One: Ordinary Us

Kathryn terbangun di pundak Sean.

Memorinya yang kabur tidak bisa memastikan apa yang telah terjadi. Namun, dia ingat bahwa keluarga Sean ingin dia ikut berlibur ke kebun binatang. Mereka pergi dengan mobil milik ayah Sean.

Kathryn tidak ingat kapan dia tertidur. Biasanya, dia bisa terbangun sampai jam empat pagi. Ketika gadis itu melihat keluar jendela mobil, langitnya sudah berubah jingga. Sebelumnya, langit masih berwarna biru dengan awan-awan kelabu yang menyelimuti.

Mereka sedang parkir di rest area. Tidak mengherankan, mengingat kebun binatang yang ingin dikunjungi keluarga Sean ada di kota lain. Sebetulnya tidak terlalu jauh, tetapi kemacetan di jalan tol membuat kepergian mereka terhambat.

Kathryn menegakkan tubuhnya di samping Sean. Dia mencari keberadaan ibu, ayah, dan kakak Sean, tetapi tidak dapat menemukan mereka di dalam mobil. Ketika kedua manik matanya mendapati swalayan tak jauh dari tempat mobil terparkir,  berpikir, mungkin mereka pergi ke sana.

Dia menoleh ke arah Sean, mendapati remaja itu sudah mengedip-kedipkan matanya. Remaja itu menoleh ke arah Kathryn lalu mengukir senyum simpul di wajahnya.

"Hey, Pumpkin. Kapan bangun?"

Kathryn bisa merasakan wajahnya memanas.

"Kenapa, sih, kamu kalau manggil aku pakai sebutan 'Pumpkin'?" tanya Kathryn, sesekali mengusap pipinya.

Sean yang setengah tidur tertawa kecil. "Memangnya kenapa? Labu, 'kan, lucu. Kayak kamu, lucu."

"Aku mananya yang lucu?!"

"Hm ... semuanya?"

Dengan jawaban Sean yang jiwanya masih setengah sadar, Kathryn tidak bisa berkata-kata. Sejak awal, Sean memang laki-laki manis. Dan sejak awal, Kathryn tidak terbiasa dengan kelakuannya.

"L-la ... labu mananya yang lucu?" tanya Kathryn dalam upaya untuk mengalihkan pembicaraan.

Sean mengusap dagunya dengan jari telunjuk seolah berpikir. Ketika dia terlihat mendapatkan jawaban, senyuman lebar terukir di wajahnya. "Kalau dikasih wajah, lucu!"

Sejak awal, Kathryn tidak pernah mengerti definisi lucu yang Sean punya. Namun, dia senang melihat senyuman lebar remaja itu ketika membicarakan hal-hal yang menurutnya lucu.

"Pumpkin, yang lain ke mana, kok enggak ada?"

Kathryn menggelengkan kepalanya pelan. "Enggak tau sih, tapi kayaknya mereka pergi ke swalayan itu?" jawabnya seraya menunjuk keluar.

Anggukan kepala diberikan oleh Sean ketika dia melihat swalayan yang dimaksud Kathryn. Remaja itu mengajak Kathryn untuk menyusul keluarganya, tetapi urung ketika mereka melihat keluarga Sean keluar dari swalayan dengan empat kantong plastik besar.

Kedua alis Sean bertemu, sedikit heran kenapa keluarganya membeli barang sebanyak itu. Mereka kembali ke mobil dan memberikan Sean serta Kathryn sebungkus besar keripik untuk dibagi berdua.

Kakak Sean, Alan, duduk di jok paling belakang dengan sodanya. Setelah semua orang memakai sabuk pengaman, mereka berangkat dari rest area itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota tujuan.

Ini adalah kali pertamanya Kathryn berlibur tanpa keluarganya sendiri. Kali ini, Kathryn ikut dengan keluarga Sean. Dia sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga tersebut.

Bagaimana itu bisa terjadi?

Sean Gavin lah penyebabnya. Remaja tersebut berteman baik dengan Kathryn, tidak jarang dia membawa si gadis ke rumahnya untuk menghabiskan waktu bersama. Terkadang, keluarganya juga ikut.

Walaupun mereka berteman baik, tidak ada yang bisa mengelak bahwa Sean dan Kathryn menyukai satu sama lain. Keluarga Sean tahu, keluarga Kathryn tahu, bahkan mereka berdua pun tahu.

Akan tetapi, mereka tidak punya niat untuk menjalin hubungan lebih dari sekadar teman. Kedua remaja itu mungkin bucin, tetapi mereka cukup ambisius dengan pendidikan.

Sean berhenti mengambil keripik begitu pun dengan Kathryn. Sepanjang jalan, mereka bermain tebak kata bersama.

Gelak tawa memenuhi mobil. Sean dengan senyuman lebarnya menoleh kepada Kathryn. "Aku senang kamu bisa ikut, Pumpkin."

"Dih, dih. Enggak usah romantis-romantisan di mobil," ujar Alan dari belakang.

Sekali lagi, gelak tawa memenuhi mobil keluarga Sean. Namun, kali ini Kathryn tidak ikut tertawa.

***

"Nah, udah, 'kan? Ada kebutuhan lain, enggak, Pumpkin?" tanya Sean seraya menepuk-nepuk kedua telapak tangannya seolah menghilangkan debu.

Sean sedang membantu Kathryn membongkar barang dari kopernya. Mereka akan menginap di hotel yang ada di tengah kota. Dengan segala keajaiban berkendara, mereka sampai di kota tujuan pada pukul sembilan malam waktu setempat.

Alih-alih menyahut, Kathryn bahkan tidak bergerak sama sekali. Dia masih berdiri di samping kasurnya; mengeluarkan baju-baju kasual yang telah dia bawa.

"Pumpkin?" panggil Sean. Remaja itu mengerutkan dahi, dia berjalan mendekati Kathryn, berdiri di sampingnya lalu menatap wajah gadis tersebut.

Ekspresi Kathryn terlihat kosong.

"Pumpkin, what's wrong? Kamu enggak suka hotelnya? Kamarnya? Mau pindah kamar?"

Kathryn buru-buru menggelengkan kepalanya. "Enggak, kok, Sean. Makasih. Makasih juga ke orang tuamu karena sudah membiarkanku punya kamar sendiri."

"Kenapa murung?" Sean terduduk di ujung kasur. "Kamu lapar?"

"Kamu ...." Kathryn menatap Sean. Setelah beberapa detik, dia membuang muka. Karena gadis tersebut tidak melanjutkan kalimatnya, Sean mulai khawatir.

Sean beranjak dari duduknya, menepuk pundak kiri Kathryn pelan. "Kamu kangen rumah?"

Sekali lagi, Kathryn jawab dengan menggelengkan kepalanya, kali ini agak pelan. "Aku cuma ... apa, ya? Penasaran. Kenapa kamu suka sama aku?"

Pertanyaan itu membuat Sean tak berkutik. "Kamu murung gara-gara itu?"

"Ih, aku enggak murung. Aku mikir. Habis kalau dipikir-pikir, kok kamu kayak yang suka banget. Kenapa? Bukannya banyak perempuan lain yang lebih baik? Teman-teman kamu, misalnya. Aku bahkan enggak bisa ngasih kamu hubungan yang kamu mau."

Sean berkedip. "Oke?"

"Ih kok 'oke'!"

"Ya, karena kamu enggak ngasih tahu masalah. Masalahnya apa kalau aku suka banget sama kamu?"

Dengan pertanyaan Sean, mereka berdua bungkam. Sebetulnya, Kathryn sudah menyiapkan kalimat panjang, tetapi jawaban Sean di luar ekspektasinya.

Kathryn menghela napas pelan. "Enggak tahu. Apa, ya? Aku ngerasa ... aku enggak pantes ketemu sama kamu."

"Kok gitu?"

"Sean, aku biasa-biasa aja. Aku juga enggak bisa bersosialisasi kayak orang normal. Dideketin orang asing dikit, aku gagap, enggak bisa napas, gemetar, begini lah, begitu lah. Aku orang aneh, aku suka overthink enggak jelas.

"Terus kamu? Kamu ... kamu orangnya friendly dan easy going banget, walau kadang salty dan jutek. Kamu punya hobi, kamu bisa masak, kamu pintar. Kamu juga memperlakukan aku dengan baik. Terlalu baik.

"Rasanya ... ketemu kamu kayak lagi ngehaluim husbu 2D yang enggak mungkin jadi kenyataan."

Sean terkekeh. "Kok tiba-tiba mikir gitu?"

"Gara-gara kamu bilang kamu senang aku bisa ikut tadi di mobil."

"Lho, karena itu doang?"

"Ya, enggak, sih. Karena ucapan kamu, aku jadi mikirin sikap kamu ke aku selama tiga tahun terakhir ini. Kamu enggak pernah berubah, kamu selalu Sean yang manis dan memperlakukan aku dengan terlalu baik. Malah, selalu nambah tiap tahunnya.

"Kalau aku punya banyak pertanyaan random, kamu selalu dengerin sambil senyum terus berusaha buat jawab. Kebanyakan orang sebal sama aku yang punya banyak pertanyaan dan enggak pernah puas.

"Kalau aku cerita, kamu dengerin tanpa menginterupsi. Kebanyakan orang enggak mendengarkan ceritaku dengan baik. Kadang mereka lupa kalau aku lagi cerita.

"Kamu orang yang sabar sama aku, Sean. Tapi, kenapa? Kenapa sama aku?"

Sebelum Sean punya kesempatan untuk menjawab, Kathryn menepuk jidatnya pelan. "Tuh, 'kan! Aku banyak ngomong lagi, tiba-tiba punya pertanyaan lagi. Apa kamu enggak sebal?"

Sean mengembuskan napas pelan. Dia mengelus puncak kepala Kathryn dengan lembut. "Aku enggak mungkin sebal sama kamu, Pumpkin."

"Kenapa?"

Remaja itu mengedikkan bahu. "I love everything about you. Every single thing."

"... Kenapa?"

"Kamu yang gugup sama orang baru, kamu yang selalu penasaran sama banyak hal, kamu yang suka bercerita ... aku suka kamu yang kayak gitu. Jadi seru, 'kan, tiap main nanti ada aja bahasan, ada aja hal kocak yang bisa diketawain.

"Yang paling utama sih, aku senang tiap kamu sama aku. Senang banget. And I don't need to question my happiness when I'm with you. Karena alasannya ya ... kamu."

Untuk kali kedua, Sean terkekeh. Kali ini, dia tertawa sambil berjalan menuju pintu keluar. "You're my happiness, Pumpkin."

Kedua alis Kathryn terangkat. Sean pamit untuk pergi ke kamarnya karena malam telah larut. Setelah Sean keluar, Kathryn mengunci pintu lalu kembali mengeluarkan baju dari koper yang ada di atas kasur.

"Karena alasannya ya ... kamu."

Setelah semua baju dikeluarkan, Kathryn menutup koper dan menyimpannya di bawah ranjang kasur.

"You're my happiness, Pumpkin."

Gadis itu membawa baju-bajunya dan memasukkannya ke lemari satu demi satu. Lemari bajunya terletak tepat di belakang Kathryn, bersandar pada dinding yang memisahkan kamar dan kamar mandi dalam.

"... aku suka kamu yang kayak gitu. ...."

Kathryn menutup wajahnya dengan baju yang dia pegang.

Sean nyebelin.

***

"So, how do you like the zoo?" tanya Sean kepada Kathryn. Mereka sedang menikmati es krim batangan di balkon kamar Sean dan Alan sambil terduduk di kursi kayu berwarna putih.

Kathryn menatap pemandangan di bawah balkon. Mereka menghadap ke belakang hotel, banyak orang tengah berenang di kolam renang hotel yang luas. Hotel ini juga dikelilingi oleh beberapa pohon dan semak-semak, sehingga terlihat asri untuk banyak orang.

Matahari di ufuk barat sebentar lagi tenggelam, menyebabkan langit nampak jingga.

"Kebun binatangnya seru, Sean. Apalagi waktu orang tuamu memberi makan monyet itu," jawab Kathryn setelah lama menatap sekitarnya.

Sean mengangguk. "Iya, terkadang mereka terlalu nyentrik sampai monyet aja enggak mau dekat-dekat."

Balasan Sean membuat Kathryn tertawa.

Mereka terdiam, kembali menjilat es krim masing-masing yang mereka dapat dari toko kecil dekat kebun binatang. Kathryn senang dengan memori yang ia buat hari ini bersama keluarga Sean.

"Hey, Sean," panggil Kathryn, "makasih udah ajak aku ikut. Aku senang hari ini!"

Simpul senyuman Kathryn membuat Sean sedikit merona. Dia tidak pernah bosan melihat Kathryn dan ekspresinya yang beragam. Seperti yang Sean bilang kemarin ketika dia membantu Kathryn membongkar barang-barang, dia menyukai segalanya tentang Kathryn.

"Makasih udah mau ikut, Pumpkin. Kamu bikin liburan kali ini lebih menyenangkan."

"Hey, Sean," panggil Kathryn.

Setelah beberapa detik tidak ada kalimat sambungan, Sean memutuskan untuk menyahut. Kali ini, Kathryn menoleh dan menatap kedua manik cokelat Sean saksama.

"Um ... Pumpkin?"

"Sean," panggil Kathyn untuk kali kedua, "apakah menurutmu alternate universe itu nyata?"

Oh, pikir Sean, salah satu pertanyaan random Pumpkin.

Seolah berpikir, Sean mengusap dagunya dengan jari telunjuk tangan kiri. "Hm ... mungkin saja. Ada kemungkinan yang tak berujung tentang dunia dan alam semesta. Apa yang membuat alternate universe mustahil?"

"Iya, 'kan?!" seru Kathryn. Dia hampir melompat dari kursi tempatnya terduduk. Bola matanya berbinar, bibirnya menyunggingkan senyum lebar dengan es krim meleleh yang menghiasi ujung kanannya.

Sean tertawa kecil seraya menghapus es krim dari ujung kanan bibir Kathryn dengan ibu jari tangan kirinya. "Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"

"Eh ... yah, aku cuma pikir, hidupku sekarang lebih menyenangkan sejak aku bertemu denganmu, Sean. Semuanya berjalan dengan lancar, aku bahkan bisa menikmati pemandangan yang indah di balkon hotel ini bersamamu.

"Tapi, gimana kalau di kehidupan lain, kita enggak punya semua ini? Enggak punya waktu untuk main bersama, enggak punya waktu untuk menikmati pemandangan langit jingga, bahkan enggak kenal satu sama lain?"

Mendengar pemikiran random Kathryn, Sean tersenyum. "Bisa jadi. Mungkin, di kehidupan lain, kita tetap bertemu. Tapi, kita enggak bisa bareng-bareng."

"Lho, kenapa?"

"Soalnya, aku seorang commoner. Dan kamu seorang putri."

Kalimat itu membuat Kathryn berpikir sejenak. Lalu, dia memukul lengan atas Sean pelan. "Hey, enggak mungkin, ah!"

Sean tergelak. "Endless universes, endless possibilities."

"Iya, sih ...," ucap Kathryn. "Apakah kita akan tetap bertemu?"

"Apa kita lahir di tanggal dan tahun yang sama kayak kita yang di sini?" Sean menambahkan pertanyaan.

Kathryn tersenyum tipis, sangat tipis sehingga Sean tidak melihat senyumannya. "Apa kita tinggal di negara yang sama seperti sekarang?"

"Apa kita memiliki sikap dan sifat yang sama?"

"Apa ...," Kathryn membuang muka, "apa kita masih saling suka?"

Pertanyaan itu membuat jantung Sean berdegup lebih kencang. Dia bisa melihat telinga Kathryn berubah merah dan tangan kiri si gadis tremor ringan. Sulit untuk mengelaknya, tetapi Sean juga merasa wajahnya memanas.

Iya, ya, Pumpkin.

Sean beranjak dari duduknya. "Udah mulai gelap, ya, Pumpkin."

Bagaimana kalau alternate universe itu nyata?

"Sebentar lagi bulan nongol."

Bagaimana dengan kita yang ada di tiap kehidupan itu?

"Udah mulai dingin juga."

Bagaimana dengan perasaanku padamu?

"Masuk, yuk, Pumpkin. Sebentar lagi acara TV favoritmu mulai."

Aku harap, aku bertemu denganmu di setiap kehidupan, Kathryn Zianna.

***

1.910 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top