44. Surprise!

Ada sakit yang tidak kasat mata, muncul begitu saja. Bergelayut sejak Riam membuka mata.

Dimulai dari tangannya yang menggapai ponsel, memeriksa apakah ada pesan dari Una yang belum terbaca, cewek itu suka mengiriminya pesan pagi-pagi sekali, meski tidak penting. Nyatanya hari ini tidak ada. Dan nyatanya, untuk sesaat, ia lupa apa yang terjadi kemarin.

Lalu ketidakbiasaan itu berlanjut ke kamar mandi. Ketika ia hendak menyabuni badan dan tangannya berkhianat, membawa kembali kenangan ketika Una menulis di telapak tangannya, memintanya untuk tidak pernah menghapus tulisan itu. Sekarang ..., tulisan itu terhapus. Kenangannya tidak.

Semuanya tidak berhenti sampai di sana. Pada dua hari pertama, Riam selalu terlupa, tanpa sadar ia membawa motornya menuju rumah Una sebelum otaknya kembali berpikir dengan benar dan ia dapat menghentikan diri. Kepalanya pun, selalu mencari keberadaan cewek itu, mencari sumber suara cempreng, atau jepit rambut stroberi, atau cengiran lebar itu. Namun yang ia temukan, kesemuanya hanyalah ilusi belaka. Lalu logikanya bekerja dan berteriak di kepala Riam, coba menyadarkannya. Bahwa ... ia tidak diinginkan. Ia telah ditinggalkan. Ia bahkan tidak pernah diinginkan sejak awal.

Sial. Rasanya ingin menghajar siapapun sampai sekarat.

Bagi Riam, renang biasanya dapat menyembuhkan, membasuh luka-luka tak terlihat yang diakibatkan Papa, Mama, Aksal, apapun. Mendinginkan amarah yang meletup-letup dalam diri Riam. Tapi kali ini ia tidak melakukannya. Atau tepatnya, berenang tidak lagi cukup untuk meredakan apa yang ia rasakan saat ini.

Yang Riam lakukan sekarang justru menarik perhatian hampir seisi sekolah. Seorang Riam Zarel Albion, yang kulitnya putih seperti vampir, yang amat anti matahari, pada jam dua belas siang saat matahari sedang terik-teriknya, justru berada di tengah lapangan, bermain basket.

"Am!" Gito tampak terengah-engah usai menangkap bola yang tadi dilempar Riam dan lolos melalui ring. Cowok itu mengelap keringat di keningnya dengan lengan baju, sama seperti semua orang, tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Riam. "Kita istirahat aja, ya? Capek banget nih. Udah dua jam kita main."

"Iya, Bang!" Lucky, seorang anak kelas sepuluh membenarkan.

Riam menggeleng. "Kalian aja, gue lanjut."

Anak-anak saling berpandangan, tetapi tidak ada yang berani mencegah cowok itu. Sekarang sedang istirahat makan siang, dan mereka tengah kelaparan. Jangan sampai waktu istirahat berakhir dan mereka tidak mendapatkan apa-apa selain hukuman strap dari Bu Sri, untungnya, Bu Sri sudah pindah, digantikan guru BK baru yang katanya belum pernah menghukum siapapun, hanya bimbingan. Fixed, Pak Atlas lebih baik dari Bu Sri.

"Dia kenapa sih?" Beberapa anak berbisik usai meninggalkan Riam sendirian di lapangan. Jelas keheranan.

Gito mengendikkan bahu. "Abis dikirim guna-guna kali."

Keringat menetes di kening Riam, jatuh ke leher, juga punggung, membuat basah seragam olahraga yang ia kenakan. Belum lagi terik yang membakar kulitnya. Semua orang saling pandang, lalu bersama-sama menarik satu kesimpulan: Riam sudah gila!

***

"Kasian banget Yayang Iyam main basket panas-panas gini! Jadi pengen jadi payung buat ngelindungin Yayang Iyam!" Rifa'i bergumam seraya menatap lapangan basket melalui kaca jendela kelas yang terletak di lantai dua.

Namun, keluhannya itu lagi-lagi tidak mendapat tanggapan dari siapapun. Cowok itu pun menoleh, menemukan Una, Rahma dan Anin masih terdiam di tempat mereka, di sekitar meja Una sambil pura-pura bersikap tuli. Rifa'i pun melangkah menghampiri mereka dan menarik kursi untuk duduk di sisi Rahma.

"Idih kalian. Kasian Yayang Iyam!"

"Heh, Bawang Putih!" Rahma akhirnya buka suara. "Lo lebih kasian mana? Cowok sombong itu atau sahabat elo nih?!"

"Tapi, kan─"

"Dia itu sudah menyakiti sahabat kita, Anin, Fa'i. Sekarang dia udah dapat karmanya. Mampus, deh! Dan kesuksesan ini, akibat kerja keras jagoan gue, Skala Aluna!"

Ada senyum yang Una ulas mendengar namanya disebut, juga punggungnya yang ditepuk bangga oleh Rahma. Senyum yang tidak mencapai mata.

Anin berdiri di sisinya, pemandangan yang jarang-jarang terjadi karena anak IPA apalagi cewek pendiam sepertinya tidak akan betah menyusuri lorong IPS yang super berisik. Tetapi cewek itu di sini sejak bel tanda istirahat bergema, sudah tidak sabar untuk melakukannya semenjak Rahma membawa kabar putusnya Riam dan Una itu di jam istirahat pertama.

"Lo... nggak pa-pa, Na?" tanyanya, tiba-tiba.

Pertanyaan itu menarik perhatian ketiganya. Membuat Rahma dan Rifai membagi pandangan sementara Una melarikan fokus, sebelum ia akhirnya menatap ke dalam mata Anin dan mengangguk dengan lagi-lagi, seulas senyum yang tidak menjangkau mata.

"Iya, gue baik-baik. Pastinya."

"Kan?" Rahma bertepuk tangan, lalu bangkit! "Masalah udah clear. Sekarang saatnya kita lupain dan buang jauh-jauh si Batu Bernapas dari hidup kita! Kita ke kantin aja yuk, ah, sekarang. Gue traktir!"

Rifai bersorak senang. Dan di hari-hari normalnya, Una juga akan melakukannya, lebih heboh daripada siapapun jika itu menyangkut makanan gratis. Namun hari ini, ia hanya diam. Dan tidak ada siapapun yang menyadari.

Atau mungkin ... ada.

***

"Am! Lo kenapa suntuk banget sih kayaknya?" Mitha tanpa rasa bersalah dan tatapan polos bertanya.

Pada jam segini, Riam belum meninggalkan sekolah. Mitha menemuinya di ruang latihan renang. Sang pelatih sudah pulang beberapa saat lalu, berpesan agar Mitha bersedia membujuk Riam untuk pulang dan beristirahat. "Dia udah latihan dua jam," katanya. "Suruh dia latihan secukupnya. Jangan diforsir." Petuah yang sudah payah Mitha wujudkan. Bahkan ancaman kalau pulang magrib bakal digondol kolong wewe tidak mempan bagi Riam, padahal Mitha biasanya tidak bersedia keluar rumah kalau magrib karena percaya.

Riam yang telah kembali mengenakan pakaian biasa dan sekarang tengah mengeringkan rambut dengan handuk kecil menoleh. Pertanyaan Mitha barusan mendapat tatapan dingin dari Riam, yang membuat cowok bongsor itu mundur selangkah.

"Buset lo kayak mau bunuh orang! Gue cuma mau minta tolong kok bukan ngajak baku hantam."

Ketika tidak ada sahutan dari Riam, Mitha melanjutkan, dengan nada malu-malu. "Eh, gue ... besok rencananya gue mau nembak Ais. Lo bantuin ya?"

"Bantuin apaan?" Kali ini, Riam tampak tertarik, meskipun nada ketus dan tatapan judesnya tidak bisa disingkirkan.

"Wes santai! Gue nggak nyuruh lo niupin balon apa metikin bunga kok. Doain aja moga lancar," ujar Mitha. Ia merogoh tas, kemudian senyumnya mengembang ketika ia memperlihatkan pada Riam sebuah kotak perhiasan berwarna peach pucat. Di dalamnya, terdapat gelang emas kecil.

Mitha menjabarkan. "Gue beli ini kemaren sama Saga. Menurut lo bagus, nggak?"

Riam memperhatikannya sesaat, terutama pada bandul batu opal biru berbentuk tangan yang mengait di gelang itu. Ia pernah melihatnya. Hand of Fatima, simbol yang unik. Dengan tulus, Riam mengangguk.

"Bagus."

Ais bakal suka. Dan tiba-tiba saja Riam penasaran apakah Una pernah menyukai jepit rambut stroberi yang ia berikan. Ataukah benda itu sudah membusuk di tempat sampah sekarang?

Astaga, lagi-lagi, semua yang ia pikirkan bermuara ke tempat yang sama. Orang yang sama.

Mitha mengantongi perhiasannya kembali dengan sangat hati-hati. Senyumnya lebar ketika ia menepuk pundak Riam. "Pokoknya tugas lo doain gue aja, Am. Kalau perlu lo tajahud biar gue bisa pacaran dan bebas bermaksiat sama Ais," ujar Mitha berapi-api.

"Oke, oke, canda. Moga aja gue tobat gara-gara sama Ais. Walaupun juga pengen sih sekali-sekali bisa mesra-mesraan, jalan bareng sama Ais, megang tangan Ais, jemput dia pulang pergi ... Ya kayak elo sama siapa itu anak IPS itu? Lupa terus. Laluna?"

"Una. Skala Aluna."

Nama yang indah. Riam selalu merasa nama itu indah. Tetapi sekarang, mendengar nama itu lagi di telinganya yang diucapkan lidah sendiri membawa rasa pahit yang tak diundang. Riam buru-buru melepaskan handuknya dan memasukkannya ke dalam tas, ke dalam kantong khusus pakaian kotor. Ia lantas berlalu.

"Ayo pulang!"

"Eh tungguin!" Mitha mempercepat langkah demi mengimbangi. "Btw, satu lagi. Jangan lupa ntar malem!"

"Apa?"

"Yang di GC! Lo makanya jangan Y Y aja, pesan tuh dibaca, ya! Ntar malem kita main di Oceana, jam tujuh. Awas telat!"

***

Sesuai kesepakatan di grup obrolan Orion, Riam datang ke Oceana tepat pukul tujuh sore, dari rumah. Mitha dan Saga telah berada di tempat ketika ia datang, dengan iseng menyorakinya. Hal yang dengan mudah diacuhkan Riam.

Mereka masuk dan mengganti baju. Seperti biasa, Riam akan menjadi penjaga gawang. Tetapi kali ini Riam tidak mengeluarkan earphone atau bukunya demi menghalau keberisikan ke-18 anggota Orion yang datang malam ini. Ia sengaja berada di tengah-tengah ini, mencari kebisingan. Karena..., dengan semua yang terjadi, rasanya tidak ada tempat untuk kabur. Dan satu-satunya cara untuk meredam suara-suara di dalam kepala adalah dengan berada di tengah-tengah Orion.

Orion, satu-satunya yang tidak pernah meninggalkannya. Atau mungkin belum.

Mungkin benar kata orang-orang, semakin keras usaha kita untuk melupa, semakin sulit diri kita untuk terlupa. Dan cara satu-satunya adalah dengan membuat dirinya sibuk.

Usai merayakan ulang tahun Mitha dengan menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun yang membuat telinga sakit, anak-anak Orion bermain futsal dengan membagi kelompok menjadi dua tim, enam orang di masing-masing tim sementara yang lain menjadi penonton sembari menunggu giliran mereka bermain. Mereka bermain sebanyak dua kali empat puluh menit, ditambah istirahat yang harusnya lima belas menit berlarut menjadi dua puluh.

"Oper Mith! Oper!" Gito berteriak.

Di lapangan, Mitha tengah menggiring bola ke daerah pertahanan lawan. Ia menuruti keinginan Gito untuk mengoper, namun sebelum bola sempat menyentuh kaki cowok dengan kaus bernomor punggung 19 itu, Ali mencurinya, dengan cepat melesat melewati kaki-kaki lawan dan mengoper bolanya lewat umpan atas yang disambut dengan baik oleh Yayan. Dengan cepat, mereka berhasilmembalik keadaan.

Mitha berlari kembali ke belakang, terutama dengan keadaan pertahanan timnya yang kocar-kacir. Sementara Riam memasang kuda-kuda sekarang, bersiap kalau-kalau bola itu sewaktu-waktu berusaha menerobos gawang penjagaannya. Ia memincingkan mata ketika bola kembali dioper dan kembali berada di antara kaki Ali.

Cukup jauh jaraknya, dengan Gito yang menghalau di depan. Maka Ali mengambil resiko dan melakukan tendangan dari tempatnya sekarang,. Dan siapapun tahu kalau Ali adalah pemain yang handal. Karena meski begitu, tendangannya cukup akurat. Bola melayang keras dan menuju titik di pojok kanan atas gawang, tipis di bawah tiang, yang dibaca Riam di detik-detik terakhir. Riam berhasil menangkisnya tepat waktu, tetapi tidak menangkapnya. Ia terjatuh ke sementara bola kembali memantul ke daerah penalti, tepat ke bawah kaki Yayan yang mengayunkannya sekali lagi. Dan ...

Mitha membuang bola itu dengan kakinya.

Bukan sebuah kelegaan besar tetapi Gito berteriak, menepuk-nepuk pundak Mitha. Cowok itu sendiri menghampiri Riam dan mengulurkan tangan, membantunya berdiri.

"Keren, bro!" Komentar Mitha, menuai senyum tipis Riam.

Pertandingan dilanjutkan, kali ini dengan Saga yang ikut bermain, menggantikan pemain yang kecapekan. Atau, memang hampir semuanya kecapekan. Sekarang hanya beberapa menit lagi sebelum waktu yang mereka tentukan sebagai akhir permainan.

Sebagai keeper, tidak terlalu banyak yang Riam lakukan, terutama karena timnya lebih banyak mengancam gawang lawan daripada terancam. Saga dan Mitha tampak bekerja sama, dan itu mengingatkan Riam kembali tentang pembicaraan mereka tadi sore.

Sudah sebelas tahun. Selama itu, pertemanan mereka. Sejauh itu, mereka saling mengenal, baik buruknya. Dan besok adalah ulang tahun Mitha. Malam ini adalah perayaan mereka. Maka, malam ini saja setidaknya, ia ingin menyingkirkan Una sejenak dan hanya fokus pada Orion.

Saat itulah ujung mata Riam menangkap pemandangan yang tidak seharusnya ada di sana. Kedatangan Denis. Kali ini bersama Franky dan anak-anak TS, mungkin hampir semuanya hadir.

Rasanya tidak mengherankan, sekaligus mengherankan. Denis pasti tahu soal ini, perayaan Orion akan selalu berada di Oceana, jam 7. Tetapi kenyataan bahwa ornag itu adalah orang yang sama yang selama ini selalu bersama mereka, lalu tiba-tiba saja berdiri bersama musuh, rasanya ... masih belum berterima.

Anak-anak Orion lain yang duduk di bangku penonton maupun di lapangan tampaknya segera menyadari hal yang sama. Mereka terdiam di tempat, hingga Saga dan Mitha turut menyaksikan apa yang mereka lihat.

"Main nggak ajak-ajak nih?" tegur Denis.

Mitha menjadi orang pertama yang berjalan maju, dadanya dibusungkan. "Sori, buat temen gue aja. Ngapain lo di sini?"

"Mau ..." ada cengiran tidak mengenakkan hadir di wajah Denis. Dengan santai, seolah teman lama, ia berucap, "kasih surprise!"

***

Hai~ terima kasih yang selalu setia menunggu, dan ngasih vote serta komen.

Oh iya, kalau ada yang suka cerita mellow, mampir di work baru aku yuk. Judulnya Sebelas December.  Tapi bacanya di gwp.id hehe.

Jangan lupa juga baca keseruan gengs Orion di lapak Saga okkyarista. Seru pokoknya!

See you soon!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top