Sayap Kesatu

"Sudah terlahir jadi anak haram, pincang lagi!"

=======

Gadis itu tersenyum puas dan hendak membawa hasil origami berbentuk kupu-kupu kepada guru yang sedang sibuk mengawasi murid di barisan paling depan. Terlalu semangat hingga tak sengaja menyenggol hasil kerajinan kupu-kupu dari ranting kayu milik temannya, senggolan berdampak besar karena membuat karya bagus itu jatuh dan hancur berantakan.

Beberapa pasang mata menoleh ke sumber suara pertemuan antara potongan-potongan ranting kayu dengan lantai kelas.

"Heh, pincang." Meski suara makian pelan merupakan bisikan, terdengar oleh diri sendiri dan lawan bicaranya, tetapi mendorong tubuh jelas menarik atensi orang lain di kelas.

Ayra, nama gadis pincang itu, hampir kehilangan keseimbangan tubuh dan membiarkan origami berbentuk kupu-kupu yang dia pegang dengan satu tangan berhamburan ke lantai. Sementara tangan kirinya mengencangkan pegangan kruk dan menahan kaki kiri agar tidak goyah dan sungguh dia hampir terjatuh karena itu.

"Sikapnya dijaga Nesti!" Bu Zura, guru yang sedang mengisi jam pelajaran kesenian menegur dari depan ruang kelas saat melihat kejadian di sudut keberadaan Ayra dengan Nesti. Bu Zura tahu apa yang diucapkan Nesti dari gerakan bibirnya.

Berpasang-pasang mata menatap taksuka ke arah Nesti.

"Minta maaf sekarang!" titah guru berkerudung hitam dan berwajah ayu itu.

Nesti terdiam takpercaya ketika Ayra yang menghancurkan hasil karyanya justru dia yang malah harus meminta maaf pada Ayra.

"Saya minta maaf, Nes," ucap Ayra spontan sembari mengulurkan tangan. Dia benar-benar merasa bersalah.

Nesti berdecak kesal. "Cari muka saja terus," bisik Nesti dengan penekanan yang menusuk hingga hati.

"Lihat siapa yang harusnya meminta maaf?" Guru cantik bernama lengkap Zuraida Atmarahayu itu mendekati dua murid yang masih belum menampakkan kekompakan.

Ayra paham Nesti gampang risi. Tatapan teman-teman sekelas serta desakan Bu Zura yang selalu berada dipihak Ayra, akhirnya membuat Nesti mau menyalami walau dengan kasar.

Bu Zura menggelengkan kepala heran.

"Nah baiklah anak-anak ibu yang shalihah, silakan bagi yang sudah menyelesaikan kerajinan kupu-kupu boleh dikumpulkan sekarang. Jam pelajaran kita akan berakhir lima menit lagi." Bu Zura sudah bersiap untuk menutup kegiatan pembelajaran prakarya hari ini.

🦋🦋🦋

Saat jam istirahat, di koridor menuju toilet yang sepi, Nesti dan Risva mencegat Ayra.

"Ra, bisa enggak sekali saja enggak usah cari muka, hah?!" Ayra sudah terbiasa dengan ucapan tajam yang sering terlontar dari lisan Nesti.

Takpuas dengan reaksi diam Ayra, Nesti menyepak sebilah besi yang Ayra pegang.

Penyangga aluminium yang sudah menjadi teman setia selama satu tahun itu terlempar hingga lima meter dari keberadaan pemiliknya.

"Sudah terlahir jadi anak haram, pincang lagi!"

"Nesti, kamu keterlaluan, deh, kayaknya?!" protes gadis yang sedari tadi nimbrung di antara tikaian sepihak yang menempatkan Ayra sebagai objek bullying.

"Udah, ah, biarin. Orang munafik kayak dia percuma ditawarin damai. Di depan saja sok alim. Aslinya, ih, cari muka saja kerjaannya. Enggak ingat apa Ris, di kelas tadi Bu Zura bilang apa ke aku. Jengkel aku. Muak! Mending urusin adik-adikmu di panti asuhan sana daripada ngabisin tenaga buat ngerusuh hidup aku!"

Setelah puas menumpahkan kata-kata penghakiman, Nestiti Prameswari melenggang pergi tanpa memedulikan kesulitan yang Ayra alami setelahnya.

Risva menyusul Nesti setelah berdecih pelan.

"Astaghfirullah, ya Allah. Kuatkan aku." Ayra yang tak pernah mencoba membela diri dari serangan verbal dan tindakan Nesti berusaha mengambil tongkat dengan kondisi kaki kiri terseok.

Tidak sekali terjadi. Nesti dan Risva memang sudah lama tidak suka dengan Ayra.

Itu semua dimulai karena kesalahpahaman yang dulu membuat pertemanan mereka retak lebar di kelas tujuh. Apalagi prestasi yang selalu Ayra raih, semakin membuat Nesti patah semangat karena gagal menjadi yang nomor satu. Ayra menghela napas. Terasa berat. Entah sampai kapan Tuhan akan beri teka-teki untuk kehidupan selanjutnya.

🦋🦋🦋

Dengan usaha yang tidak mudah, Ayra berhasil menaiki anak-anak tangga menuju rooftop gedung sekolah. Di lantai tertinggi yang rencananya masih akan dilanjutkan satu lagi pembangunan lantai ini dia termenung sendirian menatap langit biru.

Ayra terbiasa sendiri bahkan sejak lahir.

Apalagi setelah kecelakaan satu tahun yang lalu berhasil merenggut kesehatan kaki kirinya, dia pun mulai kehilangan teman satu per satu.

Ayra mensyukuri, selalu memiliki Umi Nia yang sudah sudi membesarkan dan sangat menyayangi. Dialah ibu, sekaligus ayah Ayra.

"Ayra...." Seseorang memanggil dengan lembut.

Ayra menoleh dan menemukan Bu Zura berjalan mendekat ke arahnya dengan tenang.

"Ibu?" Ayra tak menyangka Bu Zura akan menemuinya di sini.

Ditatap sisa besi bangunan yang menancap kokoh.

Sesaat hanya ada keheningan hingga suara angin berembus menembus indra pendengar.

"Ayra Rahmi." Bu Zura mengucapkan nama lengkap Ayra, membuat hati Ayra bergetar.

"Kamu tahu mengapa ibu menyuruh kalian membuat kerajinan kupu-kupu?" Bu Zura menanyakan sesuatu yang pasti sudah dia ketahui jawabannya.

Ayra menggeleng menanggapi pertanyaan itu.

Bu Zura menyodorkan sebentuk origami kupu-kupu buatan Ayra di saat jam pelajaran yang diampunya tadi.

"Ibu, maaf Ayra tidak punya bahan yang bagus seperti teman-teman Ayra. Ayra hanya memiliki secarik kertas. Mohon maaf jika hasil kerajinan Ayra kurang maksimal."

Bu Zura menggeleng tegas. "Bukan itu maksud ibu, Ayra. Bukan bahan dan hasil yang ibu nilai. Tetapi bagaimana proses dan cara kita memaknai."

Ayra terdiam.

Bu Zura melangkah ke tepi, menyandarkan kedua sikunya di pembatas rooftop setinggi pinggang orang dewasa. Telapak tangannya masih menjadi tempat nyaman bagi origami kupu-kupu buatan anak didik kesayangannya.

"Kupu-kupu merupakan simbol perjuangan hidup, Ayra. Dia indah menawan dari hasil kepayahan."

Tiupan angin berhasil mengajak tepian kerudung menari-nari. Sebagiannya menyentuh pipi dengan lembut.

Ayra berusaha mencerna kata-kata yang terlontar terdengar syahdu di telinga. Suara yang entah mengapa seolah menjadi suara yang kerap dia rindukan.

"Ayra, jika setiap keberhasilan mengajarkan kita untuk bersyukur, maka kegagalan akan membuat kita mengerti tentang sabar."

Bu Zura menatap Ayra sendu dan penuh makna. Namun, Ayra takbisa mengartikan, hanya bisa menunduk.

Tiba-tiba Bu Zura menggapai pundak Ayra dan menepuk-nepuk perlahan. "Ayo kita turun. Sebentar lagi masuk." Lalu berjalan meninggalkan Ayra untuk kembali sendirian. Ayra tatap punggung wanita baik hati itu hingga tenggelam di tangga turun.

🦋🦋🦋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top