Part Tiga
Pagi hari kembali menyapa, Seruni keluar dari dalam kamarnya mengenakan seragam lengkap putih abu-abu dengan keadaan wajah pucat pasi. Tubuhnya tiba-tiba saja melemah saat ia selesai sholat subuh, tetapi gadis itu tetap memaksakan diri untuk masuk sekolah.
"Kenapa lo?" tanya Dalila, menatap heran sang adik yang baru saja keluar dari kamar.
Seruni menggeleng, "Aku tidak pa-pa kok, Kak. Jadi, Kakak tidak usah khawatir," jawab Seruni, bersama senyum yang menghiasi wajahnya.
"Siapa juga yang khawatir sama lo. Mau lo mati kek, mau lo sakit kek, emang gue peduli? Enggak!" lalu Dalila melenggang pergi menuruni anak tangga.
Seruni hanya diam di tempatnya hanya senyum kecil. Ia baru saja sadar, bahwa tidak satupun keluarga yang menganggapnya ada.
Seruni menghela napasnya pelan sebelum gadis itu ikut turun untuk melakukan ritual sarapan bersama. Sebenarnya tidak ada yang berkesan dari rutinitas itu, tetapi untuk menghormati kedua orang tuanya Seruni rela menjadi orang asing di sana.
"Run, kamu kenapa?" Hadrian menatap sang putri dengan kening mengerut. Sontak lelaki itu berdiri guna memeriksa suhu tubuh Seruni memastikan keadaan sang putri.
Seruni menurunkan tangan kanan sang papa, lalu ia melemparkan senyum termanisnya agar terlihat baik-baik saja, "Seruni tidak pa-pa kok, Pah. Papa tidak usah khawatir ya."
"Eh, lo pikir Papa khawatir sama lo. Jangan terlalu berharap deh!"
Lagi-lagi ucapan Dalila membuat hati Seruni tertusuk, tetapi Seruni hanya bisa diam tidak menanggapi. Percuma saja dia menanggapi, karena pada akhirnya Seruni yang akan mengalah. Semua orang tidak pernah berpihak kepadanya hanya karena kekurangan itu.
"Sudah-sudah, ayo sarapan." Hadrian mencoba untuk melerai pertengkaran yang hampir setiap hari terjadi. Lelaki itu kembali duduk untuk melakukan sarapan pagi.
Suasana di atas meja makan itu terasa dingin, begitu terus di setiap harinya tidak pernah berubah. Bahkan Seruni tidak bisa mengenali keluarganya sendiri. Sejak kecil selalu dipaksa menjadi seseorang yang bisa melakukan apa-apa sendiri membuat Seruni sudah biasa dengan kesendirian. Bohong jika Seruni tidak menginginkan perhatian dari keluarganya, gadis itu juga ingin merasakan apa yang teman-teman sebayanya rasakan.
"Mah, Pah, Seruni berangkat ke sekolah dulu ya."
Kedua orang tuanya hanya mengangguk tanpa menatap Seruni. Gadis itu menghela napasnya pelan, menahan perih di dalam sana. Lalu gadis itu pergi begitu saja tanpa mencium punggung tangan kedua orang tuanya. Penolakan yang setiap hari ia dapatkan membuat gadis itu paham apa yang harus dia lakukan. Karena percuma saja memaksa apabila pada akhirnya dia kembali tertimpa amarah dari kedua orang tuanya.
***
Seperti biasa Seruni berangkat ke sekolah menggunakan angkutan umum yang memerlukan waktu kurang lebih tiga puluh menit lamanya. Setelah menempuh perjalanan yang cukup memakan waktu, akhirnya angkutan umum yang Seruni naiki telah sampai di depan pintu gerbang sekolahnya.
Langkah gadis itu sempat terhenti di depan pintu gerbang sekolah, tiba-tiba saja ia merasakan kepalanya berdenyut lebih sakit dari biasanya. Penglihatannya mulai berkunang-kunang, tetapi gadis itu tetap memaksakan langkahnya.
"Astaghfirullah, Seruni!"
Jika saja Farrah tidak cepat menangkap tubuh Seruni, mungkin saat ini tubuh sang sahabat sudah beradu dengan tanah. Farrah membantu Seruni berjalan sampai di kantin sekolah.
"Makasih Far," ujarnya. Seruni menerima air minum pemberian Farrah yang ia beli di kantin sekolah. Farrah duduk di samping sahabatnya menatap dengan khawatir.
"Kamu sakit kenapa tetap berangkat sekolah sih? Seharusnya di rumah, istirahat. Nanti kalau ada apa-apa pasti aku kasih tahu kok," cerocos Farrah tanpa henti, membuat Seruni terkekeh pelan. Farrah berdecak kesal saat melihat sahabatnya tertawa setelah mendengar omelannya.
"Run, ayolah jangan bercanda! Aku serius khawatir sama kamu."
"Aku nggak pa-pa Far. Lagian nanti aku juga ada kelas biola sama Kak Awan. Aku sudah memikirkan semuanya matang-matang," jelas Seruni, membuat amarah Farrah sedikit mereda.
"Jadi, kamu menerima tawaran itu? Mama sama Papa kamu mengizinkan?"
Seruni menggeleng sebagai jawaban. Farrah pun ikut bersedih dengan keadaan sahabatnya. Tekad Seruni sangat kuat untuk bisa mewujudkan cita-citanya. Farrah tahu selama Seruni hidup, sahabatnya itu tidak pernah meminta lebih. Yang dia mau hanya satu, yaitu bisa membawa bakatnya sampai ke tingkat internasional.
"Pasti nanti ada saatnya mereka semua melihat bakatmu. Aku di sini ikut mendukungmu seratus persen. Nanti aku temani latihan ya."
Seruni tersenyum bahagia, meskipun keluarganya tidak pernah mendukung, setidaknya masih ada sahabat seperti Farrah yang mau mengerti keadaanya. Di tengah-tengah ketidakadilan yang terjadi di kehidupan Seruni, gadis itu masih bisa bersyukur karena diberi sosok sahabat yang baik hati seperti Farrah.
Setelah keadaan Seruni membaik, Farrah membawa sahabatnya ke kelas. Meskipun wajah Seruni masih sama pucatnya, tetapi rasa sakit di kepalanya sudah lebih membaik.
***
"Run, kamu yakin mau ikut kelas biola? Apa tidak sebaiknya dibatalkan untuk hari ini saja?" Farrah semakin khawatir dengan keadaan Seruni, sahabatnya itu semakin lemas seperti tidak bertenaga, wajahnya pun semakin pucat. Farrah khawatir Seruni akan semakin kelelahan.
"Aku nggak pa-pa kok Far, tadi juga sudah minum obat," ujar Seruni, mencoba untuk menenangkan sahabatnya. Farrah hanya bisa menghela napasnya pasrah. Jika Seruni sudah mempunyai keinginan, pasti susah sekali untuk dicegah.
Di saat jam pulang sekolah tiba, Seruni dan Farrah langsung bergegas menuju kelas latihan berada. Di dalam sana sudah terdapat Awan bersama dengan biola andalannya. Biola itu tidak sendiri, melainkan ada temannya. Ya, dia membawa biola sang adik yang sudah lama disimpan sejak dulu. Biola itu memberikan banyak kenangan manis sebelum adiknya meninggal diusia yang masih muda akibat leukemia. Saat melihat Seruni, Awan seperti melihat adiknya, karena mereka berdua memiliki cita-cita yang sama.
"Jaga biola itu seperti kamu menjaga diri kamu sendiri," ujar Awan. Setelah lelaki itu memberikan biola peninggalan sang adik kepada Seruni.
"Aku memberikan biola itu karena kamu berhak untuk mendapatkannya. Jika adikku masih ada, pasti dia senang sekali melihat biola kesayangannya jatuh ke tangan yang tepat."
Seruni dan Farrah diam terharu mendengar cerita Awan. Dari raut wajah lelaki itu, Seruni dan Farrah bisa melihat betapa sayang dan cintanya Awan kepada alharhumah sang adik.
"Saya akan menjaga biola ini seperti saya menjaga diri saya sendiri," ujar Seruni, mengandung sebuah janji.
Awan tersenyum, lelaki itu percaya jika Seruni akan menjaga biola mendiang adik perempuannya.
"Bisa kita mulai?" tanya Awan, lelaki itu mulai berdiri dan bersiap dengan biolanya. Seruni mengangguk sebagai jawaban.
Keduanya saling bermain irama melodi disana. Menciptakan sebuah instrumen yang indah sampai masuk ke dalam hati siapa pun yang mendengarnya. Farrah yang berada di dalam sana ikut terhanyut. Sampai permainan itu tiba-tiba terhenti di tengah jalan. Sontak Farrah dan Awan terkejut dengan wajah memucat.
"SERUNI!" teriak Farrah histeris, cepat-cepat gadis itu menghampiri tubuh Seruni yang sudah tidak sadarkan diri.
"Darah," gumam Awan, saat lelaki itu melihat cairan kental merah keluar dari lubang hidung Seruni.
Farrah pun langsung menelepon pihak rumah sakit agar sahabatnya itu cepat menerima tindakan medis dan Farrah juga tidak lupa menghubungi keluarga Seruni.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top