap suara napas yang mengembus beberapa kali, tubuh Arran merinding seketika. Membuatnya memelototkan mata ngeri, menahan napas dan mencari dari mana desah napas itu berasal. Dia yakin desah napas itu bukan berasal dari dirinya.
Mengalihkan tatapan untuk terus mencari, Arran didera kebingungan karena tak menadapati sosok apapun di dalam sel ini. Hanya ada gulita di sudut-sudut ruangan yang tak dapat diterangi remang obor atau rembulan. Namun, telingannya yang peka kembali menangkap suara embusan napas. Ia sudah sering pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, dan saat di sana ia akan mengandalkan telinganya untuk meminimalisir risiko. Bisa saja, desrik angin atau ranting yang patah adalah pertanda datangnya bahaya.
Memantapkan hati dan berdiri dengan tertatih, Arran dengan kaki gemetar mulai berjalan dan mendekati asal suara yang didengarnya, embusan napas. Namun, yang dilihat oleh mata abu-abu Arran masih kegelapan yang pekat di sudut dinding, ia tak melihat apapun, tetapi ia yakin di sana ada seseorang. Dengan jari telunjuk yang bernoda darah kering, Arran mencoba meraup-raup kegelapan itu, meyakinkan diri kalau di sana tak ada apa-apa. Terkesima, telunjuknya menyentuh sesuatu mirip rambut, namun sangat kasar.
Detak jantungnya meningkat drastis, keringat langsung menyucur di dahi yang berhiaskan memar. Arran langsung dikelilingi perasaan teramat takut, napasnya terengah-enggah. Menemui sesuatu di dalam kegelapan yang tak tampak wujudnya.
"Ah!" Arran terkejut, ia terjatuh dan mundur ke belakang. Napasnya semakin menggebu, gemetaran. Apakah itu adalah monster? Jantungnya bertalu-talu, luka-luka di kaki yang sepanjang jalan tak memakai sepatu dan diseret-setet paksa oleh pengawal kini terbuka lagi, namun Arran tak peduli. Ia ingin menjauhi sosok itu. Ia terdesak, kalau makhluk itu sadar ada dirinya di sini, maka habislah ia.
Tanpa Arran ketahui, sosok yang ditakuti telah sadar dengan kedatangannya lebih dahulu sebelum ia dimasukkan ke dalam sel ini. Masih menutup kelopaknya dan bagai tertidur, sosok itu terus memantau dengan telinga.
Dia hanya terus terdiam dan mendengarkan, seorang gadis yang tak mau berteriak ketika menyadari kehadirannya, hanya suara napas terengah-engah yang terangkap di telinga. Karena penasaran, tak jua mendengar suara sang gadis setelahnya, sosok yang bernama Ourin Carlos Sahraverta dan sedang bersandar di sudut sel tergelap pun membuka kelopak mata. Sorot keemasan terlihat bersinar di tengah kegelapan sel yang hanya diterangi pantulan cahaya obor dan purnama.
Ourin melihat seorang gadis, yang terduduk dan ketakutan menatap sorot mata keemasan bercahaya yang ia punya. Gadis itu hanya diam dan termangu menatapnya, tubuh itu penuh luka lebam dan noda darah, sebelah matanya bengkak dan membiru, sudut bibir robek, hidungnya masih menyisakan noda darah. Alis Ourin mengerut melihat keadaan gadis asing yang menempati selnya ini. Apakah dia disiksa separah itu?
"Kenapa luka-luka itu memenuhi tubuhmu?" Ourin berbicara, suaranya berat, namun tak menakuti. Berniat tak ingin menakut-nakuti sang gadis. Sebisa mungkin ia meramahkan nada suaranya.
Mendapatkan pertanyaan sedemikian, Arran terdiam, menatap lamat sosok yang bersembunyi di dalam kegelapan, mata emas itu saja yang terlihat olehnya. Berdiri kembali, perlahan ia mendekat. Sekali lagi, Arran menggerakkan tangannya, mencoba meraih sosok itu.
Apakah itu monster?
Jari Arran kembali menyentuh sesuatu mirip rambut kasar. Dengan penasaran, sambil memerhatikan kilau mata Ourin yang keemasan, Arran menggerakkan telapak tangannya lebih dekat. Dan menyentuh sesuatu berambut entah apa itu. Ia terkejut, dan menarik tangannya kembali. Menatap mata keemasan dan bersinar di dalam kegelapan itu dengan takut-takut lagi.
"Kau takut aku mengusikmu?"
Arran yang sudah terduduk di depan Ourin tanpa sepengetahuannya―terpisah dengan sinar rembulan karena ia di bagian yang terkena sinar purnama sedang Ourin masih di kegelapan―pun mengangkat kepalanya ketika ia mendengar pertanyaan kembali dari sosok tersebut.
"Eng?" tatapan mata keabuan menatap kilau keemasan Ourin. Bibir Arran hanya mengumam suara yang tak dapat diketahui apa maknanya.
"Kalau tak ingin menjawabnya, tak masalah." Kepala Arran menunduk karena ia mengira sosok tersebut tak suka dengan kehadirannya dan ia akan dihukum.
"Tenanglah, aku tak akan menyakitimu."
"Ah?" Kepala Arran mendongak kembali, wajahnya yang penuh memar kini kelihatan sorot lega dari dalam mata abu-abunya. Gadis itu tersenyum, menunjukkan kalau ia merasa senang karena diperlakukan dengan baik oleh seseroang. Walau wujud dari sosok itu tak ia tahu bagaimana.
"Aku Ourin Carlor Sahraverta."
"Tu-an Ourin?" bola mata keabuan itu membesar seketika. "Ourin!" panggilnya sekali lagi untuk memastikan.
"Ya, aku Ourin. Lalu, siapa namamu?"
"Ahahha, Tuan O-urin." Gadis itu tertawa bahagian, kemudian dia terdiam dan duduk lebih rapi. "Arran, Arran Cobelt." Sebelah tangan Arran menepuk-nepuk pertengahan dadanya. Melihat hal itu, Ourin pun tersenyum tipis. Ia menjumpai seorang gadis yang tak mau berbicara kelihatannya. Bukan tak bisa bebicara.
Menghela napas dan merasa prihatin atas kondisi tubuh teman barunya, Ourin pun menyerukan agar sebelah tangan Arran dijulurkan ke arahnya kembali, dia menyambut jemarin Arran dan gadis itu langsung merasakan perubahan, tubuhnya tak sakit lagi dan sembuh seketika. Bagaimana Ourin melakukannya. Apakah dia seorang penyihir?
Tetapi, di Ferifatyn seorang penyihir dilarang bertempat tinggal atau bahkan berkunjung. Itu sebabnyakah Ourin dipenjara seperti sekarang?
.
.
.
Sebuah kamar mewah menjadi tempat seorang pemuda gagah untuk merihatkan diri, telepas dari beban pekerjaan untuk beberapa saat. Matanya yang bak punama bersinar terang. Tak cukup dengan permasalahan kaum penyihir dari Kerajaan Delaverna yang terus berusaha menyerang tanahnya, kini permasalahan baru muncul. Gadis yang disiksanya, dan sekarang terpenjara di sel yang sama dengan Ourin, siapa dia sebenarnya?
Tepatnya, dari mana dia mengenal Ourin?
Desah napas dilakukan sang Raja Muda. Ouran merogoh saku celananya, dan menadapati sebuah kalung. Kalung yang mengingatkan dengan ibundanya. Saat itu usianya sepuluh tahun dan ibunya membuatkan sebuah kalung untuknya sebagai hadiah karena ia sudah bisa menyelesaikan tugas dari ayahnya.
Sorot mata memandangi kalung yang ada di telapakya, dia sedang menidurkan diri di ranjang, tangannya tejulur ke depan muka, menatap sebuah kalung yang didapatnya tergeletak pasrah didekat kaki setelah menyiksa gadis berambut kemerahan.
"Bagaimana ini bisa berada di sana?"
.
.
.
.
.
Bersambung
.
.
.
Halooo akhirnya Ourinran bisa update jugaaa Hehehehhe.
Kali ini mulai mengisahkan tentang Arran yang bertemu Ourin untuk pertama kali yaaa. Nah wujud Ourin masih tersembunyi nihhh. Karena purnama, Ourin kembali ke bentuk yang agak dibencinya.
Ok, silakan memberikan komentar beragam, kritik dan saran, masukan, masalah typo atau fangirlingan sama duo cogan OURINRAN.
Kalau Erza mah jelas pilih yang lebih tua lebih memesona. Ahahahh
Erza pilih Daveus Hades. Akan tampil di chapter eemmm aahh chapter 9 heheheh. Siapakah diaaa ... ikutin terus Novel OURINRA yaaaa.
Salam sayang,
zhaErza
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top