32. Teacher Iyam
Update agak malem. Kalian baca ini jam berapa?
Happy reading! 💛
***
Jika perpustakaan biasanya sepi karena hanya dihuni oleh entah kutu buku secara istilah ataupun kutu buku secara harfiah, hari ini berbeda. Sang penjaga yang biasanya sibuk menata katalog, atau berselancar internet, atau jatuh tertidur, sekarang matanya terbuka lebar. Seorang menyusup telah menyelundupkan diri ke dalam perpustakaan!
Atau mungkin lebih.
"Una nggak papa, di dalam sana?" Anin bertanya dalam bisikan. Tubuhnya yang cukup tinggi tidak mampu mengintip dengan jelas di antara buku-buku di rak paling atas. Sementara Rahma dan Rifa'i memilih mengintip pada rak satu tingkat di bawahnya, sedikit harus menunduk.
"Una kalau pingsan karena dihabisin Riam gimana, ya?" Rifa'i menggigit bibirnya. "Eh, tapi omong-omong, Riam galak gitu seksi banget, ya. Ya ampun, jadi pengen diajarin juga. Seribu soal pun aku rela, ulala~"
Di sisinya, Rahma mendelik, lantas menoyor cowok yang punya lebih banyak jenis skincare daripada dirinya itu. "Jangan ngadi-ngadi, ya, Bawang Putih! Kalo sampe lo jadi pelakor Una kali ini, lo gue ulek jadiin bumbu ayam geprek! Mitha noh, lebih macho! Eh, bukan. Lo kan cowok, Rifa'i binti Slamet~ cari cewek lah, tolong."
"Ya ..., gue sih mau aja, Ma. Mereka yang nggak mau." Rifa'i merengut seraya mengusap kepalanya, "Takut tersaingi kali, jadinya cantikan gue!"
Untung Rahma tidak sedang ngidam, bisa muntah di tempat. Ia membekap mulut Rifai, menyuruhnya diam. Sementara di sisinya, Anin bergerak-gerak gelisah. "Bentar lagi bel, Ma. Balik, yuk," bisiknya lagi.
"Bentar, nanggung. Kita harus mastiin ya, itu anak ngerjain tugasnya dengan baik atau enggak." Rahma meraih buku-buku di rak di depannya, meraih dan mendekapnya di dada agar tidak lagi menghalangi pandangan.
Sekarang, Una yang tengah duduk membelakanginya tampak lebih jelas. Ia duduk berdampingan dengan Riam, dengan jarak kira-kira setengah meter di antara kedua kursi. Rahma mendesah. Terlalu jauh, dan tidak ada interaksi apa pun. Una sibuk menunduk pada soal yang sedang ia kerjakan, dan Riam membuka buku lainnya. Pemandangan yang biasa untuk Riam, namun keajaiban dunia bagi ukuran seorang Skala Aluna.
"Duh, ni anak masa nggak bisa memanfaatkan situasi? Ya ampun, Na. Nyosor dong, nyosor," bisik Rahma gregetan. Apakah Una sudah tobat dan lupa dengan misinya serta hadiah mi ayam?
Sebuah geplakan terdengar, cukup keras, diiringi erang kesakitan Una dan tangannya yang mengusap-usap kepala. Riam baru saja mendaratkan penggaris di kepalanya.
"Aduh, Iyaaam. Kenapa lagi, sih?" Bisikannya bahkan cukup keras untuk bisa didengar oleh komplotan Rahma.
"Belajar yang bener. Jangan celingak-celinguk."
"Ini lagi mikir, tahu! Emangnya wajib ya, nunduk liatin buku aja terus?!"
Riam tidak menjawab pertanyaan itu. "Dua menit lagi," ketusnya.
Una ingin protes, tetapi penggaris di tangan Riam bergerak-gerak, mengetuk meja. Seolah mengatakan bahwa ia ingin bercinta dengan jidat Una lagi. Jadi cewek itu batal protes dan kembali menekuni soal Matematika yang diberikan Riam.
Lalu, sementara Una sibuk menghitung soal terakhir, cowok itu telah membebaskan tangannya dari penggaris atau apapun. Sisi wajahnya ia istirahatkan di atas telapak tangan yang bertumpu di atas siku sekarang, menghadap Una.
Bosan. Riam hanya bosan. Tadinya ia sudah menyibukkan diri dengan memandangi penggaris kuning bertempel nama Skala Aluna, atau kotak pensil yang tampak kekurangan muatan, atau corat-coret pulpen di atas meja, atau apapun agar ia tidak mengantuk. Satu-satunya hal di tempat itu yang belum ia pandangi sekarang hanyalah ... Una. Dan karena itulah, ia melakukannya sekarang.
Rambut cewek itu dikepang dua hari ini, jatuh di kedua sisi pundaknya. Ada tiga jepit rambut warna warni di salah satu sisi kepala, senada semaraknya dengan gelang yang ia pakai. Ceria, adalah kata yang tepat untuk mendefiniskan cewek di sampingnya ini. Sama seperti gelangnya, atau jepit rambutnya, atau penggaris kuning dengan gambar kartun itu.
Tahu-tahu saja Una menoleh, menangkap pandangannya, dan membuat Riam nyaris menjatuhkan wajah karena buru-buru menarik sikunya.
"Udah selesai?" tanya Riam setelah satu dehaman. Riam melirik jam tangannya, lalu menatap Una tajam. Waktu sepuluh menit yang ia berikan telah berakhir.
Dengan ragu, Una menyerahkan kertasnya. "Tapi kalau salah, jangan dipukul lagi, ya?"
Riam tidak menyahut. Ia menarik kertas di tangan Una dan memeriksanya dengan cepat. Dan seketika, firasat buruk mulai menghinggapi Una. Wajah tegas cowok itu semakin tidak bersahabat.
Jadi, ketika Riam meraih penggaris, Una telah meraih buku Matematika tebal di depannya untuk menutup kepala sementara dirinya menciut, membuat Riam urung memukulnya dengan penggaris.
"Tadi udah janji nggak mukul!" sungutnya, memanyunkan bibir. Riam tidak menggubris. "Kenapa lagi, sih?"
"Jawaban lo masih salah."
Kali ini, Una mengerucutkan wajahnya, bibir bawahnya dimajukan dalam kesedihan. "Ah, tahu ah, bodo amat! Udah boleh istirahat?" Ia melirik jam dinding di salah satu sisi perpustakaan. "Sisa lima menit!"
"Nggak. Lo salah dua dari lima soal. Kerjain ulang."
"Iyaaaammm~" Una mengerang, lalu melipat kedua lengan di atas meja dan mengubur wajahnya di sana. Kapan sih, penderitaan ini akan berakhir? Memang, tadi ia sudah sempat sarapan, tapi kan dia belum jajan?!
"Ngantuk, lapeeeeer."
"Boleh istirahat kalau udah bener semua."
Terdengar isak tangis dibuat-buat dari onggokan bernama Una itu. Yang mungkin, sedikit banyak berhasil merayu Riam.
"Liat sini."
Ragu, Una pun mendongak. Riam menunggu hingga cewek itu duduk lebih tegap menghadapnya sebelum kembali bicara.
Ia meraih pulpen dan buku Una. "Gue ajarin. Lima soal yang gue kasih, semuanya mirip. Pada dasarnya, lo udah paham rumus peluang yang tadi gue ajarin. Banyaknya peluang sama dengan a x b x c. Satu sampai tiga udah bener. Soal keempat, ada dua pertanyaan."
Dengan pelan serta pelafalan yang amat jelas, Riam membacakan lagi soal keempat. Dan perlu banyak usaha bagi Una untuk tetap fokus memperhatikannya, memperhatikan apa yang ia ucapkan alih-alih bibirnya yang bergerak-gerak pelan, pemandangan yang tidak biasa.
"... dan dari Blitar ke Malang terdapat 2 jalan, tentukan banyaknya cara perjalanan Zhra dari Ponorogo ke Malang yang mungkin dilakukan dengan ketentuan: a). Bebas, b) PP melewati jalur yang sama."
Jemari panjang Riam bergerak-gerak kemudian. Menulis di atas kertas. Dengan runtut ia merumuskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, lalu merumuskannya pelan-pelan.
"... Untuk yang b, perjalanan yang mungkin yaitu PSM-MSP atau PSM-MBP atau PBM-MBP atau PBM-MSP," ujarnya, masih sambil mencoret-coret di kertas, sementara Una memandanginya. Angka-angka dengan cepat terukir rapi, semakin terurai, semakin sederhana. "36 + 48 + 64 + 48 = !96."
Riam menoleh kemudian. Matanya menangkap tatapan Una, dan selama beberapa detik, tidak ada yang beranjak. Hingga, suara rendah Riam mengisi kekosongan di udara. "Udah ngerti?"
"Hmm. Mungkin?"
Riam tersenyum tipis, lalu mengembalikan soal itu ke hadapan Una. "Soal nomor 5 mirip. Coba kerjakan."
Tidak lebih dari dua menit kemudian, Una harap-harap cemas menunggu Riam yang memeriksa hasil kerjanya. Ketika anggukan persetujuan yang diberikan cowok itu alih-alih penggaris, Una tanpa sadar berteriak girang.
"Sumpah Una bener semua?! Yay!!!"
Ia mendapat teguran dari pengawas perpustakaan segera setelahnya. Tapi siapa peduli. Ini adalah pertama kalinya ia mendapat nilai sempurna untuk Matematika. Ralat, untuk semua mata pelajaran, sebenarnya. Ia menarik tangan Riam, menangkupnya di antara kedua tangan sendiri.
"Iyam baik banget sih, udah ngajarin."
Tatapannya serupa anak anjing tersesat, berlebihan. Riam membuang pandang dan menarik tangannya. Tidak berhasil, sayangnya.
"Udah gih, sana. Udah bel."
Tetapi Una tidak beranjak. Ia meraih pulpen. Kemudian, tanpa permisi, menuliskan sesuatu di tangan Riam, membuat cowok itu menatapnya galak lagi.
"Apaan nih?" tanya Riam, menyentak tangannya.
Una segera menarik buku dan kotak pensilnya, mendekap semuanya ke dada karena tidak sempat membereskannya. Ia buru-buru berdiri dan siap-siap kabur. "Jangan dihapus. Pokoknya jangan!"
Dan, ketika punggung cewek itu telah berputar untuk selanjutnya berlari pergi, barulah Riam membuka telapak tangannya, memeriksa apa yang cewek itu tulis di sana.
Teacher Iyam, thang you so much!
Una <3 ヾ(^-^)ノ
Riam mendengkus. Harusnya thank you. Dan harusnya ... tanpa hati di belakang nama Una dibuat sebesar dan se-cute itu, kan? Dengan wajah menyengir lebar di sampingnya?
***
Ternyata ngejar satu hari satu update aja engap banget aku tuh 😅
Tapi gapapa. Semangat! Kalian semangat juga ya vote dan komennya. Semoga menjadi hiburan saat lelah~ 💛💛💛
Mampir juga ya baca Epsilon oleh okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top