02. Una

Stay safe and happy reading ^^

***

Dua detik lagi adalah waktu kematiannya.

Dari kejauhan saja Una sudah dapat melihatnya. Pak Muchlis, satpam sekolah yang sudah saking lamanya mengabdi, badannya sudah mirip dengan gerbang sekolah itu sendiri, telah menarik gerbang ganda itu menutup. Sementara, Una masih berjarak sepuluh meter jauhnya, dengan sepeda mini yang ban belakangnya sedikit kempis, susah payah dikayuh.

Bisa! Pasti bisa! Ia berteriak dalam hati, memejamkan mata sejenak, lalu dengan sisa tenaga yang ada mengayuh pedal sepeda kuat-kuat. Tidak boleh terlambat lagi atau Buser akan menggundulinya!

"PAK LILIS, TUNGGUUU!!!"

Dalam waktu sepersekian detik, seperti dalam film aksi, sepedanya meluncur melintasi gerbang di detik terakhir. Nyaris menabrak pantat bahenol Pak Muchlis dan menyebabkan pria paruh baya itu terhuyung-huyung ke belakang hingga menabrak pos satpam.

"Kamu lagi!" Pak Muchlis mengacungkan pentungannya.

Una meringis. Dengan sembarang ia memarkirkan sepedanya di pojokan, di parkiran yang didominasi motor dan beberapa mobil. Mencomot tasnya dari keranjang, ia segera menangkupkan kedua tangan di depan Pak Muchlis sambil menyengir minta maaf.

"Makasih, Pak! Saya janji, Pak, nggak akan telat lagi!"

Pak Muchlis menatapnya sangsi. Pentungannya masih mengacung di udara. "Kamu kan tiap hari janji begitu tapi mana ditepati? Kayak kepala daerah aja janji-janji!"

"Kayak mantan Bapak juga ya?" cengirnya, lalu segera menghapus cengiran itu begitu Pak Muchlis hanya menatapnya galak. "Ish, saya udah mau telat. Saya pergi dulu ya, Pak! Bapak baik, deh!"

Lalu, ia segera terbirit sebelum tongkat sakti Pak Muchlis itu mendarat di kepalanya.

SMA Buana Cendekia, lebih sering disebut SMA Bucin oleh para murid, yang berlokasi di daerah Pegangsaan, Jakarta Utara, terkenal akan tiga hal: sekolah untuk kelas menengah ke atas dengan harga SPP tidak murah, kualitas pendidik dilengkapi fasilitas mewah, dan kedisiplinan sekolah yang cukup ketat. Pada jam tujuh teng, semua harus sudah masuk, yang terlambat akan dihukum, dan yang terlambat sekali seperti Una seharusnya pulang saja, gerbang tidak akan dibuka sampai jam pulang.

Hari ini pasti hari keberuntungannya karena berhasil lolos pagar pertama!

Dari ujung lapangan, ia melihat Pak Ibram, Guru Geografi yang tidak bisa sekali melihat pelanggaran di sekolah. Hari ini ia tengah berkeliling menceramahi kerumunan anak terlambat yang sedang dihukum hormat di bawah tiang bendera.

Lihatlah wajah-wajah malang bersimbah keringat di sana. Ew. Bukannya tidak cinta Indonesia, tapi hari sedang panas dan Una tidak berniat mengeluarkan keringat lebih banyak dari ini. Maka diam-diam, ia berjalan menunduk, nyaris berjongkok, mengendap-endap di belakang rerimbunan tanaman hias dan pohon-pohon agar terhindar dari mata elangnya Pak Ibram.

Tapi, Skala Aluna dan keberuntungan biasanya tidak bisa berdampingan lama. Lepas dari kandang buaya, ia masuk kandang dinosaurus. Lepas dari Pak Ibram, Bu Sri, biasa dipanggil Buser, menghadangnya di ujung koridor.

Mampus!

Tidak ada jalan alternatif. Ia harus memeras, memutar, bahkan menjilat otaknya yang tidak seberapa demi meloloskan diri.

"Skala!"

Buser memanggilnya menggunakan toa di tangan. Sepertinya semua guru sudah hafal namanya saking seringnya ia terlibat masalah. Una menggigit biibir, hanya perlu belok kiri untuk berlari ke kelasnya. Hanya bagaimana caranya mengalihkan perhatian Buser? Satu ide terlintas di otak. Una menarik napas dalam, lalu menjawab Buser dengan olah vokal yang nyaringnya tidak kalah dengan produksi toa di tangan wanita itu.

"Bu! Awas ada yang jatuh!"

Suaranya menarik perhatian semua orang di sekitar. Termasuk Pak Ibram yang sedang mendisiplinkan anak-anak, dan para murid yang mengintip dari jendela. Tangannya secara meyakinkan menunjuk kaki Buser hingga membuat wanita dengan cepolan sempurna di atas kepala itu kelimpungan mencari apa masalahnya.

"Apa?" balas Buser.

"Hatinya Pak Ibram!"

Anak-anak yang sedang dihukum maupun yang mengintip dari berbagai kelas tertawa. Kedua guru itu salah tingkah. Dan dalam sepersekian detik kelengahan itu, Una memamfaatkannya untuk lari terbirit ke kelas.

Sementara, jerit toa Buser mengiringi setiap langkah cepatnya.

Ia sampai di kelas 2 IPS 5, kelas buangan di angkatannya, dengan napas terpompa cepat dari paru-paru. Beruntungnya, Bu Nila, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang menjadi pelajaran pertama hari itu sepertinya belum masuk sehingga dari kejauhan pun sudah terdengar riuh dari ruangan paling ujung tersebut. Sebagian murid bahkan masih nongkrong di depan kelas dengan jajanan di tangan masing-masing.

Ada si Dilan, bukan nama sebenarnya, yang disebut-sebut mirip Iqbal Ramadhan versi wajah lebih montok, terkenal sebagai preman sekolah dan hobi tawuran sedang menenteng Pop Ice cokelat yang diseduh dalam plastik. Cowok itu menyambut kedatangan Una dengan senyuman.

"Eh, ada Milea."

"Milea pala bapak kau!" Una berjalan ke arahnya, merebut minumannya dan menyedotnya hingga tandas sebelum memakan sisa-sisa esnya. "Howi, hue haus," jawabnya, masih sambil mengunyah es.

Dilan berdecak. "Jadi cewek manis dikit dong, biar ada yang merjuangin."

"Emangnya gue dijajah!"

Una melepaskan lengan Dilan yang mengalung dengan seenak jidat di pundaknya, lalu membenarkan rambut yang acak-acakan sejak insiden ngebut dengan sepeda tadi. Ia menyisirnya dengan jari, kemudian memasang kembali jepitan tip-top warna-warni di rambut panjangnya.

Niat cewek itu untuk masuk ke dalam kelas demi menggibahkan kejadian Buser dan Pak Ibram barusan bersama gengnya luntur ketika kalimat Achi, cewek yang selalu duduk di depan dan selalu dihukum karena roknya kependekan menyentuh gendang telinga Una.

"Eh, udah denger belum, anak kelas sebelah nembak Riam kemaren?"

Bisikannya nyaris melengking. Membuat Una yang barusaja akan melewati tempat cewek itu duduk harus menghentikan langkah. Kalimat itu jelas tidak bisa diabaikan.

Dhea, anggota komplotan Achi mencondongkan tubuh. "Hah? Anak mana lagi?"

"Anindira, anak IPA 3 yang pake kacamata, tahu nggak lo?"

"Yang mana sih? Gue taunya Mitha doang di IPA 3."

"Ish, ya iyalah! Pentolan Orion siapa yang nggak tahu, coba! Itu loh, cewek yang tinggi, kurus, rambut panjang, pake kacamata."

"Yang cupu itu?!" yang lain menyahut.

Achi menjentikkan jari dengan cepat. "Tepat!"

"Anjir. Mabok, apa? Modal apa dia sampai seberani itu?"

"Heh, model begitu berani nembak Riam? Yang sekelas artis kayak Rora aja ditolak mentah-mentah."

"Iya makanya. Pede amat jadi orang. Kebayang malunya dia kemaren dimaki-maki sama Riam. Belagu, sih!"

"Dimaki banget?"

"Bukan lagi," cewek itu tertawa puas. "Kalau gue jadi dia, udahlah gue operasi plastik ke Korea terus pindah sekolah. Malu banget. Tapi si Anin Anin itu sih kayaknya mukanya tebel, dia tetep aja masuk."

"Itu muka apa ban serep truk gandeng, dah? Tebel amat!"

Mereka tertawa. Bahagia sekali melihat orang lain menderita. Dan Una tidak tahan.

Ia menggebrak meja Achi dengan keras, menyebabkan gadis itu nyaris saja terjungkal dari tempat duduknya. Gadis-gadis itu menatapnya sesaat dengan bingung, sebelum kemarahan mengambil alih.

"Apaan sih, lo!" Achi berdiri, matanya yang sudah besar nyaris meloncat keluar dari rongganya.

"Lo tuh! Sembarangan ngatain temen gue!"

"Jadi lo temennya?" Achi terkekeh, senyum yang ia ulas kemudian begitu meremehkan. "Pantes, ya, kalian temenan. Pantes, otaknya sama-sama kosong!"

Mulut itu ingin sekali Una tonjok, atau muka glowingnya kena cap telapak tangan merah. Ia menggebrak meja sekali lagi dan melangkah maju, yang segera disambut oleh Achi dengan dada yang dibusungkan. Achi punya badan yang lebih tinggi, lebih berisi, tidak begitu menguntungkan.

Namun bukan Una namanya jika gentar begitu saja.

"Sembarangan ya! Itu mulut mesti banget gue ulek dulu!"

Ia menyingsing gelang-gelnag plastiknya sampai lengan dan lengan baju seragamnya sampai bahu. Siap bertempur jika saja Rahma dan yang lain tidak segera memisahkan mereka.

"Woy lo kalau berani gelut sini sama gue!" Una masih berteriak-teriak bahkan ketika Rahma menyeretnya kembali ke bangku mereka di deret paling belakang dan Rifai yang sudah menahan tas punggungnya, sehingga Una tidak bisa kemana-mana.

Ketika sumber keributan itu beralih, ketika anak-anak yang dari tadi berdirian di depan pintu sambil menonton sekarang justru berebutan masuk untuk menempati kursi masing-masing, barulah kemarahan Una mereda. Ibu Nila akan masuk sebentar lagi, dan ia tidak boleh terlibat masalah lebih banyak atau Bunda akan memotong uang jajannya.

Pada akhirnya ia hanya bisa merengut dan memandangi dua sahabatnya dengan tatapan meringis.

"Udah, lepasin," ujarnya pada Rifai yang masih memegangi tasnya. Sudah cukup temannya dihina, tali tasnya jangan sampai putus juga. Kemaren saja hidup Una yang hampir putus hanya karena menghilangkan tupperware Bunda.

"Muka lo kenapa, ha?" Rahma, yang duduk tepat di samping Una bertanya. "Mau boker?"

Una menghembuskan napas keras, lalu menatap gadis dengan fitur wajah khas keturunan Pakistan itu. Bibirnya lebih dimajukan lagi dengan ekspresi seperti hampir menangis. Pada Rahma, ia memamerkan kedua telapak tangannya.

"Sakit! Merah gini! Gara-gara Achi si genit itu!" ringisnya, memakai tatapan anak anjing habis dibuang.

"Lo yang mukul mejanya. Padahal mejanya salah apa coba? Harusnya lo pukul kepalanya si Achi aja tuh biar otaknya bener!" jawab Rahma dengan emosi.

"Iya sih." Seharusnya, ia tidak usah pakai appetizer tadi, langsung ke main course saja yaitu muka berminyak Achi.

Una meremas ujung tasnya. Melihat kejadian traumatis kemarin, penolakan kejam kemarin, belumlah cukup. Sekarang ia harus mendengar olok-olok yang pasti sedang berlangsung di seantero sekolah. Semuanya dialamatkan pada Anin, sahabatnya. Dan semuanya, semua masalah ini, bermuara dari keyakinan Una. Pada ia yang meyakinkan Anin bahwa tidak akan ada cowok yang menolak cewek itu. Tidak bahkan seorang Riam Zarel Albion si Kulkas Berjalan.

Nyatanya ia salah. Nyatanya dalam bidang manapun ia selalu salah.

Dan sekarang, rasa bersalah menyergapnya hebat.

"Enggak. Ini bukan salah gue," gumamnya. Di depan kelas, Bu Nila sudah masuk dengan setumpuk buku dalam dekapan. Una mengabaikannya, terlalu larut dalam lamunan. "Cuma cowok bego yang nggak suka sama cewek kayak Anin!"

"Na! Shhh." Dan itu Rahma, yang memberinya peringatan.

Sebaliknya, bukannya tenang, cewek itu memutar tempat duduknya, membelakangi papan tulis agar tepat menatap Rahma dan Rifai, yang sedang sibuk bedakan.

"Gue udah tahu, guys!"

"Apaan?" Rahma menatap curiga. Rifai mengoles lipgloss.

"Ini semua gara-gara Beruang Kutub itu!"

Tidak ada yang menyakan siapa yang dimaksud, selain karena tidak ingin mendapat teguran Bu Nila, mereka juga juga maklum dengan Una yang suka random. Keduanya hanya menatap gadis itu dengan tatap bingung.

Dan Una tidak perlu pertanyaan. Dengan mata disipitkan, ia menatap Rahma dan Rifai satu persatu, lalu berbisik dengan penuh penekanan.

"Kita ... harus balas dendam."

...

"Skala Aluna?" Suara Bu Nilla terdengar sebagai backsound. "SKALA ALUNA! Kamu dipanggil menghadap Bu Sri!"

***

Udah ketemu Una, gimana, kesannya?

Sampai jumpa next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top