Precious - 🎉
Head canon! Fluff! Teenager
Disclaimer: Karya fiksi ini murni milik saya. Beberapa nama di dalamnya digunakan untuk kepentingan entertainment, dan tokoh-tokoh yang digunakan bukan hak cipta milik saya.
.
.
.
Janji itu mengikat. Seperti pada borgol yang terkunci membelenggu di pergelangan tangan. Tiap kali terlupa, gesekan besi dingin yang hampir mengiris kulit mengingatkan kembali. Untuk mencari kunci yang tepat, lepas dari ikatan yang telah dijanjikan. Menunaikan janji yang harus ditepati.
Dan Jeno tak pernah sekalipun ingin ingkar. Apalagi terhadap seseorang yang sudah lama ia titipkan hatinya di sana.
Meski keadaan tidak sepenuhnya mendukung, Jeno akan mengusahakan segala cara. Ia tidak mau senyum itu luntur karenanya. Tidak akan.
"Hei, Jeno!"
Suara dan tepukan menyadarkan Jeno dari pikiran alot. Ia memandang penuh tanya pada seseorang yang telah menghentikannya terus menerus melayang dalam bayang-bayang. "Ya?"
Dia terkekeh kecil. Kembali menepukan tangannya beberapa kali pada pundak Jeno sembari berkata, "sekarang giliran kamu yang memanah, namamu sudah dipanggil sejak tadi, Jen."
Mulut Jeno terbuka, sedikit bergumam dengan gelagapan telah ketahuan tidak fokus. "O... terima kasih, Jaem," katanya sembari berdiri dari tempat bench menjauhi Jaemin. Teman satu tim yang sudah mengingatkan Jeno turun ke lapangan olimpiade.
Jeno sedikit menyayangkan dirinya sendiri lantaran tidak fokus pada pertandingan. Ia menepuk-nepuk pipinya mengumpulkan pusat pikiran yang terbang jauh pada sosok manis di sana. Dalam hatinya, Jeno sudah bertekad akan membawa berita bahagia nanti, maka dari itu ia tidak boleh melewatkan anak panahnya melesat dari papan target.
Untuk timnya dan tentu yang tengah menanti kabar darinya.
"JENO! KALAU POINTMU BAGUS, KAMU BISA LARI KELUAR SEHABIS INI! itu teriakan Jaemin dari bench ditemani Chenle yang mulai terkantuk-kantuk. Anehnya Jeno bisa melihat senyum jahil yang diusung Jaemin dari kejauhan. Juga gerakan mulut Jaemin yang dapat ia mengerti.
"Dia sudah menunggu."
Pemuda bersurai hitam legam itu menarik napas bersiap, sedikit banyaknya ia khawatir. Jeno sadar penglihatannya agak berkurang jika tanpa kacamata meski banyak yang bilang dirinya sangat bagus dalam bidang olahraga. Akan tetapi, bidikan yang tepat diperlukan juga dalam memanah.
Busur yang hampir seukuran tinggi badannya diangkat mengarah titik target. Jeno dengan hati-hati mulai menarik anak panah, memposisikan ujung runcing melalui bidikannya pada poin incarannya.
Capitan dua jari Jeno melepaskan sang anak panah, melesat kilat menancap pada area poin ke-sembilan. Jeno memberengut kecewa panahnya tidak mengenai angka yang dia harapkan tetapi untuk panah keduanya melesat tepat. Menggantung kuat di bulatan area poin sepuluh.
Jeno dengan berbangga hati mengekspresikan keberhasilannya. Begitupun Jaemin dan Chenle yang langsung melompat kegirangan akan skor Jeno dari tempat duduk. Semua menggantungkan harapan pada Jeno, menutup sesi final panahan dengan skor mengalahkan pesaingnya. Kombinasi hampir sempurna di papan perolehan skor, 9-10-9-10.
Ia mungkin khawatir strategi penempatannya di bagian akhir akan mengecewakan tetapi Jeno berhasil menunjukkan pada semuanya, kesungguhan niat untuk menang.
"Tapi ini juga karenamu, karena doamu, ... Renjun." Jeno mencium medali emas yang menggantung di lehernya sebelum kembali tersenyum tampan di hadapan blitz kamera. Perasaannya sudah cukup bertahan sampai detik dimana ia bisa menikmati kemenangannya. Tetapi bukan berarti Jeno sudah tidak lagi memikirkan seseorang yang terus berputar di lingkar infiniti pikirannya.
Kendati Jaemin meneriakinya bisa pergi setelah pertandingan mereka selesai, ia tidak bisa melenggang begitu saja. Mereka tengah menjadi sorot kamera, terlebih dirinyalah yang menjadi pusat sorakan semua penonton. Akan sangat tidak sopan jika Jeno menghilang di tengah-tengah euforia.
"Masih setengah jam lagi... mungkin keburu," gumamnya setengah cemas memperhatikan jarum jam yang semakin mengikis waktu.
Pemberian medali dan sesi foto telah dilaksanakannya. Jeno memilih melewatkan acara penutup olimpiade, membiarkan dua rekannya yang mengambil alih di sana. Ia bergegas berlari keluar stadium tanpa peduli mengganti baju ataupun melepaskan medali yang masih menggantung.
Baru beberapa langkah, kakinya menginjak luar stadium, ponselnya berdering keras meski menurutnya tak ada lagi sisa waktu untuk meladeni pemanggil tersebut, Jeno tetap mengangkatnya.
"O... ya hyung?"
"Jika kamu bukan adik kesayanganku, aku tidak akan membantumu mengaturnya," ucap suara di seberang sana sedikit merengut. "Sudah kupesan kan taksi ke sana, harusnya sebentar lagi tiba di depanmu nomornya 24교 2955. Jangan sampai telat, buat dirimu layak di depannya."
Jeno terperangah. Pasalnya ia hanya memberitahukan dari jauh hari jikalau dirinya dan Renjun akan merayakan hal terpenting bagi keduanya. Tetapi jadwal yang tidak terduga membuat Jeno terjebak dalam waktu, alias berusaha menyelesaikan tugasnya sebagai profesional di olimpiade dan menepati janjinya pada Renjun.
Ia tidak menyangka, timnya membantu Jeno meringankan rencananya hari ini.
"Terima kasih hyung!" Balas Jeno penuh semangat. Matanya melirik sebuah mobil yang mengarah padanya. Dengan pelan berhenti di depan dan mempersilakannya masuk. 24교 2955 nomor taksi yang sama seperti yang di pesan Mark. Lantas ia segera memasuki taksi tersebut dan bersamaan dengan jalannya mobil, Jeno meninggalkan kawasan stadium.
"Panggil aku jika hyung nanti membutuhkan bantuan," timpalnya lagi.
"Ya ya ya, pegang kata-katamu nanti. Sekarang bersiaplah, ini hari pentingmu dan selamat Jen."
Usai telepon dari Mark berakhir, Jeno lekas membuka tas olahraganya. Untung saja walau sedang terburu-buru ia tidak lupa tetap membawa tasnya yang berisi pakaian ganti. Jeno sudah menyiapkan jas formalnya untuk hari ini. Dari jauh hari, teman-teman se-timnya sudah menyarankan meski Jeno akan sangat dikejar waktu paling tidak ia tetap bisa memenuhi janjinya.
"Paman, maaf aku akan berganti baju di sini, tidak apa ka—"
"Tidak apa Tuan, silakan berganti saja di belakang kacanya akan saya tutup dan ini Tuan yang memesan menitipkan ini pada saya untuk diberikan...,"
"Parfum?" Sebuah kotak kaca berisi cairan biru laut bening dengan ukiran merek ternama berada ditangannya. Ia menilik benda tersebut bingung sebelum akhirnya sudut bibirnya kembali menarik senyum.
Jeno benar-benar berjanji akan membantu Mark hyung suatu saat nanti.
Ia melihat secarik kertas catatan yang menempel di baliknya dan lagi terkekeh kecil atas tulisan pada catatan tersebut.
Aku tau, kamu tidak sempat mandi sehabis olimpiade tapi Nana tidak mau dengar curhatan dari Renjun sewaktu date spesialnya dengan orang yang dia tunggu bau keringat. Jadi ini aku dan Nana membelikanmu parfum, tidak usah berterima kasih. Ini usul Nana kok.
"Baiklah, hhaha tapi aku tidak tahan untuk berterima kasih, Mark hyung."
Perjalanannya tak terasa begitu cepat, entahlah karena ia yang sudah tidak sabar atau supir taksi yang sangat tau mencari jalan alternatif agar Jeno tidak telat. Gedung SM yang berbatasan dengan jalan raya besar dan di sebrangnya terdapat sungai kebesaran milik negeri ginseng, Jeno sudah sampai tepat di depan pintu drop off.
Tampak sempurna meski di balik perjuangannya sampai kemari ia begitu kacau. Setelan jas hitam dengan kemeja putih dan dasi serta celana hitam yang syukurlah terpasang rapi. Tak lupa wangi yang menguar dari pakaian dan badannya, terima kasih lagi kepada Nana dan Mark hyung setidaknya dia tidak akan protes mengenai baunya.
Dan Jeno pun melangkahkan kakinya gugup masuk gedung. Ia menarik napas panjang, menetralkan degupan di hatinya yang bertalu-talu.
Sekitar beberapa langkahnya sebelum menuju lift, matanya mendapati seseorang yang dikenalnya menghalangi jalan yang ia tuju.
"Kamu? Kenapa di sini?" Tanya Jeno bingung. Memang tidak ada waktu lagi meladeni apa pun saat ini tetapi seingatnya pemuda di hadapannya seharusnya tidak di sini.
"Tidak ada waktu menjelaskannya hyung. Omong-omong sini tasmu?"
"Untuk?"
"Sudah berikan saja padaku, hyung mau bertemu Renjun hyung sambil menjinjing tas seperti itu? Mending bawa bunga ini saja... dan oh ya hyung bawa kotak hadiahnya? Dia melirik pada tangan Jeno yang satunya, mengenggam sebuah kotak beludru hitam. Kepalanya mengangguk-angguk. "Oke, semua sudah lengkap, jas... dasi... cek, sepatu cek, bunga, hadiah, oke go hyung!" Pemuda itu mendorong Jeno maju ke pintu lift. Tidak membiarkan Jeno mengucapkan satu pun kata dan langsung tertutupi pintu lift yang otomatis.
"Terima kasih banyak Jisung!" Teriak Jeno dari dalam sebelum suara mesin dari lift membawanya ke atas. Jisung yang ada di luar hanya tersenyum dengan jempol mengacung. Lalu lantas pergi bersama tas Jeno yang ia ambil alih.
Ia tidak banyak memikirkan akan membalas kebaikan timnya seperti apa nanti. Karena kurang dalam beberapa menit ia akan menjumpai pusat inti yang selalu Jeno pikirkan.
Bunyi ting menggema di dalam lift. Pintunya yang otomatis terbuka perlahan. Dari kejauhan Jeno dapat melihat dekorasi kerlap-kerlipnya lampu dan bunga menghiasi atap.
Dan tentunya sebuah pundak sempit yang tengah menunggu, mungkin sudah sejak lama. Jeno mengayunkan langkah kakinya pelan berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apa pun.
Meski...
"Aku tau kamu di sana... jangan coba-coba mengejutkanku," sahutnya ketika Jeno sudah hampir sampai menyentuh pundak tersebut.
Pemuda pemilik pundak sempit itu pun berdiri. Menghadap Jeno yang sesegera mungkin menyembunyikan kedua hadiahnya di belakang tubuh.
"Sudah lama menunggu?" Jeno bertanya begitu melihat sosok yang ia pikirkan sedari pagi. Dalam balutan yang tak jauh berbeda dengan penampilannya namun begitu mengesankan manis dan cantik dalam sekali lihat. Ah... bagi Jeno tak pernah sekalipun Renjun terlihat tidak cantik. Iya, dia tahu terlalu jatuh cinta untuk mengatakannya setiap hari.
"Kamu tau, akdong seoul selalu punya menit lebih untuk briefing jadi ya... tidak, aku juga baru sampai beberapa menit lalu. Jeno sendiri, bagaimana pertandingan hari ini?"
"Ku dengar kamu membuat skor tim sempurna, benarkah?" Tambahnya lagi.
Jeno tersenyum membalasnya. Matanya yang sangat khas ikut membentuk simpul senyum. Meluluhkan hati, menyejukkan bagi siapa saja yang melihat. Termasuk Renjun.
"Ayo duduk dulu, akan ku ceritakan," tawar Jeno sembari menarikan kursi untuk Renjun. Syukurlah kotak hadiahnya sudah berpindah ke dalam saku celana sebelum ia mengeluarkan tangannya yang lain.
"Dan ini untukmu, Renjun."
Renjun menerima sebuket bunga daisy putih. Matanya berbinar menatap kumpulan bunga cantik di tangannya. Kelopak daisy yang kecil bersinar indah terkena pantulan lampu.
Ia menaruh buket bunganya di dekat dada, masih melihat bunga tersebut dengan penasaran. Ekspresinya kentara sekali sumringah nan bahagia. "Jeno... terima kasih."
"Sama-sama." Jeno harus benar-benar berterima kasih juga pada Jisung. Ia memang ingat akan membelikan Renjun sebuket bunga tapi mengingat kesibukannya hari ini membuatnya tidak mungkin. Tapi karena Jisung, dia berhasil.
"Oh ya bagaimana ISAC tadi?"
"Aku sebenarnya kurang yakin, kamu tau kan aku punya masalah dengan mata ya terus Chenle dan Nana menempatkanku di bagian akhir strategi. Apalagi ini panahan, aku takut takut salah bidik, bukannya bidik target malah membidik kamera." jelas Jeno seraya menunduk malu, samar-samar kekehan terdengar dari suaranya.
"Kalau aku jadi mereka juga akan menempatkanmu di akhir," Renjun berujar. Segelas anggur merah diteguknya sedikit. Tepat saat matanya melirik pada Jeno yang kembali mengangkat kepala, kontak mata mereka bertautan menimbulkan rasa sengatan menjalar dari hati ke pipi. "Uhu—k, uhuk...—"
"Renjun!" Jeno yang panik lantas berdiri. Niatnya ingin memberi minum tetapi ia juga sadar Renjun tersedak karena minum. Ia gelagapan bingung harus menyodorkan apa yang membuat tersedaknya Renjun reda.
"Tidak apa, Jeno. Tidak apa."
"Benar?"
"Iya Jen, aku sudah tidak tersedak lagi."
Jeno kembali menempatkan pantatnya di kursi setelah Renjun bilang padanya untuk tidak khawatir. Kemudian keduanya sama-sama tertawa, insiden tadi adalah sebab sinyal yang keduanya buat dari kontak mata tak sengaja. Yang ternyata efeknya cukup mengejutkan.
Pemuda yang lebih tinggi memulai percakapan kembali, "kenapa kamu juga milih aku yang harus terakhir?"
"Semua orang tau, kalau kamu itu jago di bidang olahraga walau panahan kali ini butuh penglihatan yang bagus supaya bidikannya tepat, aku yakin Jeno pasti akan mengusahakan yang terbaik, bukan?"
"Itu... tentu saja. Aku tidak ingin mengecewakan kalian yang sudah percaya padaku."
"Kan, Jeno memang bisa diandalkan," tutur Renjun melihat Jeno menggaruk-garuk tengkuknya. "Jeno sudah bekerja keras hari ini! Ayo bersulang!"
Gigi putih Jeno terpampang dalam senyumannya yang lebar. Sungguh, ia senang sekali pada penutup harinya yang begitu luar biasa. Merasakan pengalaman panahan untuk pertama kalinya lalu memenangkannya hampir dengan skor sempurna kemudian menghabiskan sisa hari dengan sosok yang paling ia kasihi.
Jeno mengambil gelasnya ke atas. Air di dalam gelas bergejolak sebab benturan yang mereka buat. Dentingan dari gelas yang beradu mewarnai hening malam di atas atap yang tidak begitu berangin. "Untuk Renjun juga yang telah menyelesaikan satu lagi siaran sempurna hari ini, bersulang!"
"Jen... jujur aku tidak tau kalau kamu seserius ini buat janji kita ngerayain di rooftop," Renjun berseru senang. Lagi, Jeno melihat binar di matanya saat tengah mengungkapkan apa yang dilaluinya sekarang. "Aku pikir kita cuma akan memandangi langit malam atau bintang biasa tapi... dekor tempat ini bahkan jisung minta aku untuk pakai jas. Jen, i think i really love you." ia mengucapkan semuanya dengan penuh antusias sampai sebuah kalimat yang tidak disangka keluar dari mulutnya. Cukup membuat Renjun terkejut sendiri, pasalnya ia adalah pihak yang jarang sekali mengatakan itu.
Keheningan melanda mereka setelah pernyataan Renjun keluar tak sengaja. Jeno menatap pemuda yang gelagapan malu itu dengan penuh arti. Ia menggapai jemari Renjun yang bergerak gelisah.
"I do. Really love you so much," ucap Jeno sembari tak memutus tatapannya pada Renjun. Dengan tangan yang saling bertautan di atas meja dan mata yang saling memandang, keduanya menikmati rasa membuncah yang semakin mengikat.
Jeno mengelus lembut punggung tangan Renjun. Entahlah bagi Renjun terasa ada permukaan kasar yang dingin menyentuh kulitnya. Mungkin itu adalah perban yang membalut jari Jeno seperti biasa tapi seharusnya tidak terasa dingin. Lalu apakah itu?
Renjun beralih melihat genggaman tangan mereka sebelum terkejut sendiri melihat sebuah untaian besi meluncur dari tangan keduanya. Juntaian tali yang terdiri dari rangkaian besi dan bandul kecil di paling bawah yang berbentuk bintang. Itu sebabnya tadi ia merasa dingin dan kasar pada kulitnya, ternyata Jeno menyelipkan kalung diantara genggaman mereka.
"Jeno ini... kalung?" katanya sedikit terbata-bata melihat kalung yang masih mereka genggam.
"Iya, sini aku pakaikan," Jeno bergegas berdiri dan menuju ke belakang Renjun. Ia mengalungkan pemberiannya perlahan pada leher Renjun yang indah.
"Bagaimana? Renjun suka?"
"Tidak mungkin aku tidak suka, suka sekali, suka!"
"Bandul kalungnya berbentuk bintang, untuk mengingatkan anniversary kita yang pertama di bawah bintang." Jeno menutup kalimatnya dengan mata yang ikut tersenyum, sangat tulus. Membuat Renjun tak hentinya merasa berdebar, mungkin jika tak ada angin dan suara daun yang bergemirisik, detak jantungnya sudah terdengar.
"Ah aku... aku bahkan tidak menyiapkan apa-apa untukmu tapi kamu! Kamu menyiapkan ini semua di saat kamu sendiri sibuk. Jeno... aku merasa, aku—"
"Aku tau, tidak apa-apa. Semua ini juga bantuan teman-teman kita, mereka semua membantuku." Jeno memotong ucapan Renjun. Ia tahu perkataan Renjun akan mengarah pada rasa bersalah dan merasa tidak adil mengapa hanya ia yang memberi terus. Jeno tak ingin Renjun merasa begitu. "Karena kehadiranmu dan penerimaan cintaku padamu sudah berarti banyak untukku, Injun. Kamu hadiahku yang paling berharga."
"Jeno!" Renjun yang bangkit dan berlari memeluknya, membuatnya lantas ikut berdiri dan mendekapnya erat. Pemuda itu memeluk erat lehernya sehingga ia bisa merasakan embusan napas hangat di samping telinga. "Terima kasih banyak... untuk semuanya, Happy first anniversary, for Us," katanya sangat jelas di telinga Jeno.
Jeno mendekatkan lagi pinggang Renjun dalam dekapan menempel dengannya, "Happy first anniversary too, for Us."
Lama keduanya saling berdekapan, sayup-sayup melodi lembut mulai mengalun. Hampir membuat tautan keduanya lepas karena keheranan.
"Ada suara musik... siapa yang menyetelnya?" tanya Renjun setelah menjauhkan kepalanya dari pundak Jeno.
"Tidak tau." Jeno mencuri sekilas ciuman pada Renjun. Terlihat sekali pemuda manisnya malu mendapati bibirnya dikecup tiba-tiba. "Kita nikmati saja, mau menari denganku?" Tawar Jeno melepas pelukannya berganti dengan tangannya menggantung.
Renjun terkekeh manis sebelum menerima tawaran Jeno. Tangannya ditarik kembali melingkar di leher Jeno dan pinggangnya yang dibalut dekapan lengan.
Di bawah taburan bintang malam yang berkelip. Memperindah suasana kencan spesial Jeno dan Renjun pada perayaan hari jadi mereka yang pertama. Jeno telah menuntaskan janjinya pada Renjun merayakannya di atap.
.
.
.
끝
.
.
.
Heiiiii guys ❤❤
Ecieee aku rajin update (rajin apanya baru dua kali juga wkwkwk)
Aku gatau mau bilang apa, seems like my jenren sense is REALLY BACK
So, ayo please komen komen wkwk i dont really mind about how much comment that i get but for this pleaseee ayo komen hehe
Tulis apa ajalah ya
Aku bener bener suka canon kadang kayak ngelamunin jenren moment tuh kadang suka keterusan, mereka begini gak ya di belakang atau begitu gak ya hngg gemes hehe
Jadi kalau habis ini malah banyak update dengan tanda canon atau head canon di atas mohon maklumi aku ya 😂
A/n nya kepanjangan bikin males dibaca wkwkw selamat membaca ceritanya dan jangan lupa komen yaaaw
Sekian dan Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top