41. It's Time
Masih nunggu?
Happy reading, ya~ or probably not so happy
***
"Nin!" Rifa'i melongokkan wajah di pintu kamar Anin, cengirannya terlihat seolah ia sedang menginginkan sesuatu. "Gue nemu es kiko sama blackforest sepotong di kulkas lo! Minta, ya!"
Rahma yang tengah memijat-mijat lengan Anin tanpa diminta segera melotot. "Kita ke sini buat jenguk Anin! Bukan ngejarah, ya!" tegurnya.
"Yaelah sepotong doang, Mak Tiri. Laper nih, Bawang Putih lagi ngidam yang manis-manis." Kepada Anin, ia tersenyum manis. "Boleh ya, Nin?"
Yang disambut Anin dengan kekehan kecil. "Abisin aja."
Ketika Rifa'i berlalu sembari mengibaskan rambut panjang yang tidak nyata (karena rambutnya dipotong mengikuti standar sekolah, pendek nyaris cepak), Rahma memijat lengan Anin sedikit lebih keras dari sebelumnya, membuat Anin meringis.
"Jangan dibiasain, Nin. Nanti manja! Lagian anak bos skin care es kiko aja nyolong di kulkas orang!"
"Lo kalo ngomel kayak emak-emak deh, Ma." Anin terkekeh, suaranya sedikit serak ketika bicara. Dan hal itu kembali mendiamkan topik di udara, membiarkan keheningan mengisi.
Lalu, setelah beberapa saat, Rahma akhirnya angkat bicara.
"Nin, lo beneran nggak papa?"
Anin menggeleng. Pandangannya dibuang ke jendela. Seolah ia tidak bersedia menatap Rahma. "Gue nggak papa kok. Kalian nggak perlu ke sini."
Namun ia seharusnya kenal Rahma. Rahma selalu paling cepat dalam mendeteksi ketika ada yang salah. "Nggak papa gimana? Lo sakit apa Nin, emang? Udah ke Dokter?"
Jawabannya tidak. Ia tidak kemana-mana. Ia izin pulang cepat dan berdiam sendiri di rumah. Orangtuanya tidak tahu apa yang terjadi, mereka masih sibuk bekerja. Tetapi demi menghindari obrolan yang lebih panjang, yang tidak ingin ia bahas, Anin mengangguk.
"Udah, kok. Cuma stress mau ulangan."
Jawaban itu tidak meyakinkan, sama sekali. Tetapi melihat ekspresi Anin dan keengganannya untuk menjelaskan jejak-jejak tangis di matanya, keinginan Rahma untuk mendebat berubah menjadi ragu. Dan sebelum ia dapat meyakinkan diri untuk membuat Anin bicara, Rifa'i telah dengan heboh memanggilnya dari balkon kamar Anin, entah sejak kapan ia di sana.
"Ma! Ma! Ma! Cepetan sini! Ya Allah jangan lelet kayak jodoh, deh!"
"Apaan sih? Berisik banget?!"
"Itu, liat deh!"
Pandangan Rahma mengikuti telunjuk Rifa'i, mengarah ke bawah balkon, ke luar pagar rumah Anin. Dimana sebuah motor baru saja terparkir dan seorang cewek turun dari boncengannya. Dan meskipun jarak dan sudut pandang tidak memberikan mereka akses yang cukup baik untuk melihat wajah-wajah di sana, keduanya segera tahu siapa mereka.
Riam dan Una.
Una tampak berbicara sebentar pada Riam, entah apa, gesturnya tampak ringan, ceria. Namun yang membuat baik Rahma maupun Rifa'i nyaris menjatuhkan rahang mereka dari balkon lantai dua adalah, ketika Riam mengulurkan tangan, memperbaiki tatanan rambut Una yang kusut setelah melepas helm.
Cewek itu melambaikan tangan, kemudian mendorong pagar agar terbuka dan masuk. Menyisakan Riam yang masih duduk di sana, memandangi hingga Una masuk ke dalam rumah sebelum beranjak pergi.
"Hih! Sok romantis banget, serasa dunia milik berdua tuh," komentar Rifai, masih sambil menyesap es kikonya.
Sejenak, cowok berbadan semok itu mengamati esnya, mendorongnya dari bawah agar lebih mudah dimakan, mendekatkannya ke mulut, dan ... dan Rahma menariknya tepat sebelum es itu bisa Rifa'i rasakan.
"Ikut gue," kata Rahma serius. Mereka tidak mengatakan apa-apa pada Anin, tetapi langsung menuruni tangga menuju lantai bawah.
"I, lo pikirin apa yang gue pikirin?" tanyanya di ujung tangga. Keduanya berpandangan.
"Soal?"
"Soal sakit perutnya Anin."
Rifai memasang wajah berpikir, lalu mengangguk seketika. Dengan sangat yakin, ia menaikkan esnya di udara. "Anin pasti sakit perut gara-gara ini!"
Rahma menoyor kepalanya, segera. Es di tangan Rifa'i hampir melayang jatuh karenanya.
"Bukan itu maksud gue, Bawang Putih!"
Pintu melayang terbuka, tiba-tiba. Menarik perhatian keduanya. Terutama, dengan siapa yang berdiri di depan pintu sana. Una tersenyum ringan, cengiran khasnya.
"Sori, gue telat, ya?"
Rahma menggeleng. "Na! Kebetulan. Gue mau bicara."
***
Una pernah berkunjung ke kamar Anin beberapa kali. Masih sama seperti terakhir kali ia ke sana, kamar itu didominasi warna putih dengan sentuhan biru pastel. Warna-warna itu meninggalkan semburat di tirai jendela, selimut, lampu tidur, vas bunga dan barang-barang kecil di meja belajar. Sisanya adalah warna-warna acak yang tidak mencolok.
Una sedang mendengarkan soal blackforest Anin yang menurut Rifai mengingatkannya pada sang nenek ketika matanya menjelajah, dan tanpa sengaja menyadari apa yang tertempel di depan meja belajar. Sebuah jaring ram yang memuat beberapa foto polaroid di bawah lampu tumblr yang sedang tidak menyala. Foto-foto di sana tidak berubah dari yang sudah-sudah. Masih sama. Masih foto-foto Riam. Semuanya diambil secara diam-diam, dari kejauhan selayaknya setiap pengagum rahasia. Semuanya diambil tahun lalu, ketika Anin masih tergila-gila dengan sosok cowok itu dan penolakan belum pernah ada.
Sekarang ... Anin bahkan tidak pernah menurunkannya.
"Na!" Panggilan Rahma, serta tangan cewek itu di pundaknya menyentak Una.
Seketika, pandangannya beradu dengan Anin, tanpa ada kata yang ditukar. Ada pertanyaan yang tidak terucap, mengapung di udara, menunggu jawaban. Hingga, Rahma kembali merenggut perhatian kedua cewek itu, dan Rifa'i.
"Na, gimana perkembangannya sama misi kita? Hubungan lo sama Riam?"
Baik. Terlalu baik, malah. Sehingga Una bingung bagaimana harus menjawabnya. Ada Anin di sana, dan entah bagaimana, ide bahwa ia baru saja menghabiskan banyak waktu bersama Riam, tertawa bersamanya membuat Una merasa seperti seorang pengkhianat.
Bagaimana bisa ia lupa tentang Anin setiap dia bersama Riam?
"B-baik," jawabnya, tergagap.
"Dia udah ada nyatain cinta?"
"Hmm, Ma." Una baru membuka mulut, namun Anin telah menginterupsinya. Cewek itu beranjak bangkit dari tempat tidurnya. Dengan sedikit tergagap, dia terkekeh kecil. "Sampai lupa, kalian belum dibikinin minum. Bentar, ya."
Cewek itu berlalu keluar dari kamar. Dengan cepat. Sedikit tergesa. Menyisakan ketiga sahabatnya duduk di sekeliling tempat tidur Anin.
"Anin kenapa?" Rifa'i menjatuhkan tubuhnya di kasur, dada berada di bawah. Cowok itu memandangi Rahma dengan alis berkerut.
Yang ditanya, justru mengalihkan pandang, menatap Una.
"Na. Lo masih ingat tujuan awal kita apa, kan?" tanyanya.
Ingat, setidaknya sekarang. "Bikin Si Batu Bernapas ngerasain apa yang dinamakan patah hati."
Rahma mengangguk. "Yup. Dan patah hati enggak akan bisa dicapai kalau dia belum ngasih hati ke elo."
Segera, Una membuka mulut, bermaksud menyanggah apapun yang akan Rahma katakan. "Iyam belum─"
"Dia belum menyatakan cinta?" Rahma menyelesaikan pertanyaan itu untuk Una. "Mungkin orang kayak Riam enggak akan pernah mengungkapkan hal semacam itu. Tapi ... gue bisa lihat, Na."
"Lihat apa?"
"Cara dia memandangi lo? Cara dia memberikan perhatian kecil? Persis cowok gue waktu awal pacaran, sebelum ngebuang."
"Ma─"
"Cowok itu dimana-mana semua sama, Na."
"Bener," Rifa'i mengamini.
Rahma tidak terpengaruh, ia melanjutkan bicara. "Awal aja manisnya. Kalo lo nggak ngebuang duluan, lo yang akan dibuang."
"Dan ...," lanjut Rahma setelah satu jeda. "Lo liat Anin kan? Menurut lo dia masih sayang sama Riam?
Senyap. Una tahu itu benar. Meskipun ia tidak pandai membaca perasaan, semuanya menjadi terlalu jelas sekarang, bahkan jika ia memejamkan mata. Foto-foto itu, cara Anin mengalihkan topik, cara Anin memandangi Riam ... tidak ada yang berubah.
Kecuali tatapan terlukanya.
Ketiganya terdiam sementara pintu kembali berayun terbuka. Anin melangkah masuk dengan sebuah baki dan tiga gelas jus jeruk di atasnya. "Kalian suka jus jeruk, kan?"
Tidak ada sahutan. Rahma masih menatap Una, dan sebaliknya.
"Terus gue harus gimana?" bisik Una pelan.
"Ini saatnya," jawab Rahma. Keheningan mengisi sejenak. Lalu, Rahma memperjelas semuanya, bom yang baru saja dia jatuhkan. "Lo harus putus sekarang."
***
Jangan sampai ketinggalan vote dan komen huehuehue. Part selanjutnya mau kapan? (Yang jawab malam ini juga fix ngajak berantem)
Kunjungi Saga di work okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top