49. Pencarian

Kangen Bawang Putih? Kita akan ketemu lagi.

Minta vote dan komen, ya!

***

Tidak ada perkembangan berarti sejak Riam bersiaga di posnya, mengawasi kediaman Denis dari balik sebuah kios yang sudah tutup, yang gelap di bawah bayang-bayang sebuah pohon besar tepat di sisi kios, di bahu jalan. Mereka beroperasi secara terpisah, masing-masing menempati titik penjagaan tertentu, dan jika ada hal mencurigakan apapun akan ditukar melalui grup obrolan.

Yayan X IIS III: [Mobil Avanza Hitam B 9745 UBD yang pernah dibawa Denis ke arah dalam.]

Yayan X IIS III: [Kaca gelap kehalang hujan, Bang, tapi pengemudinya tinggi gede.]

Riam tidak melihat mobil itu melewatinya, seperti dugaan. Mungkin Saga melihat, ia berada di arah yang beririsan dengan keberadaan Yayan di sekitar tempat tinggal Denis.

Namun begitu, Riam berusaha memicingkan mata dan menajamkan indera-inderanya. Ia mencatat kendaraan apa saja yang lewat di otak, tetapi masih belum menemukan hal yang janggal. Menurut mengamatannya dengan binokular, rumah Denis secara aneh tampak sepi, tetapi jumlah kendaraan yang berbaris di halaman serta lampu yang menyala hampir di seluruh bagian rumah menandakan ada banyak orang di sana. Ia mungkin dapat menduga, tetapi belum dapat menyimpulkan apa yang sedang mereka lakukan di sana.

Hingga, sesuatu menepuk bahunya, membuatnya berjengit sedikit. Riam menoleh, siap untuk meraih lengan orang di belakangnya dan membanting orang itu ke aspal jika saja tidak segera menyadari bahwa orang itu adalah Yayan, salah satu bagian dari mereka.

"Ini makannya, Bang!" Yayan mengangsurkan sebuah kantong kresek hitam. "Kebab doang saya beli sama air mineral."

Riam mengangguk dan meraih kantong kresek itu dari Yayan. Ia memeriksa isinya, dua buah kebab, masing-masing satu untuk ia dan Saga. "Makasih." Ia kembali menatap Yayan. "Kembali ke pos. Hati-hati."

Yayan mengangguk. "Siap!"

Setelah Yayan pergi, Riam berjalan kembali ke motornya, lalu memutar jalan untuk bisa menghampiri mobil Saga di bagian lain rumah.

***

"Lo oke?" tegur Riam ketika melihat tumpukan tisu merah di pangkuan Saga, juga, hidungnya yang bernoda samar. Apakah ia barusan mimisan? Kalau iya, mungkin kelelahan. Atau salah satu lukanya akibat kemarin terbuka.

Ia akan menyarankan cowok itu untuk beristirahat, tapi tentu saja, Saga tidak akan bersedia. Ia menggigit kebabnya dan berusaha keras menelan, terlalu asam, ia mengembalikannya. Tidak ada pengisi perut malam ini. Riam baru akan berpikir untuk membeli sesuatu sendiri ketika ponselnya berdering.

"Am, dermaga pintu II dekat restoran Laguna, positif Franky berdua sama anak buah bapaknya Denis," lapor Lucky dengan suara deburan ombak yang sedikit menghambat perkataan cowok itu.

Tanpa basa-basi, Riam menutup telepon dan segera kembali ke motornya untuk pergi ke tempat yang disebutkan Lucky. Letaknya tidak jauh. dengan motornya, seharusnya ia bisa mencapai dermaga lebih cepat. Namun tangan kanan yang masih terus menerus berdenyut membuatnya kesulitan untuk menekan gas dalam-dalam.

Setibanya di Laguna, ada keramaian pengunjung di sana, seperti biasa, hal-hal yang biasanya akan Riam hindari. Ia memaksakan kakinya melangkah menenmbus kerumunan itu dengan dagu terangkat. Dengan tubuh setinggi 180 sentinya itu, mudah saja untuk melihat sekitar. Dan tidak butuh terlalu lama bagi Riam untuk akhirnya dapat menemukan Franky. Kaus hitam, jins lusuh, kupluk abu-abu. Dan meskipun ia mengenakan kaca mata hitam, wajah bengis dan terbakar mataharinya sudah terlalu familiar bagi Riam. Cowok itu memasang sikap waspada, sesekali ia akan menoleh ke tiap sisi, seolah sedang mengawasi keadaan

Ketika seorang pria datang dan tatapan Franky mulai menyasar tempat ia berdiri, Riam menundukkan kepala dalam usaha menyembunyikan diri. Sembari demikian, Riam tetap mencari celah di antara barisan pundak untuk berada lebih dekat dengan keberadaan Franky, sebisa mungkin meringkusnya tanpa menimbulkan ribut-ribut dengan kerumunan sekitar. Dan selagi ia berpikir, ponselnya berbunyi.

Riam memeriksanya, khawatir itu merupakan salah satu info penting dari Orion.

Ternyata bukan. Pesan itu berasal dari nomor tak dikenal.

Ini Riam? Kita boleh bicara?

Riam menutupnya. Kadang, informasi tentang nomor ponselnya bocor dan mengundang nomor-nomor tidak dikenal. Jadi seperti biasanya, yang ia lakukan adalah mengabaikannya dan kembali fokus. Tetapi ketika ia mengintip lagi pada Franky dan pria tadi, keduanya telah menghilang.

Sial!

Mereka masih mencarinya di antara kerumunan manusia, tetapi tanpa hasil. Ia kemudian menyusul Saga beserta beebrapa anak Orion lainnya. Tidak ada yang dapat menemukan Franky sehingga, mereka memutuskan kembali ke pos masing-masing. Menjelang tengah malam barulah mobil Jeep milik ayah Denis terlihat di pos pemantauan Yayan, datang dari arah dermaga menuju rumah. Penumpangnya dua orang; ayah Denis sendiri yang mengenakan topi, dan seorang lagi yang wajahnya tersembunyi di bawah bayangan hoodie.

Sebuah pesan kembali masuk di grup Orion.

Ananda Gito XI MIA I: [Gue pastikan bahwa Franky nggak pulang semenjak malam tawuran.]

Tyo XI MIA II: [Gang Parkit II warung rokok, anak buah TS, terpantau sendirian dan aman.]

Saga Epsilon: [Amanin, gue sama Riam ke sana.]

Tanpa menukar kata, Saga dan Riam telah melaju dengan kendaraan masing-masing ke sana. Riam memarkirkan motornya dan menunggu hingga Saga tiba. Anak itu tanpa pengumuman apapun datang dan merenggut kerah kaus anak buah TS yang telah diamankan. "Di mana Franky?"

"Enggak bakal gue buka mulut!"

Riam mendengkus. Tentu saja. Basa-basi.

Hanya memerlukan satu endikan bahu dari Saga sebelum Tyo dan Lucio menghajar anggota TS yang tertangkap tanpa main-main. Mitha telah berakhir di tangan TS, tidak ada yang dapat memaafkan hal itu. Pukulan itu berhenti ketika Saga maju mendekati anak tadi.

"Lo bakal nyusul temen gue kalau lo nggak buka mulut, di mana Franky?" tanya Saga sekali lagi.

"Enggak bakal gue kasih—" Saga memotong ucapan anak tadi dengan menendang mulutnya hingga darah itu mengalir membasahi dagu anak tadi.

"Lo matiin aja, enggak berguna buat kita."

"Gue nggak tau, sumpah!" ucapnya sambil berusaha melindungi wajahnya. "Waktu bubaran tawuran mereka ngilang nggak tahu ke mana, Bang! Gue nggak tahu apa-apa!"

Saga kembali ke dalam tenda dengan sengaja menyentuhkan ujung sepatunya pada lutut anak tadi. "Apa kendaraan Franky?"

"Satria F, Bang, Satria F biru B 9154 UMP."

***

Buku-buku memenuhi karpet di ruang tengah. Deon yang baru saja kalah perang dan tidak diizinkan menonton teve akhirnya meraih salah satu buku yang terbuka dan memeriksa judulnya, Bahasa Inggris. di sampingnya terletak sebuah kamus Inggris-Indonesia, tepat berada di atas buku paket Geografi, bertetangga dengan buku Bahasa Indonesia dan Sejarah. Yang berada di hadapan Una sendiri, yang sedang ia baca dengan seksama adalah buku tebal dengan banyak angka dan simbol di dalamnya; tidak salah lagi itu adalah buku Matematika.

Deon menoleh pada kedua orangtuanya yang ikut mengawasi dan menggeleng.

"Nggak ada yang aneh," bisiknya. "Semuanya buku tulen."

"Dia nggak kesambet, kan?" Pak Ibram ikut berbisik, menoleh pada istrinya dan Deon bergantian, lalu pada Irgi yang sedang menenggak air mineral di ambang pintu dapur.

"Nggak tahu," jawab Bunda. "Biasanya diancam, dipukul, sampai didukunin pun dia nggak mau belajar. Kok tiba-tiba ..."

Misteri ini telah berhari-hari berlangsung, dan belum terpecahkan. Una dan belajar tidak pernah bisa disandingkan, meski berbagai upaya telah kedua orangtuanya usahakan. Anak itu akan merengek, menangis, dan kabur. Ia bahkan lebih rela mencuci piring daripada disuruh belajar. Tetapi beberapa hari belakangan, semua itu berubah. Bahkan hari ini ia memindahkan ruang belajarnya dari kamar ke depan teve dengan alasan kamarnya sempit dan kipas anginnya mati. Sekarang, tidak ada seorang pun yang boleh menonton tv selama dia belajar.

"Skala, kamu baik-baik aja?"

Pada akhirnya, Bunda berjalan mendekat. Ia meletakkan jus jeruk yang tadi ia buatkan di sisi Una. Pandangan matanya begitu khawatir. "Kalau ada apa-apa, cerita ya, sama Bunda."

Hampir satu menit hingga akhirnya Una menoleh dari apa yang sedang ia tulis di buku latihan. Wajahnya kebingungan.

"Kenapa, Bunda?"

Bunda menempelkan telapak tangannya di kening Una. "Kamu sakit? Kena guna-guna? Atau kenapa?"

"Bunda kenapa sih?"

"Kamu belajar!"

"Bukannya bagus? Bunda nggak mau anaknya pinter, ya?"

Benar, tapi masalahnya─

Belum Bunda selesai menyampaikan kecurigaannya, pintu depan diketuk. Ia buru-buru bangkit untuk melihat tamu yang datang. Yang ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah ...

"UNAAAA!!! BAWANG PUTIH IS IN THE HOUSE~" Rifa'i berteriak cempreng mengumumkan kedatangannya. Seperti biasa, mereka hadir dalam satu rombongan; Rifa'i, Rahma, dan Anin.

Dan ketika mereka menemukan Una bersimbah buku di lantai, mereka sama tercengangnya seperti semua orang.

"Una lo kenapa?!" Rifa'i secara dramatis menggoyangkan pundak cewek itu, membuat Una nyaris terbatuk.

"Apaan sih lo I. Masuk tuh salam kek."

"Udah sama Bunda. Lo yang nggak denger. Ngapain sih, emang?"

"Menurut lo?"

"Menurut gue?" Rifa'i menggigit bibir. "Menurut gue lo lagi menang... menangis karena huaaa apaan nih! Buku! Banyak banget buku!!! Lo dosa apa sampe dihukum segininya?!"

Sementara Rifa'i berusaha menggoyang-goyangkan pundak Una demi mengembalikan pada kenyataan, Rahma turut berjongkok di sisinya. Ia juga smaa keheranannya.

"Dalam rangka apa?" tanyanya tanpa basa-basi.

Una menatapnya, mengembuskan napas sebelum menjawab. "Bulan depan udah ujian kenaikan kelas."

"Iya, gue tahu. Tapi dalam rangka apa?"

Kali ini, Una mengabaikannya. Mulutnya masih sibuk melafal rumus yang baru ia dapatkan dari halaman 234, sedang berusaha ia salin di buku latihan.

"Na?"

Kali ini Anin yang memanggil. Una mendongak menatapnya, dan dua orang di antara mereka segera menatap Anin dan Una bergantian sebelum bertukar pandang. Semua orang juga sadar ada gajah di dalam ruangan yang sedang mereka coba lupakan, yang sia-sia.

"Apa?" tanya Una akhirnya, setelah beberapa saat.

"Kita perlu bicara."

***

Hai, kangen nggak?
Belakangan aku lagi kesusahan banget buat nulis. Tapi semoga semangat ini cepat balik.

Terima kasih telah sabar menunggu ❤

Baca juga Orionis Epsilon oleh okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top