17. Teh Manis Nggak Pakai Teh
Akhirnya bisa update lagi sebelum seminggu, wkwk
***
Mungkin, hari ini adalah hari sial bagi tukang bakso kompleks yang sedang menjajakan dagangannya. Di hari yang dingin seperti ini, baksonya malah kurang laku, mungkin orang-orang malas keluar rumah berhujan-hujan. Kemudian, musibah lain menimpa. Ia terpaku di tempat, kesulitan untuk memutuskan ke arah mana harus memutar haluan ketika melihat seorang cewek yang melarikan sepeda motor sport di tengah jalanan kompleks, meliuk-liuk seperti sedang kesurupan siluman ular.
"PAK, AWAS PAK, AWAS! AIR PANAS! AIR PANAS!"
Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini. Bapak penjual bakso itu ikut-ikutan meliuk-liuk ke kiri dan kanan, maju-mundur tak pasti, turut kebingungan harus mengambil arah mana demi menghindar. Una menjadi gusar, karena ... tolonglah, ia tidak sanggup mengendalikan motor Riam.
"AIR NERAKA, PAK! AIR NERAKA!!!" Una berteriak, membangunkan kucing yang tengah menikmati tidur siang di bawah teras kios terdekat.
Sementara di bagian belakang, dengan laju kendaaan yang tidak seberapa itu, Riam berhasil memegangi payung tanpa membuatnya terbang. Hal yang sebenarnya lebih menyulitkan ketimbang membawa motornya sendiri. Namun, cewek di depannya ini begitu keras kepala dan tidak bersedia mendengarkan. Menjadikan Riam terpaksa mengalah, lalu berakhir dengan dibonceng sembari membuat daftar penyesalan terbesar dalam hidupnya.
Ia tidak pernah mengira, hidupnya akan berakhir setragis dan sekonyol ini. Riam Zarel Albion akan berakhir dalam ... tiga ... dua ...
Dengan adrenalin yang terpompa, Una berhasil membelokkan motor dan menghindari tabrakan dengan gerobak bakso. Namun itu tidak serta merta artinya mereka selamat. Karena tidak lama, Una membelokkan motornya lagi ke sebuah halaman. Sayangnya, ia tidak tahu dimana rem berada dan berakhir dengan menabrak barisan pot bunga sebelum mereka berdua, bertiga dengan motor Riam, jatuh.
Oke, ini sudah cukup. Sembari dengan cepat berdiri tanpa berusaha menolong Una untuk ikut bangun, Riam mengusap lengannya. Cewek di depannya ini hampir mengakibatkan luka-luka yang lebih banyak dari sayatan di tangannya. Kebodohan Riam hari ini adalah, ia sudah tahu ide cewek gila ini sudah terdengar buruk, namun ia tidak menyangka bisa seburuk ini dan menurut.
Sementara, kekacauan dan kegaduhan barusan telah mengundang berbagai kepala untuk bermunculan di pintu.
"Skala! Kamu apain tanaman Bunda?!" Bunda menyeruak keluar, menyingkirkan badan Irgi dan Deon yang menghalangi jalan. "Bunda, kan, udah bilang─"
Omelan Bunda terhenti di ujung lidah ketika ia mencapai pintu dan menemukan sesosok anak cowok tinggi, ganteng yang bukan salah satu dari anaknya di sana. "Ini... siapa yang kamu culik, La?"
Usai dengan susah payah mengembalikan motor ke dalam posisi berdiri, Una menarik penyangga kakinya sebelum meninggalkan motor tersebut, mengusap-usap tangan dan celana kaos selututnya yang ditempeli debu basah.
"Kenalin, Bunda. Ini Iyam─eh, Riam. Iyam, ini Bunda."
And why the fuck he's trapped here, pikir Riam. Untuk sesaat, ia bergeming, enggan untuk memperkenalkan diri, atau dalam kasus ini, melakukan apa pun.
"Oh ... teman sekolah, kamu?"
Namun, pertanyaan dari ibunya Una tidak terhindari. Dan meskipun ia benci dengan cewek aneh itu setengah mati, ia akhirnya memilih bersikap sopan pada ibunya yang tidak tahu apa-apa. Maka dengan sopan, Riam mengangguk dan mencium tangan Bunda.
"Iya, saya ... Riam."
"Ganteng banget kamu, kok bisa, ya, kenal sama Skala," kekeh Bunda. Ia menepuk lengan bawah Riam, dan segera menyadari keadaan cowok itu. "Kamu basah kuyup, kehujanan, ya? Masuk dulu. Irgi, coba kamu pinjemin baju!"
"Nggak usah, Tante."
"Eh, nggak pa-pa. Nanti kamu sakit pakai baju basah gitu. Kamu juga sebaiknya mandi air panas dulu, sebentar ya Bunda siapin."
"Nggak... nggak usah."
Penolakannya tidak berhasil, dan ia tahu tidak akan pernah. Bunda telah menariknya masuk, mendudukkannya di sofa lalu buru-buru ke dapur.
"Skala! Jangan lupa kamu siapin teh panas, gih! Pake teh sama gula yang kamu beli tadi. Pisang gorengnya ada di dapur, tolong kamu bawa keluar!"
Sebentar! Sebentar! Teh?
***
Ketika Bunda, dengan kekuatan dan skill negosiasi seorang ibu pada umumnya berhasil memaksa Riam masuk ke kamar mandi untuk mandi dengan air panas yang telah ia siapkan, Una bersungut-sungut di depan kompor. Pasalnya, seumur hidup ia belum pernah disiapkan air panas begitu.
"Bunda, Una mau mandi air panas juga~"
"Sana, mumpung di luar masih agak hujan. Biar hemat air sekalian."
"Bunda~ Bunda pilih kasih! Anak orang disayang-sayang, anak sendiri dibuang."
"Emang kamu anak Bunda?"
Jawaban itu otomatis membuat wajah Una yang seduh menekuk semakin tertekuk lagi. Bunda tertawa, lalu seolah baru teringat sesuatu, ia menyipitkan mata. "Omong-omong, yang tadi itu siapa kamu?"
Seketika, seolah telinga mereka telah memasang radar sejak tadi, semua orang segera mengerubungi Una. Semuanya memasang wajah penasaran yang tidak bisa lagi ditutupi. Termasuk Argi, yang sepertinya baru bangun tidur, dan Deon, adiknya yang entah sejak kapan pulang dari main.
"Pacar kamu, ya?!" Irgi menembak langsung dalam bisikan, yang segera mendapat cibiran dari Deon.
"Emang cowok kayak gitu mau sama Kak Una?"
Una melotot, dalam hati mencatat baik-baik waktu yang tepat untuk membalas Deon di belakang pengawasan Bunda.
"Skala, kamu apain anak orang?" Bunda semakin penasaran.
"Dipelet, ya?" Deon menambahkan.
Sementara Argi, kembaran Irgi, si sulung yang cuek keterlaluan, hanya menguap. "Ada apa, sebenarnya?"
"Kak Skala bawa pacar!"
Dengan segera Una menyumpal mulut Deon dengan kedua tangan. Benar-benar adik tidak tahu diri. Seharusnya, ketika lahir ia menyumpal rahim Bunda, tidak memberi jalan untuk Deon keluar nantinya.
Sekarang, Argi, Irgi dan Bunda menatapnya penuh selidik, Una terpojokkan.
"E-enggak, kok, bukan─"
Belum selesai ia bicara, suara pintu seng yang dikuak terbuka mengambil perhatian mereka. Sepasang kaki terlihat menuruni tangga yang menghubungkan dapur dengan tempat menjemur pakaian di loteng, Lalu, wajah kebingungan Ayah terlihat ketika mengamati semua orang memperhatikannya.
"Loh, kok pada ngumpul di sini? Udah bener belum, antenanya? Ayah teriak-teriak dari tadi nggak ada yang nyahutin."
"Yah, Kak Skala bawa hmpphhh─" Di balik kedua tangan Una, Deon meronta-ronta.
Lalu, tepat di saat bersamaan, Riam keluar dari kamar mandi, mengenakan kaos hitam lengan panjang yang dipinjamkan Irgi. Secara otomatis mengundang semua mata ke arahnya.
Termasuk Ayah. Dan Riam hampir tidak berhasil menyembunyikan kekagetannya.
"Loh, ini Riam? Yang tahun kemaren menang Olimpiade Kimia itu, kan?"
"Pak ... Ibram?"
"Ayah kenal?" Bunda menginterupsi. "Katanya temen sekolahnya Skala."
"Siapa yang nggak kenal, Bun. Riam ini murid kebanggan sekolah, terus tiap Ayah lewat murid-murid perempuan itu suka ngomongin dia," kekeh Ayah. "Tapi kok dia bisa kenal Skala, ya. Padahal nggak sekelas."
Kepada Riam, ia tersenyum ramah dan merangkulnya erat. "Ayo, Riam, makan pisang goreng dulu. Pisang goreng bundanya Skala ini paling enak sekompleks! Coba, deh!"
Riam mengerutkan alis, tidak menyangka. Pertama, dengan keadaan yang menjebaknya saat ini, berada di tengah-tengah keluarga asing yang tidak ia kenal, namun memperlakukannya seperti anggota mereka. Dan kedua, dengan fakta bahwa Pak Ibram, ayah Una, adalah salah satu guru di sekolah mereka. Beruntungnya, lengan panjang yang ia pakai menyamarkan sepenuhnya luka di lengan Riam. Laporan tentang Orion yang suka tawuran pernah beberapa kali berembus hingga ke meja Kepala Sekolah. Namun selama tidak ada bukti, mereka aman. Jangan sampai ... Riam menjadi salah satu bukti tersebut.
Ia diajak kembali ke ruang tamu, lalu disuguhkan penganan yang telah digembar-gemborkan Ayah Una tersebut, pisang goreng, masih hangat ketika Riam mengambilnya. Kudapan lain juga disusun di atas meja di hadapannya; kerupuk, kacang, hingga setoples permen.
"Una! Minumannya mana? Cepat bikinin," omel Bunda, yang segera membuat Una terbirit ke dapur.
Meninggalkan Riam, bersama keluarganya yang aneh. Cewek itu sendiri sudah merupakan satu gangguan, namun setidaknya, ia sudah cukup terbiasa dengan kehadirannya. Sekarang, dikelilingi orang asing yang berbagi gen yang sama dengan cewek itu, adalah hal berbeda.
Riam memilih pisang goreng paling tidak berminyak, ia baru akan menyuapkannya ke mulut ketika Bunda bertanya.
"Jadi, kamu kenal Skala dimana, Nak?"
Setelah membuat pertimbangan cepat, Riam memutuskan untuk tidak berbohong. "Kolam renang." Setidaknya itu adalah tempat pertama yang bisa ia ingat.
Semua orang berpandangan. Dan Riam segera tahu, bahwa ia perlu menjelaskan.
"Dia ikut ekskul media dan mau wawancara soal kompetisi renang yang akan datang. Kebetulan, saya mewakili sekolah."
"Ohh atlet renang? Bagus dong. Soalnya Una nggak bisa berenang. Jadi kalau kenapa-kenapa, kamu bisa nolongin."
Riam tersenyum. Ya, tentu, itu kalau dia bersedia menolong.
Kekepoan, tentu, tidak berhenti sampai di situ. Riam baru akan kembali menggigit pisang gorengnya saat Pak Ibram kemudian menepuk lengannya yang terluka sambil tertawa lebar, dan Riam berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa sakit.
"Bapak denger kamu kan pinter ya, selalu juara kelas. Nah, kebalikan sama Skala. Skala ini bobrok dalam semua mata pelajaran, tolong ajarin dia, ya."
Pertama, Riam sudah tahu informasi itu bahkan dengan sekali lihat. Kedua ... Hell, no! "... Iya, Pak."
Riam mendekatkan kembali pisang goreng ke mulutnya, lalu mengalami kegagalan untuk kali yang ketiga karena Bunda kembali menepuknya.
"Makasih, ya, Nak Riam. Kamu ini kok dari tadi pisangnya nggak dimakan-makan. Ayo makan mumpung panas!"
"I-iya, Bu."
"Panggil Bunda aja."
Riam tersenyum. Tidak akan semudah itu baginya memanggil orang asing dengan sebutan intim. Bahkan tidak untuk ibunya sendiri.
"Udah, biarin Riam makan dulu dengan tenang, jangan diganggu," Ayah berdiri seraya membetulkan sarungnya. "Skala belum selesai juga bikinin tehnya? Dia bikin teh atau bikin rendang, lama banget."
Kemudian Pak Ibram menarik Deon dan menghalau seluruh keluarganya ke dapur. "Bapak mau main catur dulu, ya, di dapur."
"Ngapain main di dapur?" Irgi mengernyit, tidak terima didorong-dorong.
"Kamu kayak nggak ngerti privasi aja," ujarnya, melirik Riam. Lalu membuat gesture dengan menguncupkan kedua tangan dan menyatukan keduanya. Yang dibalas Irgi dengan wajah semakin bingung dan Argi dengan memutar bolamata.
Sementara Bunda hanya dapat menggeleng. Salahnya memang, menikahi pria absurd ini dua puluh tiga tahun yang lalu.
"Main catur kan berdua aja, Yah!" Deon ikutan protes.
"Bapak sama Argi main, kalian jadi wasit sama tukang semangatin! Udah, nggak usah protes!"
Sepeninggal, sekelompok orang aneh itu, Riam dapat bernapas sedikit lega. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan, mengamati foto keluarga yang ramai ... dan lengkap. Bersisian dengan gambar Ka'bah, foto Pak Ibram dengan seorang kepala daerah, sedang mengacungkan kepalan tangan, foto kelulusan dua orang anak laki-laki yang sangat mirip, foto-foto masa kecil, lalu .... ia menemukan foto masa kecil seorang anak perempuan. Dengan pipi bakpao, sedang memegang seikat rambutan.
Tampang lugu itu membuatnya tersenyum, begitu saja. Meski tidak lama. Karena marabahaya berikutnya, segera datang dalam bentuk Skala Aluna.
Cewek itu hadir di depannya, tersenyum dengan membawa sebuah baki kecil dan segelas ... air putih?
"Iyam mau teh manis, nggak?" tawarnya. "Tapi nggak pake teh. Lupa beli, hehe."
***
Gimana? Apakah sudah sesuai perkiraan kalian minggu kemaren?
Sampai jumpa di part selanjutnya! Jangan lupa mempir baca Epsilon oleh okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top