|war→soraru

Kegelapan malam telah sepenuhnya menyelimuti keseluruhan wilayah Jepang, tetapi deru letusan bom juga meriam tak jenuh saling bersahutan membalas dari masing-masing pihak, peluh membanjiri bagian tubuh, rasa penat bak menumpuk di setiap pelosok otot dan siku, nyeri luka berbalut perban lusuh pun seakan menjadi beban yang harus dipikul setiap prajurit untuk terus bertahan hidup dalam kerasnya medan pertempuran. Tak dapat terhitung jumlah mayat berserakan di atas tanah kumuh area perang hingga kini, tiap detik ada saja individu yang meregang nyawa dengan tubuh bersimbah darah entah karena tertembak senjata musuh ataupun terkena efek bom.

Kilau titik cahaya di langit hitam tidaklah membawa angin baik bagi tentara Jepang. Nyaring sirine dari pesawat tempur musuh memekik kencang di telinga, memanggil rasa takut dan cemas berlebih hingga membuat kepanikan merajalela. Asap hitam membumbung tinggi, disusul letusan bom yang lebih ganas dari sebelumnya. Teriakan para prajurit mengudara penuh akan penderitaan, berjuta tetes air mata jatuh diiringi gumaman yang berisi penyesalan tak bisa kembali ke pelukan orang terkasih di tengah tautan jari kelingking.

Setidaknya Soraru berkeinginan untuk melindungi buah hatinya sendiri dari kerasnya lingkungan peperangan, ia akan menjaganya hingga titik penghabisan.

|war
.

-father!soraru x daughter!reader

–·–

-family, hurt, tragedy
.

akirarimizu-cchi
-req © RyokoM

Angkasa tak lagi memancarkan sinar kehangatan dari sang mentari, hanya tersisa nampak langit muram berselimutkan asap kelabu dari bekas pembakaran sisa-sisa proyek setiap kubu, tanah tak lagi beralaskan rumput hijau cerah, kini tempat manusia berpijak hanyalah sebuah medan peperangan. Tak ada lagi kehijauan, semua musnah dalam satu kali letusan bom yang dijatuhkan oleh pesawat musuh tanpa belas kasihan. Tak ada lagi tawa riang anak-anak mewarnai lapang di tengah hari, hanya terdengar suara peringatan dari pihak lawan.

Dua insan nampak saling berhadapan di tengah tanah lapang, ekspresi datar diberikan oleh si pria dewasa dengan surai hitam legam kepada sosok gadis kecil yang menatapnya tanpa raut pasti. Perpisahan hendak terjadi, panggilan tugas negara memaksa Soraru untuk meninggalkan sang putri sendirian di desa tempat mereka tinggal, mau tidak mau pun dengan berat hati mewajibkan Soraru untuk mengabdi pada negara sebagai prajurit perang demi membela tanah air sendiri. Sejak hari pemberitahuan hingga detik ini Soraru terus menahan rasa sesak dalam dada agar tidak membebankan sang anak yang akan berteman akrab dengan sesuatu bernama kesepian mulai kini.

Dengan kabar beredar perihal jumlah korban yang tidak main-main, semakin membuat Soraru enggan untuk pergi dari sisi satu-satunya orang terkasih, dalam benaknya masih terpikir jelas akan nasibnya kedepan jika memutuskan untuk ikut terjun ke dalam dunia peperangan. Kini dirinya berdiri tegap, sembari memakai seragam tentara dengan gagahnya, netra biru laut miliknya terus mengukir rupa sang anak dalam hati serta benak, ia ingin terus mengingat eksistensi diri sebagai alasan utama kepulangannya dari area pertumpahan darah tersebut.

"Ayah ..."

Netra serupa bersitatap, menukar kata lewat mimik wajah kaku dan tegang. Kamu mengerti keadaan Soraru saat ini, kamupun tak bisa menghentikan kepergiannya menuju tempat yang bisa saja membolongi jantung dan raganya. Tapi tetap saja, bahkan Soraru pun tidak ingin ini terjadi, ia takut tak bisa berada di sampingmu lagi, kamu juga demikian, di usia muda sudah kehilangan sosok ibu yang entah masih bernyawa atau sudah rata dengan tanah menjadikan kamu takut Soraru akan bernasib serupa dan pergi meninggalkanmu seorang diri tanpa siapapun. Dada terasa begitu sesak, perasaan saling ingin mencegah meledak-ledak dalam jiwa, namun apa daya takdir tak mengizinkan.

"Apa ayah harus pergi?"

Pertanyaan bodoh menurutmu, tentu saja Soraru harus pergi, ini adalah tugas negara yang mewajibkan tiap lelaki dari berbagai kalangan untuk ikut melawan para tentara musuh demi melindungi tanah kelahiran. Soraru menatap sendu surai senada milik buah hatinya, mau atau tidak ini sudah terjadi, ia tak bisa mundur lagi. Tangan besarnya mengusap penuh objek yang sedari tadi ia perhatikan.

Soraru menghela napas berat, "ayah akan kembali."

Tidak, ayah tidak akan kembali.

Kedua batin berteriak hal serupa, kembali menamparkan kenyataan pada dua pihak. Tentu saja, peperangan tidak sebaik itu untuk mengizinkan seseorang melangkah keluar dari medan tempur dengan kondisi meyakinkan. Itulah perang, saat di mana keberuntungan yang akan menentukan nasib kehidupan.

Kamu merunduk dalam, masih berusaha memaklumi keadaan Soraru kini, bisa dibilang kerasnya lingkungan perang yang mengharuskanmu terus terjebak dalam ketakutan dan kewaspadaan berlebih ternyata berdampak pada caramu berpikir. Di saat anak lain meraung tak ingin salah satu keluarga miliknya pergi, kamu menutup mulut, memaksa diri untuk menerima keputusan dunia dan merelakan satu-satunya sanak tercinta pergi dari sisi. Namun insting seorang anak yang tidak ingin sendirian tanpa kasih sayang orang tua masih tetap ada dalam dirimu, bagaimanapun caramu merelakan, insting tersebut akan terus meledak tanpa dapat dihentikan.

Angin berembus kuat, menerbangkan beberapa anak rambut milikmu, kamu mendongkak, menatap wajah rupawan kepunyaan ayahmu sendiri, sedikit merasa bangga memiliki pelindung sekuat dan sehebat ini, dengan kekuatan penuh kamu tersenyum, diselingi titik kristal bening yang mengalir tanpa sadar, mengabaikan rasa sesak berlebih dalam dada demi bisa menghibur sang ayah yang akan pergi jauh mulai saat ini, "janji?"

Terdiam, Soraru tak mampu menjawab satu kata pertanyaan kecil darimu, ketakutan akan kematian masih menghantuinya. Soraru menyadari jika ia memberi harapan pada sang putri, maka kamu akan terus tenggelam dalam harapan itu hingga waktu yang tidak ditentukan, kamu pun masih mengharap kata 'iya' terucap dari kedua belah bibir Soraru.

"[Name] ..." tangan kekar itu kini bergantung pada pundakmu, Soraru berjongkok tepat di hadapan kemudian menarikmu dalam pelukannya, "jaga dirimu, ya?"

"Eh?"

Ia tersenyum, dengan mata berkaca-kaca, Soraru memelukmu begitu erat. Kedua tangannya tak henti-hentinya mengelus rambut [hair colour] milikmu sembari bergetar menahan rasa. Kristal bening tersebut sekarang mengalir deras melewati lekungan pipi dan akhirnya jatuh diserap tanah, tubuh besarnya terus mencekik dirimu dalam kukungan lengan yang kau yakini tak akan bisa rasakan lagi. Kamu masih diam.

Terlepas dari perihal tak ingin pergi, tanganmu menggenggam kuat seragam bercorak yang Soraru kenakan, dengan sedikit terisak, kamu menenggelamkan wajah dalam pundak berbalut kain kepunyaan Soraru. Berusaha melepas segala kegundahan yang terus bersemayam, napas kamu netralkan sebisa mungkin diselingi isak samar. Kamu sama sekali tak ingin ini berakhir, kamu belum siap dan tak akan pernah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi kedepan.

"Sudah waktunya."

Soraru melepas pelukan yang sedari tadi mengurungmu dalam kehangatan seorang ayah. Wajah yang begitu jarang menampakkan ekspresi selain datar dan kantuk itu kini tersenyum lembut dengan raut masam, di kedua pipi Soraru nampak jalur air mata semi mengering dari sudut netra hingga dagu. Jemari milik ayahmu bergerak menyeka butir kristal air yang masih berlomba-lomba mengalir tanpa henti.

Ia bangkit, berdiri tegak kemudian berbalik membelakangimu, "tetaplah hidup, nak."

Deru tiupan alam menerbangkan lapisan kain yang dikenakan, mengundang unsur perih pada mata lantaran terhempas debu yang dibawa oleh angin. Tetapi kamu tidak peduli, kedua tangan menggenggam semi menarik ujung pakaian Soraru kuat, kembali menolak kepergian sang ayah yang berpotensi hilangnya nyawa. Gigi digertakkan, diri kembali goyah untuk melangkah maju meninggalkan sanak hati.

Namun tekad Soraru telah bulat sepenuhnya.

Dengan perasaan terpaksa, Soraru menepis pelan pasang tangan sang anak. Kemudian berlalu meninggalkan eksistensi dirimu tanpa sekalipun berbalik sekedar memberi senyum terakhir ataupun lambaian tangan perpisahan. Tetapi kamu tetap menatap langkah Soraru dengan penuh senyuman, sebab kamu yakin Soraru tidak akan meninggalkanmu bahkan jika maut menjemput.

Diiringi raut keoranyean kaki langit yang dipancarkan matahari di penghujung tugas, deru angin menerbangkan beberapa lembar daun kering kecokelatan dari sebuah pohok oak tua. Meskipun kebanyakan daun yang gugur berwarna cokelat atau pucat, juga terdapat daun yang masih muda di antara sela helai lainnya, biarpun tidak setua yang lain, daun muda tetap dapat tercabut dari dahannya bukan karena ia lemah, tapi karena adanya tiupan alam yang memaksanya pergi dari asal. Sama seperti sang ayah yang harus pergi bukan karena ia wajib dikorbankan, tetapi karena adanya takdir. Kamu percaya jikalau Soraru tak ada di sisimu saat ini, ia pasti akan menjagamu di masa depan kelak, kapanpun itu pasti akan terjadi.

"Teruslah hidup, [name]. Ayah menyayangimu, selalu."

"Apa yang kau pikirkan Soraru-san?"

Soraru menatap langit biru dengan tatapan teduh, seperti yang diperkirakan, ia akan mati cepat atau lambat, mau tak mau. Mulutnya menghela napas gusar, rekan seperjuangan berambut putih itu tengah sibuk bermain dengan kucing yang kondisinya nampak menyedihkan. Soraru heran, bagaimana kucing bisa selamat sampai di tempat persembunyian mereka meskipun seluruh tubuhnya dipenuhi beragam luka, dan juga kenapa pemuda dengan pipi bercoretkan garis-garis sepertinya lebih mementingkan kucing daripada kewaspadaannya pada sekitar.

Tetapi Soraru tak begitu memperdulikan hal tersebut, pikiran dan perasaannya terus diterjang kegelisahan tak berdasar, membuat gundah dalam hati semakin luas menyebar. Selain itu dirinya pun dilanda sedikit rasa bersalah pada sang putri.

'Harusnya aku memberi tahu [name] sebelum keberangkatanku, tapi entah mengapa aku tidak bisa. Padahal dia bukanlah anak kandungku, namun rasa gelisah ini terus menggangguku.'

"Tidak ada."

Biarlah itu menjadi rahasia yang tak akan tersampaikan, toh, sekarang Soraru hanya perlu melindungimu dari jauh tepat di medan tempur langsung. Teriakan sang komandan membuyarkan lamunan Soraru, memaksa diri bersiap dengan senjata di sisi tubuh, ia masih takut akan kematian, tapi kini ia tak terlalu mempermasalahkannya, asal kamu bisa hidup tenang dari kerasnya pertempuran itu sudah cukup baginya. Ya, Soraru tak akan menyesali tindakannya, ia bak mendengar bisikan suara darimu tepat setelah ledakan luar biasa menghantam kota Hiroshima tempat Soraru bertugas.

"Ayah, tolong aku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top