Two: Medieval Us

His love happens at such a wrong time yet at the right place.

***

Sean bekerja keras untuk melindungi keluarganya---setidaknya, apa yang tersisa dari keluarganya.

Peperangan di luar sana membuatnya kehilangan sang ibu dan sang kakak. Kini, dia sedang mencoba untuk menghentikan pendarahan di kaki sang ayah yang terkena ayunan pedang seorang prajurit yang entah datang dari mana.

Mereka menyebutnya Hundred Years' War, yang sebetulnya sudah berakhir beberapa hari lalu dengan England memenangkan perang dari Prancis. Namun, pendarahan sang ayah tidak kunjung berhenti. Karena pendaharan di kakinya, sang ayah mulai kelihatan pucat; ia kehabisan terlalu banyak darah.

"Father, I will bring you to a hospital," ucap Sean segera setelah ia selesai mengganti perban di kaki sang ayah.

Ayahnya tersenyum lemah, bibirnya yang kering masih mengusahakan untuk membuat ukiran bulan setengah lingkaran. "Dengan uang apa, Sean?"

Sean menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan memikirkan itu, Ayah. Tolong, biarkan saya membawamu ke rumah sakit."

"Tidak apa-apa, Sean. Ayah lebih baik seperti ini."

"Apa yang lebih baik seperti ini? Ayah kehilangan darah perlahan!" seru Sean. Kedua matanya memanas, ia tidak kuasa melihat wujud sang ayah yang lemah.

Akan tetapi, sang ayah masih saja tersenyum. Sinar matahari yang menyelinap melalui lubang dari atap menyinari wajahnya yang pucat, membuat Sean ketakutan dengan waktu yang dia punya.

"Ayah, saya mohon. Biarkan saya membawamu ke rumah sakit. Hari itu, hanya kakimu yang kena pedang tetapi pendarahannya tak kunjung berhenti. Saya tidak tahu apa yang salah denganmu, jadi mungkin dokter-dokter bisa membantu."

Sang ayah tetap menggelengkan kepalanya. "Kamu tidak seharusnya berjuang untukku, Sean. Perang sudah berakhir, kenapa kamu tidak pergi ke rumah paman dan bibimu saja?"

"Ayah, saya mohon. Berikan saya kesempatan untuk membawamu ke rumah sakit. Jangan menyerah begitu saja, saya yakin Ayah masih bisa diselamatkan."

Ayah Sean sebenarnya tidak mau bertahan karena dia tahu bahwa mereka tidak lagi memiliki uang untuk biaya perobatan. Dia juga tidak bisa merasakan kaki kirinya yang mengalami pendarahan.

Sean mungkin tidak melihatnya karena celana hitam dan banyaknya darah yang keluar, tetapi ayah Sean---Alvin---tahu bahwa lukanya sangat dalam. Dia tidak mau menyusahkan Sean. Dengan keadaan pascaperang seperti ini, di mana Sean bisa mendapatkan pekerjaan?

Dengan janji bahwa Sean akan membawa ayahnya berobat, remaja itu bergegas dan pergi ke tengah kota. Jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi apabila dia menempuhnya dengan berjalan kaki, akan membutuhkan waktu selama tujuh jam.

Sean telah menyimpan beberapa makanan dan beberapa botol minum di dekat sang ayah. Jadi, apabila Alvin haus atau kelaparan, dia tidak perlu menunggu Sean kembali ke persembunyian mereka.

Tempat persembunyian mereka tidak bisa dikatakan layak. Mereka hanya berteduh di bawah puing-puing rumah yang kelihatannya akan roboh hanya dengan embusan angin. Karena itulah, Sean berencana untuk membawa sang ayah ke rumah sakit.

Dari pada berdiam bersamanya, Sean akan merasa tenang apabila Alvin ada di bawah penanganan para dokter. Walau tidak banyak rumah sakit yang beredar, tetapi menurut Sean, di abad ke-14 ini, obat-obatan sudah cukup maju untuk menangani Alvin.

Yang dia perlukan hanya sejumlah uang untuk membayar jasa para dokter nanti.

***

Bruk!

"Suara apa itu?" Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia berusaha untuk mencari sumber suara, tetapi tidak ada apa pun di sekitarnya kecuali semak-semak yang dipenuhi dengan mawar dan beberapa pohon yang habis terbakar.

Dia berbalik, mendapati seorang laki-laki dengan baju kumuh dan kaki telanjang sebelah menatapnya balik. Laki-laki itu menggenggam sebuah karung kecil kusam yang terlihat kosong di tangan kiri.

Pipinya luka, begitu pun dengan tangan dan kakinya yang tidak beralas. Rambutnya yang panjang dan acak-acakan sedikit menutupi matanya, tetapi si gadis tahu bahwa laki-laki itu sedang ketakutan.

"Halo," sapa si gadis. "Apa kamu ... apa kamu butuh bantuan?"

Laki-laki itu tidak menjawab.

"Apa aku mengejutkanmu?" tanya si gadis sopan.

"Ma ...," laki-laki itu akhirnya membuka mulut, dia kemudian membungkukkan tubuhnya sedalam mungkin, "maafkan hamba, Putri!"

Si gadis menatap rakyatnya dengan tatapan iba. Dia mendekat beberapa langkah. "Tidak apa-apa, berdirilah."

"Nama ... nama saya Sean Gavin, Yang Mulia. Ma-maksudku, Putri. Saya ke sini untuk ... um, untuk ...."

"Apa kamu perlu bantuan?"

Sean mendongak ketika dia mendengar pertanyaan Sang Putri. Suaranya terdengar gemetar, jelas sekali bahwa Putri khawatir akan keselamatan Sean.

Sebelum Sean mengatakan bahwa dia baik-baik saja, Putri memanggil penjaga dan meminta mereka untuk membawanya ke ruang pengobatan di istana. Sean sempat menolak, tetapi Putri tidak mau mendengar.

Kini, Sean menyesal karena dia berpikie untuk pergi ke istana dan mencuri beberapa keping emas. Namun, rasa panik menghantuinya. Dia juga tidak bisa meninggalkan Alvin terlalu lama, ini sudah lebih dari sehari semenjak Alvin ditinggalkan di puing-puing rumah itu.

Ketika Sean sampai di kota, matahari telah tenggelam. Dia mencoba untuk mengendap-endap dan mencuri beberapa keping emas dari rumah warga yang masih kokoh, tetapi tidak ada satu pun rumah yang memiliki keping emas.

Semua harta benda dibawa oleh para penduduk. Gilanya, dia terpikir untuk menyusup ke istana yang memakan waktu setengah hari apabila ditempuh dengan berjalan kaki. Dengan karung kecil yang ditemukan Sean di rumah terakhir, dia mencoha untuk memanjat dinding bagian belakang di mana kebun berada.

Sean berpikir, semua anggota keluarga bangsawan dan para prajuritnya tidak akan muncul di kebun dengan jumlah protes yang ada di depan sana.

Sayangnya, dia lupa dengan keberadaan Sang Putri; gadis sepantaran Sean yang tidak menyukai konflik. Dari awal, seharusnya Sean menyadari bahwa ketika para bangsawan dan prajurit disibukan dengan warga di depan istana, Sang Putri pasti akan menghindari situasi tersebut dan berdiam di kebun belakang istana.

Memang jarang bagi para rakyat untuk mengetahui bahwa ada seorang putri di istana. Mereka hanya tahu bahwa Sang Raja, Edward III, yang memiliki penerus yaitu Richard II. Sang Putri tidak pernah keluar istana, tetapi ada juga beberapa rakyat yang mengaku melihat seorang perempuan dengan gaun sederhana dan tataan rambur yang sederhana pula selalu menyirami tanaman di sekitar istana pada pukul lima pagi.

Perempuan itu selalu menyapa orang-orang yang lewat. Dia memang tidak bisa dibilang cantik, tetapi banyak orang menganggapnya manis karena senyuman yang selalu terukir di wajahnya.

Banyak orang berpikir bahwa dia mungkin anak dari Edward III dan Philippa, tetapi si gadis tidak terlihat mirip dengan mereka. Banyak asumsi mengenai gadis tersebut, tetapi yang paling populer adalah gadis itu merupakan seorang putri yang disembunyikan.

Ada yang bilang, sang putri tidak pernah ditunjukkan di depan publik karena merupakan seseorang yang memiliki kepribadian antisosial.

Ada juga yang mengatakan bahwa sang putri mungkin dianggap sebagai kekecewaan bagi raja England. Yang pasti, sang putri dianggap sebagai rahasia istana.

Kini, "putri rahasia" itu ada di samping Sean, sedang mengobati luka bakal dan goresan-goresan yang belum kering di tangan kirinya.

"Kamu seharusnya tidak memanjat benteng setinggi itu. Apakah tulangmu patah? Tadi, kamu terjatuh pada bokong atau punggung?" tanya Sang Putri.

Sean menggelengkan kepalanya pelan. "Saya tidak apa-apa, Putri. Terima kasih telah mengkhawatirkan saya."

"Hm, kamu bisa berhenti memanggilku 'putri'."

"A-Anda bukan seorang putri?"

"Iya, saya seorang putri. Namun, saya tidak suka ada orang yang memanggil saya demikian. Nama saya Kathryn," tutur Sang Putri---yang mengklaim bahwa namanya adalah Kathryn.

Sean hanya menganggukkan kepalanya pelan, dia tidak tahu harus berbuat apa. Kathryn terlihat fokus dengan tangan kiri Sean, tetapi Sean khawatir Kathryn tahu motifnya memanjat benteng istana. Lagipula, itu adalah hal terbodoh---yang terbodoh dari yang paling bodoh---yang pernah dilakukannya.

Orang mana yang tidak akan curiga pada kelakuan Sean?

"Nah," Kathryn membereskan alat-alatnya, "sudah selesai. Aku tidak bisa melakukan apa pun pada luka bakarmu, lukanya sudah kering."

Senyuman diukir Kathryn pada wajahnya yang manis. Kedua manik mata dengan netra cokelatnya menatap Sean lembut. Melihat tatapan itu, Sean mulai merasa bersalah.

Walau gemetar, dia berdiri dari tempatnya terduduk lalu bersujud di hadapan Kathryn.

"Tuan Gavin!" seru Kathryn. Ia terkejut dengan kelakuan Sean yang tiba-tiba.

"Saya mohon maaf dan ampunanmu, Tuan Putri! Saya memanjat benteng istanamu karena saya berniat untuk melakukan dosa; saya berniat untuk mencuri beberapa keping emas. Mohon maafkan niat saya, saya mengaku saya telah berdosa!"

Para penjaga yang mendengar pengakuan Sean kemudian bergerak sendiri atas refleks mereka. Tadinya, mereka berdiri dekat dinding, membiarkan Kathryn mengobati Sean yang terduduk di kursi kayu dekat ranjang pengobatan.

Kini, mereka melihat Sean sebagai ancaman. Namun, Kathryn memberikan isyarat untuk berhenti. Sang Putri menunduk, lalu ia terduduk di hadapan Sean yang masih bersujud.

"Kenapa kamu berniat untuk mencuri keping-keping emas itu?" tanya Kathryn dengan suara yang paling tenang yang pernah Sean dengar.

Tanpa mendongak, Sean menjawab, "Untuk ayah saya berobat, Putri. Saya tidak punya harta, saya juga tidak bisa menemukan pekerjaan dalam waktu dekat, jadi saya terpaksa melakukannya.

"Saya sempat pergi ke rumah-rumah yang masih berdiri dan mencari keping-keping emas di sana, tetapi saya tidak menemukan apa pun. Saya hanya terpikirkan istana untuk solusi saya.

"Please, have mercy."

Kathryn mengusap puncak kepala Sean. Hal itu berhasil membuat Sean mendongak. Sang Putri menyuruh Sean untuk bangkit dan duduk, maka itulah yang Sean lakukan.

"Sean Gavin," panggil Kathryn, "apa yang ayahmu derita?"

"Saya tidak tahu, tetapi sejak paha laki kirinya tersayat pedang musuh, darah tidak berhenti mengalir dari sana. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Maafkan saya, Tuan Putri."

Kathryn mengangguk.

Eh, mengangguk?

"Saya memaafkanmu, Tuan Gavin. Tolong, lain waktu, jangan berpikir untuk melakukan hal semacam itu. Untuk saat ini, pengobatan ayahmu akan ditanggung olehku," ucap Kathryn.

"Tuan Putri!" Sean tersentak, dia hampir saja beranjak dari duduknya.

Kathryn mengangguk. "Bawalah ayahmu kemari, Sean. Saya akan memanggil tenaga medis paling andal yang kami punya. Tentang niatmu mencuri keping-keping emas di istana, saya tidak akan mengatakannya pada siapa pun."

"Oh, terima kasih!" seru Sean. Dia memeluk Kathryn erat sambil berusaha untuk menahan tangis harunya. "Terima kasih ba---eh, maaf! Maaf!"

Laki-laki di hadapan Kathryn bersujud beberapa kali. Tingkah laku Sean membuat si gadis tertawa.

Tawa yang renyah.

Sean menatap Kathryn lekat, menyadari bahwa sang putri yang dirahasiakan oleh istana justru merupakan orang yang sangat penyayang.

Eh ....

Sangat ramah.

... Ayah akan sembuh.

Sean kagum. Untuk kali pertamanya, Sean berinteraksi dengan seorang bangsawan dan dia tidak bersikap angkuh kepadanya yang hanya rakyat biasa.

***

Walau Alvin tidak lagi bisa memakai kaki kirinya, dia berhasil bertahan hidup berkat bantuan dari Kathryn. Ada beberapa kendala yang harus dihadapi oleh Sean selama Alvin dirawat di istana di bawah tenaga medis terbaik di negeri.

Kathryn telah mencoba untuk membujuk Edward III dan Philippa, tetapi mereka bersikeras bahwa "rakyat jelata" tidak pantas terlihat di dalam istana. Mereka tidak masalah dengan keberadaan mereka di luar istana, tetapi tidak jika mereka harus tinggal barang sebentar apalagi tanpa membayar apa pun.

Cara berpikir seperti itu membuat Kathryn frustrasi, sesekali merasakan amarahnya meluap di dalam dada. Sean, di sisi lain, merasa tidak pantas apabila seorang putri mempertahankan keberadaannya sampai dia harus berdebat dengan Sang Raja.

Maka, hari ini, Sean memutuskan untuk mencoba dan membuat kesepakatan dengan Edward III dan Philippa. Dia tahu dia harus keluar dari istana sesegera mungkin, mengingat kondisi Alvin pun telah membaik, tetapi ke mana mereka harus pergi setelah itu?

Sanak saudara Sean tidak bisa dihubungi, ia menganggap mereka semua meninggal ketika Prancis menyerang dalam perang. Tidak ada tempat bagi Sean dan Alvin untuk menetap, mereka juga tidak mungkin mendapatkan pekerjaan mengingat krisis ekonomi yang tengah melanda negeri.

Satu-satunya pilihan adalah untuk membujuk Sang Raja.

Karena itulah, Sean ada di hadapan Edward III dan Philippa, membungkuk dengan santun.

"Yang Mulia Raja Edward III," sapa Sean kemudian kembali berdiri tegak dengan kepala tertunduk.

Edward III mengangguk meski ia tahu Sean mungkin tidak melihat anggukan kepalanya. Sean berdeham, memberanikan diri mengajukan kesepakatan yang telah ia pikirkan.

"Yang Mulia, terima kasih atas bantuan Anda untuk ayah saya. Karena Anda, ayah saya kini bisa bertahan hidup. Namun, saya tidak memiliki keping emas untuk membalas budi.

"Jadi, saya berkenan untuk berbakti kepada Yang Mulia selama Yang Mulia inginkan tanpa menerima imbalan. Hanya saja, biarkan ayah saya tinggal di sini bersama saya."

Edward III tertawa kecil. "Tentu, saya akan menerima baktimu. Namun, saya tidak mau menyimpan ayahmu itu."

"Kalau begitu," seru sebuah suara daei ujung ruangan, "berikan Tuan Gavin rumah yang layak. Tanpa itu, kupikir tidak adil bagimu menjadi seorang raja dengan bakti Sean Gavin yang tanpa imbalan."

Kathryn berdiri di samping Sean dengan dagu terangkat ke atas. Sepasamg manik bernetra cokelatnya menatap Edward III dan Philippa tajam.

Eskpresi yang dibuat oleh raja dan ratu England tentu menjelaskan pikiran mereka mengenai ide yang Kathryn lontarkan. Namun, mereka tidak memiliki alasan untuk menolak selain ego mereka sendiri.

Permohonan Kathryn untuk Sean dikabulkan, begitu pun dengan perjanjian Sean kepada Edward III.

Dengan hasil dari kesepakatan yang Sean buat, dia cukup senang. Ayahnya punya rumah untuk tinggal, setidaknya sekarang Alvin tidak perlu buru-buru mencari pekerjaan sementara Sean ada di istana setiap hari.

Sepanjang waktu.

Sepanjang pekan.

Ketika Sean dan Kathryn keluar dari ruang takhta, Kathryn meminta Sean untuk menemuinya di kebun istana malam itu juga, pukul sebelas malam. Selain para penjaga, tidak ada yang terbangun di waktu tersebut. Namun, Sean tidak mempertanyakan niat Sang Putri.

Yang ada dalam pikirannya adalah kabar baik bahwa sang ayah akan memiliki rumah yang layak pascaperang.

***

Cahaya rembulan menerpa kulit si gadis yang tengah menatap bunga-bunga mekar di semak-semak. Dia dalam gaun tidurnya yang berkilau membuat malam di kebun hari itu terlihat bersinar.

Sean mendekat dengan kepala tertunduk, menjaga pandangannya dari Sang Putri. "Saya di sini, Tuan Putri. Adakah masalah yang ingin Anda bicarakan dengan saya?"

"Are you out of your mind?!" seru Kathryn tanpa berbasa-basi. Di bawah sinar rembulan malam itu, Sean melihat ekspresi kesal Kathryn yang terukir jelas pada wajahnya.

"I beg your pardon?"

"Sean, baktimu akan dianggap untuk selamanya! Apa kamu mau terpenjara di sini untuk selamanya?" Kathryn menepuk jidatnya pelan, dia berjalan maju dan mundur.

Pertanyaan itu membuat Sean mendongak. "Saya tidak keberatan."

"Aku tahu kamu sepantaran denganku, Sean. Tanpa kamu memberitahuku, aku tahu kamu hanya remaja usia 18 tahun. Kamu masih perlu pendidikan."

"Usia saya 19 tahun."

"Apa bedanya itu?" Kathryn mendekat, menatap wajah Sean yang diterpa sinar rembulan. Kulitnya yang putih pucat bagai susu itu terlihat berkelip pada malam hari.

"Sean," Kathryn mengembuskan napas panjang, "kamu tidak akan bisa meninggalkan istana. Artinya, kamu juga tidak bisa pulang ke rumah dan bertemu dengan ayahmu."

"Iya, saya tahu konsekuensi dari kesepakatan yang saya ajukan."

"Sean, dari awal yang kauajukan itu bukan kesepakatan, melainkan penjualan diri."

"Saya tidak melihatnya seperti itu."

"Sean!"

Sentakan itu membuat Sean sedikit khawatir. "Tuan Putri, saya tidak merasa saya dalam bahaya atau dirugikan."

"Kenapa kamu bisa berpikir demikian?" seru Kathryn. "Kamu sudah melihat bagaimana Raja dan Ratu memperlakukan pekerja di istana, begitulah sifat asli mereka. Apa kamu tidak terganggu?"

Keheningan malam menemani mereka untuk beberapa saat. Dalam detik-detik keheningan itu, Kathryn melihat senyuman tipis terukir pada wajah Sean.

Ini bukan kali pertamanya dia melihat Sean tersenyum.

Bukan pula kali pertamanya melihat sorot mata lembut itu.

"As long as you are present, M'lady, I find no problems to be here."

Kedua alis Kathryn bertemu. "Kenapa?"

"Anda telah membuat saya---"

"Kenapa harus kamu?" potong Kathryn. Sean sedikit bingung dengan pertanyaan tersebut, dia sesegera mungkin menatap Kathryn, tetapi Sang Putri menundukkan kepalanya.

Tanpa memberikan kesempatan bagi Sean untuk bertanya, Kathryn berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Sean di kebun istana sendirian.

Dalam kebingungannya, Sean berbalik dan masuk ke dalam istana. Besok adalah hari pertamanya sebagai pelayan para bangsawan.

***

Dua minggu telah berlalu dan Kathryn telah melewatkan rutinitas paginya selama itu. Biasanya, pada pukul empat, Kathryn sudah bangun dan memasak sarapan sendiri. Kemudian, dia akan menyirami tanaman yang mengelilingi istana sendirian.

Biasanya, setiap pagi, Kathryn sudah mengelilingi istana dan menyapa semua orang di sana. Namun, dua minggu terakhir ini, Kathryn tidak melakukan rutinitasnya.

Tidak seperti Kathryn yang biasanya, Sang Putri baru keluar kamar apabila jam telah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Maka dari itu, hari ini Sean membuat sarapan yang selalu dibuat oleh Kathryn; panekuk dan daging.

Sean berjalan perlahan menuju lantai dua di mana kamar Kathryn berada. Tangga istana dihiasi dengan karpet merah dan border berwarna emas, tidak lupa beberapa vas bunga di sudut-sudut ujung tangga.

Bunga-bunga yang ada dalam istana dirawat secara pribadi oleh Kathryn. Maka dari itu, bunga-bunganya bisa hidup lama dan terawat.

Saat Sean sampai di lantai dua, dia belok ke kiri lalu berhenti di pintu ketiga. Tangan kanannya memegang nampan dengan sarapan, air putih hangat, serta satu buah apel hijau kesukaan Kathryn sedangkan tangan kirinya sudah terkepal bersiap untuk mengetuk pintu kamar.

Akan tetapi, Sean mendengar suara dari dalam kamar Kathryn sehingga ia urung mengetuk pintu. Karena berasumsi Kathryn sedang berbincang dengan para pelayan wanita, Sean menyimpan nampan sarapannya di samping pintu dan bergegas pergi.

Aksinya dihentikan oleh suara seorang wanita yang menyebut nama Sean.

"Nona, apakah Anda yakin ini yang Anda rasakan?" Suara wanita yang menyebut nama Sean terdengar.

"Saya tahu, Meredith," suara Kathryn ikut terdengar, "perasaan ini tidak boleh ada. Tidak pernah boleh."

"Oh, Nona ...."

"Meredith, apa yang harus saya lakukan? Saya memang tidak menyukai Ayah dan Ibu, tetapi saya menyayangi rakyat England. Kalau saya tidak ada di istana, mereka ... mereka ...."

"Nona," Meredith terdengar menghela napas yang berat, "maafkan saya apabila saya lancang, tetapi mengapa Anda bisa merasakan demikian tentang Tuan Sean?"

"Saya ... saya rasa saya terbiasa tinggal di istana dengan sikap angkuh Ayah dan Ibu. Saya terbiasa dengan cara mereka memperlakukan orang lain sehingga terkadang, saya berpikir sikap mereka adalah hal yang normal.

"Semakin saya beranjak dewasa, saya tahu bahwa tindakan mereka salah. Tidak ada orang tua yang seharusnya memperlakukan anak mereka seperti mereka memperlakukan saya.

"Mereka tidak pernah melihat saya, mereka tidak pernah mengakui saya sampai di titik di mana rakyat pun tidak mengenali saya. Oh, Meredith, saya ingin menjadi anak yang baik. Namun, sikap mereka membuat saya muak.

"Saya melakukan apa yang saya bisa untuk tidak berubah menjadi mereka. Meredith tahu itu, 'kan?"

Sean tidak lagi mendengar suara apa pun dari dalam kamar. Otaknya memerintahkan kedua tungkai Sean untuk segera bergerak, tetapi entah mengapa sulit untuk menurut.

"Iya," suara Meredith akhirnya terdengar, "karena itulah Anda meminimalisir interaksi dengan orang-orang sebanyak mungkin; Anda tidak tahu harus bersikap seperti apa agar tidak berubah seperti Raja dan Ratu."

"Benar," ucap Kathryn. "Lalu ... lalu, Sean muncul. Oh, saya tahu hari itu dia berniat untuk mencuri, tetapi dia adalah seorang amatir. Dia hanya seorang laki-laki naif yang baik hati yang terpaksa dengan keadaan.

"Saya ingin meneriakinya, tetapi entah mengapa saya merasa ... iba. Sesuatu yang belum pernah saya rasakan selama 18 tahun saya hidup, Meredith. Saya mengobati luka-lukanya, lalu dia meminta maaf di hadapan saya.

"Ingatlah bahwa saya tidak pernah sekali pun berinteraksi langsung dengan seorang rakyat. Itulah kali pertamanya saya menyadari bahwa saya benar-benar peduli dengan keadaan mereka.

"Kali pertamanya saya tahu bahwa seharusnya istana berusaha lebih keras demi para rakyat. Sean ... Sean membuka hati saya, menuntun saya ke jalan yang selama ini saya cari.

"Lalu, ketika ayahnya dirawat di sini, saya bisa melihat cara mereka memperlakukan satu sama lain. Saya tahu ayah Sean tidak mau mempersulit sang anak, tetapi Sean ingin berusaha yang terbaik untuk sang ayah.

"Selama mereka ada di istana, saya ... saya sering memperhatikan Sean."

"Memperhatikan Sean?" beo Meredith.

"Iya, memperhatikan Sean. Saya melihat cara dia berbicara kepada orang lain di istana, bagaimana dia mau membantu kalian para pelayan tanpa diminta, bagaimana dia menyayangi ayahnya yang malang, dan bagaimana dia tersenyum ramah kepada semua orang.

"Dan bagaimana dia ... bagaimana dia memperlakukan saya seperti seorang gadis tanpa niat terselubung. Dia bahkan rela terperangkap di bawah naungan Ayah dan Ibu hanya untuk berterima kasih. Oh, he's a charming man, Meredith."

Sean mengerutkan keningnya. Dia merasa bersalah, berdosa, dan terkejut ketika mendengar pengakuan Kathryn. Kakinya sulit untuk digerakan, padahal, dia ingin segera pergi dari sana.

"Bagaimana kalau Nona menenangkan pikiran dengan melihat-lihat tanaman di kebun istana? Nona sudah jarang keluar pagi-pagi, bukan?" tanya Meredith.

"Saya tidak mau keluar di jam-jam ini, saya malu. Sean selalu memulai harinya sepagi rutinitas biasa saya, jadi, saya pasti bertemu dengannya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan di hadapan Sean.

"Setiap kali dia ada di hadapan saya, saya tidak bisa berbicara, wajah saya terasa panas, jantung saya berdetak terlalu cepat, dan telapak tangan saya berkeringat."

"Saya akan menemani Nona," tawar Meredith.

Ada perasaan lain yang Sean rasa, tetapi dia sulit untuk mengenal apa yang mengganjal di hatinya. Pikirannya buyar, pupilnya melirik ke sana kemari; mencoba untuk mencerna informasi yang baru saja diterimanya.

Tidak ada suara dari balik pintu, maka Sean berasumsi bahwa Kathryn sedang mempertimbangkan tawaran Meredith mengenai dia yang akan menemani Kathryn melihat-lihat kebun---

Pintunya terbuka.

... Eh.

Kathryn menatap Sean dengan alis terangkat dan mata yang membelalak. Wajahnya memerah, bagai buah delima yang baru saja matang.

"Eh ...." Kathryn terpaku di ambang pintu, sedangkan Meredith nampak di belakang Kathryn, tersenyum kikuk seraya mundur beberapa langkah.

Sang Putri berdeham. "A---kamu, sedang apa kamu di lantai dua?"

"Ah, maaf, Tuan Putri---"

"Kenapa kamu minta maaf?" potong Kathryn. Kentara bahwa dia panik dari suaranya yang tremor.

Sean menggelengkan kepalanya kuat, dia kini menghadap ke arah Kathryn. "Maksud saya, itu ... saya berniat untuk membawakan sarapan Anda karena sudah dua minggu ini Anda tidak sarapan, jadi ...."

"Sudah berapa lama kamu ada di depan kamar saya?" tanya Kathryn.

Sean juga merasakan apa yang Kathryn bilang dia rasakan ketika berhadapan dengan Sean. Remaja dengan jas hitam dan sarung tangan putih itu merasakan wajahnya yang memanas serta jantung yang berdetak lebih cepat ketika Kathryn muncul dari balik pintu.

Tidak pernah sekalipun Sean terpikir tentang Kathryn, tetapi dia tahu bahwa dia selalu mengagumi Sang Putri akan keramahan dan kebaikan hatinya.

Sean selalu mengagumi kecantikan naturalnya.

Selalu mengagumi bagaimana dia berpenampilan sederhana tetapi tetap terlihat elegan.

Selalu mengagumi suara Kathryn yang rendah tetapi tegas.

Selalu mengagumi senyuman manis yang terukir pada wajah Kathryn.

Selalu mengagumi namanya yang cantik.

Akan tetapi, kini Sean tidak yakin apakah perasaannya hanya sekadar kagum.

"Do you...," Sean memberanikan diri untuk menatap Kathryn yang masih terpaku di ambang pintu, "is it true that you fancy me, M'lady?"

"Ah!" seru Kathryn. Cukup keras sampai terdengar seolah bergema di lorong lantai dua. "Se-sejak kapan ... sejak kapan---"

Sean membungkuk sebelum Kathryn sempat menyelesaikan kalimatnya. "Saya mohon maaf, Tuan Putri. Saya tidak berniat untuk menguping, tetapi kutuklah kedua kaki saya yang tidak bisa digerakkan ketika saya mulai mendengar suara Anda.

"Sebuah kehormatan bagi saya apabila Anda memang merasa demikian terhadap saya. Maaf yang sebesar-besarnya karena saya tidak sengaja mendengar percakapan Anda dengan Meredith."

Sean berhenti membungkuk, tetapi dia masih menundukkan pandangannya. Meredith tahu, dia seharusnya menengahi Kathryn dan Sean, tetapi entah mengapa tubuhnya tidak mau bergerak.

Di tengah keheningan yang menyelimuti itu, Kathryn mengembuskan napas pelan. "Saya minta maaf, Sean."

"Anda tidak perlu---"

"Tidak, Sean," potong Kathryn. "Apa yang saya rasakan terhadapmu ini tidak pantas hadir."

Eh?

Sean ingin membuka mulutnya, tetapi dia tidak tahu harus mengatakan apa. Melihat Kathryn yang seolah memendam beban berat serta Meredith yang tiba-tiba menundukkan pandangannya membuat sesuatu di dada Sean seolah pecah.

"Saya ingin meminta maaf padamu karena saya sudah merasa seperti ini terhadapmu walaupun saya tahu bahwa ... saya dan kamu tidak akan pernah terjadi."

Eh ....

"Saya senang kamu ada di sini, Sean, saya benar-benar senang. Caramu berbicara kepada saya, caramu mendengarkan saya, caramu tersenyum, caramu memperlakukan orang-orang ... saya menyukainya.

"Akan tetapi, sebesar apa pun perasaan saya kepadamu, Sean, saya tidak bisa. Kita tidak bisa. Tolong, maafkan saya."

Kini, giliran Kathryn yang membungkukkan tubuhnya dalam. "Maafkan saya karena kamu telah mendengar perasaan saya."

"Kenapa?" tanya Sean.

Eh, kenapa aku bertanya seperti ini?

"Eh?" Kathryn mendongak.

Tidak.

"Kenapa kita tidak bisa?"

Berhenti, Sean.

"Sean, aku seorang putri."

Ah, iya.

"Walaupun aku tidak akan pernah mendapatkan takhta, tetapi aku cukup berpengaruh untuk mencegah Raja dan Ratu dari memperlakukan para rakyat seperti sampah."

Dari awal, kamu hanya menganguminya, 'kan?

Meredith berdeham, memecahkan tensi di antara Sean dan Kathryn. Pelayan pribadi Kathryn itu membawa Sang Putri pergi ke kebun binatang, meninggalkan Sean di depan kamar Kathryn yang masih terbuka.

Lalu, kalau kagum adalah perasaan yang kaurasa, mengapa sekarang kamu merasa sakit?

Sean menutup pintu kamar Kathryn pelan-pelan. Kedua netranya menatap nampan yang dia tinggalkan untuk Kathryn.

Oh, kamu tidak hanya mengaguminya, ya?

Laki-laki itu membungkuk untuk mengambil nampan sarapan yang tadi dia simpan, kemudian berjalan menuju dapur di lantai satu.

Sejak kapan?

Sejak kapan kamu menyukai Putri Kathryn, Sean?

Kenapa?

Kenapa kamu menyukainya, Sean?

"Kenapa aku menyukainya?"

***

"Sean ...?"

Merah.

Baju di sekitar dada Sean berwarna merah.

Pedang prajurit yang berdiri di dekat Sean dilumuri cairan merah.

Cairan merah itu juga menetes dari tangan Sean yang memegangi dadanya.

"Sean ...?" panggil Kathryn sekali lagi. Edward III mendengkus. Dia berdiri dari takhtanya kemudian berjalan mengitari Sean yang bersimbah darah. Dari jauh, semua orang yang ada di ruangan pun dapat melihat tubuh Sean yang mulai gemetar.

Edward III mendekati Kathryn yang berdiri di ambanh pintu ruang takhta. Gadis itu menatap Sean yang mulai ambruk di tengah ruangan dengan mata yang berkaca-kaca.

"Dia dengan lancangnya menulis fiksi menjijikan ini tentangmu," ujar Edward III seraya melemparkan sepucuk surat kepada Kathryn.

"Sekarang, Kathryn. Saya mungkin tidak menyukaimu, tetapi kami tetap anak saya. Walau saya bersusah payah untuk tidak memperlihatkanmu kepada muka umum, mereka tetap tahu bahwa kamu itu ada karena kelancanganmu keluar istana pagi-pagi sekali.

"Saya dengar bahwa kamu juga merasakan hal yang sama kepada Si Jelata itu?"

Hal yang sama?

Edward III tertawa. "Ada banyak jumlah rakyat yang tahu tentang keberadaanmu dan saya tidak mau kamu memberikan impresi bahwa seorang bangsawan bisa hidup bahagia dengan rakyat rendahan.

"Dari awal, saya tidak suka dengan kehadiran remaja tengik itu. Seenaknya dia membawa ayahnya yang kumuh dan meminta bantuan gratis. Lalu, membayar dengan hidupnya sebagai kedok untuk merayumu? Orang rendahan.

"Penjaga! Bersihkan ruangan ini, jangan ada setitik pun darah dari Si Tengik itu."

"Siap!"

Dua penjaga membopong Sean keluar dari ruangan; remaja itu tidak terlihat bernapas.

Sean ....

Sean!

"Ayah!"

"APA?!" Suara yang menggelegar itu membuat bibir Kathryn terkatup rapat. Dengan kakinya yang gemetar, dia berbalik dan menyusul dua penjaga yang membopong Sean keluar.

Napasnya habis, sulit bagi Kathryn untuk mengatur napas ketika lari sambil menangis. "Hei, penjaga! Kalian mau bawa Sean ke mana?"

Kedua penjaga itu berhenti. "Ketika ada orang yang dieksekusi secara pribadi oleh Raja, kami ditugaskan untuk membuang mayatnya ke ruang bawah tanah, di balik pintu paling ujung."

"Tidak, saya mohon. Kita obati lukanya, ya?" Kathryn bersimpuh di hadapan kedua penjaga itu, membuat mereka salah tingkah. Kedua pupil Kathryn tak luput dari Sean yang tidak lagi bertenaga.

"Tolong, tolong turunkan Sean dulu."

Awalnya, kedua penjaga itu tidak mau mendengar permohonan Kathryn. Namun, dengan iming-iming 20 keping emas, mereka mau mendengarkan.

Kathryn merangkak dan mengusap pipi Sean yang terbujur kaku. Pipinya masih terasa hangat, tetapi dia sudah tidak lagi bergerak. Bahkan kedua manik matanya tak lagi terlihat bersinar.

Di lorong itu, tak jauh dari ruang takhta, Kathryn menangis sejadi-jadinya. Dia menggoyang-goyangkan tubuh Sean, memeluknya, mencium pipinya, menempatkannya di pangkuan.

Lolongan tangisan Kathryn terdengar sehingga para pelayan dan penjaga yang tadi menyaksikan eksekusi Sean di ruang takhta keluar berbondong-bondong.

Edward III dan Philippa tidak ikut keluar ruangan, mereka bahkan tidak repot-repot memedulikan lolongan anak gadisnya.

Meredith mendekati Kathryn, berusaha untuk menenangkannya. Namun, Kathryn mendorong Meredith sekuat tenaga hingga wanita itu mendarat di punggungnya.

"Kamu, 'kan, Meredith? Kamu yang mengadu kepada Ayah, 'kan? Meredith, salah Sean apa? Salah Sean apa? Kami bahkan tidak berniat untuk menjalin hubungan apa pun! Salah Sean apa, Meredith?"

"Nona Kathryn, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Namun, saya memang dipekerjakan untuk melaporkan segala rutinitas Tuan Putri kepada Raja. Saya mohon ampunan, Tuan Putri," ucap Meredith.

Akan tetapi, apa artinya permohonan maaf Meredith?

Apa artinya lolongan tangis Kathryn?

Sean sudah tidak bisa kembali.

***

Sean dikubur di bukit yang jauh dari istana atas permintaan Kathryn.

Ketika Kathryn membawa berita buruk itu kepada Alvin, ayah Sean, dia juga menangis sejadi-jadinya. Namun, Alvin bahkan tidak murka pada perbuatan Raja.

Melihat reaksi Alvin ketika berita itu sampai di telinganya, Kathryn kini tahu mengapa Sean bisa memiliki sifat sebaik itu; ayahnya lah yang mengajarinya.

Kathryn terduduk di bawah pohon yang daunnya rindang, di hadapan kuburan Sean yang masih baru, sambil menatap surat yang dilemparkan Sang Raja yang katanya ditujukkan kepada Kathryn.

Gadis itu membukanya dengan jari-jari yang masih berlumuran darah Sean.

Dalam amplop itu, terdapat secarik kertas. Pada secaeik kertas tersebut, terdapat tulisan rapi dengan tinta hitam yang tipis.

Oh ....

Jadi seperti ini, ya, tulisan Sean?

***

Untukmu,
Tuan Putri Kathryn Zianna.

Saya baru menyadari bahwa diamnya saya hari itu, di hadapanmu yang juga canggung, di depan kamarmu pagi itu, adalah karena saya menyukaimu.

Maafkan hati saya yang lancang, Putri. Namun, izinkan saya menjelaskan mengapa saya menyukaimu.

Saya tahu, bahwa kita baru mengenal satu sama lain sekitar dua bulan yang lalu. Minggu-minggu pertama dipenuhi dengan pasang surut obat-obatan dan medis (ingat ayah saya, 'kan, Tuan Putri?).

Selama itu, saya menyadari bahwa Tuan Putri lebih dari sekadar ramah dan penyayang.

Tuan Putri berusaha dengan keras agar suara Tuan Putri didengar oleh Raja.

Tuan Putri selalu mengutamakan kepentingan para rakyat di balik bayang-bayang Raja dan Ratu.

Tuan Putri selalu mementingkan kesehatan dan perasaan para penjaga dan pelayan di istana.

Tuan Putri tidak pernah ragu untuk langsung turun tangan (ingat ketika saya menyelundup masuk ke istana?).

Tuan Putri selalu berusaha untuk tampil sederhana agar kami, para pelayan dan penjaga, tidak merasa segan dan merasa nyaman di sekitarmu.

Tuan Putri memiliki senyuman yang manis.

Tuan Putri memiliki suara yang indah.

Tuan Putri, Anda adalah perempuan yang hebat.

Awalnya, saya salah paham bahwa perasaan yang saya rasakan adalah rasa kagum. Namun, ketika mendengar kata-katamu hari itu, saya cukup termenung.

Barulah saya menyadari bahwa hanya dalam waktu dua bulan, saya bisa menyukaimu.

Saya tahu, saya tidak pantas menjadi pendampingmu dan tidak akan pernah menjadi pendampingmu.

Saya setuju atas ucapan Tuan Putri hari itu.

Bahwa kita tidak akan pernah bisa.

Namun, tolong izinkan saya menyimpan perasaan ini untuk saya sendiri, walau kita berdua tahu bahwa ini tidak akan pernah terjadi.

Saya ikhlas dengan posisi saya.

Saya tahu bahwa perasaan saya muncul di waktu yang sangat tidak tepat, tetapi saya juga tahu bahwa perasaan ini muncul di tempat yang seharusnya.

My heart has always belonged to you even before I have the chance to admit it, M'lady.

Sean Gavin.

(Saya malu untuk mengatakannya langsung, jadi maaf, saya harus menyampaikannya dengan surat ini).

***

"Kamu dihukum hanya karena perasaan tidak berdosamu, Sean. Kamu dihukum karena saya, 'kan, Sean?" Kathryn berucap kepada setumpuk tanah, berharap bahwa Sean---di mana pun dia berada---mendengar suaranya.

"Andai saja, saya tidak mengatakan apa pun kepada Meredith.

"Andai saja, saya menyimpan perasaan ini kepada diri sendiri ....

"Andai saja ...."

Kathryn meremas surat pemberian Sean tanpa ia sadari. Air matanya mengalir membasahi pipi, menetes dari dagu ke tanah di bawahnya.

Andai saja ... andai saja saya tidak mengatakan apa pun, kamu pasti masih bisa menikmati udara di sini bersamaku, Sean.

Walau kita tidak akan pernah bisa menjadi kenyataan.

***

5.090 kata.

Hola, ¡amigo!

Iya tahu, pasti banyak plot hole dan information dump 😭🙏🏻 Penulis masih berusaha menulis cerita romance, jadi mohon maaf atas ketidakjelasan dan ke-cringe-an yang kamu rasakan ketika membaca cerpen yang ini.

Penulis mau menulis lebih banyak soal Medieval Kathryn-Sean, tetapi nanti malah terlalu panjang. Makanya, pasti ada beberapa hal yang tidak jelas dan tisak terjelaskan 😭🙏🏻

Pokoknya, makasih sudah bertahan.

Adiós, ¡amigo!

A i s h i p i t.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top