Writer Block Project [2. Hurtful Sigh] - 🕯

Hurt/Comfort, Dormitory Life! Teenager

Disclaimer: Karya fiksi ini murni milik saya. Beberapa nama di dalamnya digunakan untuk kepentingan entertainment, dan tokoh tokoh yang digunakan bukan hak cipta milik saya.

.

.

.

2. With hoarse voice, under the blankets

8. As an apology

~Egoistic over feelings, broken or be broken~

•••

"Butuh aku bantuin?"

Jeno menggeleng. Di tengah gelapnya malam, ia tersenyum pada Shotaro, pemuda yang menunggu di depan. "Kamu bantu Kak Mark atau Kak Lucas aja, kayaknya mereka lebih butuh bantuan." ia mengarahkan lewat dagunya pada empat siluet yang sudah lumayan jauh berjalan dibanding mereka bertiga.

"Tapi...,"

"Dia gak berat kok, aku udah biasa gendongnya," sela Jeno sebelum Shotaro sempat menyelesaikan kalimatnya yang ragu-ragu. Ia membenarkan posisi seseorang yang bersandar miring pada pundak. Sedikit terdengar erangan begitu kulit pipi menyentuh bahunya lembut.

Jauh di depan mereka, Kak Mark dan Kak Lucas yang sama-sama menggendong Jaemin juga Haechan. Ia melihat bagaimana mereka direpotkan oleh kedua pemuda yang sudah jatuh dalam ketidaksadaran apalagi Haechan yang sangat susah diam. Shotaro bisa saja membantu Kak Lucas untuk membuat Haechan tetap dalam gendongan.

Dibanding keduanya, pemuda yang dia gendong memang tidak banyak bergerak. Akan tetapi ... racauannya terdengar jelas. Tidak masalah jika itu adalah racauan tak berarti. Yang jadi masalahnya sepanjang mereka pergi dari kedai sampai sekarang, Renjun terus memakinya dalam racauan.

Mungkin saja itu yang membuat Shotaro tidak enakan dan ingin membantunya. Anak baru dalam club mereka tiba-tiba diajak tiga sekawan patah hati yang memiliki berbagai macam kisah. Lalu ditinggalkan sendiri oleh ketiganya yang sudah terlampau mabuk.

Hingga Shotaro menelponnya dengan khawatir untuk segera datang.

Yah untunglah, Shotaro memanggil orang yang tepat.

"YAKKK!? JENO... kamu itu chicken apa anj*ng!" Renjun kembali merapalkan racauannya keras. Sangat keras berbicara ke telinganya langsung. Dan mungkin Shotaro juga mendengarnya.

"Senior yakin tidak perlu aku bantu?" tanya lagi Shotaro. Kentara sekali ekspresinya meringis tak nyaman begitu dengar umpatan Renjun.

"Kamu chicken Jeno, chicken!! Tapi kamu juga... anj*ng," itu Renjun kembali meracau, coret memaki Jeno.

"Yakin. Udah kubilang jangan panggil aku senior, Jeno aja kita seumuran." Ia melihat Shotaro mengangguk dan kemudian berlari ke tempat Kak Mark dan Kak Lucas.

Setidaknya Jeno lebih lega sendirian mendengar racauan atau sebut saja isi hati Renjun. Kalau ada orang lain rasa-rasanya ia sedikit posesif tidak ingin orang selain dirinya yang mendengar racauan manis itu. Seperti yang sekarang tengah Renjun bilang ketika Shotaro tidak lagi bersama mereka.

"You know why, Jen? Kamu terlalu subtle ke aku tapi aku gak paham... what are we?"

"Kamu...," Jeno merasakan pergerakan badan Renjun. Sepertinya pemuda itu mencoba menegakan tubuh dalam gendongan Jeno. Ia mendengar tepukan bedebum lumayan keras dari belakang. "Kamu tau... hati aku, hati aku jatuh... terlalu jauh sama kamu, Jen." Tanpa Jeno sadari, Renjun menepuk-nepuk bagian yang ia tunjuk sebagai hatinya.

Jeno merasakan lagi tubuh Renjun yang kembali jatuh di punggungnya. Kali ini ia merasakan embusan napas hangat menerpa daun telinga. "Did you setting up your heart just to play with me?" desahnya pelan.

"I... didn't," lirih Jeno samar. Ia menunduk, menatap aspal jalanan yang menyedot seluruh perhatian gundahnya. "Aku ngga main-main, cuma... aku ngga punya pilihan." Jeno menghela napas. Entahlah yang ia rasa begitu berat, meloloskan satu napas yang membebani di hati.

Kepalanya melirik seseorang yang mulai nyaman di salah satu pundaknya. Bulu mata panjang nan lentik yang menjadi pandangan pertama saat Jeno melirik kecil. Membuat perasaan itu kembali berdesir, membangkitkan satu afeksi yang sudah ditanamkannya untuk tak lagi bangun. Meski sangat sulit menolak sesuatu yang datang tiba-tiba hingga sesak memenuhi rongga hatinya. Sesak sebab terlanjur jatuh tetapi tidak mampu memiliki.

Jeno tidak mampu bahkan tak ingin memilih jika pun dia sanggup.

"Kenapa? Kenapa kalau kita punya rasa yang sama, kamu ngga pernah buat sesuatu diantara kita jelas? Kenapa?"

Kaki Jeno berhenti melangkah. Matanya menemukan pintu asrama di depan terbuka sedikit, cukup untuk seukuran satu orang masuk. Teman-temannya yang lain sudah jauh tak terlihat. Mungkin sudah kembali ke kamar masing-masing.

Ia kembali berjalan, lebih pelan, lebih lambat kemudian menghela napas sedalam-dalamnya.

"Kamu cantik, kamu manis, sejak awal aku selalu liat kamu. Kamu yang cerdas menanggapi masalah organisasi, kamu yang tekun soal akademik. Aku... aku suka tentang kamu, semuanya."

"Tapi aku sadar, kamu yang kelihatan menarik di mataku juga menarik di mata orang lain," Jeno menggantungkan kalimatnya. Selangkah lagi ia memasuki halaman asrama akan tetapi kakinya urung melangkah maju.

"Di mata orang yang ku hormati."

"Untuk egois milih sama kamu, aku gak sanggup. Aku pikir pilihanku udah tepat buat gak lebih dan biarin semua tetap seperti biasa tapi kenyataannya,

... semua kesakitan karenaku."

Pukul sepuluh lebih nol lima memang sudah masuk waktu jam malam sehingga lorong luas yang terbelah menjadi tiga arah tampak sepi. Peraturan keras di asrama membuat siapa pun tidak nekad keluyuran lebih dari jam yang ditentukan. Terkecuali untuk yang ada dalam gendongannya dan dua teman sepermainannya.

Untung saja Jeno bisa berdalih menjemput temannya yang butuh bantuan dengan ditemani ketua asrama, Kak Mark.

Kebanggaan angkatan 20 yang bersahabat, sangat diandalkan dan selalu serba bisa. Jeno benar benar belajar banyak darinya.

Sepertinya setelah mengantar Jaemin dan Haechan yang sekamar, Kak Mark juga Kak Lucas langsung kembali. Asrama kakak tingkat 4 berlawanan dengan area kamarnya serta tiga serangkai patah hati.

"Mungkin sebentar lagi papasan," monolog Jeno menghadap lorong dimana anak yang setingkat dengannya tinggal.

Kamar asramanya terletak hampir diujung bagian kiri gedung. Kalau sedang ramai butuh 7 sampai 10 menit untuk sampai di sana, tidak terhitung jika ditambah mengobrol dan saling sapa diperjalanan. Tapi rasanya Jeno tidak ingin membuang waktu berlama-lama di tengah malam (meski belum tepat jam 12).

Setidaknya alasan kamar sudah hampir dekat dan Renjun yang tidak bisa diam bisa melewatkan mereka basa-basi. Juga menghindari rasa yang semakin sakit saat yang disuka dapat perhatian penuh dari yang lain.

'Setidaknya,'

"Jeno!!"

'Tidak'

Siluet Kak Mark perlahan muncul dari gelapnya lorong ditemani Kak Lucas mendekatinya. Ia menyetel penuh senyum di mata dan bibirnya khas saat Kak Mark melayangkan lambaian. Kakak tingkatnya itu pasti mengerti, ada Renjun yang tengah digendong sehingga ia hanya bisa membalas senyum.

"Kamu baru nyampe sini gara-gara Renjunnya banyak gerak ya?" Tanya Mark langsung menatap wajah Renjun yang bersandar di punggung Jeno. Alih alih melihatnya tentu.

"Kakak tau sendiri lah, dia lagi bangun juga gak bisa diam apalagi gak sadar tambah alkohol gini." Jeno terkekeh garing diikuti tawa Lucas. Senyum Mark terangkat kecil menanggapi.

"Haha benar, mau sekalian aku bantu gak?" Tawar Mark.

Jeno membenarkan posisi Renjun yang agak sedikit menggelayut ke samping. "Gak usah gapapa kak, kamar kita bentar lagi nyampe, makasih udah bantuin, duluan ya kak." Ia membungkuk kecil lalu melenggang pergi. Sedikit terdengar di balik sana balasan Mark dan langkah yang menjauh.

Tidak sengaja napas lega berembus darinya. Sejujurnya Jeno bohong soal Renjun banyak gerak. Itu hanya alibinya saja menutupi alasan sebenarnya sampai terlalu lama.

Renjun meracau tak terkendali tepat saat pemuda itu setengah sadar digendong Jeno. Jika ia bersamaan kembali dengan yang lain,

"Lebih banyak lagi yang tersakiti."

Tapi Jeno tidak berbohong soal kamarnya yang sebentar lagi sampai. Tiga pintu setelahnya, ia dan Renjun akhirnya masuk ke kamar mereka. Selama hampir satu tahun berbagi kamar bersama (dan jatuh bersama diam-diam).

Lampu kamar yang belum menyala tidak dipedulikan. Jeno sudah hafal seluk-beluk single bed mereka yang bersebelahan. Ia menaruh Renjun perlahan di tempat tidurnya, menaikan selimut dan mendekatkan boneka moomin yang selalu pemuda itu bawa tidur.

Jeno mengusap helaian poni Renjun yang menjuntai menutupi mata. Ia ingat pernah mengatakan, "melihatmu tidur nyenyak di sebelah sudah cukup." Rasa egois yang ia kesampingkan berdalih pada cukup membatasi semuanya.

"Tapi ... aku juga ingin jadi yang selalu kamu lihat pertama, di setiap pagi ... di hati ...." tangan Jeno berhenti mengusap. Ia menahan tubuh yang sedikit gemetar saat condong menurunkan beberapa beratnya ke bawah. Mendekatkan wajahnya dengan Renjun.

Napasnya tertahan di atas wajah cantik Renjun yang terlelap.

"Maaf."

Hingga dia tarik kembali dari sana. Menjauh.

Jeno berdiri tiba-tiba. Matanya memindai tak sengaja bibir ranum yang hampir di dekatinya tadi.

"Maaf, aku menyukaimu."

Takut tidak bisa menahan diri serta perasaan, Jeno segera beranjak pergi. Meninggalkan angan putus asa yang Renjun tahan, jauh sejak Jeno membalasi perkataannya dekat kedai.

"Aku juga menyukaimu... Jeno," gumamnya terbenam bantal.

"Egoislah untuk ku."

.

.

.

.

.

.

Boo~

Hai 😁

Gatau mau ngasih author note apaan
Tolong kasih aku support melalui vote dan komen

(will regularly update all my works)
I hope

Hehe
Makasih yang udah nyempetin mampir ke sini dan baca

Pokoknya
Sekian dan Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top