Bagian: 2
Pendeta telah memberikan daun suci itu kepada kepala desa untuk istrinya. Awalnya kepala desa tidak percaya akan khasiat selembar daun yang entah dari mana itu. Namun, karena ia sangat percaya pada teman baiknya itu, ia pun memberikan daun itu untuk istrinya.
.
.
.
.
.
Secara ajaib, proses kelahiran dari anak pertama sang kepala desa berjalan lancar. Kepala desa sangat bersyukur atas hal tersebut.
"Suamiku... Dia laki-laki yang tampan, aku sangat senang... " Kata sang istri lemah.
"Apa? Laki-laki? "
"Ada apa, suamiku? " Tanya sang istri.
"Kupikir... Kita harus menunggu sekali lagi untuk membalas budi teman baikku itu, istriku. "
"Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, suamiku? Membalas budi apa? " Sang istri itu mengintrogasi.
Sang kepala desa menceritakan segala hal yang terjadi kepada istrinya. Dari masalah desa hingga masalah persalinan istrinya saat ini. Sang istri kepala desa hanya terdiam.
"..."
"Istriku? Ada apa? "
"Tapi... Aku juga ingin anak perempuan suatu saat nanti... "
Mereka berdua terdiam. Entah kenapa lembaran takdir mulai tertiup angin... Membalik, menuju lembaran berikutnya.
***
2 tahun kemudian...
"Kepala desa! Selamat pagi!" Sebuah suara membuat pria yang lebih tua menoleh. "Terimakasih atas kerja kerasnya selama ini, Matsuzo-san! " Kata salah seorang penduduk yang kebetulan berpapasan dengan sang kepala desa—Matsuzo matsuno.
"Ah, ya! Selamat pagi juga, Keiho-san." Balas Matsuzou.
"Katanya istri anda akan melahirkan anak kedua ya? Kudoakan berjalan lancar! "
"Terimakasih! "
Ya, istri kepala desa—Matsuyo matsuno kembali hamil anak kedua. Matsuzou juga sangat menantikan anak kedua mereka ini. Siapa yang akan menolak titipan dewa? Hanya orang bodoh dan tercela yang akan menolaknya.
Kelahiran anak kedua sedikit mengalami kesulitan, hingga berita buruk bahwa istrinya tidak akan bisa hamil lagi membuat Matsuzou bersedih. Setidaknya ia tahu anaknya kini adalah gadis yang cantik.
Semua perhatian secara otomatis tercurahkan pada bayi mungil itu. Bagaimana dengan anak pertama mereka?
10 tahun kemudian...
"Ichimatsu-kun? Ada apa dengannya?" Tanya Matsuyo pada salah satu guru di sekolahnya.
"Sebenarnya... Ia pingsan lagi, Matsuyo-san. Aku tidak tahu kenapa, tapi tubuhnya benar-benar lemah. Saya khawatir akan kesehatannya. " Kata guru SMP itu.
"Baiklah, Ichimatsu-kun akan kubawa pulang... Terimakasih ya bu. " Kata Matsuyo dingin. Guru paruh baya itu tidak menyadari perubahan ekspresi dari wanita di hadapannya itu dan hanya berlalu.
"Kita pulang, Ichimatsu-kun. "
Remaja bermanik ungu itu hanya mengangguk pelan.
***
"Mau sampai kapan kamu seperti ini? Kami sudah muak mengurusmu yang manja itu! " Teriak Matsuyo saat sampai di rumah mereka.
"Maafkan aku... " Anak pertama keluarga Matsuno itu menundukkan kepalanya dalam. Keringatnya menetes dari balik kemeja sekolahnya. Nafasnya tersenggal-senggal.
"Jangan diam saja, daripada tidur seharian di kamar, kau bantu saja ayahmu di ladang. " Perintah sang ibu mutlak. Padahal berdiri saja Ichimatsu sudah bersyukur. Ia sedari tadi diseret oleh ibunya saat pulang. Rasa lemas dan mual masih ia alami sepanjang jalan.
"Tapi... Aku sudah—"
"Berani kau membantah?! Kau pikir selama ini kami tidak kerepotan mengurusi dirimu yang tidak berguna ini? Untuk apa anak laki-laki itu?! Cepat pergi atau—"
"Ibu! Berhenti! " Teriak seorang gadis kecil dari belakang ibunya. Wajahnya kacau, ia ingin menangis, seragamnya kusut karena teremat tangannya sendiri. "Kakak kan sudah bilang ia lelah?! Ibu tidak dengar apa? Todoko... Nangis niiihh!!! Huwaaa!!!" Teriaknya bersamaan dengan buliran air mata menetes ke pipi tembemnya.
"Aduuh, baiklah-baiklah~ jangan menangis ya, Todoko-chan. Ibu belikan permen tapi jangan menangis. Nah, mari pergi!... Ichimatsu-kun, istirahatlah di kamarmu. " Matsuyo melirik putranya yang dianggap tidak berguna itu.
"Baik... Terimakasih ibu... " Ichimatsu beranjak pergi.
Di kamarnya yang sederhana itu, Icimatsu menatap telapak tangannya yang tampak pucat dan dingin dicuaca yang sangat panas.
"Kenapa... Aku harus punya tubuh lemah seperti ini?... Aku ingin membalas semua kebaikan ibu dan ayah...dan Todoko juga." Gumamnya sebelum terlelap.
***
Tanpa mereka sadari, beberapa tahun telah berlalu dengan cepat. Todoko tumbuh menjadi gadis yang manja dan ceria. Berkebalikan dengan Ichimatsu semakin suram, ia dibenci orang tuanya karena tidak dapat melakukan hal yang biasanya anak laki-laki lakukan seperti pekerjaan berat di ladang.
"Sudah kubilang cangkul yang benar! Anak laki-laki itu harus kuat, bukannya loyo sepertimu! " Teriak Matsuzou dari samping ladang. Ichimatsu mengusap keringat yang sedari tadi tidak berhenti menetes. Matahari seakan-akan berada di atas kepalanya.
"Uhuk! Uhuk! " Ia menjatuhkan cangkulnya dan menahan tubuhnya dengan tangan. "...sesak...ayah, istirahat...sebentar... " Katanya amat pelan.
"Ini bahkan masih belun setengahnya! Lanjutkan pekerjaanmu! " Perintah ayahnya. Ichimatsu mencoba berdiri kembali, tapi kembali terduduk.
"Selamat siang, Matsuzo-san! Wah, Ichimatsu-kun sedang membantu Matsuzo-san di ladang ya? " Kata salah seorang petani yang ladangnya bersebrangan dengan ladang keluarga Matsuzou.
"Selamat... Siang... " Jawab Ichimatsu seraya tersenyum paksa. Kakinya sudah gemetar.
"Ada apa nak? Kau sakit? Matsuzo-san, kupikir Ichimatsu-kun perlu istirahat sebentar! Ia kelelahan. " Kata petani itu.
"Segitu saja, seharusnya anak laki-laki bisa melakukannya dengan cepat. " Kata Matsuzou kesal.
"Tapi kata anakku, tubuh Ichimatsu-kun memang lemah sejak lahir. Dia tidak bisa melakukan hal berlebihan seperti itu. " Bisik petani itu pada Matsuzou.
"Oleh karena itu aku akan mendidiknya agar bisa mandiri! Bekerja seperti orang pada umumnya dan menjadi lebih kuat! " Ucap Matsuzou semangat. "Jadilah laki-laki! Ichimatsu! "
"Ba-Baik... "
Tidak berapa lama kemudian, Ichimatsu sudah pingsan duluan.
"Ichimatsu-kun?! " Kedua pria dewasa itu terkejut dengan jatuhnya Ichimatsu.
***
Matsuzou terlihat sangat bingung, kenapa anak laki-lakinya sangat lemah? Padahal ia sudah sebisa mungkin mengajari anaknya agar kuat dan sehat. Tapi apa yang ia lakukan? Pingsan saat berladang dan hanya bisa bermain dengan kucing di kamar, bersosialisasi saja tidak bisa!
Renungannya terputus oleh dering telpon rumah berwarna hitam. Matsuzou dengan segera mengangkatnya. "Halo, dengan keluarga Matsuno... Ah! "
.
.
.
.
.
Ichimatsu kini berada di depan kedua orang tuanya. Adik perempuannya—Todoko, tengah menangis tersedu-sedu.
"Aku tidak ingin ke gereja! Aku ingin bersama ayah dan ibu! Aku tidak ingin jadi pelayan dewa! " Teriaknya diantara isak tangis. Ichimatsu sama sekali tidak mengerti alasan ia diseret kemari.
"Todoko... Mau pergi kemana? " Tanyanya pada kedua orang tuanya.
"Ibu sudah memutuskan, bukan adikmu yang akan pergi. Tapi kau, Ichimatsu-kun. " Kata ibunya.
Ichimatsu sedang memproses pikirannya. "Um, maksud ibu... Menjadi pendeta? " Menjadi pendeta? Bagaimana Ichimatsu yang tiap hari merepotkan kedua orang tuanya itu layak menjadi pendeta?
"Bukan pendeta, tapi biarawati. "
"Kau adalah seorang wanita mulai sekarang. " Kata ibunya tercinta.
"Gantikan adikmu, kau tega melihatnya bersedih? " Kata ayahnya tegas. "Ayah pernah membuat kesepakatan dengan teman lama untuk memberikan anak perempuan sebagai biarawati di gerejanya saat berumur 18 tahun. Pergilah, kemasi barangmu. "
"Lagipula selama ini kau tidak bisa bertingkah seperti anak laki-laki pada umunya bukan? Sesekali bergunalah, dan jangan sampai ketahuan. "
Eh? Itu artinya... Mereka berdua berniat menjual anak mereka sejak awal?
"Tapi—"
"Jika bukan kakak, maka aku yang akan pergi! Kakak tidak kasihan padaku? Selama ini aku telah menolong kakak lho! Nee, kumohon! " Kata Todoko memelas pada kakaknya.
Sungguh, pengkhianatan yang manis, Todoko. Terimakasih atas prilakumu yang sukses meluluhkan hati kedua orang tuamu itu.
Bersikap manja, padahal sebenarnya bermuka dua. Ia pernah mendengar rencana ayahnya yang akan mengurungnya menjadi pelayan dewa selama akhir sisa hidupnya, tentu saja ia tidak mau!
"Baiklah... Aku akan pergi. "
***
Ekor iblis itu bergoyang-goyang menampar udara kosong. Sepatunya mengetuk-ketuk lantai pemujaan.
"Aku bosan sekali... Benar-benar bosan. Apa tidak ada yang bisa kulakukan disini selain mengganggu pendeta baru yang terkenal itu? Melihatnya saja aku sudah jijik dan ingin menghancurkannya. " Iblis bernama Osomatsu itu kesal setengah mati dengan adanya pendeta baru di gereja jajahannya. Pendeta itu membuat banyak orang datang ke sana setidaknya untuk bertemu dan berdoa semoga dijodohkan dengan pendeta tampan itu——yang tentu saja tidak mungkin dikabulkan.
"Jangan mengganggu pengikutku terus menerus, lama-lama nanti kubunuh kau dengan kekuatanku. " Kata dewa Choromatsu di sebelahnya. Mungkin ia sudah terbiasa diganggu iblis licik itu hingga mereka saling kebal dengam ancaman satu sama lain.
"Ya-ya~terserah kau sajalah. Aku akan menunggu seseorang yang menarik datang ke gereja ini lagi, mungkin... 100 tahun lagi? Atau 200 tahun lagi? " Katanya malas.
Seketika itu, pintu gereja yang amat besar dibuka untuk umum. Upacara harian akan dimulai. Choromatsu tersenyum melihatnya. Apalagi ketika seorang gadis manis dengan surai pink masuk ke dalam sana untuk berdoa kepadanya.
"Apa-apaan ini? Kenapa kau melirik manusia itu dengan antusias? Dasar dewa gadungan. " Celetuk Osomatsu. Choromatsu langsung menendang iblis itu hingga terjatuh ke lantai altar. "Sakit hoi! "
"Diam kau! Ada seseorang yang baru... Aku tidak pernah melihatnya di sekitar sini..." Bentakan Choromatsu terhenti saat seorang gadis dengan kulit pucat memasuki gereja ditemani ayahnya yang gemuk.
"Wah, apa anda Matsuzou-san? Saya adalah pengurus gereja ini, nama saya Karamatsu. Anda ingin bertemu dengan Tanaka-san benar begitu? Tolong tunggu sampai upacara selesai, anda bisa duduk di sebelah sini sedangkan putri anda di sebelah sana. Mari! " Pendeta muda itu menyapa ayah dan anak dengan ramah. Budinya sungguh luhur, Choromatsu menyukai cara penyampaian pidato dan bacaan yang diucapkan oleh Karamatsu kepadanya ia pikir, manusia mulai lupa akan dirinya, ternyata masih ada seseorang semenarik Karamatsu.
"Wah, sepertinya aku menemukan orang yang menarik di gereja ini... " Gumam Osomatsu pelan. Ia melirik seorang gadis yang hendak duduk disalah satu tempat duduk. Ia terlihat sedikit ragu, ayahnya menepuk punggungnya pelan.
"Jangan sampai ketahuan atau kubunuh kau. " Bisiknya teramat pelan. Yang dibisikan hanya menatap hampa. Mereka duduk di tempat masing-masing. Upacara pun berlangsung dengan hikmad.
Seorang gadis... Tidak—itu adalah Ichimatsu yang menyamar sebagai adiknya. Entah kenapa, orang tuanya tega melakukan ini kepadanya. Semoga saja ia tidak ketahuan... Setidaknya... Selamanya.
Bersambung...
Hola, maaf kalau Ichi agak OOC. Bukan sebenarnya, hanya saja aku pakai sifat Ichi yang—yang se-Ichi banget (are?) , kan sebenarnya Ichi itu hatinya rapuh, ditambah difanfic ini dia sakit-sakitan (oke, aku memang suka banget bikin husbuku tersiksa :'v gomen, Ichi) .
Btw cerita ini sudah masuk hari kedua ya, yeeeaaay~ tinggal 3 chapter lagi dan langsung end. Gimana akhirnya? Happy endingkah untuk Ichi? Atau sad ending? Atau ending ngegantung? Coba tebak ya, beneran nih cerita udah kutamatin sebelum mutusin buat 5 hari berturut-turut update. Jadi tinggal tambahin catetan gaje ini, trus tekan publish! Jadi sudah dipastikan endingnya udah kubuat~ ara, semoga betah baca ceritaku ini yak!
Jangan lupa vote, komen, dan saran agar aku semakin meningkat dalam menulis. Share juga kepada penggemar Osomatsu-san lainnya!
Arigatou, Senpai-tachi!
\(-ㅂ-)/ ♥ ♥ ♥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top