Bagian Kedua
: Perjalanan :
Satu jam kemudian kami sudah menempati shinkasen yang akan membawa kami ke stasiun Shin-Osaka, Osaka. Shinkasen Nozomi— shinaksen tercepat— itu penuh, sesuai dugaanku. Gerbong yang dipesan Kazunari sangat nyaman dan ia harus membayar lebih untuk itu— karena kami tidak perlu repot-repot datang cepat dan mencari tempat duduk. Hal yang membuatku tidak keberatan sama sekali adalah fakta bahwa tidak kukeluarkan bahkan satu Sen pun dalam perjalanan ini.
Kursi kami bersebelahan, empuk dan bagian bawahnya lebar hingga kakiku bisa berselonjor. Pemandangan di balik jendela di sebelahku adalah langit muram dan daun-daun kemerahan yang terapung-apung di permukaan danau. Di sampingku Kazunari tepekur sambil membaca majalah yang dilipatnya dan dijepitnya di bawah lengan semenjak tadi. Entah dari mana ia mendapatkan bacaan tersebut, mungkin dari kios di stasiun Tokyo.
Pria berusia dua puluh lima tahun itu menumpukkan kaki kirinya di atas kaki lainnya, ia sudah berganti pakaian dan mengenakan kemeja semiformal berwarna kelabu, celana kainnya berwarna hitam dan kedua kakinya melesak di dalam sepasang sendal. Untuk alasan yang kutebak karena dingin, Kazunari mengenakan masker.
“Kapan kita akan tiba?” Tanyaku, saat melihat Kakakku itu menutup majalahnya dan meletakkan benda itu di selatan kursinya.
“Sebelum tengah hari,” Jawab Kazunari tanpa melihat arlojinya. “Kenapa? Kau bosan?”
“Sedikit,” Jawabku dan ia tersenyum.
“Percayalah,” Katanya dengan nada meyakinkan, “Sebentar lagi rasa bosan itu akan sirna dan kau tidak akan melupakan hari ini,” Ujarnya abstrak. Aku mengerutkan kening tak paham, selama beberapa saat menunggu Kazunari untuk melanjutkan perkataannya—yang kupikir terpotong tersebut.
“Kita akan menonton pertunjukan Kyogen,” Katanya, dan matanya tampak berbinar-binar senang. “Kita akan menyaksikannya di teater Yamamoto Nohgakudo. Aku sudah melihat review di internet dan sebagian besar hasilnya memuaskan.” Kazunari mendesah puas dengan pilihannya, ia memejamkan matanya dan Aku tak tahu apa yang ia pikirkan sampai-sampai tersenyum sendiri.
Aku bergumam panjang, kemudian manggut-manggut paham dan mengalihkan pandanganku ke luar jendela.
“Kenapa tidak membicarakan Ini dulu, sih,” Protesku tanpa memandang Kazunari, pria berambut hitam itu berjengit.
“Apa?” Katanya.
“Soal ini ….” Kutatap matanya yang berwarna sama dengan rambut, “bukannya Aku tidak mensyukurinya, hanya saja … kau bisa membicarakan ini terlebih dahulu, kan? Setidak-tidaknya Aku ingin meringankan ongkos perjalanan,” Kataku. Walau senang karena jarang-jarang sekali Kakakku itu akan mentraktir besar-besaran seperti ini, namun Aku bukan orang tak tahu diri yang senang-senang saja tanpa peduli. Aku bisa membantu membiayai perjalanan ini, pekerjaanku mapan dan gajiku memuaskan. Kalau saja Kazunari menceritakannya Aku bersedia membayar setengah dari biaya yang ia keluarkan.
Kakakku itu berkedip, ia kemudian terkekeh pelan mendengar penuturanku. “Tidak. Bukan bermaksud menyinggung perasaanmu, [Name],” Katanya sambil menepuk-nepuk kepalaku lembut, “Kau kelelahan, bukan? Dan butuh refereshing. Karena itulah Aku tidak menceritakan perjalanan kita kali ini, Aku ingin memberikanmu kejutan. Jalan-jalan di musim gugur seperti ini, naik shinkasen dan menonton pertunjukan favorit kita sedari kecil dapat melepaskanmu dari keletihan itu.” Ia menjauhkan tangannya.
“Jadi biarkan saja Aku membayarnya untuk kali ini, ya.”
Harus kuakui uangnya memang lebih banyak dariku, posisinya di perusahaan yang bergerak dalam industri periklanan benar-benar bagus sekali. Kalau tak salah ingat ia sudah melunasi pembelian apartemennya dan memulai investasi di sana.
“Kenapa tidak sekalian ajak pacarmu?” Tanyaku dengan sedikit seloroh, selama beberapa saat Kazunari tidak menjawab. Ia kemudian menarik turun maskernya, wajahnya bersemu tipis dan Kakakku itu tertawa.
“Ini kan liburan keluarga,” Katanya. “Nanti kalau Aku sudah menikahi kekasihku itu baru kita pergi bersama-sama. Kau juga, carilah pacar.” ia berkelakar. Dan, kami tertawa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top