Part Tujuh

Keesokan harinya ....

Seruni sudah kembali ke rumahnya dalam keadaan tubuh yang sehat. Dokter mengatakan gadis mungil itu sudah baik-baik saja, hanya perlu membutuhkan istirahat lebih untuk memulihkan kondisi tubuhnya yang sempat tidak stabil. Dokter juga menyarankan agar Seruni tidak terlalu banyak beban pikiran. Namun, apakah gadis itu bisa?

Seruni tersenyum bahagia saat punggung mungilnya menyentuh kasur kecil yang selalu setia menemani malamnya yang penuh dengan mimpi. Gadis itu mengusap pelan permukaanya yang sedikit berdebu. Nampaknya selama dia masuk rumah sakit tidak ada yang peduli dengan kondisi kamarnya.

Seruni menoleh ke samping kanan, tepatnya ke arah meja kayu usang yang bisa digunakan untuk belajar. Dengan langkah gontai Seruni mulai mendekati meja belajar itu, lalu ia mendaratkan tubuh di kursinya. Di atas sana terdapat foto keluarga saat ia dan sang kakak masih kecil. Semua yang ada disana tersenyum bahagia, kecuali Seruni. Perlahan tangan lentiknya mengusap permukaan bingkai foto tersebut dengan perasaan hati tidak menentu.

"Mah, Pah, kapan Seruni bisa seperti Kak Lila yang selalu kalian manjakan?" tanyanya, padabingkai foto itu. Kedua matanya mulai mendung.

"Apa Seruni tidak pantas mendapatkan itu semua?" tanyanya lagi. Suaranya kian serak dan berat dadanya pun mulai sesak ketika membayangkan masa kecilnya diperlakukan tidak adil.

Seruni meletakkan bingkai foto tersebut, lalu ia beralih pada beberapa medali emas yang dia dapatkan sewaktu sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Beberapa olimpiade ia menangkan dengan hasil yang memuaskan, tetapi pencapaian yang sudah Seruni raih tidak juga membuat kedua orang tuanya peduli padanya.

Gadis mungil itu menghela napasnya pelan, mencoba mengurangi rasa sesak di dalam sana. Sepenggal ingatan menyedihkan itu sering kali membuat Seruni enggan mengingat keluarganya. Seruni selalu berangan, andai saja nenek dan kakeknya masih di sisinya, pasti keadaan yang Seruni lalui tidak akan seberat ini. Akan tetapi, itu tidak akan pernah terjadi karena mereka berdua sudah tenang di sisi-Nya.

"Seruni."

Suara yang berasal dari balik pintu kamarnya yang tertutup itu membuat Seruni tersentak. Gadis itu beranjak dari duduknya untuk melihat siapa yang datang berkunjung ke kamarnya.

"Eh, Papa." Gadis itu membuka pintu kamarnya lebar-lebar supaya Hadrian bisa masuk dengan leluasa.

"Kamu lagi apa?" tanya Hadrian, sembari duduk di pinggiran ranjang sang putri.

"Kasur kamu sangat keras, sudah waktunya diganti," ujar Hadiran. Saat duduk lelaki itu tidak merasakan kenyamanan sama sekali. Apakah setiap malam putrinya merasakan hal yang sama? Begitu lah hatinya bertanya.

Seruni tersenyum, "Tidak usah Pah, kasur ini menyimpan banyak kenangan."

Hadrian diam, di dalam hati lelaki itu sering bertanya pada dirinya sendiri, sebenarnya hati Seruni itu terbentuk dari didikan siapa? Mengapa hatinya sangat lembut dan lapang?

"Kamu tidak istirahat?" tanya Hadrian mencoba memecahkan keheningan yang sempat terjadi di antara mereka. Anak dan orang tua sedang berbicara, tetapi mereka terlihat canggung seperti orang asing yang baru saja bertemu.

"Selama beberapa hari di rumah sakit membuat pola tidur Seruni cukup baik karena pengaruh obat tidur, Pah," jawab Seruni, masih dengan senyuman. Meskipun begitu, ucapan Seruni bagaikan tamparan untuk Hadrian.

"Memangnya selama ini kamu tidak tidur dengan baik?" tanya Hadiran, sangat hati-hati. Melihat wajah putrinya setiap hari tersenyum membuat perasaan Hadrian seperti terhantam. Ia tahu, dibalik senyuman itu terdapat luka yang mendalam sampai tidak bisa terobati.

"Apakah setiap pagi wajah Seruni selalu terlihat segar seperti orang pada umumnya?" gadis itu balik bertanya dan membuat Hadrian seketika terdiam.

Seruni lagi-lagi menghela napasnya kasar, diamnya sang papa membuat dada Seruni kembali merasa sesak dan panas. Namun, gadis itu selalu menutupi semuanya dengan senyum kepalsuan.

"Papa tidak berangkat ke kantor?" tanya Seruni, untuk mengalihkan pembicaraan.

Hadrian menggeleng lemah, "Semakin hari keuangan kantor menurun, Papa tidak tahu lagi harus bagaimana mengatur keuangan itu," jelas Hadiran, membuat Seruni bungkam.

"Padahal Papa sudah mengaturnya dengan baik, tetapi tetap saja setiap bulannya keuangan selalu menurun drastis," imbuhnya, wajah Hadrian semakin terlihat sedih.

Diamnya Seruni bukan berarti gadis itu tidak peduli dengan cerita sang papa. Justru sebaliknya, ia ingin memulihkan kondisi keuangan sang papa dengan caranya sendiri. Seruni kembali berpikir, apa mungkin dia harus lanjut berlatih biola untuk ajang kompetisi internasional bersama dengan Awan? Begitulah pikirnya berkata.

"Pah, kenapa Mama dan Papa selalu melarang Seruni untuk bermain biola? Padahal kalian semua tahu itu adalah hobi Seruni sejak kecil yang diwariskan Nenek saat beliau masih hidup."

Ucapan Seruni mampu membungkam kedua bibir Hadrian rapat-rapat. Lelaki itu menghela napasnya sebelum akhirnya berucap.

"Sebaiknya kamu pendam dalam-dalam mimpi kamu itu. Kamu tidak akan bisa berkompetisi nantinya. Kamu harus tahu kondisi kamu yang penuh kekurangan itu. Jika nanti terjadi apa-apa, pasti keuangan Papa akan kembali terkuras. Memangnya Mama dan Kakak kamu mau hidup miskin? Tidak 'kan?"

Seruni membutuhkan waktu beberapa detik untuk menarik napasnya dalam-dalam. Lagi-lagi gadis itu mencoba menutupi kesedihannya. Apakah terlihat sepayah itu dirinya di hadapan para keluarga? Hancur sudah hatinya, tetapi bukan Seruni namanya jika gadis itu hanya diam saja. Ia akan membuktikan bahwa apa yang dipikirkan keluarganya itu tidak benar.

"Apakah Papa hanya memikirkan perasaan mereka?" tanya Seruni, membuat Hadrian terdiam.

"Pah, apakah Seruni lahir ke dunia adalah sebuah kesalahan besar?" gadis itu bertanya dengan suara yang lirih serta pandangan sendu saat menatap sang papa.

"Tidak! Hanya kami saja yang tidak bisa menerima takdir. Kamu tahu kan Papa dan Mama sangat menginginkan anak yang sempurna? Contohnya seperti Kakakmu, Dalila."

Seruni mengangguk lirih, hatinya kembali menahan rasa perih di dalam sana, nampaknya ada sesuatu yang kembali tergores, namun Seruni sudah biasa merasakannya.

"Kami bisa menerimamu, asal kamu kembali terlahir dalam keadaan sempurna tanpa kelainan," sambung Hadrian, lalu lelaki itu beranjak dari duduknya.

"Tetapi itu tidak bisa," imbuhnya, kemudian lelaki itu pergi dari kamar sang putri.

Sepeninggal Hadrian, tangis Seruni kembali pecah. Ia menekan dadanya agar bisa mengurangi rasa sesak di dalam sana. Sakit, hatinya kembali berdarah karena ucapan orang tuanya sendiri. Selucu ini kah kehidupan? Seruni tertawa seorang diri, mengolok dirinya atas ketidakberdayaan yang selama ini ia alami.

***

Keesokan paginya, seperti biasa Seruni selalu tenang menghadapi ketidak adilan yang dia dapatkan dari keluarganya. Senyum yang selalu bertengger membuatnya merasa aman dari cemoohan semua orang. Langkah kakinya ringan menuruni anak tangga, kali ini ia tidak bergabung dalam meja makan yang selalu hambar di setiap harinya. Ya, gadis itu sedikit terlambat akibat semalaman penuh tidak bisa memejamkan matanya.

"Mah, Pah, Kak, Seruni berangkat ke sekolah dulu ya," ujarnya, sejenak menghentikan langkahnya berharap ada sahutan, tetapi yang ia tunggu tidak sesuai dengan harapan. Seruni mengangguk pilu, lalu gadis itu kembali melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah yang terasa neraka baginya.

Di sepanjang jalan yang Seruni lalui menggunakan angkutan umum, sepanjang itu pula tatapannya kosong. Ia sedang merenung, berpikir bagaimana caranya bisa mendapatkan uang untuk membantu perekonomian keluarga. Meskipun pada akhirnya ia tahu, kerja kerasnya sedikit pun tidak pernah dilihat oleh kedua orang tuanya.

Bisa kalian baca sampai tamat dan gratis di fizzo.

Judul : My Arrogant Boss
Chokolate_21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top