The Fated One - ⛩
Warning! Kissing, Blood, mention of making love
9k words
A/n awal: FF ini adalah percobaan untuk calon naskahku dengan tema yang sama, aku sangat kurang melakukan riset jadi mohon dimaklumi
Slight SUNGREN NOHYUCK, mention of MARKMIN
Historical! Xuanhuan! Romance! Mature
Disclaimer: Karya fiksi ini murni milik saya. Beberapa nama di dalamnya digunakan untuk kepentingan entertainment, dan tokoh tokoh yang digunakan bukan hak cipta milik saya.
.
.
.
______________
"Aku kekasihnya!"
Mungkin Renjun ingin menenggelamkan diri, mungkin ia ingin tersungkur ke dalam jurang dan tak bisa lagi reinkarnasi. Mungkin ia ingin enyah pada detik ini.
Enyah, menghilang, lenyap atau apa lah!
Intinya agar ia tidak harus menghadapi wajah penghakiman seseorang yang telah Renjun seret dalam kebohongannya.
Bulir keringat sebesar biji jagung perlahan terus menuruni pelipis. Mata Renjun sedikit bergetar tak ingin menatap apa yang ada di depan.
Ia melirik ragu kemudian menenggak ludahnya sendiri. Haruskah aku langsung kabur dari kukungannya atau mengucap beberapa patah kata?
Sudah hampir satu jam pria ini memenjarakannya dalam kepungan badan dan menatapnya tanpa beralih.
Renjun pikir lebih baik ia kabur, keluar kota mengganti nama dan penampilan lalu melupakan segala tindak bodohnya hari ini.
"Kamu ...."
Baru saja kakinya mengangkat beberapa inci, tetapi wajah yang seperti patung itu bersuara. Membuat Renjun mau tak mau harus melihatnya.
"Apa kamu bilang? Kamu kekasihku?"
Renjun menepuk keras dahinya. Bisakah ia menghapus ingatan serta kejadian dua jam lalu?
Di dalam hatinya Renjun meringis, setengah ketakutan setengah malu di bawah intimidasi pria yang baru diklaim sepihak olehnya.
Diklaim sebagai KEKASIH!
Mari kita tarik dua jam mundur.
Sore itu di bawah lembayung senja yang menyelimuti ibu kota, perjamuan besar diadakan di istana atas kepulangan Menteri perang yang telah berhasil bernegoisasi dengan distrik sebelah.
Seperti perjamuan pada umumnya-Bangsawan, Tuan terhormat dan para Cendekiawan diundang untuk turut memberi penghormatan atas jasa besar yang dilakukan Menteri perang. Begitu pula dengan kedatangan Renjun kali ini.
Dia sebenarnya hanyalah bagian dari keluarga bangsawan yang sudah tidak diakui lagi, baik oleh negara atau rakyat. Jika bukan karena Minhyung, Kaisar saat ini yang merasa utang budi padanya, ia benar-benar tidak memiliki lagi nama mulianya.
Utang budi itu terus membombardirnya, menuntun Minhyung memberikan segala yang terbaik untuk Renjun. Meski sesungguhnya Renjun tidak enak juga diperlakukan seperti itu.
Hanya saja, satu hal balas budi dari Minhyung yang tidak bisa Renjun terima. Hal yang menjadi terlarang baginya senang akan pemberian tersebut.
Perjamuan yang berlangsung terasa begitu cepat bagi Renjun. Ia benar-benar tidak memiliki ketertarikan untuk terlihat menonjol di sana atau bahkan menjilat sang Menteri perang yang tengah dielu-elukan. Sama juga dengan Minhyung, Kaisar menyudahi perjamuan dengan sulang terakhir yang dipimpinnya dan meninggalkan beberapa patah kata pada undangan jamuan serta perintah pada kasim utamanya.
Bagi Minhyung pribadi, dia tidak menyukai segala kepalsuan di aula istana, tetapi untuk Negaranya, dia tidak bisa menolak.
Renjun sudah menduga kasim yang Minhyung perintahkan mendatanginya dan meminta dirinya menemui pria itu di paviliun persik.
"Tidakkah dia lelah memintaiku ini setiap lima hari?" gumam Renjun sembari berdiri untuk meninggalkan aula. Sebelum benar-benar meninggalkan ruang besar itu, ia mengerutkan dahinya bingung. Biasanya kasim milik Minhyung akan langsung mengikutinya di belakang, tetapi sosok tua itu pergi ke barisan meja jamuan lain.
Jadi pertemuan pribadi kali ini bukan hanya dengan dirinya?
Renjun tidak ambil pusing, toh urusan Minhyung mau bertemu dengan siapa juga bukan urusannya.
Paviliun persik. Serupa dengan namanya, halaman yang tidak begitu luas dipenuhi dengan beberapa pohon buah persik. Ada sebuah aliran sungai kecil yang melintas di sana, menambah kesegaran halaman tersebut hanya dengan menginjakkan kaki. Minhyung terbiasa menggunakan tempat itu untuk menemui rekan pribadinya.
Renjun tidak tahu banyak siapa saja yang bisa ke sana selain dia, Permaisuri, Adik Kaisar, pelayan Minhyung dan tentunya Minhyung sendiri.
Matanya menangkap pundak Minhyung dari belakang, Kaisar yang diketahui berwibawa dan tidak pernah mencampurkan urusan pribadi kini tengah berjongkok di samping aliran sungai kecil.
Ia berpangku tangan dan menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau para pejabat gendut di ruang sana melihat Kaisar seperti ini, mereka pasti ingin langsung melayangkan kudeta."
"Sebelum mereka bisa melakukan kudeta, aku sudah jamin tidak ada penerus yang bisa menjadi boneka mereka." Pria itu perlahan berdiri dan menepukkan tangannya yang sedikit basah. Wajahnya kemudian menghadap Renjun dengan senyum ringan.
"Oh aku takut Yang Mulia." Renjun pura-pura terkesima, ia merengek jijik. "Lagipula apa lagi yang kamu lakukan di air itu, berlatih penyembuhan?"
Minhyung terdiam tidak menjawab. Kening Renjun berkerut, matanya menyorotkan cemas. Dengan segera ia menarik telapak tangan Minhyung.
"Sudah kubilang jangan menjadikan dirimu sendiri percobaan, kamu bisa mempraktekkan itu padaku! Mana sini tangan-"
"Sudahlah Renjun." Minhyung menarik tangannya dari genggaman Renjun dan menaruh di belakang badan.
"Bagaimana?"
"Sedikit ... hanya sedikit," balas Minhyung lirih. Dia menatap kosong ke atas paviliun.
Sebelum Renjun bisa menanggapi perkataan Minhyung, pria itu terburu melontarkan lagi kalimat. "Oh iya Renjun, kudengar dari astronomis ada bintang baik dalam waktu dekat, bagus untuk mengadakan pernikahan."
Renjun memutar matanya malas. "Minhyung ... tolong jangan lagi, aku belum mau menikah sekarang ini."
"Tapi Renjun aku tidak tenang." Minhyung merengek, raut wajahnya memelas, tetapi Renjun sudah tahan banting dihadapkan dengan wajah seperti itu.
"Minhyung, aku masih muda," balas Renjun lebih memelas.
Mereka berdua terus saling melempar alasan kekanak-kanakan dengan raut muka menggelikan. Bisa membuat orang yang tak mengenal baik keduanya melongo heran. Walaupun begitu tidak ada yang benar-benar tahu seberapa dekat Minhyung dengan Renjun selain orang terdekat Kaisar. Di luar, keduanya hanya berbagi kesopanan antara pemimpin negara dan anak veteran. Paling-paling yang orang luar tahu, Kaisar akan segera memberkahi Renjun pernikahan.
"Apa lagi Renjun? Aku makin khawatir kalau kamu masih sendiri ...."
Renjun sedikit melongo akan pernyataan Minhyung yang memaksudkannya seolah-olah bujang lapuk.
"Minhyung, dengar! Aku-"
"Hormat kepada Yang Mulia, maaf saya terlambat."
Sebuah suara menginterupsi perdebatan kecil Renjun dan Minhyung. Keduanya sama sekali tidak menyadari adanya kedatangan sosok lain selama berdebat sehingga langsung mengubah keadaan kekanakan yang mereka lakukan tadi.
Seseorang yang baru saja hadir di antara mereka tidak memedulikan keributan kecil yang dalam sekejap menjadi senyap. Meski sebenarnya dia cukup heran Yang Mulia Kaisar bisa lebih seperti anak kecil lagi daripada yang selama ini dia perhatikan.
"Tidak apa-apa Jeno, bangun. Sudah kubilang berapa kali kamu tidak perlu menunjukkan kesopanan padaku."
Jeno menatap tanah sebentar kemudian dia kembali melihat Minhyung, mulutnya terbuka kecil menyuarakan, "Terima kasih."
"Jadi, ada apa?" tambahnya lagi.
"Kabarmu baik, Jen? Tinggalah beberapa hari di istana. Aku dan Donghyuck sudah membersihkan paviliun kita." Minhyung tidak langsung menjawab, alih-alih tangannya bertengger di pundak kiri Jeno. Meski ekspresinya menyiratkan sendu, Yang Mulia tetap tersenyum.
"Kamu tahu aku tidak bisa menetap lama." Sembari Jeno menyingkirkan dengan lembut tangan Minhyung.
"Tentu. Tentu."
Renjun yang tiba-tiba terabaikan menatap bingung pada dua pria dengan situasi agak canggung. Ia tahu Minhyung tidak pernah menunjukkan warna asli sifatnya selain pada orang terdekat. Walaupun begitu perilakunya pada laki-laki yang baru datang ini, Renjun merasa ada kesan yang lebih erat lagi.
Meski punggungnya kini mengarah pada dirinya dan pria di sebelah, yang Renjun rasa seperti Minhyung tidak memiliki pilihan lain.
"Hanya tinggal kurang dari seminggu, aku meminta ...." Minhyung menunduk. Tak lama kemudian kaki kanannya menggesek rumput kecil-kecil.
Huh?! Minhyung memang seperti anak kecil, tapi aku tidak tahu dia bisa memiliki gestur membujuk seperti itu.
Tubuh yang tadi mempertahankan tegap di sampingnya terdengar menghela napas. Punggung yang kokoh segera mengendurkan kesigapannya. "Baiklah, aku akan mengunjunginya."
"Terima kasih ... sudah lama sekali sejak penobatanku," ujar Minhyung dengan mata dan bibir yang tersenyum saat menoleh ke belakang.
"Hm ya, ... hanya itu?"
Minhyung kembali berjalan mendekat dan berhenti di depan mereka. Satu tangannya menyentuh pundak lelaki di sebelah Renjun.
Tu-tunggu! Hei! Kenapa jadi hanya mereka yang berbicara? Apa kabar denganku??
"Maafkan aku, tapi ... aku juga ingin memberkati pernikahan untuk kalian, lagi." Minhyung bukan hanya menempatkan tangannya di pundak lelaki itu, melainkan di bahu Renjun juga. Dia memberi tatapan yang lembut, tetapi gesturnya mengisyaratkan tak bisa terbantahkan pada mereka.
Renjun ingin menepuk jidatnya. Kenapa dia sebegini gigihnya, harus berapa kali aku menghindari Donghyuck karena ini.
"Aku bersedia tinggal sementara, tapi tidak untuk ini lagi, Minhyung." Jeno, si lelaki di sebelah Renjun bersuara terlebih dahulu. Dia menyingkirkan tangan Minhyung. Tatapannya terasa tajam dan enggan di waktu bersamaan.
Wajah Minhyung terlihat kaget mendengar namanya disebut. Meski keterkejutan itu hanya berlangsung sekilas. Memang tidak banyak yang bisa leluasa memanggil Kaisar dengan nama aslinya, hanya Renjun yang bisa kurang ajar seperti itu. Akan tetapi, lelaki ini sejak awal penuh dengan kesopanan dan tidak pernah menyebut nama tiba-tiba mengucapkannya.
"Bagaimana aku mengatakan ini," desahnya lelah. Minhyung menghela napas dalam. "Waktuku duduk di takhta tidak akan lama lagi, aku ingin menempatkan orang yang kupercayai di posisi aman sebelum ...."
"Tapi aku tidak bersedia terikat dengan pernikahan!"
"Aku tahu, Jen, bahkan bagimu menjadi anggota keluarga kerajaan adalah hal yang merepotkan." Kepalanya yang menunduk sebelum kembali mengangkat dan menunjukkan tatapan lurus yang tajam. Tidak lagi terpancar aura jenaka di matanya. "Tetap saja aku harus segera membuat masing-masing pernikahan untuk kalian!"
"Yang Mulia!"
"MINHYUNG!"
Kaisar mengarahkan pandangannya tatkala suara keras Renjun memanggil. Selama ini dia tidak pernah mendengar Renjun berteriak padanya. "Renjun turuti aku demi dirimu!"
Renjun sedikit mundur sebab ucapan Minhyung yang lebih tinggi. "A-aku sudah bilang bukan! Tidak sekarang Minhyung!"
"Renjun!" teriak Minhyung sekali lagi. "Aku tahu selama ini kamu hanya mengulur waktu dengan semua alasanmu."
Ia merasa lelaki di sebelah meliriknya, tetapi Renjun tidak peduli untuk menutupi tangannya yang mulai mengepal kuat. Renjun menatap tajam Minhyung, rasa tak percaya membuatnya sakit.
"A-ak-"
Jeno maju menahan tubuh Minhyung yang seakan-akan ingin memerangi pria lebih kecil di sampingnya. "Yang Mulia, perhatikan wibawa Anda!"
"Kalian berdua kenapa tidak mau menerima s-"
Renjun tidak tahan lagi. "AKU KEKASIHNYA!" Kedua matanya menutup erat. Seluruh badannya berjengit merapatkan diri lalu dengan gemetar telunjuk kanannya menunjuk sosok di sebelah.
Keributan perdebatan yang tadi memenuhi paviliun mendadak hening. Renjun tidak berani membuka mata berhadapan dengan tatapan-tatapan yang mempertanyakannya. Namun, tak selamanya ia bisa menghindar dengan menutup mata. Sesaat setelah mengintip kecil di bawah kelopak mata, dua pasang bola mata melihatnya penuh keheranan.
Renjun tahu itu adalah akhir dari hidupnya.
Benar-benar akhir.
______________
Napas hangat berembus di samping wajah Renjun, matanya terbawa refleks memejam dengan cepat saat merasakan orang yang memenjarakannya semakin dekat.
"Hm karena kamu bilang begitu," bisik Jeno rendah tepat di telinganya. "Ikut aku."
Renjun yang tidak merasa siap, terhuyung sedikit ketika orang yang di depan mulai meraih pergelangan tangan dan menariknya sepanjang jalan. Entah kemana dirinya dibawa, Renjun tidak bisa menduganya. Akan tetapi, satu yang pasti lelaki itu lakukan, menuntut tanggung jawab atas tindakannya.
Dia mungkin ingin aku mengucapkan kebenaran di depan Minhyung. Renjun menundukkan kepala, membuang napas sebanyak yang ia bisa. Tidak hanya ia menerima konsekuensi memalukan dari tindakannya pada Jeno, tetapi juga dihujani tatapan penuh tanya di sepanjang lorong istana. Renjun benar-benar sudah mendorong dirinya hingga ke ujung papan titian. Para pejabat istana dan bangsawan itu, apa yang mereka lakukan berlama-lama di sini? Sungguh mereka ada di saat yang tepat untuk mempermalukannya.
Benar saja, Jeno membawanya kembali bertemu dengan Minhyung. Di aula besar istana, Kaisar masih menemui beberapa orang yang meminta waktunya dan Jeno menerobos di antaranya!
"Oh Jeno," ucap Minhyung. "Ada ... apa?"
Mata Renjun yang masih menatap ke bawah tidak melihat keadaan di depan. Meski begitu telinganya yang tajam tidak salah dengar bagaimana suara Minhyung di akhir pertanyaan terdengar ragu. Mungkin karena melihatnya ditarik bebas oleh Jeno.
Tangan Minhyung melambai pada pejabat barusan, menyudahi hal yang mereka bicarakan dan memberi ruang untuk Jeno mengambil tempatnya.
Alih-alih memberi hormat terlebih dahulu dengan kedua tangan, Jeno masih menariknya ke bawah dan berlutut.
Sudah berakhir! Sudah berakhir! Dia bahkan ingin aku meminta ampunan sambil membicarakan kebenaran. Habislah aku! Setelah Minhyung tahu semua ini kebohongan, pernikahanku dengan Donghyuck tidak akan bisa diulur lagi!
"Jeno ...," panggil Minhyung penuh selubung tanya.
Renjun melirik kecil pada Jeno dan ia melihat lelaki itu mulai menangkupkan kedua tangannya. Ia meringis dalam hati melihat kesungguhan Jeno dan mengikuti tindakannnya menangkupkan kedua tangan, memberi penghormatan.
"Maafkan kelancangan hamba yang rendah ini Yang Mulia."
Selamatkan aku ..., selamatkan aku ....
Minhyung menahan para pengawal istana yang merasa kedatangan Jeno dan Renjun menyalahi tata cara bertemu Kaisar. "Lanjutkan," perintahnya tenang.
"Mohon kepada Yang Mulia ...," pinta Jeno setelah menjeda ucapannya sendiri sementara Renjun sibuk menunduk dan berdoa dalam hati. Jeno di lain sisi melanjutkan, "Berkati pernikahan kami sesegera mungkin."
APA?!
Renjun tidak bisa menahan keterkejutan dan melirik pria di sebelahnya. Kamu ... kamu ... malah ingin Kaisar segera menikahkan kita?!
Tak hanya Renjun yang dipenuhi rasa kaget begitu pula Minhyung. Dia menyingkirkan para pengawal dan beberapa pelayan di sekitarnya. Tanda sang Kaisar meminta pembicaraan pribadi tanpa ada pasang telinga asing yang mendengar.
Minhyung mengernyitkan kening, menatap Jeno penuh keraguan. "Apakah kamu yakin Jeno?"
"Tentu Yang Mulia, Anda sudah mendengar pengakuannya tadi bahwa kami adalah sepasang kekasih," ujar Jeno. Suaranya sama sekali tidak goyah.
"Kupikir selama ini hanya Donghyuck yang bisa menenangkanmu, tapi ternyata kalian sudah menyembunyikan hubungan kalian dariku," tutur Minhyung bingung. Dia melirik Renjun yang masih setia menghindari tatapannya. "Tahukah kamu siapa Renjun, Jen? Aku harap ini bukan keputusan gegabah semata."
"Yang Mulia juga tahu, Donghyuck mungkin bisa menenangkanku, tapi tidak untuk seterusnya. Jangan korbankan adik Anda untuk hamba yang rendahan ini. Dia bukan yang ditakdirkan."
Jeno memilih tidak menjawab pertanyaan Minhyung tentang Renjun. Tentu saja, bagaimana dia tahu aku hanya dalam tiga jam kurang! Renjun meringis lagi, merutuki bagaimana kebohongan ini berlanjut dan membuat kebohongan lainnya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada mereka berdua jika pada akhirnya Minhyung mengetahui kebenaran yang ada.
Namun, Renjun cukup kebingungan tentang menenangkan dan Donghyuck yang tiba-tiba terlibat dalam pembicaraan ini. Renjun berpikir tentu saja Donghyuck bukan yang ditakdirkan untuk Jeno karena ia yang awalnya akan dinikahkan dengan Donghyuck.
Tunggu?!
"Walaupun tidak dapat dipastikan apakah dia takdirmu atau bukan, paling tidak Donghyuck adalah jalan terakhirmu. Itulah kenapa aku ingin kamu menikah dengan adikku, Jen."
Renjun akhirnya mengangkat kepala kemudian memandang Minhyung penuh tanda tanya.
"Dan untukmu Renjun, aku tidak bisa memikirkan apa yang membuat kamu bersama Jeno akhirnya. Aku tidak buta untuk melihat kasih sayang kecil kamu dengan Jisung, tapi ternyata aku yang tidak tahu apa-apa di sini." Minhyung menghela napasnya sangat dalam, dia menunduk dan menggeleng sesaat.
"Panggilkan aku beberapa pengawal dan pelayan serta bawa salah satu pejabat kerajaan untuk menjadi saksi," titah Minhyung pada yang di luar aula.
Minhyung turun dari singgasana dan mendekati kedua orang yang masih berlutut. Dia membungkukkan badan di antara keduanya. "Jeno ... jika ini maumu, maka aku hanya bisa menitip," ujar Minhyung pasrah. "Tolong jagalah Renjun, alasanku untuk menikahkannya dengan Jenderal Jisung jelas agar dia dapat dilindungi dan ... berhati-hatilah untukmu. Aku harap pilihanmu ini tepat."
Melihat orang-orang yang dipintanya sudah datang. Minhyung kembali berdiri tegap. Masih menempatkan diri di antara keduanya.
"Saya, Kaisar Minhyung era ke-delapan, dengan ini memberikan berkah pernikahan pada Lee Jeno dan Hwang Renjun. Tidak ada yang bisa memisahkan ikatan di antara keduanya selain pemberi berkah dan kematian."
Memberikan berkah pernikahan ... pilihanmu yang tepat ....
Ikatan di antara keduanya ... Jenderal Jisung ....
Tolong jagalah Renjun ... dapat dilindungi ....
Suara Minhyung bagai kicauan latar belakang di pagi hari. Meski itu hanya terdengar semakin kabur, tetapi terus berbayang di dalam kepala Renjun. Sejak apa yang ia percaya terpatahkan dan menghadap kebenaran yang sesungguhnya, mata Renjun terus melebar. Pada jalanan kota di depannya, Renjun hanya menatap kosong, tertegun.
Ia tak ubahnya boneka kosong yang mampu bergerak.
Dengan panggilan yang Jeno serukan sejak keluar istana juga tidak menyadarkan Renjun sama sekali. Lelaki itu tetap penuh kehampaan.
Jeno menatap Renjun lekat. "Ke arah mana kamu pulang? Kalau kamu terus berjalan tanpa tujuan, aku terpaksa membawamu ke tempatku."
Namun, Renjun tetap tidak menjawab. Jeno alhirnya kehilangan kesabaran dan meneriaki laki-laki tersebut. "Hei! Apa rumahmu sebegitu jauhnya dari kawasan istana?"
"Renjun!" seru Jeno.
Seperti yang sudah sudah, suara Jeno hanya melayang di udara tidak tertangkap oleh pendengarnya. Jeno sempat berhenti berjalan saat menyerukan panggilan justru tertinggal langkah Renjun yang terus maju. Wajahnya mulai gusar, dia mengentak-entak kaki ketika berjalan menggapai Renjun.
"Maafkan aku," ujar Jeno cepat seraya menarik tangan Renjun, mengarahkan bahu pemuda itu berhadapan dengannya. "Dengar, kalau kamu tidak terima dengan berkah pernikahan asal-asalan ini, besok minta Minhyung untuk menariknya! Sekarang gunakan akal sehatmu dan pulanglah."
"Berjalan seperti tanpa jiwa, sungguh menakutkan yang melihatmu!"
Untuk sesaat, mata Renjun kembali dengan cahayanya begitu mendengar kata-kata panjang Jeno. Akan tetapi, ia memberi Jeno tatapan sinis, sangat berbeda dengan sosoknya yang penuh lonjakan kejenakaan di istana. Renjun lalu berkata, "Apa aku tidak terima menurutmu?"
"Lalu apa? Dengan sikapmu yang seperti ini, bagaimana orang-orang menafsirkannya?" jawab Jeno seraya memindai dari atas hingga bawah figur Renjun.
Renjun mengalihkan pandangannya. "Aku hanya ... bingung." Kelopak mata Renjun ikut turun, menampilkan setengah sorot mata yang bergetar entah menatap apa.
"Jenderal Kerajaan Jisung, apa itu karena dia?" celetuk Jeno tiba-tiba.
Renjun berbalik lagi, tatapannya terpaku pada Jeno yang setengah datar berbicara begitu entengnya. Keterkejutan dalam diri Renjun tidak bisa lagi disembunyikan.
"Kamu!"
"Apa? Aku benar, kan? Kamu sama terkejutnya saat Minhyung mengucapkan nama itu, apa dia yang kamu pikirkan?"
Kata-kata Jeno sepertinya berhasil mengenai titik sensitif, hanya saja yang tidak disangka pria itu adalah ketika mendengar tawa menggelegar. Suara Renjun mengiris telinga yang mendengarnya, tawa palsu meledek diri.
Renjun menyudahi tertawanya dan mengangkat kepala menatap lagi Jeno dengan matanya yang berair. "Kamu benar, sangat benar. Hanya saja ...."
Aku yang tidak pernah menduga ini. Ha ha bodohnya aku selalu menganggap kalau Minhyung berniat melindungiku dengan menjadikanku anggota keluarga kerajaan. Dengan ikatan pernikahan bersama salah satu turunan langsung kerajaan, adiknya, Donghyuck. Ternyata ... ha ha Jisung.
Kenapa aku begitu bodoh ... kenapa Jisung ....
Kenapa tidak mengatakannya padaku ....
Tentu saja, Jisung, seorang Jenderal Kerajaan mampu melindungiku yang penuh bahaya ini.
Kenapa?
"Hanya saja kamu baru menya-"
Swish ... swish ... swish.
Tangan Jeno menggantung di udara menangkap bilah kayu panjang sekitar 60 senti dengan ujung besi runcing yang tajam. Itu adalah anak panah, baik Renjun maupun Jeno ternganga melihat anak panah berjatuhan di sekitar mereka. Lebih lebih lagi Renjun, ia menyaksikan sendiri panah yang Jeno tangkap tepat di depan jantungnya.
Bilah kayu panah itu dipatahkan Jeno dengan tangan kosong menjadi dua kemudian membuangnya asal. Jeno berbalik dan menarik pedang, memasang kuda-kuda bersiaga di depan Renjun. Pria itu cukup heran dengan dua anak panah lain sebelumnya, ujung runcing yang seharusnya menggores bahunya dan Renjun malah saling membentur satu sama lain. Akan tetapi, anak panah ketiga datang mengarah langsung ke arah Renjun, begitu ceroboh.
Setelah dua serangan hampir bersamaan, serangan berikutnya dilayangkan tanpa malu-malu. Ini tidak seperti yang Jeno biasa lawan, penyerangnya benar-benar seperti yang tidak bisa membaca situasi. Pada prediksi serangan berikutnya, korban akan lebih waspada sehingga persentase keberhasilan serangan menjadi rendah. Siapa penyerang yang memiliki pemikiran seperti itu?
Pemuda di belakang Jeno tampak memucat, tetapi tubuhnya tetap tenang dengan situasi ini. Siapa sangka, Renjun yang mempertahankan ketenangan tengah bergelut dengan pikirannya. Renjun juga menyadari panah sebelumnya yang kini tergeletak tak berdaya di tanah.
Jeno menggeram rendah. Dia berbalik dan mengamit tangan Renjun. "Tunjukan di mana rumahmu! Akan kuantar pulang!"
Renjun hanya mengangguk ternganga. Ia membiarkan dirinya dibawa Jeno sembari mengarahkan jalan ke kediaman Hwang.
Pada detik itu juga, dua insan yang baru dipertemukan terlibat takdir menggelikan sama-sama berpikir.
Aku sebaiknya meninggalkan ibu kota demi keselamatan.
______________
"Tuan muda! Tuan muda!"
Renjun mengerang terganggu. Ia merasa raja siang masih belum memunculkan wujudnya di cakrawala, tetapi sudah ada yang menuntutnya bangun sepagi ini. Suara kepala pelayan terus berseru memanggilnya. Mau tak mau Renjun terduduk dengan enggan, menatap wajah panik pelayan pribadinya itu sebal.
Renjun berkata sambil mengucek mata, "Ada apa pagi-pagi begini? Aku bukan pejabat pengadilan kerajaan yang harus kerja pagi!"
"Itu, itu! Di depan!" ucap Kepala Pelayan Kang terbata-bata. Telunjuknya mengarah ke gerbang luar terus-menerus.
"Itu itu apa?! Kamu ini berlatih gagap atau bagaimana?! Cepat katakan!" Renjun menggeleng-geleng kepala lelah. Kebiasaan panik pelayannya ini kambuh jika ada sesuatu yang tidak biasa.
Kepala Pelayan Kang mulai mengatur napas. Gerak tubuhnya tidak seheboh tadi, tetapi masih menunjuk ke luar. Dia berkata, "Pemuda yang mengantar Tuan Muda kemarin, ada di sini!"
Renjun melotot. Selimut yang masih membalut setengah badannya ia lempar. "Siapkan bajuku sekarang! ... Tidak, airnya nanti saja aku tidak akan mandi," perintah Renjun setelah melompat dari kasur. Ia berbicara dengan sangat cepat sebelum Pelayan Kang sempat menanyakan yang sudah Renjun ucap sekaligus.
Dari kejauhan lorong, Renjun menemukan punggung tegap berbalut pakaian cendekiawan biru memandangi kolam teratainya. Dibanding kemarin, orang tersebut terlihat lebih bangsawan. Benar-benar sosok yang tidak dapat ditebak. Membuatnya berpikir-pikir apa yang dia lakukan di sini serapih itu.
"Datang sepagi ini, bukan untuk menyeretku ke pengadilan pagi, kan?" sindir Renjun ketika sampai di paviliun penerimaan tamu.
Jeno, sosok yang menganggu Renjun pagi-pagi berbalik. Dia tersenyum tipis sekilas. "Apa mengunjungi suamiku di pagi hari tidak boleh?"
Pelayan-pelayan yang masih di sekitar Renjun bergumam kaget serta takut mendengar ocehan Jeno. Sementara Renjun langsung terbatuk-batuk lalu memberikan gestur perintah untuk meninggalkan mereka berdua.
"Melihat reaksi mereka, pasti pelayanmu belum mengetahui berkah kemarin, benar, kan, Yang Mulia Hwang?"
"Sembarangan!" Renjun menghempaskan lengan bajunya yang panjang dengan keras. Ia lantas berbalik memberikan punggung pada Jeno. "Dalam semalam sudah mencari tahu tentangku, tetapi yang kamu sebut tabu terlarang?! Berlutut!"
"Baiklah-baiklah, ayo duduk," ujar Jeno sembari mengetuk meja, abai pada perintah Renjun. Pemuda berpakaian biru ini sudah menempatkan pantat sedari tadi, menyilangkan kaki di kaki lainnya dengan santai. "Aku tidak akan membahas anak veteran yang diberi gelar bangsawan kerajaan oleh Kaisar."
Renjun mendengkus. "Akan lebih baik kalau kamu bisa menjaga mulut."
"Apa maumu?" tambah Renjun tidak sabar.
"Orang-orang bertanya ada apa, tapi kamu bertanya mauku, maka akan kusampaikan langsung mauku. Aku ... mau meninggalkan ibu kota," jelas Jeno langsung ke inti.
"Lalu hubungannya denganku?" Renjun menunjuk dirinya sendiri bingung.
Jeno mencondongkan tubuh ke depan dan menangkap jari telunjuk Renjun. "Kamu tidak lupa kemarin kita dinikahkan? Seorang pasangan harus mengikuti suaminya," ucapnya sembari mengubah arah telunjuk Renjun kepada dirinya sendiri.
Renjun buru-buru menarik telunjuknya. Ia menatap Jeno jijik lalu berkata, "Seriuslah!"
"Aku serius," ujarnya penuh keyakinan. "Masalahnya Minhyung tahu aku tidak pernah tinggal lama di ibu kota dan jika dia melihatmu masih di sini saat aku pergi, bukankah Yang Mulia akan bertanya-tanya?"
Mata Renjun menelik ekspresi Jeno, mencari celah kalau kalau memang pemuda itu masih bercanda dengannya. Akan tetapi, wajah terkesan datar sambil bersedekap itu tetap kokoh menatapnya lurus. Renjun berdeham canggung karenanya.
"Renjun," panggil Jeno sungguh-sungguh. "Aku sudah menyelidiki, Minhyung ... mungkin tidak akan bertahan sampai akhir bulan ini."
"Kamu tahu sampai saatnya takhta digulingkan, orang-orang Minhyung akan disingkirkan dengan bersih apa lagi ... seseorang yang selalu diincar sepertimu."
Renjun terkesiap, ini memang tabu yang terasa umum bagi pejabat kerajaan terlebih mereka yang berniat menghancurkan fraksi Lee. Walau sejak kematian ayahnya, pihak pengadilan sudah mencetuskan ia tidak ada sangkut paut dengan politik, mereka tetap melirik waspada tempatnya.
Siapa yang tidak was-was pada anak veteran kepercayaan kerajaan dulu. Saat ini Kaisar Minhyung tidak punya pewaris sedangkan adik Kaisar tidak mudah digapai. Mengingat status yang Kaisar anugerahi pada Renjun membuatnya jadi kandidat kuat untuk naik ke takhta.
Jeno berbicara lagi, "Minhyung, aku yakin akan bertahap memindahkan orang-orangnya dan kamu, dia memintaku menjagamu, tapi yang perlu kamu tahu, kehidupanku juga berbahaya. Terserah padamu, untuk memutuskan berkah ini dan berlari pada si Jenderal Kerajaan atau ikut aku ... hanya saja aku tidak akan menerima keluhanmu sepanjang jalan."
Renjun mengangkat matanya dan melirik Jeno. "Kenapa kehidupanmu berbahaya?"
Pemuda itu menggeser kursi hingga ke belakang. Dia berjalan maju dan menghadap kolam teratai lagi. "Ini yang perlu aku ceritakan padamu," tuturnya serius.
Jeno hanya yatim piatu yang dibesarkan dalam perguruan bela diri. Akan tetapi, suatu ketika Donghyuck dan Minhyung datang bergabung. Tidak banyak yang tahu kalau anggota kerajaan berkultivasi, apa lagi dengan jalur kultivasi yang tidak biasa. Mereka bersama-sama kultivasi, tetapi hanya Jeno yang mencapai titik tertentu karena Donghyuck dan Minhyung diharuskan menjaga tubuh surga kerajaan. Namun, informasi mereka berkultivasi tersebar.
"Aku menggunakan jalur kultivasi tapak emas," ungkap Jeno pada akhirnya. Dia tertawa hambar ketika menengadahkan tangannya yang memancarkan cahaya keemasan. Renjun tidak bisa menahan diri untuk tidak terkejut.
"Mungkin dua kata itu kedengaran seperti istilah saja, tetapi jalur kultivasi ini benar-benar bekerja secara harfiah dan sesuai istilah karena itulah hidupku dalam bahaya, bisa dari orang-orang yang ingin memanfaatkanku atau tubuhku yang lama-lama tidak kuat menahan kekuatan ini."
Sejak saat itu, Renjun melihatnya dari sudut pandang lain. Jauh di lubuk hati, ia sangat berempati dengan apa yang Jeno lalui. Tangannya bergerak memegang tongkat giok yang bersembunyi di balik jubahnya tanpa sadar.
Memiliki sesuatu yang berharga kadang mendatangkan petaka. Ia melirik Jeno sedu. Kenapa kamu mempertahankan kekuatanmu, Jeno?
Renjun melirik Jeno saat namanya terpanggil. Mukanya menunjukkan ekspresi bertanya tanpa berbicara.
"Tinggalkan aku sebentar dengan Yang Mulia, nanti aku akan menyusulmu," pinta Jeno lembut. Renjun menghela napasnya pasrah ketika dibawa kasim keluar ruang belajar milik Kaisar. Hari ini Jeno sudah merencanakan untuk membawanya keluar kota dan tengah berpamitan dengan Minhyung. Terhitung sudah tiga hari ia dan Jeno bersama secara tidak sengaja. Meski hubungan yang amat mendadak ini ternyata sudah memiliki beberapa kemajuan.
Kemarin lusa kedatangan Jeno ke kediamannya membawa kesepakatan yang berakhir dengan meneruskan pernikahan tak terduga. Dengan beberapa syarat dan maksud di balik niat masing-masing. Salah satunya adalah tiadanya kegiatan menjurus seksual.
Renjun mencibir dalam hati, lagi pula siapa yang mau bercinta dengan orang yang baru dikenal?! Walau setampan apa pun dia, aku masih ingin mempertahankan asetku yang satu ini!
Tunggu ....
"Tidak! Tidak! Aku tidak mengakuinya tampan!"
"Tuan muda Renjun?"
Renjun yang tengah menggeleng keras lantas mendongak ke atas. Sepatu bot hitam terlihat hingga mencapai lutut sedang menginjak sanggurdi pada kuda berwarna hitam lalu perlahan bergerak turun dari pelana. Baju zirah peraknya bergemerincing ketika dia melompat ke hadapan Renjun. Sebuah senyum muncul begitu mulutnya menyapa Renjun lagi.
"Ah Jenderal Jisung, maaf, selamat datang kembali ke ibu kota." Renjun buru-buru mengepalkan tangan dan membungkuk memberi salam.
Jenderal Jisung pun segera menggapai bahu Renjun, menghentikannya dari memberi hormat. "Tidak perlu memberiku hormat, Tuan muda ...."
"Aku sudah tiba sejak pagi tadi, hanya belum sempat mengganti baju," ujarnya menyodorkan alasan agar Renjun tak merasa harus minta maaf karena kurang kesopanan.
"Jenderal telah membawa kemenangan untuk negeri ini, saya benar-benar ingin mengucapkan selamat."
Senyuman yang Jisung usung secerah mentari bersinar hari ini. Renjun terasa dibuai oleh satu ekspresi itu dan menatapnya lamat-lamat sampai hampir menimbulkan rona merah samar di kedua pipinya. Ia buru-buru membuat topik pembicaraan supaya tak kelepasan pingsan saling bertatap dengan Jisung. "Saya harus memanggil kasim untuk mengambil teh, bagaimanapun perjalanan Anda sangat lama, Jenderal masih perlu mengembalikan tenaga."
"Tuan muda tidak per--" Namun, belum sempat Jisung menyelesaikan ucapannya, Renjun sudah terlanjur memanggil pelayan dan memerintahkannya. Jisung mau tak mau menerima kebaikan hati Renjun dengan sedikit bahagia. Dia mengambil teh yang telah dituangkan Renjun lalu berkata, "Terima kasih atas perhatian Tuan muda Renjun."
"Apa Jenderal akan bertemu Yang Mulia Kaisar untuk memberi laporan?" tanya Renjun menambah topik pembicaraan. Walau yang ditanyai cuma berdeham karena tengah menyeruput teh.
"Aku akan melaporkan kondisi terakhir perang pasukan istana dengan distrik sebelah. Tuan muda ... juga ingin bertemu dengan Yang Mulia?"
Renjun mengangguk lemah tanpa sadar. "Saya sudah bertemu dengan-Nya tadi untuk ... -"
"Renjun!" Sebuah suara yang akhir-akhir ini Renjun kesali menginterupsi.
Baik Renjun maupun Jisung sama-sama melihat ke arah sosok yang baru keluar dari ruang belajar Kaisar. Renjun meremat-remat jemari tangannya sampai Jeno tiba di sisinya.
"Aku sudah selesai membicarakannya dengan Minhyung," ujar Jeno langsung saat berada di sebelah Renjun. Jisung merasa bersalah turut mendengar terang-terangan pembicaraan orang lain. Lagi pula Jeno menyebut nama kaisar dengan santainya tanpa memedulikan orang sekitar.
Jeno setelah menyadari adanya kehadiran orang lain, segera membungkuk serta memberi salam. "Tuan ini?"
Renjun melirik setengah datar pada Jeno. Ia bergumam dalam hati, Siapa di Negeri ini yang sangat bodoh tidak tahu rupa Jenderal Kerajaan Jisung?! Hanya orang ini!
"Ah iya kamu terlalu lama di luar kota, ini Jenderal Jisung." Renjun berkata setengah menyindir kemudian mengarahkan tangannya pada Jisung yang langsung memberi salam. Ia enggan memperkenalkan Jeno sehingga tak lagi melanjutkan kalimatnya dan malah saling melempar tatapan kesal dengan Jeno.
"Saya Park Jisung dan Tuan?" tanya Jisung sopan. Dia memecah perseteruan mata antar dua orang tersebut.
Renjun menarik napas berat. "Dan ini Jeno, ... suamiku."
"Saya mau berpamitan dengan kerajaan karena kami ... berdua akan menetap di luar ibu kota."
Renjun tidak tahu lagi harus berkata apa. Suaranya tercekat, seperti ada yang tertahan di tengah tenggorokkannya. Ia juga sudah tidak peduli lagi Jeno yang mengambil alih pembicaraan.
Satu hal yang sempat Renjun perhatikan adalah kedua pasang mata sang Jenderal yang tiba-tiba melebar. Di lain sisi, Jeno tersenyum tenang dan menang.
Jeno mendapati dari sudut matanya, Minhyung yang berdiri di luar paviliun. Begitu banyak hal yang dia dapatkan hari ini.
Karena telah memahamimu, ketidaksengajaan ini bukan sebuah kebetulan belaka. Aku tidak mau rencanaku rusak hanya gara-gara perkara hati.
Perasaan itu sangat rapuh, jika tidak ingin merasakan sakit maka jangan terjebak di dalamnya.
Pikirannya kembali mencuatkan obrolan seriusnya dengan Minhyung. Memang harus Jeno akui, dia sangat tidak tahu-menahu tentang apa pun yang terjadi di lingkup kerajaan. Namun, dirinya tidak menyangka, ada sebuah petunjuk yang datang cuma-cuma padanya.
"Jangan membodohiku, Jen, kamu dan Renjun tidak pernah bertemu sebelumnya. Apa kamu tahu siapa dia?"
"Anak mantan menteri perang dulu yang menyelamatkan hidupmu dan Donghyuck, yang kauberi gelar bangsawan di bawah yurisdiksimu supaya tidak ada yang macam-macam padanya juga satu-satunya pangeran pewaris negeri seberang, aku mengetahui ini dari dokumen kelahiran yang ayahnya palsukan," ungkap Jeno panjang dan datar.
Minhyung menyeringai begitu mendengar satu rahasia terakhir. Dia mengetuk-etuk mejanya penasaran. "Hanya itu?"
"Dengar Jeno, aku mungkin sempat berpikir, kamu tiba-tiba membawanya ke hadapanku dan menikah itu karena satu hal ini, tapi sepertinya kalian memang cuma mengambil kesempatan untuk kabur dari perjodohan yang kubuat."
Jeno mengernyitkan keningnya agak jengkel, kemudian bertanya, "Apa lagi?"
Kaisar Agung itu bangkit dari kursinya dan berdiri di hadapan Jeno dengan kokoh. "Kamu tahu dia adalah orang dari negeri seberang, terlebih seorang pangeran yang lama hilang, kamu tahu maksudku."
Pemuda dengan rambut hitam pun membelalakkan mata kala pikirannya menyatukan setiap teka-teki yang Minhyung lempar.
Sudah ribuan mil aku mencari, tetapi pada akhirnya takdirlah yang menemuiku.
______________
Mengembara keluar lingkup sangkar membuka mata pada keunikan dunia yang tak pernah terjumpa. Meski bermandikan debu dan keringat, hal yang sepadan untuk menyaksikan dunia luar yang belum pernah Renjun rasai. Walau di ibu kota pun paling-paling Renjun hanya bermain di sekitar pasar tumpah dan perpustakaan kerajaan. Ia memecut lagi kudanya berusaha menyamai kecepatan dengan Jeno setelah memanjakan mata pada kumpulan orang yang tengah menonton pertunjukan jalanan.
"Sudah lelah? Sebentar lagi gelap, di depan ada penginapan, kita berhenti di sana." Jeno menunjuk pada penginapan yang tampak memiliki pekarangan di dalam gedung.
Renjun hanya membalas dengan anggukan kecil. Sejujurnya berkuda jarak jauh ini sangat menyiksanya. Ia tidak pernah berpergian jauh, apa lagi menaiki kuda lama-lama. Akan tetapi, dengan gengsinya yang amat tinggi, Renjun tidak mau mengakui bahwa bukan hanya kelelahan yang terasa, tetapi nyeri yang ada pada pangkal pahanya akibat bergesekan dengan pelana terlalu lama.
Di balik punggung Jeno yang sedang bertanya pada pemilik penginapan, Renjun turun amat perlahan dari kudanya. Pelayan pengumpul kuda pun sampai kelihatan jengkel melihatnya yang turun seperti putri kerajaan.
"Kami butuhnya dua kamar." Suara Jeno meminta terdengar lebih keras. Membuat Renjun memperhatikan interaksinya dengan pemilik penginapan.
"Tidak bisa, Tuan, kamar yang tersisa hanya satu, saat ini di wilayah kami sedang ada festival banyak orang yang sedang berlibur di sini," tolak pemilik penginapan kewalahan.
Renjun menundukkan kepala meski dalam hatinya menggerutu kehilangan tempat privasi untuknya sendiri. Namun, ia merasakan sisi wajahnya yang tergelitik karena tatapan pemuda di depan. Dengan hati-hati Renjun ikut melirik dan tepat mata mereka saling bersinggungan. Jeno yang lebih dulu memutus pandangan kemudian berkata pada pemilik penginapan, "Siapkan tirai sekat juga."
Baguslah, seharian terus melihatmu membuatku kesal!
Malam mereka di kota kecil itu ditemani sorak meriah yang berasal dari jalanan. Warna merah meramaikan langit malam dari kembang api yang dilontarkan. Renjun ingin sekali melihat bagaimana suasana di luar sana, tetapi melihat sosok di balik sekat itu sudah tertidur, ia harus menelan kembali keinginannya.
Bukan Renjun merasa berkewajiban meminta izin pergi pada laki-laki yang menyandang status sebagai suaminya, melainkan sudah kesepakatan mereka berdasarkan bahaya yang sering keduanya terima wajib untuk terus bersamaan. Sewaktu di desa sebelumnya setengah bulan lalu, penyerang Renjun menyergapnya ketika ia pergi ke sumur sendiri, sepertinya orang-orang tersebut sudah tahu esensi apa yang Jeno miliki sampai menunggu waktunya tanpa siapa pun. Sayangnya juga, walau dirinya memiliki kekuatan, tetapi kekuatan itu tidak efektif untuk digunakan menyerang.
Renjun melangkah ke jendela kamar dan membukanya. Ia berpangku tangan menikmati apa yang tersaji meski hanya tampak bunga api yang terus meledak. Percikan yang mengabur di udara sedikit membuat Renjun berprasangka buruk akan api yang mungkin mengenai tempatnya. Tangan pucat Renjun buru-buru menggapai kuas giok biru-putih yang tersemat di balik jubah dalam pinggang.
Satu tetes air minum jatuh pada bulu kuas. Renjun kemudian menggoreskan perlahan ke permukaan udara di luar kamarnya sembari mengucap mantra.
Kesucian tersembunyi dalam bening, melindungi yang tak bisa tersentuh.
Dewa air tolong murnikan semua perkara yang hendak datang merusak.
Kubah transparan perlahan menyebar menyelimuti satu kamar ini. Menutupi setiap sudut dari kemungkinan terjamah bahaya. Renjun menyampirkan kembali kuas gioknya dengan ringan lalu menatap gemilangnya malam. Tak menyadari sosok dalam lelap tidak benar-benar terlelap, melainkan memandangnya takjub.
Namun, sukacita itu hanya berlangsung sebentar, telinga Jeno menangkap pergerakan di luar normal berusaha bersembunyi di ramainya malam ini. Jeno hendak segera bangun, tetapi sakit menjepit tiba-tiba menyerang jantungnya.
Sial! Kenapa harus di saat seperti ini!
Renjun yang masih memandang keluar mendadak terdorong mundur akibat jarum meluncur ke dalam jendela terbuka. Ia segera menetralkan keterkejutannya dan membuat segel dengan tangan, memperkuat kubah transparan miliknya sampai berwarna biru keperakan. Kuas gioknya melayang sendiri menuliskan sebuah karakter yang mengunci kekuatan segel. Jarum yang hampir meluncur melalui pipinya pun tertahan kubah dan perlahan keropos hingga tidak bersisa.
Renjun perlu konsentrasi tinggi dalam melakukan kekuatannya pun memejamkan mata. Serangan ribuan jarum yang bertubi-tubi menabrak kubah perlindungan Renjun berakhir hancur. Namun, pemuda kecil itu juga memiliki batasan, beberapa peluh mulai membanjiri dahi akibat lamanya mempertahankan segel. Badan Renjun tertolak begitu pihak musuh mengirimkan gelombang menekan kepadanya saat merasa kekuatan perlindungannya melemah.
Pemuda itu tidak lagi siap menerima gelombang berikutnya. Ia memejamkan mata makin erat pasrah mengambil risiko tersebut, tetapi aura hangat tiba-tiba memeluk seluruh badannya. Renjun membuka mata dan melihat seluruh ruang kamar bercahayakan keemasan, di belakangnya berdiri Jeno yang tengah memancarkan sinar mendorong musuh mereka sembari menahan tangan satunya di dada.
Para penyerang pun terpukul mundur karena kekuatan Jeno meski sesudahnya pria itu harus tersungkur kelelahan mengeluarkan kekuatannya.
"K-kamu ... kembalilah beristirahat!" seru Renjun yang langsung membopong Jeno ke kasur. Namun, kalimat selanjutnya dari Jeno membuat ia berhenti bergerak.
"Ayo m-melihat festival di luar."
Sesuatu dalam hati Renjun tiba-tiba melonggar. Ia menatap Jeno sembari mengerut cemas, sedikit perhatian terpancar di matanya. "Tapi kamu masih lemas ...."
Tangan Jeno melambai-lambai menyatakan tidak kemudian menegakkan badannya yang terduduk di atas kasur. Renjun yang akhirnya sadar buru-buru menarik pegangannya dari tubuh Jeno. Ia juga gelagapan menyimpan kembali kuas giok yang sempat dipakainya memperkuat segel.
"Lemas karena baru bangun, tidak ada yang serius, kamu tidak perlu khawatir," jelas Jeno setelah minum.
Pemuda yang berdiri langsung mendelik sebal pada kalimat Jeno yang terkesan berbicara dengan pelayannya. Renjun mendengkus keras lalu membalas, "Siapa juga yang khawatir?!"
"Ngomong-ngomong, sekelompok orang tadi yang mengejarmu?" tanya Renjun mengalihkan topik.
Jeno memandang kosong ke lantai. "Salah satunya, kelompok mereka adalah pengguna racun, aku yakin jarum-jarum tadi sudah dicelupkan racun."
"YA! Betapa bahayanya kamu! Kenapa aku mau ikut denganmu!" Renjun melepas tangannya yang tengah terlipat lalu melompat gelisah dengan heboh.
"Kamu sendiri yang setuju mau ikut, ck! Sekarang ikut tidak lihat festivalnya?"
Mendengar ajakan Jeno, Renjun kalang-kabut ke sisi kasur miliknya berganti baju. Jeno melirik di balik tirai sekat yang merefleksikan bayangan Renjun samar-samar kemudian mengembuskan napas lega. Dia menyandar dengan tenang lalu memegangi dadanya yang sempat terasa tertekan.
Prediksimu benar, Minhyung.
Tanpa disadari, kesakitan Jeno benar-benar sudah hilang sejak Renjun melabuhkan tangannya pada tubuh Jeno. Kedua sudut bibirnya perlahan naik membentuk kurva yang jarang dibuatnya. Namun, sebuah kenangan yang enggan pergi melintas di benak Jeno.
Badannya tersentak ke depan ketika menerima dorongan dari belakang. Sinar emas terasa merasuk ke peredaran darahnya dan menghangatkan jantung yang sempat nyeri. Ketika kehangatan itu lenyap, Jeno berbalik badan untuk menemui sosok yang tengah tersenyum menghangatkan hatinya.
"Kan sudah kubilang kalau mulai sakit, langsung datangi aku."
"Terus kalau kamu yang sakit, kamu mendatangi siapa?"
Kata yang hendak pemuda itu ucapkan pun tertahan di ujung lidah. Jeno melihatnya sambil geleng-geleng kepala. Dia perlahan meletakkan tangan di atas milik pemuda tersebut dan mengirimkan sinar emas yang sama.
"Kalau kamu yang sakit terus ketahuan tabib habis menyeimbangkan kekuatanmu untukku, aku bisa dipenggal di lapangan kerajaan, Hyuck," ucap Jeno sangat lembut meski tersirat niat jenaka dalam kalimatnya.
Donghyuck menghela napas lelah tiap kali Jeno seperti itu. "Lalu kepada siapa kamu akan menetralkan sakit? Jen, seharusnya kamu tidak perlu berkultivasi sampai ke tingkat surgawi ...."
"Walau sekarang Minhyung beralih ke penyembuhan, tapi itu semua hanya demi selirnya, Na Jaemin. Siapa lagi yang bisa, Jen?!"
Namun, Jeno tidak menjawab apa pun. Dia beranjak dari sebelah Donghyuck sembari memakai lagi jubahnya. "Yang Mulia, terima kasih lagi, mulai sekarang Anda bisa menyimpan kekuatan itu," ujar Jeno tiba-tiba memakai kesopanan.
"Apa maksudmu?"
Jeno berbalik dan memberikan bungkukan sebelum berkata, "Saya akan pergi lagi, tetapi untuk waktu yang sangat lama mungkin tidak akan pernah kembali. Saya menemui Anda untuk menyampaikan perpisahan."
Donghyuck menyambar tangan Jeno yang membentuk salam hingga terlepas. Matanya berkaca-kaca menyelami keseriusan di tatapan Jeno.
"Hiduplah dengan aman, mulai sekarang kita akan terlepas dari segala tuntutan, Hyuckie."
Meski pada akhirnya kamu harus kabur dari politik kerajaan, aku tidak ingin hidupmu terbebani karena terus menyembuhkanku.
Jeno memandang langit-langit membayangkan sosok itu terakhir kali. Hidupnya mungkin sudah terlepas dari kerajaan dan bersembunyi di tempat yang lebih baik. Bayangan Donghyuck buyar ketika suara Renjun menyahut.
Donghyuck memiliki kehidupan yang baru, begitu pula dirinya.
______________
Dalam hidupnya dulu, Renjun tidak berpikir ingin mencapai sesuatu. Setelah kematian ayahnya saat menghadang serangan untuk Minhyung dan Donghyuck, dendamnya sudah sekalian terbalaskan dalam hukuman penggal itu. Hal yang ingin Renjun lalui adalah meniti hidupnya yang membosankan dengan tenang.
Tak peduli sebenarnya dia Pangeran Negeri asing atau apalah karena tanpa ayahnya, jabatan itu tidak berarti lagi.
Namun, kehadiran seseorang yang ia akui sebagai kekasih membawanya ke tempat tersebut. Negeri asing yang kehilangan tuan. Renjun memang tidak akan semudah itu mengambil apa yang digariskan menjadi miliknya-ia pun tak peduli, tetapi dirinya mencari misteri alasan keluarganya terdampar di Negeri kekuasaan Minhyung.
Renjun memiliki sesuatu untuk dituju kali ini.
Hanya saja berbagi perjalanan dengan sosok yang tidak berawal dengan baik benar-benar menjadi ujian hati. Ia baru saja beradu mulut dengan Jeno, rasanya ingin segera kabur dari hadapan pemuda dengan tahi lalat di bawah matanya, tetapi teringat kesepakatan mereka tidak bisa saling berjauhan.
Renjun meremas rambutnya kesal. "Aku lama-lama ketergantungan padanya."
"Lagi pula kenapa bisa ada rumah bordil berkedok penginapan?!" gerutu Renjun entah pada siapa. Wajahnya hampir memerah mengingat perseteruan mereka yang sangat tidak elit di depan penghuni bordil penginapan.
Kala itu Renjun penasaran mencoba turun ke ruang utama yang katanya menyajikan pertunjukan malam. Akan tetapi, siapa yang tahu pertunjukan malam itu dilengkapi dengan para pendamping yang berusaha menghangatkan sisinya. Renjun pikir itu hanyalah pelayan pengantar minum, tetapi siapa sangka bahwa itu adalah pelacur.
Harusnya ia sadar juga, tidak ada pelayan yang lancang menaruh lengan di pinggang seseorang. Menjalar menuju bagian-bagian yang sepatutnya disertai izin pemilik tubuh. Namun, ketika tangan nakal yang ingin meremas pantatnya gagal, Renjun tidak tahu harus bersyukur apa jengkel.
Jeno datang sangat tepat waktu, mencengkeram tangan si pelacur sampai hampir meremukkannya. Pemilik bordil penginapan lantas memohon-mohon untuk segera melepaskan.
"Tuan, apa dalam lingkungan kerjamu orang-orang ini tidak diajarkan untuk menyimpan tangan mereka tetap di tempatnya?" sergah Jeno.
"Aiyaya Tuan jangan marah, pekerjaku memang bekerja seperti it-"
"Seperti melecehkan seseorang?"
Suara pria di sisi lain ikut menyahut, "Hei, Tuan besar kenapa kamu marah-marah untuk Tuan yang ini? Dia kelihatan tidak masalah malah kamu yang menganggu ketenangan di sini!"
Jeno langsung mengalihkan mata tajamnya kepada pria tersebut dan membalas, "Apa aku tidak boleh marah untuknya?"
"Ya ... itu bukan kamu seperti pasangannya kupik-"
"Aku suaminya," celetuk Jeno keras.
Renjun berteriak memperingatkan, "Jeno!"
"Lho kalian pasangan?" Tunjuk Pemilik bordil penginapan bingung. "Tapi kalian memesan dua kamar, saya kira kalian hanya teman seperjalanan."
Rahang Renjun mengeras, ia melirik Jeno melemparkan omelan tersiratnya lewat mata. Ini semua gara-gara kamu! Lihat, kebohonganmu terbuka!
"Memang pasangan tidak boleh memesan dua kamar?" Jeno mengabaikan Renjun yang tampak ingin meremas-remasnya gemas. Dia lanjut mempertahankan diri yang sudah terlanjur basah.
Pemilik penginapan menghela napasnya lelah. Pria baya itu meletakkan telapak tangan di dahi dan menggelengkan kepala. "Bukan begitu, Tuan, masalahnya di sini bordil penginapan, semua yang datang ke sini bukan hanya sekadar menginap, Anda tahu maksud saya, Tuan."
"Bordil penginapan?" ulang Jeno hampir melongo. Pada saat itu juga dia dan Renjun sama-sama saling melihat, menampakkan kebodohan mereka yang tidak sadar akan situasi yang ada.
Pemilik penginapan mengangguk-angguk sambil memijit pelipisnya yang sakit.
Keduanya sedikit sadar ada yang berbeda ketika mereka memasuki penginapan tersebut. Setiap orang yang tengah duduk dan minum-minum memiliki sosok yang mendampingi, tetapi sungguh Jeno dan Renjun tidak berpikir ke arah pendamping itu termasuk layanan penginapan.
Renjun menggosok tengkuknya kemudian segera memberitahu pemilik bordil penginapan. "Tolong, jangan masukan pelayanan pekerjamu yang ini, cukup ... hanya layanan kamar dan makan, maaf atas gangguannya."
Kerumunan yang mengitari mereka perlahan bubar. Renjun buru-buru pergi menyelamatkan muka meski telinganya masih mendengar perkataan pemilik penginapan. 'Jika kamu punya yang menghangatkan kasurmu sendiri, kenapa ke sini!'. Wajahnya merah padam sekaligus membayangkan yang seharusnya tidak pernah terlintas.
Dengan permintaan maaf sebagai penutup keramaian yang telah menganggu penghuni bordil, Renjun menarik Jeno kembali ke kamar. Ia melempar Jeno berdiri di hadapannya. Tak peduli jika yang pemuda itu lihat wajahnya yang memerah bercampur antara marah dan malu. "Kenapa kamu harus mengakui sebagai suamiku?! Ini di luar kerajaan kita tidak perlu lagi seperti itu!"
"Lalu bagaimana aku menjawab jika kejadiannya seperti tadi? Ini rumah bordil, apa kamu benar-benar mau seseorang menghangatkanmu?"
Renjun memalingkan muka tak nyaman. Tangannya diam-diam meraba lengan kemudian segera berjalan menuju pintu, ia ingin kembali ke kamarnya. Saat jemarinya menyentuh pintu, Renjun berujar lirih, "Kenapa kamu peduli? Dengan siapa aku menghabiskan malam tidak ada urusannya denganmu, toh hubungan kita hanya kebohongan."
"Yang kamu pedulikan hanya metode penyembuhan yang tersimpan di negeriku, kamu takut aku tidak punya minat lagi untuk pergi ke sana, kan?"
Begitu bunyi keras pintu yang menutup kembali menandakan kepergian Renjun, Jeno terduduk merosot. Aku terlalu terbawa perasaan, gumam Jeno dalam hati.
Dia bukan orang yang seperti itu, kan?
"Tidak mungkin, dia sudah menanti lama untuk Jenderal, jadi tidak mungkin dia melakukan hubungan satu malam dengan orang acak." Jeno menerka-nerka tanpa sadar sampai dirinya ingat telah memusingkan hal yang tidak penting.
Namun, kalimat yang sempat Renjun ucap sebelum pergi membuatnya terngiang-ngiang. Ada perasaan berdebar setiap mengingat kalimat yang memojokkannya.
"Memang aku hanya ingin metode penyembuhan yinyang, tapi kunci pencarian itu ada pada dirimu, Hua Dianxia."
Bibirnya Jeno mengangkat seringaian. Dia mengingat semalam penuh yang telah dihabiskannya mencari seluk beluk Renjun. Bukan hal yang mudah melakukan itu jika dia tak memiliki seorang Kaisar sebagai aksesnya ke arsip rahasia kerajaan. Jeno menemukan Renjun bukan sekadar anak mantan menteri perang, tetapi dengan nama asli Hua Ren, pemuda itu merupakan satu-satunya putra mahkota sah yang harusnya sejajar dengan Donghyuck.
Garis keturunan asli dari keluarga Hua, pemegang metode penyembuhan yinyang yang sangat langka. Satu-satunya jalan yang Jeno harap bisa menghentikan keropos emas yang menggerogoti organ tubuhnya.
Namun, tiba-tiba bunyi pecah-belah terdengar dari kamar sebelah. Jeno bergegas mengambil pedang serta barang-barangnya dan berlari ke kamar Renjun. Akan tetapi, pemandangan yang pertama kali dia lihat Renjun tertelungkup dengan panah menancap di lengan atas kemudian panah lain meluncur tepat ke arah wajah Jeno. Dengan sigap Jeno memiringkan badan lalu menahan ekor panah untuk dilemparkan kembali ke asalnya.
Pemanah yang tersembunyi di dedaunan pohon jatuh dengan cepat. Jeno tidak menyia-nyiakan waktu menggendong Renjun dalam dekapan sekaligus membawa barang-barang mereka. Dia melompat dari balkon penginapan ke dekat tempat penyimpanan kuda. Segera setelah mereka memacu kuda pergi, teriakan penghuni bordil yang histeris akan banyaknya panah tersasar menggema.
Jeno melihat sekilas Renjun yang meringkuk di depannya, tampak mengerut kesakitan. "Lukanya dalam?"
"Tidak, aku berhasil menghindar tepat waktu, mereka mengarah pada dadaku lagi."
"Tahanlah sebentar, aku akan mengobatinya setelah aman," ujar Jeno sembari memacu kuda lebih cepat lagi.
Suara-suara tapak kuda yang mengejar mereka perlahan mereda. Jeno telah mengambil jalanan berkelok lebih ke dalam hutan hingga tiba di pinggir danau dengan paviliun usang ada di tengah-tengahnya. Mau tak mau mereka harus berhenti di sini dan berharap para pengejar itu tidak akan sampai ke tempat ini.
Jeno yang hendak menerima Renjun dalam gendongan mendapat tolakan. Pemuda itu berkata, "Yang terluka tanganku, aku masih bisa jalan."
Dia membiarkannya jalan lebih dulu meski perasaan Jeno begitu gemas ingin membantu menuntun Renjun yang tertatih-tatih.
Apa dia sempat melawan mereka? batinnya melihat jubah bawah Renjun robek.
Namun, pikiran itu Jeno kesampingkan saat Renjun memanggil, memintai barang-barang yang dipegangnya. Hal pertama yang pemuda tersebut ambil justru kuas giok, Renjun berjongkok di tepi jembatan menyelupkan kuas ke dalam danau kemudian kubah transparan itu muncul lagi perlahan mengitari sekeliling danau.
"Kubahnya bergetar, kamu seharusnya memulihkan tenaga dulu," celetuk Jeno.
Renjun berdeham dan mulai duduk bersama Jeno di tengah-tengah paviliun. Jeno mengunci titik akupunturnya agar ia tak merasa sakit kemudian membantu menarik panah yang masih tertancap.
Banyak darah sudah merembes memenuhi lengan kiri Renjun. Jubahnya pun sudah sangat basah tercampur darah, keringat dan entah air apa. Jeno beranjak keluar paviliun, tetapi dihentikan Renjun.
"Mau kemana?"
"Mencari air bersih untuk membersihkan lukamu," kata Jeno menatap balik Renjun. Akan tetapi, pemuda itu berdiri lagi sambil membawa kuasnya. Jeno tidak tahu apa yang Renjun ucapkan, mungkin sejenis mantra sehingga danau yang tadinya kumuh kini tampak bening.
"Aku sudah memurnikan airnya, tolong gunakan itu saja, tidak perlu pergi." Renjun kembali duduk. Helaan napas menyertainya saat menaruh pantat. Ia kemudian melepas jubah sampai menampakkan kulitnya yang pucat, tetapi dipenuhi merah darah yang masih segar.
Jeno mencuri wajah Renjun, tetapi tidak ada tanda keberatan sama sekali ketika pemuda tersebut sukarela setengah telanjang di hadapannya.
Obat oles luka yang dingin tidak membuat Renjun meringis, tetapi ketika kulitnya tidak sengaja bersentuhan dengan tangan Jeno, ia berjengit kecil. Sensasi lain muncul sebagai reaksi badannya yang baru pertama kali bersentuhan dengan orang lain. Saat Renjun menatap Jeno, kebetulan laki-laki itu juga membalasnya, menyadari ketegangan Renjun.
"Maaf ... dan terima kasih untuk yang di penginapan," lirih Renjun.
Jeno berdeham. "Aku juga, kedok pernikahan kita seharusnya tidak pernah diungkit lagi."
"Aku seharusnya tidak semarah itu, bagaimanapun juga akulah yang memulai."
Renjun mengingatkan Jeno ketika ia mengklaim pemuda di hadapannya sebagai kekasih dan siapa tahu takdir berjalan, mereka benar-benar berakhir berdua sekarang.
"Kamu benar waktu itu, aku entah kenapa mengingat kefrustrasian karena masalah yang kumulai sendiri," tutur Renjun menenggelamkan kepalanya dalam lipatan kaki. Membuat Jeno yang tengah mengolesi obat berhenti. "Aku tidak menyesal dengan perjalanan ini, tapi karenaku, aku meninggalkan pelayan yang diberikan Minhyung, dua kakak-adik itu dan ... cintaku."
"Mendengarmu yang mengaku sebagai suamiku, mengembalikan rasa sesak itu lagi, tapi aku juga bersyukur selama ini kamu terus melindungiku. Aku tidak mengerti perasaanku sendiri."
Renjun mengangkat kepalanya dan menatap Jeno dalam. "Apa itu yang kamu rasakan saat aku mengaku sebagai kekasihmu? Kamu juga jatuh cinta sama Pangeran mahkota, kan?"
Jeno membuang muka lalu menjawab, "Aku memang suka Donghyuck, tapi aku tidak bisa bersamanya, kami tidak boleh berakhir berdua."
"Kenapa?" tanya Renjun lirih.
"Kami akan saling melukai, aku berharap dia bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik dibanding menjadi Kaisar, karena aku menyukainya, aku ingin dia baik-baik saja."
Merelakan cinta karena mencintainya?
Renjun takjub dengan perasaan yang Jeno berikan untuk Donghyuck. Ia berpikir-pikir tentang dirinya yang mungkinkah mendapat perasaan seperti itu dari Jisung. Namun, pada akhirnya Renjun tidak akan pernah mendapat jawaban apa pun termasuk perasaannya.
Badan Renjun tersentak ketika tangan Jeno membelai rambutnya beberapa kali. Laki-laki itu berkata, "Karena kita berdua sudah melepaskan apa yang kita punya, kita hanya bisa bergantung satu sama lain." Jeno menekan dahinya ke kening Renjun. "Mulai sekarang kita harus saling terbuka." termasuk perasaan kita, lanjutnya dengan tiga kata lain yang tidak Jeno ucapkan. Dahi Jeno semakin menekan Renjun sampai akhirnya ia menyadari bibir pria itu menempel ringan di atas miliknya.
Jeno menciumnya perlahan, sangat terasa memabukkan untuk Renjun. Mungkin karena hal yang pertama bagi Renjun berciuman meski posisi Jeno di hatinya masih belum jelas, tetapi ia sangat menikmati ini.
Hangat ....
Ciuman itu lama-lama berubah menjadi lebih intens. Jeno mulai melumat bibir atasnya dengan semangat. Renjun agak canggung dan menahan badan Jeno semakin maju, tetapi cahaya yang menyilaukan tiba-tiba menyelinap di antara mereka berdua. Untungnya pria itu mengerti lalu segera menyudahi.
"Apa itu tadi?" tanya Renjun penasaran. Ia mengabaikan rasa ingin bersembunyi dan tak ingin memandang muka yang baru saja menciumnya.
"Sepertinya kekuatanku," ujar Jeno menebak-nebak.
Renjun memiringkan kepala bingung. "Kamu tidak mengeluarkannya secara sengaja."
Jeno menggeleng sebagai balasan. Dia tidak pernah ingin mengeluarkan kekuatannya selain untuk menyerang. Kekuatannya tidak memiliki fungsi lain, berbeda jika itu bertemu dengan aura kekuatan yang sama dengan Donghyuck, karena mereka berkultivasi yang sama sehingga pada dasarnya seperti saling mengisi ulang tenaga. Jika orang lain yang merasakan, mereka akan terasa terbakar.
"Apa yang kamu rasakan?"
Warna merah samar perlahan menyebar di pipi Renjun. Ia tahu maksud yang mana yang Jeno tanya, tetapi tetap saja dirinya kembali berpikir bibir tebal yang baru saja menciumnya. Renjun segera menjawabnya, "Hangat, seperti diguyur sinar matahari."
Tidak mungkin. Jeno memandang lekat-lekat Renjun siapa tahu pemuda itu salah sebut karena terbuai ciumannya. Akan tetapi, Renjun mengonfirmasi itulah yang terasa olehnya.
Jeno melihat telapak tangannya curiga kemudian menatap lagi Renjun. Dia bekata, "Izinkan aku ... mencoba."
Kepala Renjun mengangguk pelan. Jeno secara bertahap menempelkan tangannya di atas tangan Renjun, tetapi baru sekilas cahaya yang keluar bunyi gemersak mengelilingi sekitar danau.
Tawa pria baya menggelegar tepat berada satu garis tengah dengan mereka berdua. "Tidak menyangka, akhirnya ada hari di mana aku bisa menyapa Putra Mahkota asli."
Keduanya buru-buru bangun berdiri. Renjun membenahkan jubahnya yang masih basah darah. Ia berteriak ke arah pria baya, "Siapa kalian? Apa yang sebenarnya kalian inginkan dariku?"
"Yang Mulia Hua, oh tidak sekarang Tuan muda Renjun, ada bagusnya Anda tetap berada di kerajaan seberang, tapi sepertinya kehadiran Putra pelindung Anda membuatmu kembali ke kampung halaman. Maka jangan salahkan kami, jika hanya kematian yang menunggu kalian."
Putra pelindung? ucap Jeno dan Renjun dalam hati bersamaan.
Renjun mengepalkan tangan. Ia sungguh tidak mengenali bandit ini dibanding para pengecut bangsawan di tempat Minhyung yang ingin menggesernya. "Kenapa aku harus mati untuk kembali ke tempatku?"
"Karena jika rakyat Yang tahu putra mahkota Hua masih hidup, mereka akan melakukan kudeta pada pemerintahanku!" teriaknya berang. "Aku sudah susah payah menyingkir ayahmu, membuatnya tak punya pilihan kembali karena telah kujebak dalam misinya yang harus menyelamatkan sebuah desa menjadi menghanguskannya, tapi aku tahu suatu hari keturunannya pasti akan menuntut balas!"
"Dan itu kamu!"
Renjun bergumam lirih, "Aku tidak menginginkan itu ...." Namun, suara Renjun tidak mungkin terdengar oleh sosok pria baya di luar danau. Batin Renjun tertawa miris, ia tidak menginginkan jabatan di kerajaan Minhyung demi terhindar politik, tetapi pada akhirnya kehidupannya pun terancam karena ini. Renjun menundukkan kepala dalam.
Jeno yang tiba-tiba menutupi Renjun di balik tubuh jangkungnya membuat Renjun mendongak. Apa lagi pada kata-katanya. "Jika kamu ingin menyerang Renjun, kamu harus menghadapiku dulu!"
Pria baya menunjuk-nunjuk Jeno dengan pedangnya kemudian sekawanan pasukan itu tertawa hebat. "Kamu ingin melawanku? Hadapi saja penyakitmu dulu, memangnya aku tidak tahu? Kuyakin kamu bahkan belum mendapat pengobatan dari Yang Mulia untuk menghentikan keropos yang memakan organ tubuhmu."
Jeno membelalak terkejut. Tidak ada yang tahu penyakit yang dia derita selain Minhyung, Donghyuck dan Renjun, tetapi pria yang baru saja menemuinya bisa menebak dengan tepat.
Dan apa maksudnya mendapat pengobatan dari Renjun?
"Sudah kubilang seharusnya kalian menetap di kerajaan yang akan membusuk itu, bahkan kalian seperti baru tahu semua informasi ini dariku, payah!" Pria tersebut bersedekap lalu melanjutkan, "Baiklah, sebelum kematian kalian, akan kuberi informasi apa pun yang kalian ingin tahu."
Renjun mengepalkan tangan sebelum maju ke depan. "Jadi kamu yang membuat ayah dan keluargaku pergi dari sana?"
"Hanya itu?" Pria itu tertawa lagi. "Aku memberi penawaran baik untuk mengetahui semuanya, ya karenaku, aku menginginkan kerajaan Hua, tapi ayahmu terlalu disukai oleh rakyat apa lagi sejak kekuatannya mampu menyeimbangkan serangan dan penyakit."
"Cuma aku tidak mengerti kenapa ayahmu yang payah tidak menurunkan kekuatannya itu padamu, malah menyebabkan anaknya dalam keterpurukkan tanpa mengetahui apa pun."
Tiba-tiba Jeno berbisik di sampingnya, "Renjun jangan dengarkan, ayahmu tidak ingin kamu terlibat sehingga tidak memberitahu apa pun."
"Bagaimana kamu bisa tahu ... dia hanya mencoba lari dari masalah," gumam Renjun enggan.
"Karena aku membacanya dari surat terakhir yang ayahmu persiapkan sejak lama, surat yang ditujukan untuk pendampingmu di masa depan. Minhyung menyimpan itu, awalnya aku tidak mengerti isi suratnya, tapi kini aku paham."
Jeno sedikit merasa bersalah tidak memberitahu Renjun sejak awal. Dia pikir terlalu lancang untuknya yang bukan benar-benar pendamping, tetapi sekarang teka-teki itu mulai terpecahkan. Akan selalu ada generasi pelindung di keluarga Hua dan dirinya ternyata bersinggungan dengan takdir Renjun.
"Sama seperti Minhyung yang ingin menjauhkan Donghyuck serta Selir Jaemin dari politik, tetapi ayahmu melakukannya dengan tidak memberitahu apa pun agar kamu tidak memusingkan itu," jelas Jeno yakin.
"Hei, kalian berdua! Ada lagi yang ingin ditanyakan tidak? Tangan pasukanku sudah gatal ingin mencabik kalian!" seru Pria tersebut dari kejauhan.
Jeno berteriak keras, "Hei Tuan tua, apa kamu yang mengirimkan orang-orang memburuku?"
Mereka lama-lama merasa jengkel dengan tawa yang pria baya keluarkan terus. Seolah-olah mereka selalu menjadi bahan lelucon yang tiada habis.
"Kalian ... benar-benar memberi pertunjukan bagus. Anak muda, aku mungkin tidak secara langsung mengirimkan orang, kekuatanmu sudah menjadi banyak incaran, tapi dengan kematianmu tentu Yang Mulia tidak lagi memiliki pelindungnya!"
"Coba saja!" Jeno tiba-tiba mengirimkan gelombang cahaya emas, mendorong pasukan pria baya. Namun, sekelompok orang itu tetap berdiri tegap. Tampak kubah air menghalangi seperti milik Renjun, tetapi berwarna kemerahan.
"Kamu pikir kekuatanmu mampu melawan kami? Sadarlah, emas dan api bukanlah tandingan untuk kristal dan air!"
Ribuan Kristal yang terbentuk dari air perlahan membentuk kerucut berujung runcing mengarah pada mereka. Renjun buru-buru membentuk segel, tetapi kekuatannya belum seratus persen pulih sehingga kubah buatannya tertembus.
"Kamu bahkan tidak bisa mengaktifkan kekuatan yang sebenarnya dari keluarga Hua," ucap Pria baya tanpa minat. Dia kemudian membelakangi dan berjalan. "Hancurkan."
Renjun kemudian bangkit sembari meraung marah. Ia memutar kuas gioknya cepat, di setiap sisi tercipta pusaran air yang langsung menyedot jarum kristal itu. Dengan sisa tenaga yang ada Renjun mengirim kembali ribuan kristal ke asalnya.
Pria baya yang menyadari sebagian pasukannya telah terserang juga mendecak kesal. "Kamu tahu rupanya, mari lihat sampai kapan kamu bertahan!"
Namun, Renjun segera mengaitkan jari-jemarinya dengan Jeno. Dia tertegun kala melihat mata Renjun yang menatapnya dalam.
"Tidak apa-apa, kita serang bersama, kirimkan kekuatanmu," sela Renjun sebelum Jeno sempat melayangkan protes.
Dari tautan jemari itu muncul cahaya berwarna kuning dan biru menyatu, menyebarkan cahaya hijau yang berbaur dengan hutan. Akan tetapi, serangan yang ditembakan mempunyai warnanya sendiri, jarum-jarum beterbangan dari atas danau berkilauan pelangi kemudian dengan cepat mencari target untuk ditusuknya.
Di sela-sela serangan itu Renjun berkata pelan, "Kirimkan lagi cahayamu." Tanpa aba-aba Renjun maju mencium Jeno. Badannya hampir kehilangan pijakan, tetapi Jeno buru-buru menahan diri.
Jeno merasai jantungnya yang seakan-akan tertiup angin. Sangat sejuk, seperti diguyur angin yang melayang di atas pegunungan. Berbanding terbalik dengan apa yang keluar di tangannya, sebuah ledakan cahaya yang berekor seperti jalaran api, menghanguskan yang ada di sekeliling mereka, termasuk si Pria baya.
Kemenangan itu mutlak milik keduanya. Namun, mereka enggan mengakhiri yang telah dibuat-buat. Karena hati terdalam Jeno dan Renjun akhirnya menyadari bahwa mereka diciptakan untuk satu sama lain.
Kamu yang ditakdirkan untukku.
.
.
.
끝
.
.
.
Sanggurdi: Pijakan untuk naik kuda
Dianxia: Yang Mulia
Jadi cerita ini emang coba-coba 😢
Awalnya gak sepanjang ini tapi nanggung ada misteri yg belum terpecahkan ya bye dah 4k jadi 9k words
Semua kekuatannya juga aku pakai nalar aja 😭😭😭 makanya kutulis xuanhuan genrenya
Biasanya kalo cerita kompleks gini, suka ta riset sekalian sama tempatnya kudu detail tapi lagi gak sempet 😭 banyak daftar naskah yg kudu kuriset dan harus diselesein
Anyway jangan lupa coba mampir di sini ya ceritanya udah beres, visual jeno dan renjun tapi sekitaran brothership aja
Kalau ada kritik dan saran, jangan sungkan langsung bilang yaaa
Semoga terhibur di maljum ini ehehe
Eh di outlineku ini sampai ml sih 🤭
Sekian dan Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top