23. Anaknya Ketinggalan
Ada tebak-tebakan titipan Pak Ibram, nih. Coba tebak, ya.
Kota-kota apa yang banyak bapak-bapaknya?
***
"Buuun! Skala sudah pulang?!"
Pak Ibram tergopoh ke dapur begitu memarkir motor di halaman. Helm, kunci motor berikut tas kerja masih ditenteng di tangannya. Bahkan, dia masih belum melepas kaus kaki.
"Apa, sih? Bukannya pulang sama Ayah?" Bunda yang masih berkutat dengan tumisannya berpaling, spatula di tangan. "Gimana sih, Ayah?! Jangan bilang ketinggalan lagi! Anak kok bisa ketinggalan Ayah? Yang bikin juga siapa?!"
"Nggak ada, Bun, di sekolah. Ditelponin nggak aktif. Kirain mau balas dendam, pulang duluan." Pada kalimat itu, Bunda mendengkus. Enggak ayah, enggak anak, kelakuan sama-sama kayak anak TK. "Apa jangan-jangan dia ketiduran, ya?"
"Ya, mana Bunda tahu?! Emangnya Bunda Limbad, bisa menerawang?"
"Emangnya Limbad bisa menerawang?"
Bunda kali ini memutar bola mata. Bukan itu poinnya, Ibram Salahudin!
"Assalamu'alaikum!" Suara parau khas anak laki-laki yang baru akil balig memecah konsentrasi perdebatan keduanya.
"Deon pulang, Yah, Bun." Deon yang baru balik dari menumpang teman muncul di pintu dapur, lalu salim kepada kedua orangnya. Yang ia baru sadari kemudian adalah, bahwa ayah dan bundanya terlihat seperti baru akan baku hantam.
"Kenapa, Bun?"
Bunda berbalik, mengaduh tumisannya, mematikan kompor, untuk selanjutnya meletakkan kedua tangan di pinggang. "Itu, De, kakak kamu, masa' ketinggalan di sekolah! Tolong bilangan ayah kamu kalau pikun jangan segitunya!"
"Kak Una?" Deon meletakkan tasnya di alah satu kursi meja makan, lalu membuka tudung saji, berharap menemukan sesuatu. Sesuai dugaan, aroma menggoda menyerbunya seketika. "Asik ada ayam goreng! Makan, ah!"
"Ya kakak cewek kamu satu-satunya! Cuci tangan dulu!"
Tangan Deon yang sudah satu senti jaraknya dari mencomot ayam goreng, terhenti di udara. Deon merengut, namun tidak berani mengambil resiko, tidak sekarang dengan mata Bunda yang melotot sebesar bola basket, bukan pingpong lagi. Mata yang kemudian diarahkan kembali kepada Pak Ibram.
"Ayah masih di situ? Ya ampun anak ketinggalan di sekolah bukannya dijemput!"
"Skala 'kan sudah besar, Bun."
"Iya, Bunda. Biarin aja," sambil membasuh tangan di wastafel, Deon menambahkan. "Nanti kalo laper juga pulang!"
"Emangnya Skala itu kucing! Ayah, ayo jemput Skala sekarang!"
"Ayah laper Bun. Belum makan."
"Ini kalau anak kita hilang gimana?"
"Bikin lagi."
Bunda melotot, sementara Deon pura-pura tidak mendengar. Deon nggak denger, Deon lagi cuci tangan pake sabun. Dan Ayah, yang baru saja akan ikutan mencomot paha ayam, terpaksa juga membatalkan niat di bawah pelototan Bunda.
"Iya, iya. Ayah jemput, nih." Mengabaikan perutnya yang rock and roll-an, ataupun ayam goreng yang aromanya menari India di bawah hidung, Ayah mengalihkan pandang. Lelaki itu meraih jaketnya kembali yang disampirkan di sofa, kemudian bergegas mencelupkan kaki ke dalam sepatu. Semuanya dikerjakan di bawah pengawasan Bunda, dengan Deon yang menjaid saksi mata Namun baru mereka berada di ambang pintu, sebuah motor telah berhenti di halaman.
Dan anak yang dikira ketinggalan, turun dari atasnya.
Tetapi, tentu saja, kehadiran Una tidak lagi menarik perhatian keluarganya.
"Eh, ada anak ganteng?!" Bunda berseru, mengenali perawakan Riam bahkan sebelum ia membuka kaca helm.
"Abang ganteng!"
"Nak Riam?"
Tadinya, Riam berniat hanya mengantar. Mampir dan beramah-tamah dengan keluarga Una yang heboh tidak masuk dalam wacananya. Akan tetapi, melihat ketiga orang itu yang melambai-lambai padanya, mau tidak mau, memaksanya turun dari motor.
"Bun, Una pulang!" Una melangkah cepat kepada sang bunda, mengulurkan tangan untuk salim. Sayangnya, Bunda yang terlalu fokus dengan keberadaan Riam tidak menggubrisnya, melewati tangan Una yang terulur dan menyongsong Riam.
Riam mencium tangan keduanya, Bunda dan Ayahnya Una setelah mengucapkan selamat sore. Hal yang ... entah kapan terakhir ia lakukan pada mamanya sendiri.
"Nak Riam mampir lagi. Ayo masuk, masuk!" Sebelum Riam sempat mengarang alasan untuk kabur, Bunda telah menggandeng lengannya.
"Iya, masuk, Nak Riam. Skala, kamu siapin teh, jangan lupa pakai teh. Jangan air gula aja!"
Una terpaku di dekat pintu. Haruskah ia terharu sekarang? Ternyata orangtuanya masih menyadari kehadirannya. Sayangnya, ia dipanggil hanya untuk membuat teh. Ayah yang sejak kemarin selalu lupa untuk memboncengnya pelan, sekarang terasa lebih kejam dari ayah tiri.
"N-nggak usah Om, Tante. Saya langsung pulang aja."
"Loh, kok pulang? Nggak boleh! Bunda udah masak, masa kamu mau pulang sebelum nyicip masakan Bunda?"
Pak Ibram ikut-ikutan menepuk punggung Riam, keras. "Di sini aturannya. Pantang pulang sebelum makan!"
"Iya, nih! Kebetulan Bunda hari ini masak banyak. Baru mateng, malah. Ayo, ayo! Riam! Masuk, jangan malu-malu. Anggap aja kayak rumah sendiri."
Keduanya, diikuti Deon menggiring Riam masuk ke rumah, meninggalkan Una yang masih merengut di pintu. Ia harus memikirkan ulang apakah dirinya anak kandung atau benar-benar anak pungut ketemu di TPS seperti yang selalu Irgi katakan.
Lama, menghabiskan bermenit-menit ia di sana, memajukan bibir. Hingga, Ayah kembali, menengoknya.
"Skala, kamu masih ngapain di situ? Orang udah pada mau makan."
Seketika, Una semringah. Akhirnya diajak makan juga!
Namun kalimat Ayah berikutnya kembali menamparnya. "Tehnya belum dibikin juga!"
***
Sekarang Riam paham, darimana gen Una yang selalu kelebihan energi itu berasal. Riam bahkan tidak berlalu memindahkan tangannya sedikit saja, Bunda telah menyediakan semuanya. Dari menyendokkan nasi ke piringnya, menambahkan sayur, memilihkan lauk, dan semuanya, menumpuk sebuah gunung makanan di hadapan Riam. Bahkan, seandainya Riam meminta disuapi, Bunda pasti akan dengan senang hati melakukannya.
"Tumis parenya dimakan, Nak Riam."
"Udangnya dicicip, ya."
"Ini perkedel jagung Bunda enak, loh."
"Suka ayam goreng, kan? Suka bagian mana? Nih sayapnya yang paling enak."
Riam tersenyum canggung, dalam hati bergumam bagaimana caranya menghabiskan semua yang disodorkan padanya. Ia lalu mencomot ayam goreng, bagian dada, memilih potongan yang paling kecil, paling kering dan murni daging, tanpa kulit, kesukaannya. "Yang ini aja."
Selama makan, ada banyak pertanyaan yang saling ditukar. Bukan hanya untuknya. Riam memilih mendengarkan ketika Pak Ibram bertanya tentang anaknya, si Irgi dan Argi, yang kata Bunda sedang ada kegiatan di kampus, dan yang satunya magang kerja. Dari sana, Riam mempelajari bahwa dua orang itu kembar, dengan Argi sebagai kakak, namun Irgi dengan badan lebih tinggi─ia melihat mereka tempo hari─dan keduanya memiliki sifat yang nyaris berkebalikan. Kepada Deon, adiknya Una yang baru saja masuk SMP, Pak Ibram bertanya tentang sekolah, sementara Bunda menanyakan tentang pergaulannya, teman-teman, mencoba mengorek perasaannya menjadi murid SMP.
"Seru, Bun! Sekolahnya gede. Tapi pelajarannya tambah banyak, pulangnya juga lebih lama!"
"Belum tahu aja kamu, SMA kayak gimana," Una menyahut, mencomot sayap ayam dan menggigitnya langsung.
"Emang beda? Perasaan SMP-SMA Kak Una sama-sama nggak ada belajar."
Dan Deon tertawa usai menghindari jurus sikutan maut dari Una. Sementara, Bunda mulai mengalihkan perhatiannya kepada Una, berceramah panjang lebar soal pentingnya belajar kalau mau lulus dan sukses.
Tiba-tiba saja, Riam merasakan hangat yang tidak berhubungan dengan cuaca sore itu.
Ia mulai membayangkan Ayah, membayangkan Mama, lalu ada dirinya, makan bersama. Hal yang ... terakhir ia ingat, terjadi saat ia masih berumur lima tahun. Kenangan lama yag tersimpan begitu baik di benaknya, karena ia tahu betul, momen itu tidak akan pernah kembali seberapa keras pun ia berharap. Jadi ia ingin menggenggam jejak yang ia punya. Erat-erat.
Seandainya saja─
"Nak Riam?"
Riam tersentak dari lamunan. Ia baru menyadari bahwa dari tadi ia terdiam, tidak lagi menyantap makanannya. Dan sekarang semua orang di meja itu menatap ke arahnya dengan pandangan heran.
"Nak Riam kenapa? Nggak suka, ya, masakan Bunda?"
"O-oh, enggak. Masakannya ... enak." Lalu, merasa pujiannya benar-benar kurang, Riam menambahkan, dengan amat canggung. "Enak banget."
Seumur hidup, rasanya bisa dihitung jari momen ketika ia memuji sesuatu. Seolah pujian adalah sesuatu yang haram keluar dari mulutnya. Namun ketika ia mengucapkannya sekarang, Riam heran bahwa semua itu terasa benar. Masakannya memang ... seenak itu.
"Syukurlah kamu suka."
"Oh iya, Nak Riam." Ayah yang tidak mau diam, menyambung masih dengan mulut yang penuh, membuat pria itu kesulitan bicara.
Riam mendengarkannya selagi mengunyah, menunggu pria itu menelan makanannya sebelum meneruskan. Ia menatap Una di sudut meja, sesaat terpikir... bagaimana bisa ia berakhir di sini? Karena cewek ini?
"Jadi, dalam rangka apa kamu nganter Skala pulang?"
Uhuk!
Mendadak, sistem di otak Riam yang terbiasa teratur dikacaukan oleh pertanyaan tersebut. Hal itu turut mengacaukan sistem pencernaannya. Sehingga tahu-tahu, Riam tersedak. Makanan masuk ke sistem pernapasannya, menyakitkan. Buru-buru, Bunda memberinya minum, meskipun anaknya sendiri juga diam-diam ikut tersedak.
"Kakak pacaran, ya?" Deon berinisiatif untuk membuat Riam tersedak dua kali, kali ini dengan air putih.
"Hush! Jangan ngomong sembarangan!" Itu Bunda, yang akhirnya menyanggah. "Nggak mungkin, kan, anak sekeren Riam gini mau sama kakak kamu yang blangsak kayak gitu. Yang bener aja. Udah murtad kali, si Riam."
Una menatap dari ujung meja. Lagu sedih mendayu-dayu di dalam kepalanya. Astaga... bener kali gue anak pungut, nemu di TPS bareng kantong kresek dan kulit pisang.
***
Mobil mama telah masuk garasi begitu Riam memarkirkan motornya di sana. Jadi tidak mengherankan ketika ia masuk rumah, Mama berada di sofa dengan televisi yang menyala. Wanita itu segera berdiri begitu melihatnya, membuktikan bahwa ia sedang menunggu Riam.
"Kamu abis dari mana? Bukannya hari ini nggak ada jadwal les?"
"Latihan."
"Bohong. Mama telepon pelatih kamu, katanya kamu cedera sampai nggak bisa latihan."
Di tengah langkahnya menuju tangga, Riam berhenti, lalu memejam. Ibunya bahkan tidak terdengar khawatir sama sekali mendengar ia cedera, berasumsi bahwa ia baik-baik saja. Atau ... memang tidak peduli.
"Aku nggak boleh main?!" Nada suaranya meninggi tanpa bisa ia cegah, tanpa berusaha ia cegah.
Lidya menghela napas kasar atas nada jawaban itu. "Mama cuma nanya, oke? Mama khawatir."
Kalimat itu membuat Riam mendengkus. Khawatir, katanya?
Mungkin, dia pikir Riam akan terharu. Atau mungkin, cowok itu memang nyaris melakukannya. Kecuali, ponsel di tangan Lidya berdering dan wanita itu segera mengangkatnya. Ekspresi wajahnya berubah, ada senyum yang begitu cerah di sana, yang tidak ia bagi kepada Riam.
"Iya, Mas?"
Rasanya, Riam nyaris muntah. Mas? Pria itu bahkan tidak lebih tua dari sang mama. Bahkan ketika mamanya berbalik, memalingkan wajah dari Riam, cowok itu masih dapat mendengar senyum dari nada suaranya. Ia terdengar seperti remaja, seperti cewek-cewek di sekolah Riam yang kerap bergosip di selasar, membicarakan cowok.
"Sebentar ya, Mas. Aku tutup dulu, nanti aku hubungi lagi."
Yang ia inginkan, adalah bicara dengan Riam. Empat mata. Hati ke hati. Bicara seperti ibu dan anak, tentang apa saja. Karena itu ia menunggunya, karena waktu mereka untuk bersama demikian sedikit, nyaris tidak ada. Namun usai telepon ditutup, Riam telah berlalu. Menaiki tangga, lalu menghilang di balik pintu kamarnya, tidak bersedia menoleh meski namanya dipanggil.
Riam melepaskan tasnya, jaketnya, seragamnya, segala atributnya, menyisakan dirinya dengan kaus tipis yang ia jadikan dalaman. Mood-nya turun lagi. Setelah hangat yang ia rasa di rumah orang, sekarang di rumah sendiri ... adalah neraka.
Dihempaskannya tubuh di atas kasur. Lengannya jatuh ke wajah. Lelah. Lelah dengan hidup.
Seketika, pertanyaan yang pernah membayangi benak Riam kembali. Pertanyaan yang membawanya pada ajakan pacaran konyol itu. Apa ... yang begitu ajaib tentangnya? Kenapa orang-orang bisa tersenyum bodoh hanya karena seseorang? Hanya karena menatap ponsel dan menerima sebuah pesan?
Logikanya tidak dapat memahami itu.
Lalu, ponselnya bergetar. Tidak banyak orang yang tahu nomor ponselnya, jadi pastilah itu pesan penting. Ia membukanya tanpa praduga apa-apa.
Pesan itu dikirim oleh kontak Una Cute, dan Riam seketika membuat catatan di kepala untuk mengganti nama cringe ini segera.
Malam, Iyam
Iyam lagi apa?
Iyam, jangan lupa makan.
Jangan sampai Iyam sakit lagi <3
Riam tidak tersenyum. Ia mendengkus. Dan bibirnya tertarik sedikit, sangat sedikit, ke kedua sisi.
***
Uhukiyamuhuk
Iyam kenapa, ya?
Tebak-tebakan tadi jawabannya: Purwodaddy. Siapa yang bener? Yg pengen nimpuk langsung ke bapaknya aja. Wkwk.
Mampir juga di Saga yang uwu beristri dua. okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top