Nepenthe Familia - 🌹
Warning! ⚠️
Domestic/Family/Romance! Teenager
Disclaimer: Karya fiksi ini murni milik saya. Beberapa nama di dalamnya digunakan untuk kepentingan entertainment, dan tokoh-tokoh yang digunakan bukan hak cipta milik saya.
.
.
.
"Aku gak mau ma..."
Ungkap Chenle pertama kalinya setelah beberapa menit menduduki kursi di meja makan. Anak kesayangannya yang pulang pulang sudah dalam keadaan lesu tanpa senyum di wajah.
Renjun merasa asing dengan sikap Chenle yang kelewat layu tak berenergi. Sebagai ibunya tentu ia paham betul bagaimana kesehariaan anak itu. Selalu mengembangkan senyum, menyebarkan energi positif tiap berbicara dan berteriak keras-keras meski di dalam rumah. Tapi kali ini?
"Kenapa Le tumben gak mau telur ceplok, biasanya ngebet minta dibuatin setiap hari," Renjun yang sedang sibuk menyiapkan beberapa makanan di counter dapur tidak memperhatikan bagaimana Chenle menggeleng lemah sambil menatap sendu gawainya. Tapi insting Renjun cukup kuat, membuatnya menunda sebentar kegiatan di counter kemudian melirik Chenle. "Minum dulu gih, Le."
Chenle menuruti Renjun, meneguk air putih yang tidak jauh tersedia di atas meja. Semua itu dilakukan remaja tanggung yang masih pubertas tanpa bersuara. Benar-benar bukan tipikal Chenle yang selalu bawel di setiap detik.
Usai meneguk minum, Chenle kembali menyandarkan kepala dilipatan tangannya. sekelebat ia melihat bayang coklat yang menuju ke arah dia dan mama. Pandangannya kabur sesaat setelah menyadari itu adalah ayahnya yang tengah berjalan dari arah kamar. Chenle semakin menenggelamkan kepala menutupi beberapa tetes yang sempat memburamkan pengelihatannya sekilas.
Jeno yang tengah berjalan sambil mengancingkan piyama coklatnya menatap terkejut kehadiran chenle. Anaknya itu kalau dilihat-lihat terasa aura berbeda yang melingkupinya..
"Loh adek udah pulang? Tumben."
Lagi. Chenle hanya mengangguk kecil setelah mengangkat kepalanya sebentar.
Tapi bagi Jeno, ini bukan respon Chenle seperti biasa. Paling tidak ada satu-dua jerit merengek yang Chenle lontarkan waktu Jeno bertanya meledek atau menggoda. Ayah satu anak itu mengernyit tak percaya, "biasanya kalau habis ngapel, pulangnya tiap mau beres makan malam, kok jadi jam segini?"
"Kenapa dek?" lanjut Jeno lagi sambil menarik kursi di hadapan Chenle.
Sudah biasa untuk Jeno dan Renjun jikalau Chenle berteriak ini-itu, berkata tanpa henti tentang apapun yang terasa wajib bagi anak 17 tahunnya bicarakan. Chenle memang sering membagi hal-hal menarik kepada kedua orang tuanya terlepas cara ia bercerita terlihat kurang ramah terhadap yang lebih tua. Tapi keterdiamannya atas pertanyaan Jeno juga tidak sopan, jelas saja. Entah apa yang menganggu hingga mood berbicaranya turun drastis.
Inginnya Jeno kembali melontarkan pertanyaan, sekaligus memastikan anaknya itu sedang fokus atau tidak namun belum sempat suaranya keluar, telinga kanannya ditarik kecil tiba-tiba.
Tentu saja siapa lagi kalau bukan Renjun pelaku penarikan telinga Jeno. Walau kecil tapi rasanya luar biasa membuat Jeno merajuk kesakitan. Jangan salah kecil-kecil mungil begitu, Renjun istrinya memiliki beberapa teknik kuat yang sangat ampuh dalam cubit-mencubit atau jewer-jeweran.
"Kamu ini bisa peka sedikit gak sih!?" Renjun menduduki kursinya di samping Jeno usai menaruh beberapa makanan utama di meja.
"Loh kok aku—aku, apa? Peka?" sahut Jeno terbata-bata seperti maling yang tengah gelagapan dijatuhi pidana.
Renjun sekali lagi mencubit paha Jeno yang malah sepertinya membeberkan kebingungan sesuka hati, "Ssutt! Tuh lihat!" Pria manis satunya menunjuk dengan ujung kepala, keadaan Chenle yang sama sekali tidak terusik ribut-ribut kecil orang tuanya.
Semestinya perkara kecil antara orang tuanya bagi Chenle akan jadi perhatian yang mungkin membuat pemuda baru dewasa itu mengomentari kelakuan Jeno dan Renjun ogah-ogahan. Tapi bahkan untuk yang satu itu, raut muka Chenle tetap termangu kosong.
Entah melamunkan apa.
Jeno menelisik setiap detil yang ada pada Chenle sesuai instruksi dari Renjun. Ayah satu anak itu memang merasa ada yang aneh soal Chenle tapi ia tidak memahami di bagian mananya dia harus peka pada keadaan Chenle.
Jeno memanyunkan bibir, memberikan puppy looksnya pada Renjun, sinyal rajukan yang dikirimnya pertanda meminta bantuan. Oh sadarkah Jeno, Renjun inginnya menepak kuat-kuat bibir suaminya yang sangat sialan lucu itu.
"Kamu tidak sadar?" Jeno menggeleng sebagai jawabannya. Alhasil Renjun mengembus napas malas, sorot matanya menatap jengah Jeno tapi ia berusaha memaklumi itu.
"Sini, dengar baik-baik." Baik Jeno dan Renjun sama-sama mencondongkan badan saling berdekatan, untung saja keduanya duduk sejajar di samping meja makan. Berbagi bisik di hadapan Chenle yang katakan saja memang tidak peduli sekitarnya untuk saat ini. "Chenle sepertinya sedang tidak enak hati, dari tadi dia terus memperhatikan handphonenya, mungkin ada apa-apa sama Jis—"
"HAH? YANG BENAR SAJA? MASA ANAK ITU BERANI BERANINYA BIK—"
"Sut! Ih tunggu dulu, jangan asal langsung ngamuk!" Jeno yang tadinya sempat berdiri; dengkulnya sedikit menabrak pinggiran meja, ditarik Renjun untuk kembali duduk.
"Kok aku ditahan?" Wajah memelas Jeno ditambah kesakitan akibat dengkulnya terpelantuk meja tidak dihiraukan. Renjun balas menggeleng malas. Sungguh malang nasib dengkul Ayah muda ini.
Lagi Jeno mengernyit tak paham, "terus kenapa? Ini gara-gara Jisung kan Chenle jadi sedih?" tanya Jeno pelan nan berbisik. Sedikit banyaknya aksi dia tadi membuat Chenle menatap bingung kedua orang tuanya yang bergelagat aneh.
Rambut madu kecoklatan Chenle melambai ke atas mengikuti kepalanya yang sedikit mendongak, menangkap basah mama dan ayahnya yang kedapatan berbisik-bisik.
"Kalian... sedang apa sebenarnya, ma, yah?"
"Oh nggak Le, ayahmu biasa bisik-bisik mesum gak penting," mata Renjun tersenyum manis seperti bulat sabit disertai kekehan sehabis berkata begitu. Walau dihadiahi tatapan tidak terima dari lelaki di sampingnya, Renjun tidak ambil pusing untuk memedulikan. Ia lantas mengambil setengah porsi nasi yang dihidangkannya di depan Chenle. "Sudah kamu makan duluan aja, mama mau ngasih ayah pelajaran dulu."
Dilihatnya Chenle langsung menundukkan kepala, menyantap beberapa lauk-pauk yang tersedia tanpa bersuara. Membuat Renjun merasa lega tidak lagi dicurgai meski setelah kembali menghadap suaminya, lengkungan garis bibir ke bawah menghiasi raut muka. Ia hanya menyunggingkan senyum dan bergumam maaf. Juga tanpa aba-aba mengecup sudut kanan bibir Jeno agar tak lagi muram.
Sebenarnya Renjun menunggui respon Jeno, lelaki tersebut tetap pada raut muka yang kadang Renjun bilang jelek—tapi lucu—sembari tidak melepaskan tatapan mata menuntut. Biasanya kecupan adalah obat paling mujarab bagi Renjun untuk meredakan cemberutnya Jeno. Namun ia mulai resah Jenonya tak kunjung melembut.
"Jeno...," bujuk Renjun waktu suaminya memilih memalingkan wajah, ikut-ikutan Chenle menyantap makan dalam diam.
Kalau seperti ini jadinya, Renjun merasa makan malam keluarga begitu canggung.
Renjun berusaha menggelayuti pundak Jeno beserta kedua tangannya, ia mengelus-eluskan manja kepalanya di sana. Berharap sedikit aegyo dapat meluluhkan ngambeknya Jeno. Meski sepertinya tidak berpengaruh banyak karena laki-laki yang akan menginjak umur 44 tahun melepaskan gelayutannya. "Makan dulu, kita bahas ini setelah makan." Jelasnya singkat tanpa memperhatikan Renjun sebagai lawan bicaranya.
Kata-kata Jeno sama saja seperti balasan yang ia gunakan pada Chenle. Uh Renjun sedikit tersindir karena itu.
Tapi bukan mau tidak mau Renjun tetap menuruti perintah suaminya untuk mendahulukan makan baru menyelesaikan sesuatu yang mungkin terjadi pada Chenle, anak mereka. Jeno yang dalam mode ayah berwibawa adalah kebanggaan keluarga, dimana dengan pikiran rasionalnya serta pembawaan tegas mampu memberikan tanggapan yang dirasa tepat. Dan Renjun mengerti, sebagai seorang ayah yang tahu anaknya sedang sedih pasti merasakan kalut berkecamuk. Mereka saling berbagi perasaan dan Jeno bisa saja sedang memikirkan bagaimana anak kesayangannya tidak lagi sedih.
Selang beberapa menit cukup lama, Chenle tiba-tiba berbicara tentang dirinya yang ingin berangkat bersama sang ayah ketika ke kampus. Yang mana sebenarnya selalu ia lakukan bersama Jisung. Hal itu tentu saja menarik ragam pertanyaan dari Jeno dan Renjun hingga sampailah pada titik Chenle berterus-terang.
"Dia bilang... aku perlu refleksi diri soal perasaanku padanya, jujur aku tidak mengerti di sini ayah, tapi Jisung bilang dia— ingin aku lebih sadar dan menghargai perasaannya. Dia ingin... aku lebih membutuhkan dia dari sebelumnya." Chenle menyelesaikan kalimatnya dengan perasaan sesak tertahan. Seperti batu kecil yang mengganjal itu sedikit terlepas, membebaskan karbon yang membekap hatinya.
"Makanya kami... break." Imbuh lagi Chenle. Ia menundukkan kepala, meratapi jari-jemarinya yang tak sengaja ia belitkan satu sama lain.
Renjun menatapi iba sedikit lembut anaknya yang tengah bingung. Tapi Jeno...
Jeno malah menelengkan kepala memperhatikan Renjun, sorot matanya seolah menganalisis setiap detil gerak-gerik istrinya dengan saksama. Persetujuan monolog batin membawa kepala Jeno mengangguk-angguk refleks. Dan tentu saja dihadiahi tatapan penuh tanya dengan alis menukik ke atas.
"Kenapa kamu ngangguk-ngangguk sambil lihat aku gitu?" tanya Renjun (sedikit) ketus.
"Nggak kok, mirip mamanya banget." Jeno kemudian menghadap kembali Chenle. Terlihat di permukaan bibirnya yang agak mengangkat seperti akan mengatakan sesuatu tapi belum sempat terucap, Renjun menceletukkan kata-kata, "mirip apanya heh? Kamu kalau ngomong jangan gak jelas gitu!"
"Kamu tidak ingat? Kita pernah kayak gini loh,"
Punggung Renjun menegak, ditarik mundur pada peristiwa yang membuatnya setengah hati terasa tak hidup. Yang tentu saja mengajarkan Renjun bagaimana harusnya rasa itu bisa saling melengkapi tanpa salah satunya merasa tidak berjuang sendirian. Oh tentu Renjun ingat itu, lebih sakit dari patah hatinya saat Jeno dirumorkan punya gebetan baru dalam masa break mereka. Renjun juga sangat menyesal akan ketidakpekaannya waktu itu.
'Jadi ini soal Chenle yang kurang mengapresiasi perasaan Jisung padanya?'
Permasalahan asmara yang nyatanya tidak jauh berbeda ketika mereka muda. Kalaupun Renjun atau Chenle, keduanya dibilang mirip oleh Jeno, Renjun tidak akan menyangkalnya. Terkadang ada salah satu sifat yang tidak disadari manusia itu sendiri. Entah kesadaran diri sendiri yang memakan waktu lama untuk dimengerti atau butuh seseorang yang membantu menyadarkan.
Hanya Chenle belum sadar saja dan... sedikit peka untuk afeksi Jisung.
"Adek... mau ayah kasih tau refleksi diri buat perasaan Jisung yang seperti apa?" lantas Chenle mengangguk, pemuda manis itu kelihatan bersemangat dengan mata lebar penuh binar berharap. Oh Jeno melihatnya mirip Renjun yang memohon beli boneka moomin raksasa. Lucu dan menggemaskan.
"Baik, jadi sebenarnya adek tuh ke Jis—"
"Tunggu!" Renjun mencekal lengan Jeno, ia mencicit nyaris tak bersuara (yang untungnya masih kedengaran oleh Jeno). Ada yang rasa-rasanya perlu diutarakan pada Jeno makanya Renjun memotong kalimat suaminya.
Jeno menoleh kebingungan, "kenapa?"
"Aku rasa...," Badan Renjun kembali condong, menggapai telinga Jeno untuk memberikan bisik-bisiknya lagi. "Kita harus biarkan Chenle mengerti sendiri."
Lelaki pemegang status kepala keluarga itu menarik dirinya, raut wajahnya jelas skeptis; tidak percaya. Bukankah memberikan solusi akan lebih cepat menuntun pada penyelesaian?
"Aku tau kamu sayang Lele dan gak ingin Lele sedih terus, tapi ini urusan mereka, untuk Chenle, dia harus coba mengerti dari hatinya. Memahami dan menyadari sendiri apa yang Jisung harapkan untuk mereka berdua."
"Tapi sayang, kamu tau itu makan waktu lama kan?" Jeno berkilah. Ia sekilas melirik anaknya yang lagi-lagi diam dan menunduk, beberapa kali tertangkap matanya jari-jari Chenle menekan layar gawai putus asa. "Itu juga kalau adeknya paham, kalau dia tidak sadar-sadar? Terus tidak ada menyadarkannya gimana? Bisa aja Jisung kehilangan harapan sama adek karena terlalu lama!"
"Iya, sekarang aku yang tanya, apa kamu waktu itu mau berakhir ninggalin aku, kalau aku terlalu lama untuk ngerti perasaan kamu?" Renjun melemparkan pertanyaan lugas. Matanya lebih berapi-api menanti jawaban Jeno.
Kelihatannya Jeno meneguk ludah tertegun. Di pikiran pria paruh baya tersebut pasti telah menemukan satu jawaban telak. Yang Renjun sudah duga seperti apa bunyinya nanti.
"Jadi?"
Pundak yang menegang perlahan mengendur, Jeno berujar pelan, "aku dan Jisung beda, Injun. Aku tau sendiri seberapa sayangnya aku sama kamu, makanya aku minta sedikit balasan rasa, walaupun itu sedikit dan butuh waktu yang lama, aku tetap nunggu. Terus apa aku tau sayangnya Jisung ke Chenle bagaimana? Mereka masih muda, rasanya bisa makin pudar apalagi saat seperti ini."
"Memangnya waktu dulu, kita gak muda?"
Jeno diam. Dia terdiam karena sebenarnya Renjun sudah tahu Jeno mengerti ke arah mana point pembicaraannya tapi ayahnya Chenle itu terlalu khawatir. Makanya Jeno ingin membantu hubungan anaknya.
"Karena mereka masih muda saat ini, biarkan mereka belajar, mereka yang berusaha memahami permasalahan sendiri. Aku percaya kalau mereka ingin hubungan ini balik, pasti Chenle bisa sadar bagaimana perasaannya sama Jisung, begitu juga Jisung kalau dia ingin lebih dibutuhkan Chenle, dia harus lebih lapang dada walaupun cukup lama."
"Jisung tuh, kamu tau kan, seberapa usahanya dia minta izin cuma buat pacaran sama anak kita? Kalau dia gak sesayang itu sama Chenle, mungkin sekarang pilihannya bukan break tapi putus."
Jeno membenarkan dalam hati, terlepas Jisung anak sahabat karibnya, pemuda itu membuktikan sendiri kesungguhan dalam menyukai Chenle di hadapannya dulu. Mungkin Jisung juga sedikit mirip dengannya, ingin memperjuangkan tapi butuh balasan.
Ya siapa juga yang kuat bertahan menjalani hubungan seperti tak berbalas.
Jeno.
Dia tertawa geli, mengingatkan seberapa bucinnya dulu dia terhadap Renjun. Dan itu terus berlanjut di rumah tangga mereka sekarang.
"Chenle?" panggil Jeno kali ini dengan nama pemberian dari mertua. Kebiasaan Jeno memanggil Chenle adalah dengan adek tapi kini suara lembutnya menyeru nama Chenle bagai meringankan gundah gulana.
"Iya ayah?"
"Kalau kamu merasa capek hati, ayah siap dengerin cerita kamu." Jeno tersenyum tenang, kelopak matanya hampir menutup membentuk bulan sabit mengikuti lengkungan pada bibirmya. Chenle mungkin kebingungan atau bahkan canggung tatkala sehabis memperhatikan gawainya, orang tuanya terlihat ribut sambil berbisik. Meski tidak jelas isi bisik-bisik lama itu. Dia tidak memfokuskan diri untuk mencuri dengar.
Yang terpenting mengangguk saja dulu walau ayahnya lupa memberitahu soal refleksi diri.
"Nah, kalau gitu sebagai hidangan penutup kamu mau ramen tidak?" tawar Jeno pada Chenle penuh antusias.
Renjun tertawa kecil melihat Jeno dan Chenle berjingkat semangat setelah sama-sama meneriakkan ramen. Sebagai ibu dan istri, Renjun lega bagaimana keluarganya menemukan cara untuk berbahagia meski belum sepenuhnya masalah yang mungkin mereka miliki terselesaikan. Renjun memiliki ikatan batin untuk merasakan emosi keluarganya, Jeno memiliki tanggapan yang bijak untuk menghadapi situasi serta Chenle anak mereka yang manis, tetap menjadi yang paling manis dan setidaknya ia bisa terbuka.
"Oh iya tapi mama yang masak ya...." Celetuk jahil Jeno, ekor matanya melirik Renjun yang tengah membereskan piring-piring yang Jeno cuci.
Di samping itu, Chenle ikut tertawa sambil meledek jahil juga, "mama jangan lupa lagi bumbu minyaknya, kalau gak ada itu gak enak!"
"Idih, kamu berani ya nyuruh-nyuruh mama!"
"Berani lah! Orang ayah yang nyuruh aku bilang gitu kok!" kilah Chenle yang mendapat pelototan ayahnya.
Namun kini berganti Renjun memelototi oknum suruh-suruh yang malah tertawa bebas. Jeno cengengesan di depan wastafel tapi tidak berlangsung lama karena kepala keluarga jahil itu sudah berlarian mengelilingi ruangan sambil membawa piring penuh busa. Tentunya dengan Renjun yang mengekor di belakang bersama teflon kesayangan di tangan.
Sedangkan Chenle?
Dia menjadi pusat Jeno dan Renjun berlarian, yup kedua orang tuanya kejar-kejaran sambil mengelilingi Chenle. Tapi Chenle senang saja bahkan tertawa terbahak untuk itu.
Meski pada akhirnya Jeno dan Renjun sebagai orang tua menyerahkan masalah yang dihadapi anaknya untuk diselesaikan sendiri, mereka juga ingin membuat Chenle tersenyum senang. Karena bagi Jeno dan Renjun senyum Chenle adalah bahagianya mereka.
.
.
.
끝
.
.
.
Yeheeeee 2,3k tapi
keliatan plotholenya 🤣🤣🤣
Ini sebenernya udah aku buat lama cuma baru diterusin sekarang ini
Dibuatnya pas stay under blanket NCT Dream
Wajib nonton noren berasa suami istri ups suami suami baru pindahan terus ngajak tetangga makan-makan 😆
JenRenLe visualisasi and multimedia from Stay Under Blanket screencapture
Pas bagian hihi
Aku ngebuat halu haluan kecilnya juga di twitter sebagai ide awal tapi ekspektasi di sini agak jauh wkwk
Suka kepanjangan ah a/n nya, jadi kalo untuk oneshot lain aku banyak draft tapi belum pada selesai, lagi pengen diselesein sih ada 2, mature crime semoga gak gagal haha satunya pernah aku publish di write.as
Kalo untuk chaptered yg lagi aku kerjain henchman! Tapi pengen revisi bahasa soalnya baku teuing
Nah berhubung bahasa tulisan etc, boleh kasih aku krisar apa tulisan aku terlalu susah dimengerti banyak rancunya atau kaku teuing sebebas dan sejujurnya ehehe i'll take it
Okay see y'all on another stories 💙
Jangan lupa vote dan commentnya
Sekian dan Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top