Prolog

"Pasti berhasil."

"Tapi, Na. Gimana kalau─"

"Sssh. Gausah gimana-gimana, pokoknya pasti berhasil! Percaya deh, sama gue."

Dengan semangat membara, cewek itu, yang di bagian dada seragamnya tertulis nametag Skala Aruna, mengangkat kepalan tangan tinggi-tinggi di udara. "Semangat!" teriaknya, coba menyalurkan keantusiasannya.

Yang tidak terlalu berhasil. Anin masih terlihat sama gugupnya seperti sepuluh menit lalu, jika tidak lebih gugup lagi. Cewek itu membenarkan letak kacamata di pangkal hidungnya berkali-kali, mengelap telapak tangannya yang terus-terusan basah karena keringat, dan berusaha sebaik mungkin untuk tidak gemetar. Dan gagal. Ia gugup setengah mati!

"Ini gelang keberuntungan gue." Una, nama panggilannya, berbisik seraya memindahkan gelang dengan bandul lima bintang warna-warni di tangannya pada pergelangan kurus Anin. "Lo pake sebagai jimat!"

Kalau saja situasinya berbeda, niscaya Anin sudah memutar bolamata. Namun sekarang perutnya terlalu melilit untuk itu sehingga semua yang bisa ia lakukan adalah menatap Una dengan tatapan sangsi.

"Tapi─"

"Stop!" Sergah Una, mengacungkan jari telunjuk di bawah lubang hidung Anin. Kemudian, tangannya dengan gesit menggeledah tas, mengeluarkan cermin seukuran telapak tangan untuk dihadapkan pada sahabatnya itu. "Lo kan cantik, pinter, selalu dapet nilai 100 kalo itung-itungan. Percaya aja sama gue."

Masalahnya, mempercayai seorang Skala Aluna itu sama saja kayak percaya dengan sekte makan bubur pakai nasi, sesat! Namun, Anin tidak punya waktu untuk bereaksi banyak. Karena tepat ketika Rahma mulai bersiul-siul kencang di kejauhan, Una segera memutar pundaknya, lalu mendorongnya maju.

"Jangan lupa traktirannya, Nin! Semangat! Semangat! Inget latihan kita tadi!"

Bla bla bla. Anin tidak mendengar lagi ocehan Una, karena detik setelah cewek itu seenak jidat membalikkan posisinya, detik itu juga ia melihatnya. Dia.

Pangerannya. Cinta pertamanya.

Namanya Riam. Riam Zarel Albion. Dengan tampang yang tidak membumi, otak yang tidak manusiawi dan proporsi badan yang seperti mimpi, mustahil rasanya tidak jatuh cinta pada cowok itu. Pun dengan Anin. Ia jatuh cinta sejak pertama melihatnya, begitu saja. Dan sekarang, setelah setahun lebih memendam, rasa itu telah meluap, tidak bisa lagi ia tahan-tahan.

Hari ini, ia akan mengungkapkannya.

Jika biasanya Riam akan terlihat bersama Geng Orion, pagi itu ia sendirian. Berjalan begitu saja melintasi lapangan basket yang sepi dengan sebelah tangan di saku celana, dan sebuah buku di tangan lainnya.

Kehadirannya, seperti biasa, menarik perhatian kaum hawa yang berada di sekitar. Riam, pagi-pagi, dengan seragamnya yang rapi namun tetap terlihat modis, rambut yang disisir membentuk koma sempurna, dan wajah yang seperti habis pemotretan majalah adalah pemandangan yang tidak boleh dilewatkan. Mereka mulai membentuk barisan di pinggir lapangan, sebagian berbisik-bisik senang, sebagian tidak malu-malu untuk memanggil namanya.

Lapangan menjadi ramai. Riam berjalan semakin dekat, dan tidak ada pilihan mundur bagi Anin. Ia melirik sahabat-sahabatnya yang tergabung bersama gerombolan cewek-cewek itu. Una yang tidak henti-henti memberikan semangat, Rahma yang meneriakkan nama Riam, dan Rifai, cowok yang lebih memilih dipanggil Reva, ikut berteriak-teriak seperti cacing kepanasan.

Tiga langkah lagi.

Dua langkah lagi.

Sekarang atau tidak sama sekali!

Sambil memejamkan mata erat-erat, Anin menyodorkan surat cinta yang teremas dalam genggamannya. Seketika, ia dapat mendengar kesiap kaget dari kerumunan. Lalu, semua hening.

Ketika Anin memberanikan diri membuka mata, lebih banyak orang telah berkerumun di sekitarnya, berbisik-bisik dengan tatap menghakimi. Dan Riam? Cowok itu menatap surat di tangannya, kemudian beralih menatapnya tanpa ekspresi. Ia tidak mengatakan apa-apa, tidak berbuat apa-apa. Yang selanjutnya cowok itu lakukan adalah melanjutkan langkah pergi.

"Riam!"

Jika ada hal-hal dalam hidup yang patut disesali, maka sekaranglah saatnya. Ketika Anin membiarkan mulutnya, dengan suara bergetar memanggil cowok itu kembali.

Riam berbalik, menutup sempurna bukunya, dan menunggu.

"Gue sudah lama s-suka sama lo!"

Ia mengulurkan lagi suratnya. Surat yang ia tulis semalam suntuk. Diukir dengan huruf rapi, kemudian dibungkus amplop merah muda yang berbalut pita berwarna senada.

Namun, Riam tidak kunjung menyambutnya.

"Apa ini?" Ia justru bertanya.

"S-surat."

Gumaman demi gumaman di sekitar terdengar semakin jelas. Semakin tidak bersahabat.

"Surat cinta tuh!" celetuk seseorang.

"Taruhan, pasti ditolak dalam satu menit," seorang cewek di sebelah Una bergumam pada temannya.

"Nggak mungkin. Paling, lima detik!"

Sebal, Una dengan sengaja menyikut cewek pertama hingga nyaris jatuh ke cewek kedua. Tentu saja, ia tidak terima sahabatnya ditertawakan demikian. Kalau perlu, gelut sekalian! Begitu fokus pada cewek-cewek di sampingnya membuat Una tidak sadar Riam yang telah berjalan ke arahnya.

Rasanya seperti berada di Laut Mati yang terbelah. Kerumunan melonggar di sisi-sisinya sementara Riam berdiri di sana, di hadapannya dengan tatapan yang membuat bergidik. Mengerikan! Kenapa Anin bisa sampai menyukai spesies macam ini? Dan omong-omong, yang dibelah Nabi Musa itu Laut Mati, bukan?

Tanpa mengatakan apa-apa, cowok itu menarik cermin di tangan Una. Masih tanpa mengatakan apa-apa, ia berjalan kembali pada Anin dan menyerahkannya ke tangan cewek itu.

"Kalau-kalau, lo nggak punya kaca di rumah."

Riam akan berbalik pergi ketika Anin, dengan pikiran yang sudah tidak karuan bertanya kebingungan. "Maksudnya?"

"Lo punya otak?"

"Pu...nya."

"Gunain. Jangan jadi pajangan doang. Gue udah berbaik hati menyelamatkan lo dari rasa malu. Tapi lo yang minta ini."

Ia mengambil surat itu, merobeknya menjadi dua bagian sebelum membiarkannya melayang dan terhempas ke tanah.

Semua orang terkesiap. Riam memasukkan kembali tangannya ke saku celana, meraih buku Atom Land: A Guide Through The Strange World of Particle Physics-nya yang sempat terjatuh, dan berlalu pergi.

***

Hai, kami kembali dengan proyek kolaborasi terbaru! Gimana pendapatnya soal Orionis Zeta ini?

Jangan lupa masukin library, ya, biar enggak ketinggalan! Jangan lupa juga baca seri Orion yang lainnya.

ORIONIS EPSILON by okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top