Part Lima

Kini gadis manis itu sudah membuka kedua kelopak matanya, setelah tiga puluh menit tidak sadarkan diri. Setelah tersadar dari pingsannya, Seruni sempat merasakan kepalanya kembali berdenyut, tetapi itu cepat teratasi karena pihak rumah sakit langsung memeriksa kondisinya.

Seruni hanya seorang diri di kamar rawatnya, dirinya tidak melihat keluarganya di sana saat terbangun. Ketika Seruni melirik jam di dinding, ternyata hari sudah senja pasti Farrah dan Awan sudah pulang, pikirnya. Gadis itu menghela napasnya pelan, di saat ia terbaring lemah di atas brankar rumah sakit, keluarganya tidak ada yang peduli dengannya.

Cukup lama gadis itu terdiam di atas brankar rumah sakit, lama-lama ia bosan dalam keheningan yang terjadi. Seruni memutuskan untuk bangun dari posisinya mencoba menghibur dirinya sendiri. Niatnya hanya ingin menatap pemandangan melalui jendela, tetapi niatnya itu ia urungkan saat melihat mama dan papanya hadir.

"Sudah cukup kamu satu harian ini membuat kita berdua susah, Seruni," ujar Eliza, kembali menusuk perasaan sang putri. Akan tetapi, wanita itu tidak peduli.

Seruni hanya diam di tempatnya, bahkan kakinya saja belum sepenuhnya menyentuh lantai. Eliza datang bersama Hadrian dan sang kakak, Dalila. Sekalinya mereka datang langsung membuat hati Seruni kembali terkoyak.

"Iya Seruni, kamu sudah membuat pertemuan penting dengan rekan bisnis Papa batal," ujar Hadrian menimpali. Perasaan Seruni bertubi-tubi dihantam bongkahan batu besar. Mentalnya seperti terbanting dari ketinggian tebing. Di dalam hati Seruni menertawakan dirinya sendiri.

"Apa yang kamu harapkan dari keluarga ini, Seruni? Bahkan mereka saja tidak ada yang peduli dengan kondisimu." Begitu lah sang hati berkata, mengoloknya tanpa ampun.

Seruni masih tetap diam dengan posisi yang sama. Telinganya siap mendengar semua ucapan menyakitkan yang akan keluar dari mulut kedua orang tuanya dan sang kakak.

"Biasalah Mah, Pah, namanya juga anak nggak tau diri! Bisanya cuma nyusahin orang tua." Ucapan Dalila tidak kalah pedas dari kedua orang tuanya. Memang benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonya.

"Jika kalian ingin pulang, silahkan saja. Seruni tidak memaksa kalian untuk datang ke sini, menjengukku yang sedang terkapar tidak berdaya di rumah sakit," ujar Seruni, memberanikan diri untuk membela dirinya sendiri.

Batinnya sudah lelah, 18 tahun lamanya selalu menerima ketidakadilan dari keluarganya sendiri.

"Dasar kamu anak tidak tahu diuntung! Sudah seharusnya kamu bersyukur kita semua masih mau menemani kamu di sini!" Eliza murka, wanita itu menatap putrinya sengit.

"Mana sudi aku menemanimu di tempat ini!" lalu Eliza keluar dari ruang rawat Seruni disusul oleh Dalila, putri kesayangannya.

Di ruangan itu hanya tinggal Seruni dan Hadrian. Keduanya saling diam seperti orang yang tidak saling mengenal.

"Seharusnya kamu tidak berbicara seperti itu Seruni," ujar Hadrian, mencoba menasehati sang putri.

"Lalu aku harus tetap diam seperti orang dungu, Pah? 18 tahun sudah hidup Seruni seperti terasingkan di keluarga sendiri. Apa Papa pernah membayangkan betapa sedih hati Seruni selama ini? Apa Papa pernah bertanya keadaan hati Seruni selama aku hidup? Tidak pernah bukan. Pah, Seruni adalah anak kalian, Seruni juga ingin diperlakukan seperti Kak Lila. Apa kalian bisa bersikap adil sebentar saja?"

Seluruh wajah Seruni sudah dibanjiri oleh linangan air mata. Baru kali pertamanya gadis itu meluapkan separuh rasa di dalam hatinya yang sudah lama terpendam. Sementara Hadrian, lelaki itu diam dengan kepala menunduk. Entah apa yang sedang dia pikirkan sampai mau menyembunyikan wajahnya.

"Pah, Seruni memang tidak terlahir sempurna. Ketidak sempurnaan itu bukan Seruni yang minta. Jika bisa memilih, Seruni pasti lebih memilih dilahirkan seperti anak kebanyakan di luar sana. Apa kekurangan itu sebagai aib bagi kalian semua? Jika iya, kenapa Mama dan Papa masih mempertahankan Seruni? Seruni lebih baik mati saat kecil, dari pada harus tumbuh dewasa di tengah-tengah keluarga yang selalu memandang kesempurnaan."

Derai air mata itu semakin deras meluncur membanjiri kedua pipi Seruni. Yang dia mau agar papanya tahu bagaimana menderitanya dia selama ini. Kehidupannya mewah, tetapi Seruni tidak bahagia.

"Maafkan Papa, Nak. Papa tidak bisa berbuat apa-apa."

Seruni menggeleng tidak percaya. Sebenarnya apa arti hadir dirinya di dalam rumah tangga mereka? Sebagai anak kah? Atau sebagai parasit?

"Sebenarnya Mama dan Papa sudah ingin merelakanmu, tetapi karena Nenek dan Kakekmu lah yang melarang kita untuk melakukannya waktu itu."

Seruni tidak bisa lagi berkata-kata, lehernya bagaikan tercekik. Apakah sangat memalukan seorang anak terlahir dengan kekurangan?

"Karena kami berdua tahu, pasti sangat berat mengurusmu."

"Kalian tidak mengurusku," koreksi Seruni cepat dengan suara tercekat.

"Kalian berdua membiarkanku begitu saja, aku tumbuh diurus Nenek dan Kakek, aku bisa mengenal kehidupan itu karena mereka." Seruni tidak bisa lagi berkata-kata lebih dan akhirnya gadis itu memilih diam sambil menggigit bibir bagian bawah untuk meredam tangisnya.

"Maafkan kami," ujar Hadrian lirih, linangan air matanya tumpah membanjiri pipinya.

"Tidak perlu. Setidaknya aku tahu apa alasan kalian tidak menganggap Seruni di dalam kehidupan Mama dan Papa."

Seruni kembali membaringkan tubuhnya membelakangi seolah tidak ada sang papa di sana. Air matanya semakin berlinang, dadanya kian sesak, serta hatinya semakin hancur lebur. Mama dan papa-nya ingin melenyapkannya sejak kecil? Lagi-lagi Seruni menertawakan dirinya sendiri. Sehina itu kah dia terlahir ke dunia?

Hadrian pun memutuskan untuk keluar dari ruang perawatan sang putri dengan hati yang sama sesaknya seperti Seruni.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top