Lust Mission -
Warning! ⚠️
NC 21+
Crime/PWP/Smut! Mature
Disclaimer: Karya fiksi ini murni milik saya. Beberapa nama di dalamnya digunakan untuk kepentingan entertainment, dan tokoh-tokoh yang digunakan bukan hak cipta milik saya.
.
.
.
"For God sake?! ... itu stasiun!"
"Lalu, memangnya kenapa kalau itu stasiun?"
Ia mendengus napas kasar. Perbandingan 180 derajat situasi membuatnya jengah, tidak habis pikir pada suara di sebrang sana yang meladeninya santai. Satu hal tidak menguntungkan, inilah yang harus dilakukannya, terjebak dalam was-was dan resiko besar yang mungkin menanti. "Kau mau aku melakukannya?! Di sini? You want me getting arrested!"
"Khawatir huh?"
"Apa maksudmu?" ia kembali membalas dengan nada sedikit tak terima. "Kau meremehkanku? khawatir deng-"
"Akui saja Jeno, kau tidak cukup yakin mengeksekusi di tempat ramai bukan?" suara tertawa berat kemudian terdengar kencang. Gelagak penuh bossy dan angkuh yang Jeno benci lantaran jelas sekali tawa itu dikeluarkan untuk mengejeknya.
Kepalan tangan mengerat keras sampai garis urat biru kehijauan tampak tegang, tepat saat itu pula hantaman kencang Jeno layangkan pada tembok sisi stasiun luar, katanya, "terserah. Aku tidak peduli."
"Aku juga, kau tahu."
Jeno ingat kenapa pria itu setidaknya pantas mengambil posisi seorang bos. They said it was his pressure. Tekanan dalam perintah yang bisa menghancurkan mental bahkan kehidupan. Andai bukan Jeno yang mendengar balasan tersirat itu, ia tidak yakin seberapa kuat yang lainnya bertahan. Meski melalui sambungan telepon, suaranya kali ini begitu menguar aura dingin hanya dengan empat silabel kata singkat. Jeno yakin jika dirinnya saat ini bertatap muka dengan orang itu, ketegangan yang terasa lebih dari sekadar aura dingin mencekam.
"Lakukan tugasmu dan bawa hasilnya padaku."
Tapi Jeno bukanlah pribadi yang mudah tunduk dan menyerah.
Ia lebih suka tidak direpotkan namun membenci begitu kapabilitasnya dijatuhkan. Jadi walau pekerjaannya sungguh merepotkan, Jeno tidak akan melepas pada harga dirinya yang ditantang.
Bising dari dalam stasiun tidak menyurutkan sedikit pun konsentrasi Jeno pada earphone yang terpasang di telinganya. Tidak dengan mata elangnya yang menajam pada satu sosok yang baru saja memasuki pintu stasiun barat Dorasan. Sampai suara yang sempat terdiam disambungan telepon mulai kembali terdengar napasnya, untuk mengucapkan,
"Ini perintah Sir Jeno. Eksekusi Hong Bam Joo."
Ia mungkin berdecih menyahut kata perintah. Jeno tidak suka diperintah tapi sayangnya kata itu membangkitkan jiwa adrenalinnya.
Satu kata. Kepuasaan.
Dan sisanya pengakuan.
Jeno melirik waktu setempat menunjukkan pukul 2 lebih 27 siang di saat jadwal kereta sedang begitu padat. Setiap peron terisi satu rangkaian gerbong kereta dengan tujuan masing-masing. Jeno tidak peduli kemana saja kereta itu akan pergi, baginya hanya ada sisa 33 menit lagi sebelum keberangkatan dalam jadwal.
Berbekal troli janitor, Jeno melengos percaya diri melalui samping pintu masuk stasiun. Semua penjaga di pintu benar-benar tidak mempedulikannya yang berjalan di samping metal detektor. Dengan pakaian kuning khusus layaknya office boy setempat, ia berjalan mengarahkan trolinya menaiki travellator (atau moving walk) ke tempatnya berpijak sekarang.
Beruntungnya stasiun ini memiliki lantai tingkat, dimana Jeno bisa leluasa memantau situasi ruang tunggu terbuka stasiun. Sejauh ini, lorong dengan pembatas setengah dinding yang ia survei dari bulan lalu sangat jarang di lewati. Akses yang memutar dan cukup gelap tentu akan mendatangkan sedikit orang yang melaluinya. Dan juga tempat pelarian yang pas sebab pintu evakuasi tepat di belakang Jeno.
Jeno memfokuskan bidikan senapan M16A4, ia mengintai lewat lensa teropong senapan laras panjang mengikuti pergerakan target di bawah. Baru saja targetnya berjalan menjauh dari loket tiket. Sesaat Jeno menarik napas menyiapkan diri, sedikit demi sedikit orang-orang berlalu meninggalkan sekitar targetnya.
Bahkan sepertinya pria gembul tua itu memang ingin menjauhi massa, yang tentunya bagus untuk Jeno. Dia tidak berharap peluru nyasar dan mengenai selain targetnya.
Bidikan Jeno kini tepat berada di ubun-ubun pria tua tersebut. Jeno tersenyum miring sembari telunjuknya bersiap menarik pelatuk. Target dikunci.
And
Shoot
Desingan besi meluncur tepat menghantam dahi pria tua hingga terlempar jatuh ke belakang. Bersamaan dengan darah yang berlomba-lomba keluar menggenangi wajah sang target. Anehnya Jeno belum menarik pelatuk sama sekali. Bukan peluru miliknya yang bersarang di dahi Hong Bam Joo. Jelas sekali ia mengarahkan bidikan menuju ubun kepala, lantas siapa yang mengeksekusi targetnya?
Mata Jeno langsung mengedar ke sekeliling, lebih tepatnya menuju arah peluru lain yang membunuh Bam Joo. Peluru itu datang menembus dahi targetnya sementara ia membidik ubun-ubun kepala, dimana punggung Hong Bam Joo lah yang menjadi titik pengelihatannya. Berarti arah peluru bisa dipastikan meluncur dari sebrangnya atau tepat arah Bam Joo menghadap. Tapi sudah terlambat, Jeno tidak menemukan siapa yang telah menyerobotnya.
Di setiap titik mencurigakan tak ada jejak kemungkinan adanya lagi pembunuh bayaran seperti dia. Jeno kehilangan dua buruan sekaligus.
Dengan perasaan dongkol ia pergi bersama troli janitor dan senapan yang kembali disembunyikannya dalam kantung sampah. Sebelum adanya mata lain yang bisa menyeret Jeno dalam penembakan Hong Bam Joo, kepala bagian pemasaran Paju.
Jalur keluarnya tidak Jeno lalui seperti yang sempat direncanakan lewat pintu evakuasi, melainkan kembali melalui pintu tadi ia masuk.
Sorot keruh wajah Jeno mengabaikan sepasang mata lain yang diam-diam memperhatikannya sampai masuk ke dalam mobil. Toh ia sibuk dengan umpatan jengkel yang berputar di kepalanya akibat kurang suksesnya misi (Jeno tidak suka menyebutnya gagal, ia paling benci satu kata itu).
"HYARRGH!" Jeno menyuarakan geraman tak terima. "Sialan!"
Ia menyentak topi kuning di kepalanya, beberapa helaian rambut hitam pekat diremas kesal. Lagi-lagi raut tak menyenangkan menghiasi wajahnya.
Rasanya Jeno tak ingin berlama-lama di tempat yang membuatnya meradang lantas mengganti atasan bajunya dengan setelan biasa di dalam mobil. Jeno segera pergi meninggalkan pelataran parkir stasiun Dorasan. Rasa jengkel di hatinya masih meluap-luap sampai ingin sekali membunuh siapapun yang bisa dilihatnya.
Bukan hal baik tentu, maka dari itu Jeno ingin segera menjumpai seseorang.
🔫
Pria muda pertengahan umur 20an tersebut tidak membuang waktu berbasa-basi untuk sekadar bertegur sapa pada para penjaga. Langkah yang terlihat penuh intimidasi mengantarkannya berhadapan dengan pintu baja. Seperti biasa yang dilihatnya, tidak pernah luput dari penjagaan serta sosok pria lain yang sedang tersenyum jahil sembari menyandar di sana.
"Mana bos?" Tanya Jeno langsung. "Aku perlu bicara dengannya!"
Namun Jaemin bukannya membalas pertanyaan rekannya, ia malah mendekati Jeno, berpura-pura mengendus pakaian seperti membaui sesuatu. "Kau hari ini bau kekalahan ya?"
Jeno reflek menarik pistol yang bersarang di saku, menyentuhkan moncong lubang keluarnya timah panas di kulit dahi Jaemin. Gigi Jeno bergemeletak keras, kalimat ofensif Jaemin membuatnya terhina.
Kadang kala Jaemin terasa lawan di balik kawan.. Ia menekan ujung pistolnya, mendorong kepala Jaemin sedikit terantuk ke belakang. "Cepat katakan dimana bos? Atau aku mengukir lubang di sini!"
"Wow wow sabar bung," elak Jaemin menyingkirkan pelan si pistol. Ia mengambil flashdisk di saku jaketnya yang kemudian dilempar ke Jeno.
Mata Jeno mengikuti pergerakan rekannya. Ia memicing tajam begitu flashdisk merah kecil di tangannya. Yang Jeno butuhkan sebenarnya adalah kehadiran si bos tapi ia malah diberi sesuatu tanpa arti, ia menatap kembali Jaemin menuntut dengan penjelasan.
"Bos ke paris dan itu untuk misi barumu, kalau kau mau tau."
"Misi baru?"
"Iya, jadi jangan terlalu kecewa akan kegagalanmu hari ini. Bos sengaja menyiapkan sesuatu untuk misi spesialmu."
Jaemin menepuk-nepuk pundak Jeno dari sisi kiri, sambil bibirnya berbisik pelan, "selamat, you got a jackpot." Pemuda itu berjalan menjauhi Jeno sembari melambaikan sebelum kembali melirik kecil. Jeno terdiam di sana memandangi benda kecil di telapaknya. Sunggingan senyum yang sulit ditelaah dan jarang sekali terlihat pada Jaemin, si hacker handal. Ia mengukir senyum dengan kilat mata tak biasa sebelum bergumam, "lucky seven."
Sementara Jeno masih bergeming seperti orang bodoh menatap benda kecil nan mati. Ekspresinya sulit ditebak untuk beberapa detik sampai pergerakan mendadaknya pada salah satu penjaga yang ada di sana. Sabitan ujung sikut menghantam keras leher penjaga hingga sedikit terdengar bunyi seperti patahan. Jeno menggelegarkan amarah.
Napasnya kembali tersenggal-senggal penuh emosi. "Jadi ini hanya umpan?"
Beberapa detik setelah ia sadar hubungan dari misi sebelumnya dan benda di tangannya, pemuda berambut hitam kelam tersebut kemudian tertawa terbahak-bahak. Tak ada satu pun yang menemani tawa miris Jeno yang merasa dibodohi kali ini. Para penjaga sekali pun, berusaha tidak peduli atas kelakuan ace andalan dalam membunuh.
Mereka masih sayang nyawa untuk itu.
🕯
Syut.
Blep.
Suara televisi yang meredup, menyisakan bunyi detik jam dinding di salah satu kamar hotel kelas 5. Lampu gantung di atasnya menyorotkan cahaya kuning keemasan mengenai seluruh ruang utama. Jeno memecah sunyi dengan lemparan asal remote TV-nya. Segelas cheval blanc pun ia teguk sebelum kembali mengetuk-etuk pinggiran gelasnya pada pelipis.
"Jaringan penjualan ilegal."
Jeno memikirkan korelasi dari semua tayangan yang tersimpan di flashdisk pemberian Jaemin. Benda itu hanya memuat satu hal, tentang misinya yang bahkan harus malam ini dimulai.
"... tapi mengapa aku harus membunuh dulu pengedar narkoba?" Ia mencondongkan tubuhnya, berpangku tangan pada lipatan kaki. Di benaknya masih belum menemukan apa yang terlihat sebagai misi spesial walaupun terkait penjualan ilegal.
Pria sekelas Jeno sudah sering menghadapi permintaan ilegal apapun itu. Sudah tidak asing lagi baginya. Lantas selain data diri seseorang yang harus dibunuhnya malam ini, apa yang dimaksud dengan kalimat 'jaringan penjualan ilegal' dalam dokumen flashdisk itu?
Mengesampingkan teka-teki yang masih abstrak, Jeno lekas mengambil jaket olahraganya. Ia mengemasi benda-benda yang sekira diperlukan pada tas bulutangkis yang di dalamnya tersimpan senjata lain.
Mungkin dengan menemui targetnya malam ini akan mengarahkannya pada petunjuk.
🔗
Perumahan biasa di ujung kota tampak lengang seperti keadaan perumahan-perumahan lainnya. Apalagi di jam malam yang akan menunjuk ke angka 11, pintu dan gerbang sudah di kunci rapat oleh sang pemilik. Meninggalkan kelelawar malam bekerja di tengah gelapnya langit saat yang lain tertidur.
Beruntung sang target tahu diri mencari tempat persembunyian yang terlihat normal tanpa harus dicurigai oleh masyarakat sekitar. Setiap rumah besar memiliki jarak satu sama lain, benar-benar menjadi keuntungan Jeno tanpa harus menimbulkan berisik kepada tetangga. Eksekusi di perumahan mungkin terbilang riskan namun Jeno bisa menyiasati dengan rapi.
Jeno berdiri di depan gerbang rumah tersebut. Sama seperti rumah lainnya, keadaannya tampak biasa biasa saja dari luar.
Sudah dibilangkan, Jeno tidak suka membuang waktu apalagi terlalu lama. Berbeka; hack kode yang diberikan Jaemin untuk membuka gerbang, Jeno melengos santai masuk ke dalam seperti masuk rumahnya sendiri. Jaemin bukan hanya mahir dalam meretas tapi juga memanipulasi CCTV seakan tidak ada penampakan Jeno berjalan di sana. Kadang Jeno bersyukur dia memiliki rekan sehebat Jaemin walau terlalu menyebalkan di saat tertentu.
Seperti yang ia sebutkan, jam malam sudah tiba dimana semua penghuni mungkin tertidur lelap. Tapi Jeno tidak akan menurunkan kewaspadaannya meski keadaan rumah ini sangat sepi, hal tersebut lebih memungkin baginya terperangkap jebakan tak terduga. Apalagi di rumah seorang kriminal.
Jeno berjalan hati-hati dalam gelap. Ia tidak membutuhkan penerangan apapun yang bisa membongkar keberadaannya. Kedua matanya seolah terbiasa mengendap dalam gelap tanpa pencahayaan sebab pekerjaannya selalu di tempat-tempat seperti ini.
Denah isi rumahnya pun sudah Jeno ingat-ingat, hanya tinggal menuntaskan eksekusi pada target yang mungkin tengah tertidur lelap di kamar bawah dekat tangga.
Ya persis dekat tangga hampir di ujung rumah yang sebelumnya melalui ruang singgah atau entahlah terlihat seperti ruangan untuk berjamu dengan banyak sofa berjajar apik. Jangan lupa juga tipikal rumah mewah dengan perabotan barang antik menghiasi sudut ruangan. Berkat posisi ruang yang berada di tengah rumah menjadikan interior penyangga di atas dihiasi balok kayu saling menyilang.
Namun dari hal tersebut juga yang membuat Jeno sadar.
Kakinya berhenti melangkah tepat sebelum jauh memasuki ruangan itu. ia menemukan tambang menggantung dengan juluran yang sangat panjang ke bawah.
Mengikat leher seseorang yang agaknya terkulai lemas.
"Cih! ... payah!"
"Payah terlambat lagi hm, ... Sir Jeno?"
Sebuah suara menginterupsinya dari kejauhan. Lebih seperti berasal dari arah dimana tali tambang menggantung tadi.
Kehadiran sosok lain yang bernyawa tak terdeteksi olehnya, begitu senyap bersembunyi dalam gelap.
Dia mewaspadai segala gerak-gerik yang dapat terasa dari sensoris tubuhnya. Meski rasa-rasanya ia seperti berhadapan dengan hantu; yang sungguh hawa kehadirannya tidak terasa. Belum lagi sebaris kata yang memojokkan harga diri Jeno tepat sasaran.
"Oops I'm NOT sorry," imbuh seseorang di sana sengaja. Terdengar tawa kecil menggelitik setelahnya.
Sepertinya hari ini berturut-turut kesialan menimpa Jeno.
"Kau... siapa sebenarnya?" ujar Jeno penuh selidik.
Lagi-lagi, meski dia terbiasa dengan gelap Jeno tidak dapat mengira apa yang tengah seseorang itu perbuat. Ia hanya menangkap balasan yang lagi, terdengar menyindir di telinganya.
"Suatu kehormatan pembunuh sekelas Sir Jeno menanyai diriku."
Di detik itu juga seketika lampu menyala dengan jentikan jari. Jeno meneleng cepat sekaligus menyiapkan ancang-ancang pistolnya yang sedari tadi ia tahan untuk tidak menarik pelatuknya.
Tapi ia merasa kesiagaannya lenyap ketika bertumbuk pandang dengan sosok yang berbincang bersamanya tadi. Bagaimana ada mata penuh binar yang dibayangnya selalu meminta harap pada bintang jatuh malah menatapnya nakal, alih-alih terlihat menggemaskan justru seksi.
Dan bagaimana pula tubuh sekecil itu memegang pistol yang kelihatan dua kali lipat lebih besar dari lingkar tangannya sendiri?
Apa Tuhan benar-benar meledeknya dengan mengirim rival yang tampak seimut ini?
Jeno menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Kau...su-"
"Perkenalkan Tuan, namaku Renjun." Balasnya memotong kata Jeno. Pria atau mungkin Jeno harus menyebutnya pemuda karena for god sake?! dia terlihat seperti anak sekolah tingkat atas di tahun kedua.
"T-tunggu, kau ini apa? pem... bunuh juga?"
Pemuda bernama Renjun itu dalam sekejap mengganti sorot matanya yang tenang menjadi sinis dan tajam. Ayunan langkah kakinya menuju Jeno tak terdengar suara ataupun gesekan, benar-benar yang ringan bagai menginjak awan. Belum lagi pistol yang masih menggantung di jemari kanannya. "Ya dan kalau kau menganggap tubuh kecil dan muka imutku ini yang tidak cocok sebagai pembunuh...," dia menjeda kata-katanya saat berada satu meter berhadapan dengan Jeno.
Lengan kanan sekurus ranting itu mengangkat perlahan. Segaris lurus dengan arah pandang Jeno yang tengah tertambat pada Renjun, sejurus moncong pistol yang diarahkannya pada muka Jeno. "Maka aku akan membuktikan, how capable I am to make you die."
Jeno mengerti sejak perubahan sorot mata pemuda itu, aura yang sama menyeramkannya saat ia serius membunuh. Dia tahu harus berhati-hati karena baginya pemuda di hadapannya ini sebanding.
"Sungguh menakjubkan kalau kau mau menunjukkan caramu membunuh dengan lenganmu err... yang lebih baik meraba penisku saja."
Jeno memiringkan sudut bibir, sedikit tersenyum jahil. Ia turut senang bagaimana lengan Renjun agak goyah begitu ia menggoda pemuda itu.
Renjun mengangkat sebelah alisnya, dia tertawa hambar sebelum berujar, "aku bisa melumpuhkan penismu dalam beberapa detik, kau yakin ... ini tidak akan membunuh kelelakianmu hm?"
"Aku suka jika kita bisa membunuh hasrat bersama...."
Gerakan tiba-tiba dari Renjun yang meloncat ke dalam pelukan Jeno membuat pria itu kelabakan menyudutkan ujung revolver di pelipis. Walau Renjun sendiri mengalungkan lengan kanannya yang masih memegang Glock 21 hingga menyentuh kulit leher Jeno juga. Yang pada akhirnya berganti polesan bibir kenyal.
"Gladly you got that signal, Sir." Alih-alih timah panas mengecap kulit Jeno melainkan bibir cherry yang sempat diliriknya begitu merekah menjelajah lehernya.
Jeno mengangkat tubuh Renjun, membawanya dalam gendongan menuju salah satu sofa. Tentunya dengan sembari mengecup sudut mata cantik yang sempat menawan kewarasan Jeno.
Tapi alih-alih Renjun bebas bisa mencumbu leher Jeno, pantatnya malah sedikit menghantam keras sofa dilapisi beludru merah di sana. Lelaki berbadan bidang yang mengangkatnya tak sungkan melempar (atau lebih tepatnya melepaskan gendongan) dia.
Mau tak mau, mereka kembali reflek mengacungkan pistol telak di depan muka masing-masing.
"I may got your signal but ... sorry not sorry, savor the lust yourself, baby." Ucap Jeno masa bodoh. Untuk Jeno, jarum jam yang beputar setelah-setelahnya menghabiskan waktu dia kali ini. Kalau dia tidak dapat apa yang harus dipecahkannya selain keduluan lagi, mungkin ia harus mengabaikan kehadiran Renjun yang mengganggu.
Dengan mencari sedikit apapun petunjuk tentang misi spesialnya.
Tapi...
"Mungkin dengan menikmati hasrat bersamaku, kau mendapat jawabannya, unless you really don't want it," Seolah tahu apa yang dicari Jeno, Renjun berujar enteng sembari merelaksasi badannya di sepanjang sofa tempat Jeno menjatuhkan dirinya.
Jeno menoleh tajam, matanya menatap nyalang, "you're totally desperate for a make out?"
"Yes or yes." Jawab Renjun asal sambil meraba bagian bawah sofa.
"Oh atau kau masih terlalu kesal karena gagal menembak kepala Bam Joo ditambah ... telat menangkap buruanmu hari ini?"
"Kau?"
Dari senjata api berganti jari menunjuk sangsi wajah Renjun yang tengah melebarkan sudut bibir. Jeno melihatnya seperti bukan senyum. "Kau melakukannya? Kepala Hong Bam Joo."
Renjun mengangguk, "tentu, kaliber peluruku membuat lubang yang manis di kepala pria tukang korup itu." tangan Renjun yang diam-diam meraba bagian bawah sofa kemudian secara spontan menarik sesuatu.
Lebih terlihat sebagai tambang yang ia temukan di atas plafon rumah. Jeno mengikuti kemana arah tali itu bersambung dan tepat sesuai dugaannya, satu rangkaian bersama tali yang menjerat leher Cha Sejun, si target pengedar narkoba.
Perlahan tali tersebut menarik tubuh Sejun yang sudah lunglai sedikit meninggalkan kursi yang sempat dipijakinya.
"Gantung diri huh?"
"Aku tidak ingin meninggalkan jejak."
Jeno kelihatan mengangguk paham. Dia tahu hal yang paling harus mereka lakukan dalam pekerjaan adalah membunuh, melukai, menggertak tanpa jejak.
"Kalau begitu ambil alih saja misiku ini, bye." Badan Jeno mulai berbalik meninggalkan Renjun walau nyatanya satu kalimat berhasil membuat ia berhenti.
"Dia paman tiriku."
What...
Mugnkin manusia biasa akan bersimpati atau menunjukkan empati betapa mirisnya hubungan keluarga yang harus gugur karena pembunuhan. Tapi Jeno bukanlah manusia biasa yang memiliki hati. Langkahnya hanya berhenti untuk sementara.
"Kau mencari hubungannya dengan jaringan penjualan ilegal bukan?"
Tapi lain pula dengan yang satu itu.
Kening Jeno mengernyit awalnya, misi yang seharunsya spesial tidak akan terasa istimewa jika ternyata ada yang mengetahuinya juga. Bahkan dalam posisi yang sama sebagai pembunuh bayaran.
"Sejauh ini aku tidak pernah mempermasalahkan hal kriminal apa yang telah dilakukannya karena aku juga begitu," Renjun kembali melonggarkan tali yang ia Tarik. Jeno cukup terkesima dan agak skeptis bagaimana tubuh yang soal ukurannya sebagai pembunuh bisa menanggung beban seorang manusia lebih besar darinya dengan mudah.
"Aku selalu bekerja sendiri tidak sepertimu yang terikat kelompok khusus jadi agak mengherankan ketika intelijen Korea memintaku menghabisi seluruh orang yang terlibat dalam jaringan penjualan ilegal bersama seorang partner yang mereka tunjuk."
"Mereka menunjukku?" tanya Jeno terdengar lebih kasual.
Pemuda itu mengangguk dengan surai pale pink yang melambai lembut.
Renjun mendesah pelan, ia melirik dari sudut ekor matanya, badan sang paman yang terkatung-katung lemah akibat obat tidur yang ia masukkan melebihi dosis. "Pamanku hanyalah bagian kecil dari jaringan itu, titel pengedar narkobanya cuma kedok untuk menutupi bagaimana ia melayani permintaan pembelian barang terlarang bahkan transaksi organ dalam juga manusia hidup pada petinggi elit negara."
"Pantas saja intelijen yang meminta, berapa orang tikus kira-kira yang terlibat?" Jeno mungkin sudah biasa berhadapan dengan tikus berkantong adikuasa dan jabatan. Menjadi hal yang lumrah, kalau-kalau para petinggi masih ada yang melakukan kerja kotor. Tapi misi ini terlihat baik untuk sekelasnya yang suka menembakan kepala orang asal tanpa melihat baik buruknya.
"Aku... belum menyelidikinya, kupikir misi ini memang tidak bisa dikerjakan sendiri." Ungkap Renjun setengah datar.
Ekspresi Jeno menunjukkan ketertarikan, mungkin kali ini ia bisa bermain detektif, yang tentunya bukan memecahkan ujung masalah tapi menghabisi yang salah. "Lalu apa yang ku dapatkan dari melakukan misi ini? Kau tau reputasiku tidak hanya bekerja untuk uang."
Jeno benar-benar yakin baru bertemu orang tipikalnya seperti Renjun. Dari sekian perjumpaannya dengan yang sesama profesi, Renjun-lah yang bisa menahannya selama ini. Pemuda dengan wajah cantik itu tertawa renyah menanggapinya, seolah melupakan mereka baru saja sama-sama menodongkan pistol.
Renjun berdiri mendekatinya hingga hampir menghapus jarak. Entah godaan apalagi yang berusaha pemuda itu lancarkan setelah kakinya terus bergerak tak sengaja menendang milik Jeno selama perundingan.
Elusan perlahan membelai rahang Jeno, menggelenyarkan sengatan sensitif yang merangsang aktif ke pusatnya. Ia tahu sejak awal lampu menerangi, Renjun sudah mengirimkan ketertarikan sensualitas pada dirinya. Jujur saja ia telah lama tidak menghabiskan waktu menuntaskan hasratnya selama beberapa bulan ke belakang.
"Mungkin wajahmu bisa muncul di ajang pencarian bakat setelah hilang dari laman buron." Renjun mengakhiri elusannya pada rahang Jeno dengan bunyi 'plop' kecil di sudut kanan menggunakan bibir mungilnya.
Mengabaikan fakta target mereka Cha Sejun belum benar-benar mati, Jeno menyosor bibir Renjun yang sudah mengecapnya dengan terburu-buru. Anehnya baik pria maupun wanita yang pernah bercumbu bersamanya tidak ada yang secandu bibir Renjun.
Benda kenyal hampir senada dengan warna rambut Renjun dikulumnya atas-bawah. Rasa lavender yang tercecap manis agak sedikit gurih membuat Jeno terus melesakkan paksa lidahnya. Penasaran. Jeno penuh rasa penasaran akan Renjun, seseorang yang mencuri perhatian di awalnya berjumpa.
Tidak puas rasanya bermain di permukaan bibir mungil yang memanjakan hasrat Jeno, lantas lidah tak bertulangnya menyerobot dalam rongga mulut Renjun. Mengeksplor entah memporakporandakan isi di sana.
Sementara Renjun melingkarkan lengan bergelayut manja di leher Jeno, ia sendiri terus bereaksi membalasi lumatan Jeno pada bibirnya. Kadang mengigit balas lidah Jeno yang kurang ajar membuat tenggorokan tersedak.
Tapi entah sejak kapan posisinya dengan Renjun berputar. Sadar-sadar pemuda mungil itu sudah mendorongnya begitu saja pada sofa. Menaiki pangkuannya dan kembali menyatukan dua bibir dalam kuluman.
Jeno tidak akan protes soal bagaimana Renjun si pemuda kecil yang malah mendominasi. Justru rasanya semakin menarik untuk benar-benar saling membunuh hasrat.
Ia membiarkan Renjun bersemangat melumat bibirnya hingga basah dan meninggalkan jejak merah gigitan hampir di ujungnya. Yang membuyarkan fokusnya, gerakan Renjun yang menggebu tanpa disadarinya menggerakan seluruh badan pemuda tersebut. Renjun yang naik turun di atas sambil menciumnya tak sadar telah menggesek kejantanan Jeno di balik celana dengan pantat yang terasa penuh itu.
Suara Jeno menggeram tertahan, tangannya menjelajah kulit punggung Renjun yang ia ekspos. Baju yang masih terpasang asal menghalangi ketika jemarinya mempermainkan nipple Renjun, apalagi Jeno juga merasakan ketegangan saat merabanya. Lantas ia berusaha menyingkir kemeja Renjun di tengah pemiliknya kini menyesap rahang meski tak benar-benar lepas.
Helaian rambut Renjun menggelitik wajah Jeno dengan aroma sitrus menusuk penciumannya kala lumatan pemuda itu terus turun. Ia yakin beberapa sesapan meninggalkan jejak kemerahan; kissmark di area adam's applenya. Apalagi ujung jemari Renjun begitu menggelitik kulit yang semakin membuatnya terangsang.
"Hey boy...biarkan aku melihat badanmu." Manik Renjun menatap sayu sembari jarinya memilin kemeja Jeno. Bibirnya mengkerut ke bawah seolah sedih.
"Alright, sugar! Let's do the naked party!" balas Jeno setelah mencuri kecup di pucuk hidung Renjun. Jari jemarinya aktif (tergesa-gesa) menanggalkan kemeja bahkan celana yang masih membalut kaki ramping Renjun.
Pemuda bersurai pale pink menatap terkesima penampakan tubuh Jeno setelah baju-baju mereka dilucuti, ia meraba kagum pada bentuk yang tercipta menunjukan ke-maskulinitas-an Jeno. Bahkan jika Jeno tidak menenggelamkan kepalanya di ceruk selangka, Renjun masih ingin bersandar atau mungkin mengecap otot perut Jeno.
Bibir Jeno ingin mengeksplor rasa Renjun lebih dalam, ia menelusuri garis tulang selangkanya, sampai pucuk nipplenya yang dikulum dalam, meninggalkan sensasi menggelenyar ke seluruh tubuh. "Yours taste good," gumam Jeno di tengah kulumannya pada nipple Renjun.
"Tentu, aku jarang-jarang membagikan kenikmatan tubuhku pada sembarang orang." Ujar Renjun agak tertahan, ia sibuk menahan lenguhan dari cumbuan Jeno serta gesekkan kulit beradu kulit kejantanan mereka yang sudah tak berbalut kain. Rasanya semakin menyiksa, panas membakar di seluruh tubuh menjadi-jadi.
"So I was not 'sembarang orang' bagimu?" Jeno tiba-tiba menarik beberapa helai rambut pink Renjun ke belakang. Satu tangan lainnya mengelus paha dalam Renjun yang telah dibukanya sedikit.
"I-iya ... kurasa," Renjun menggigiti bibirnya sensual, satu titik vital membuatnya menggelinjang begitu jemari tangan yang sempat mengelus pahanya menelusup ke dalam. "But i know you have something that-Akh BIG!"
Jeno menyeringai bangga, telunjuknya mengacaukan langsung dalam lembah kenikmatan yang Renjun bilang. Mengaduk-ngaduk sisi dinding penuh sensitivitas gairah panas. Ia kembali meraup bibir cherry itu dengan kasar, Jeno memagut belahan bibir Renjun hingga bengkak bersamaan jarinya yang masih bergerak di dalam mencari titik kelemahan pemuda itu.
"Akh-" Renjun mendesah kala kenikmatan berlomba menghajarnya tanpa ampun dari berbagai titik. Perlakuan Jeno memabukannya hingga ke nirwana duniawi, antara sweetspotnya yang ditekan keras kala pria bersurai hitam menemukannya atau ciumannya yang tak sanggup lagi Renjun imbangi.
"Do you want to feel how big I am in you?"
Renjun melirik Jeno dengan setengah matanya terbuka, "YES-ARGGH!"
Ia hanya sanggup mengerang waktu Jeno memasukkan tiga jari terpanjangnya menusuk titik pusat secara tiba-tiba. Pria itu terus memprovokasinya dengan sentuhan, belain bahkan tumbukkan jari hingga kepalanya pening dan berkunang-kunang menerima seluruh rangsangan. Bola matanya memutar hampir menjumpa bayangan putih ketika rasa mendesak ingin keluar di bawah sana Jeno hentikan begitu saja.
"Jeno...?"
"Show off your ability, princess!"
Well, karena Jeno meminta, jangan salahkan kalau rasanya sangat menyiksa jika Renjun yang melakukan.
Pemuda itu melangkah turun dari pangkuan Jeno, membiarkan kakinya yang polos menyentuh dinginnya marmer lantai. Pipi Renjun sedikit mengembang dengan kemerahan menghiasi begitu tiang tegak menghadap wajahnya. Ia menyentuhkan jemarinya yang semakin terlihat kecil di kejantanan Jeno amat pelan. Bagi Jeno seperti digelitiki kaki kaki seribu yang kecil. Pria bersurai hitam tersebut menggeliat kala ujung jari Renjun meraba-raba samar miliknya.
Lantas Renjun tersenyum miring sebelum memberikan kecupan singkat di pangkal kejantanan Jeno. Meski agak terkesiap begitu diameter tak biasa milik Jeno memasuki mulutnya yang bahkan tidak muat sampai setengahnya, Renjun menyengir mengeluarkan giginya menggesek-gesek pelan kulit kemaluan Jeno.
Rasa frustasi sedikit mendera Jeno, ngilu namun membakar seperti efek listrik yang menyengat. Menghantarkan ombak gelinjang di seluruh tubuh Jeno.
Renjun tiba-tiba meremas sisa kejantanan Jeno yang tidak masuk di mulutnya dengan genggaman tangan yang mungil, menyebabkan empunya reflek mendorong penisnya hingga membuat ia tersedak. Kulumannya terhadap kejantanan Jeno terus belanjut meski perih terasa di pangkal tenggorokkannya. Mulut Renjun seperti mencecap es krim, menjilatnya, meninggalkan tekanan di lubang penis kemudian mengulumnya lagi.
"ARGH!-SIAL RENJUN~" Jeno mengumpat keras. Ia menarik lagi helaian rambut pink itu hingga Renjun terlepas dari kulumannya.
"Let's start the game sugar! Aku ingin merasakanmu!"
Gerakan kelewat cepat tidak bisa mata Renjun tangkap, tau tau dia sudah kembali di pangkuan Jeno. Kulit mereka yang saling bersentuhan semakin membakar seperti besi yang dipanaskan, panasnya menyebar seketika.
Jeno mengangkat pinggul Renjun tepat di atas kebanggaannya yang telah berdiri tegak. Ia menghantarkan stimulan dari usapannya pada pinggul pemuda tersebut yang dihadiahi kecupan singkat Renjun sebelum Jeno benar-benar meloloskan kejantanannya dalam lubang pemuda manis itu.
Tanpa aba-aba, Jeno menurunkan pantat Renjun tiba-tiba, melesakkan penisnya penuh dalam sekali hentak. Renjun mengerang keras kala merasakan lubangnya yang sempit bertambah sesak ditambah kejantanan Jeno. "F*ck, terlalu dalam Jeno!"
"Yours incredibly BIG, Jen!"
"No, sweety-argh! Sempit sekali!"
Jeno menarik tengkuk Renjun, melampiaskan hasrat yang menyerang titiknya lewat ciuman panas sesaat. Kejantanannya di bawah sana masih menghentak pelan lubang Renjun namun menelusup dalam. Mengiris dinding sensitif hole Renjun tanpa ampun.
Sejak awal melihat siluet Jeno yang dikirim oleh intel, Renjun tahu pria ini tidak akan mengecewakannya baik dikerjakan maupun urusan hasrat. Ia terentak-entak kasar semenjak gerakan Jeno menjadi belingsatan. Tumbukan, kecipak basah kemaluan mereka yang beradu meramaikan rumah Cha Sejun.
Tumbukan Jeno jadi semakin tidak beraturan begitu pinggul Renjun diangkatnya; semakin memperjelas keluar masuknya kejantanan pria tersebut. Ia menarik tubuh Renjun dalam pelukannya, membuat Jeno bertatap langsung dengan nipple pemuda cantik itu. Mulutnya bergerilya laknat mencumbui nipple Renjun sembari terus menusuk sweetspotnya cepat.
"SIAL-ugh JENO! SIAL!" lenguhan Renjun menggema tepat di daun telinga Jeno. semakin merangsang Jeno mempercepat gerakannya di dalam sana. Alih-alih sakit merasakan kuku jari Renjun yang menancap di pundaknya, Jeno merasakan aliran cepat nan panas mendorong di dinding lubang partnernya. Hole Renjun menjepit miliknya kuat-kuat. Ia memaksimalkan temponya makin memburu ketika nikmat duniawi sudah di ambang gerakan.
"Kauhh... kurang ajar Jenhh! Terlalu-akh cepat!" Renjun berusaha menaik-turunkan tubuhnya, berbenturan arah dari kejantanan Jeno yang terus menghantam prostatnya cepat. Ia terus melenguh mendesah di atas tubuh Jeno yang mendominasi.
"Jenh~ argh-aku ingin membunuh pa-manku! AKH aku ma-"
"Sh*t sugar! I'm out!!!" teriak Jeno menancapkan penis penuhnya di dalam Renjun saat pelepasan. Suaranya menggeram rendah merasakan gelombang hasrat yang menderanya seperti tidak habis-habis.
Renjun malah terkulai, habis energinya bersandar di dada Jeno, membiarkan dirinya pasrah dikecupi bibir pria pertengahan 20an di sekitar wajah.
Gelenyar-gelenyar sehabis pelepasan di titik vital mereka terus berkedut, memberikan efek candu yang sulit dihilangkan. Meski keduanya berangsur-angsur stabil tapi jujur saja rasa nikmat mereka bercinta bahkan saat pelepasan masih membekas di setiap inchi tubuh Jeno dan Renjun.
Jeno membelai ke belakang surai pink Renjun yang basah, bibirnya meloloskan kecupan ringan di kening terbuka pemuda manis itu. "Jadi seperti ini rasanya orang-orang yang bukan sembarang menikmatimu?"
"Seperti yang kau rasakan, Sir."
Renjun menyamankan diri dalam pangkuan (serta sandaran) Jeno sembari menyeringai akan reaksi pria tersebut yang kelewat kaget tanpa bisa berkata-kata. Meski berarti sedikit janggal menggeser pantatnya yang masih dimasuki kejantanan Jeno.
'Dasar Pria memang suka berlama-lama di dalamnya...,'
"Wow sugar...,"
Dia suka bagaimana ekspersi dingin dan datar Jeno kini berganti kagum serta pupil melebar dan bibirnya yang pria itu jilat sensual. Seperti kemenangan telah mendapatkan pengakuan seorang yang sangat penting.
"Tapi aku tidak ingin berbagi!"
"Huh?"
Mendadak tubuh Renjun terangkat dari pangkuan Jeno menyisakan bunyi khas terlepas milik Jeno darinya. Ia menempatkan Renjun duduk di sampingnya dengan mudah seolah memindahkan boneka. Kemudian Jeno melepas cincin yang tertaut di jarinya, berpindah secepat kilat memasangkan cincin di lingkar jari manis Renjun.
"Let's get married, Renjun!" ujar Jeno serius.
Renjun? Renjun tentu saja tidak mengerti. Mereka hidup di lingkungan dimana sebuah ikatan itu tidak berarti apalagi untuk mereka yang hidup di tengah buron, memimpikan hidup normal seperti orang biasa saja tidak pernah.
"Kau gila Jeno? Apa pentingnya kau menikahiku huh!?"
Jeno mengendikkan bahu, dia tetap menatap lurus mata Renjun yang skeptis padanya, "kau dan aku tidak hanya cocok soal hasrat atau pekerjaan, mungkin juga tentang kebersamaan."
Kepala Renjun menggeleng-geleng bingung, ia menepis Jeno yang sepertinya akan berbicara lagi, "terserah! Kita urusi dulu saja pamanku."
"Aku ingin dia mati sekarang!" titah Renjun seraya menunjuk pamannya yang masih bertahan di sisa napasnya.
"With your pleasure, Majesty." Jeno membungkukkan badannya pada Renjun seolah dia Yang Mulia. "Itu mudah, Renjun" ucapnya sesaat setelah berbalik lantas menarik tambang dekat kaki mereka. Dengan kekuatan penuh jeno menarik sekali tali serta tubuh Cha Sejun ke atas. Ia mengikatkan kuat-kuat talinya tiang penyangga, membuat seolah kejadian itu benar gantung diri.
Jeno berbalik dengan senyum lebar mematikan ke arah Renjun dan berkata, "done, sugar."
Renjun, pemuda bersurai pale pink menyungging sudut kanan bibirnya, ia menyeringai dengan tatapan sulit diartikan.
"Baiklah ayo kita menikah dan mulai misinya."
.
.
.
끝
.
.
.
JenRen multimedia from South Korea's Companion sales screencapture (Clean edited by dyorchestra)
*For God sake: Demi Tuhan
*You want me getting arrested: Kau ingin aku tertangkap
*They said it was his pressure: Mereka mengatakan itu karena tekanannya
*You got a jackpot: Kau mendapat jackpot
*I'm NOT sorry: Aku tidak menyesal/Aku tidak meminta maaf/Aku sengaja
*How capable I am to make you die: Bagaimana aku mampu membuat kau mati
*Gladly you got that signal, Sir: Dengan senang hati kau mendapat sinyal itu, Tuan
*I may got your signal but ... sorry not sorry, savor the lust yourself: Aku mungkin mendapat sinyalmu, tapi maaf saja, nikmati nafsumu sendiri
*Unless you really dont want it: Kecuali kau benar-benar tidak menginginkannya
*You're totally desperate for a make out: Kau benar-benar putus asa (ingin) bercinta
*Let's do the naked party: Ayo kita lakukan pesta telanjang
*Show off your ability: Tunjukan kemampuan
*Yours incredibly big: Milikmu luar biasa besar
*With your pleasure, majesty: Dengan senang hati Yang Mulia
• Troli Janitor: Troli berisi rak yang bisa menampung barang kotor beserta bag sampah
• Kaliber: Ukuran/Diameter peluru
Hello... how? Ini mau 5k words loh
Aku gamau banyak cuap cuap karena dah pusing juga apasi ngaco yg aku tulis -_--_-_-_-
Kalau ada salah tanda baca, arti atau bahkan pemakaian kata dan istilah yang ih didi ni sotoy feel free to komen buat ingetin
Hehe pwp banget astagfirullah
Semoga nanti deh bikin yg versi sweetnya
Okay cukup deh
Jangan lupa vote and comment
Sampai ketemu di ff selanjutnya, adios~~
Sekian dan Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top