42. Monthsarry
Bantu biar cepat 1M views yuk ❤ caranya, share ke medsos dan teman-teman kamu biar pada baca~
Ramein in-line komen, ditunggu!
***
Pagi itu, ketika Una melangkah melewati ambang pintu rumahnya dan melihat Riam, seperti biasa, telah menunggunya di atas sepeda motor, ada dua hal yang ia sadari. Pertama bahwa, tanpa disadari ia telah terbiasa dengan pemandangan ini. Akan aneh rasanya membuka pintu, bersiap pergi ke sekolah, tetapi tanpa Riam di depan rumahnya. Hal kedua adalah, kesadaran bahwa hari ini akan menjadi hari terakhir Riam datang menjemput. Besok ... segala keterbiasaan ini akan berakhir. Dan pengetahuan itu rasanya mengganjal.
"Ini saatnya. Lo harus putus sekarang," bisik Rahma, yang diaminkan oleh kediaman Fa'i maupun Anin.
Una tahu Rahma benar. Sekarang adalah saat yang tepat untuk mengakhiri. Sebelum permainan menjadi terlalu jauh. Ia tidak ingin mengecewakan Anin atau menyakitinya dengan terus-terusan bersama Riam dan ... ia juga tidak ingin terbiasa dengan keberadaan Riam di hidupnya. Riam yang semula ia benci sepenuh hati karena mematahkan hati sang sahabat.
Dan Una mengangguk setuju di saat itu juga. Hanya saja, ada yang mengganjal. Ada yang rasanya hilang. Jadi, memberanikan diri, Una mengutarakan sedikit permintaan.
"Kalau gitu ... kasih gue satu hari. Gue bakal mutusin dia."
Satu hari itu adalah hari ini. Una tidak punya ide apa yang akan ia lakukan, bagaimana caranya menyampaikan semua ini pada Riam?
"Bengong aja. Buruan naik."
Perintah cowok yang sedari tadi menjadi objek pikirannya menyentak Una seketika. Seakan refleks, Una berlari ke sana, ke arah Riam, dengan helm dalam dekapan. Riam meraih helm itu tanpa memberi tahu, lalu memasangkannya dengan hati-hati di kepala Una, memastikan hal itu tidak merusak tatapan rambut, memastikan tidak ada rambut yang jatuh ke mata dan menghalangi pandang. Memastikan semuanya sempurna.
"Udah. Buruan naik."
Sambil memandangi cowok itu, yang membiarkan cahaya matahari pagi jatuh pada wajahnya, melewati kaca helm yang terbuka, Una tidak bisa untuk tidak merasa jahat. Seharusnya, Riam tidak perlu melakukannya, pikir Una, seraya naik ke boncengan motor Riam. Jika dia terus bersikap manis, akan tidak adil rasanya harus tiba-tiba memutuskan.
Tetapi ia harus melakukannya. Demi sahabatnya. Demi Anin. Demi kebaikannya sendiri.
Pemikiran ini menganggunya di sepanjang perjalanan. Rasanya ia tidak ingin pergi ke sekolah, bertemu dengan Rahma dan sepanjang waktu memikirkan tanggung jawab yang sedang ia emban. Ia tidak ingin pergi ke sekolah, menghabiskan waktu yang tidak lagi tersisa banyak. Ia tidak ingin pergi ke sekolah. Hanya ingin terjebak di sini, bersama Riam dan tidak melakukan apa-apa.
Pemikiran itu juga yang kemudian membawa jemarinya untuk menarik-narik ujung seragam Riam, coba menarik perhatiannya.
""Iyam?"
"Hm." Gumaman pelan, seperti biasanya.
"Iyam, bolos yuk!"
Ada jeda sebentar, seolah cowok itu sedang memastikan apa yang ia dengar sebelum menjawab dengan tegas. "Enggak."
"Please~" desak Una lagi. Kali ini tangannya meremas ujung seragam itu, yang mungkin saja akan membuat Riam marah, tetapi cowok itu bergeming, tetap menolak merespons.
"Ayo~ sekali aja, janji!"
Kali ini, tidak ada sahutan dari Riam. Si Batu Bernapas itu, kembali memasang mode tuli. Hingga, ucapan Una selanjutnya dalam upaya kembali mendapatkan perhatiannya.
"Hari ini Anniversarry kita yang ke satu bulan!"
Berhasil. Pernyataan itu membuat Riam menghentikan laju motornya. Cowok itu menoleh setelah membawa motornya berhenti salah satu sisi jalan. Matanya memandangi Una, sedikit panik.
"O-oh.... Mau kemana?"
***
Setelah beberapa perdebatan yang cukup sengit, Riam mengalah. Ia memarkirkan motornya di lahan parkir salah satu mal masih di kawasan Jakarta Utara. Menyaksikan Una turun dengan bersemangat dan mulai merapikan poninya yang berantakan usai melepas helm.
"Kalau ketangkep Satpol PP lo yang tanggung jawab," ujarnya, tetapi menurut saja ketika Una menarik tangannya melewati pintu mal.
"Ih, nggak papa! Kalau ada polisi, kita nyamar jadi patung!"
Riam memutar bola mata. Hingga setengah jam kemudian, dirinya begitu pasrah ditarik Una kesana-kemari, melihat-lihat. Tanggapannya ketika ditanya soal apapun hanya berupa kediaman atau gumaman pendek berisi 'jelek', 'aneh', atau apapun yang sebangsanya. Seolah ia tidak ingin berada di sana dan ini bukan anniversarry─
"Monthsarry," Riam akan meralat tiap kali makhluk bebal bernama Una menyebut kata anniversarry.
"Iya, iya. Itu," Una terkekeh, sama sekali tidak terpengaruh dengan wajah galak Riam.
Mata cewek itu seketika berbinar ketika bertemu papan besar bertulisan Flash Sale, Discount up to 90%. Dirinya memang tidak pernah jago bahasa Inggris, tapi seandainya semua soal ujian berupa kata diskon, niscaya Una bisa berprestasi. Dengan bersemangat, ia menarik Riam ke toko itu. Sebuah toko pakaian.
"Iyam! Iyam! Lihat deh!"
Una menarik sebuah kaos abu-abu bermotif Mickey Mouse, mencocok-cocokkannya di tubuh Riam.
"Menurut Iyam gimana?"
Riam mengerling sebentar, lalu, "big nope," jawabnya singkat.
"Iya, kan?" Una justru tambah bersemangat. "Lucuuu! Cocok banget sama Iyam!"
Ia melemparkan kaus itu ke dada Riam. Belum sempat protes, Riam harus bergidik sendiri atas pilihan cewek itu, kemudian semakin dikejutkan dengan Una yang menarik kaus dengan warna senada. Yang berbeda hanya ukurannya lebih kecil, dan kaus itu bergambar Minnie Mouse, pasangannya Mickey.
Ia memasangkannya di depan dada. "Kita couple-an!"
"Geli," dengkus Riam, bermaksud pergi dari toko. Tetapi, Una mencemgkeram lengannya.
"Iyaaammm! Please? Sekali aja."
Riam membuka mulutnya, ingin mengatakan tidak sekali lagi. Tetapi sialan, sepasang mata seperti anak anjing justru menatapnya dengan amat memelas. Sambil mendengkus, Riam pun meraih baju itu dan tanpa ba-bi-bu membawanya ke fitting room. Membuat Una seketika bersorak.
"Yay!"
***
Baju itu, mereka memakainya di sepanjang sisa kebersamaan. Meskipun Riam kerap mengatakan bahwa rasanya ia ingin kabur sekarang. Tetapi ia bertahan, tinggal di sisi Una yang terus cekikikan.
"Iyaaam!" Una menggamit lengan Riam, memaksa cowok itu menoleh dan memandanginya curiga. Keanehan apa lagi yang cewek ini inginkan? Pertanyaan itu seolah tercetak di kening Riam.
Una menyengir, lantas menunjuk sebuah kedai es krim. "Mau itu~"
Riam menggeleng. "Jangan banyak minum es, nanti sakit."
"Iyam kayak Bunda, deh!" Una merengut. Tetapi ia tidak menyerah. Kembali, ia menarik Riam ke kedai es krim tersebut. "Iyam mau rasa apa? Cokelat? Stroberi? Vanilla? Rasa yang tertinggal?"
Ketika Riam memandanginya tajam, Una segera mengalihkan pandang, kepada penjual es krim. "Stroberi satu!"
Lalu, ia kembali menatap Riam. "Iyam?"
Riam mengendik. "Gue nggak suka makanan manis."
***
Riam tidak membeli es krim apapun, pada akhirnya. Tetapi itu tidak menghentikan Una.
"Aaaa~" Untuk ketiga kalinya, Una menyodorkan sendok es krimnya ke mulut Riam, yang dibalas dengan Riam menutup kedua bibir rapat-rapat dan menggeleng.
"Iyam buku mulutnya dong!"
Riam sekali lagi menggeleng.
"Iyaaam~"
Masih menggeleng.
"Iyam suka saus tomat kan? Ngaku!"
"Engga─"
Tepat ketika Riam membuka mulut, sendok es krim mendarat di antara bibirnya. Una menyengir di sana sementara Riam terpaksa menelan rasa es krim yang ... sebenarnya tidak buruk. Sama sekali tidak buruk.
"Happy Anniv─ monthsarry, Iyam~ Kali ini bener, kan? Una pinter, kan?"
Jika tadi wajah Riam adalah garis lurus yang kaku. Kali ini ini garis lurus itu melengkung. Riam tersenyum, tangannya terulur, mengacak rambut Una.
"Iya, Pinter."
"Uh... jangan diacak!"
Menepis tangan Riam, Una lalu membenarkan poninya. Untuk kesekian kalinya hari ini, ia harus memperbaikinya gara-gara terlalu banyak melamun tadi pagi dan lupa memakai hairpin. "Iyam, ih! Susah tahu ngerapiin ini poni! Bandel banget kayak Fa'i kalo disuruh jumatan, sumpah!"
Namun Riam sudah tidak di sana. Una mengedarkan pandang ke segala arah, dan cowok itu tidak terlihat, di manapun.
Tahu-tahu, ketakutan merayapi pikiran Una. Apakah Riam sudah tahu rencananya dan pergi begitu saja? Apakah Riam tahu ia sedang dipermainkan? Atau ... apakah Riam sejak awal memang tidak peduli dan sudah lelah dengan rengekan Una?
Jika seperti itu, semua akan lebih mudah sekarang.
Seharusnya, pilihan untuk meninggalkan Riam demi Anin adalah keputusan yang mudah. Ia tidak memiliki perasaan apapun padanya. Lebih dari itu, ia membencinya karena cowok itu dengan sombongnya telah menyakiti Anin.
Tetapi sekarang... setelah banyaknya hari yang mereka lewati, sulit rasanya untuk bersikap pura-pura tidak peduli. Setidaknya, jika semua ini memang harus berakhir. Harus ada kenang-kenangan yang indah. Una berjanji, hari ini harus menjadi hari terbaik mereka.
Karena itulah mereka berakhir di sini.
Ketakutan itu tidak terbukti. Karena sebentar kemudian, Una merasakan sentuhan di rambutnya, di poninya. Ia menoleh, menemukan Riam tengah memasangkan jepit rambut untuk menghalau poninya yang terus jatuh ke mata.
Ia merabanya, stroberi. Ia mendongak, menatap Riam. Cowok itu melakukan hal yang sama, menatapnya.
Sebelum dengan gugup, Riam menjelaskan. "Gue nggak sengaja nyari yang cute kok, asal ambil aja."
Senyum Una mengembang, nyaris melebar menjadi kekehan. Seandainya ia tidak segera diingatkan tujuannya hari ini.
"Iyam. Hari ini ... bahagia, nggak?"
"Kenapa?"
Fokus Riam teralihkan detik itu juga. Ia menatap es krim yang meleleh di tangan Una, meraih sapu tangan dari saku celananya dan mengelap noda es krim di tangan cewek itu.
"Berantakan banget sih, kayak anak kecil," omelnya, lalu kembali menatap Una. yang tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Seolah ada banyak sekali di kepala cewek itu hingga ia kesulitan memilahnya satu persatu.
"Kenapa?" tanya Riam lagi, menyadari kediaman Una.
Namun, cewek itu hanya menggeleng.
"Enggak. Una ... bahagia, hari ini."
***
Nggak jadi galau dulu malam ini~ maybe next time haha.
Sampai ketemu secepatnya ❤
Sambil-sambil, baca juga cerita Saga di okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top