Part Dua

Gadis cantik berperawakan mungil tengah berdiri dengan perasaan bimbang di depan pintu bercat coklat. Sedari tadi hatinya berkeinginan masuk, tetapi ia ragu untuk melanjutkan langkah kakinya. Alunan biola yang dimainkan oleh seseorang di dalam sana sempat membuatnya terhanyut.

"Run, kenapa kamu tidak masuk?" 

Suara Farrah yang berasal dari belakang tubuhnya membuat lamunan Seruni buyar. Gadis itu menoleh kebelakang, lalu melemparkan senyum ke arah sahabatnya.

"Kenapa tidak masuk?" Farrah masih mempertanyakan hal yang sama. Ia melihat jelas keraguan itu di wajah sahabatnya. "Masuk Run, ada peluang besar yang bisa kamu dapatkan di dalam sana. Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya 'kan? Andaikan kamu tidak masuk, pasti di masa depan kamu akan menyesal."

Kata-kata Farrah membuat Seruni kembali percaya diri. Perlahan tangan kanannya mulai memegang handle pintu kelas musik tersebut.

Seruni terkejut saat melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar sedang berdiri di depan jendela, sembari memainkan sebuah biola yang melodinya sempat membuat hati Seruni tergerak untuk ikut main bersama.

"Permisi."

Suara Seruni berhasil membuat lelaki itu menghentikan kegiatannya. Lelaki itu membalikkan tubuhnya membuat Seruni dan Farrah terdiam kaku bagaikan patung di tempatnya. Sepersekian detik Seruni menahan napasnya karena terpesona dengan wajah rupawan lelaki itu.

"Selamat datang di kelas musik saya."

Lelaki itu terkekeh pelan saat melihat reaksi kedua gadis yang berada di depannya. Lelaki itu mengulurkan tangannya ingin memperkenalkan diri.

"Perkenalkan nama saya, Begawan Hoshi Pratama. Kalian bisa memanggil saya Kak Awan."

"Nama yang sangat indah, seperti pemiliknya," ujar Farrah, tanpa sadar. Seruni langsung menepuk pelan pundak sahabatnya guna mengembalikan kesadaran Farrah.

"Maaf Kak, mulut saya emang suka kelepasan," ucap Farrah, tidak enak hati.

"Tidak apa. Ngomong-ngomong baru kalian berdua loh yang datang ke kelas musik saya." Awan berucap dengan wajah bahagia. Pasalnya sejak bel pulang sekolah berbunyi, ia belum menemui satupun siswa atau siswi yang datang ke kelasnya. Yang hampir membuatnya menyerah adalah, kepala sekolah sudah memberitahu jika tidak ada yang berminat di kelas musik. Terlebih lagi biola.

"Oh ya?" tanya Seruni, seolah tidak tahu. Ya, teman-teman sekolahnya memang kurang berminat untuk ikut kelas music, itu alasan mengapa kelas musik sempat ingin ditutup.

"Nama kamu siapa?" tanya Awan, kepada Seruni.

"Saya Seruni, dan ini teman saya, Farrah."

Awan memegang kembali bow (busur biola) dan biolanya, lalu ia tersenyum menatap Seruni, "Nama yang bagus." Awan terdiam sejenak, "Lalu, apakah kita bisa mulai latihannya?"

"Bisa Kak," jawab Farrah cepat, membuatnya mendapat tatapan penuh peringatan dari Seruni.

"Wow, sangat bersemangat sekali." Awan sempat terkejut dengan suara Farrah yang nyaring di telinga.

"Iya Kak, maksudnya sahabat saya yang mau ikut kelas musik." Farrah mencoba meralat ucapannya agar tidak terjadi salah paham.

Awan mengerutkan keningnya, "Oh jadi cuma Seruni?" tanyanya, sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

Seruni tersenyum canggung, "Maafkan sahabat saya Kak, dia memang seperti itu."

"Tidak apa Seruni, seharusnya kamu bersyukur bisa punya sahabat seperti Farrah. Sepertinya dia sangat mendukungmu."

Awan mengambil biola lain, lalu ia berikan kepada Seruni.

"Bisa kamu mainkan satu lagu untuk saya?" pintanya, Seruni pun mengangguk ragu.

Seruni mulai memegang biola yang Awan berikan. Ia memejamkan matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan busur biola itu mulai beradu dengan senarnya. Awan dan Farrah ikut terhanyut dalam alunan melodi yang Seruni mainkan. Sebuah lagu berjudul Atas Nama Cinta yang dinyanyikan oleh Rossa ia ubah menjadi instrumen biola, nadanya terdengar sangat indah.

Nada itu mengalun lembut menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Awan pun tertegun dengan cara main Seruni yang luar biasa, gadis itu sangat pandai menyelaraskan setiap melodi yang tercipta. Gadis cantik itu membuka kedua kelopak matanya saat ia mengakhiri permainan biolanya, lalu setelah itu terdengar tepuk tangan yang berasal dari Awan dan Farrah.

"Kamu sangat pandai memainkannya Seruni. Kalau boleh tahu, dari umur berapa kamu belajar bermain biola?" tanya Awan. Kini mereka sudah duduk di lantai kramik yang dingin.

"Sejak kecil, saat almarhumah Nenek saya masih hidup," jawab Seruni.

"Jika kamu berminat, kamu bisa loh ikut lomba ke luar negeri. Permainanmu sangat bagus dan halus, saya saja yang sudah bertahun-tahun memegang biola tidak bisa mengolah melodi seindah kamu."

Seruni tersenyum, "Maaf, kalau untuk ikut lomba sampai keluar negeri saya tidak bisa." Gadis itu menolak lembut tawaran Awan. Meskipun itu adalah mimpinya, tetapi Seruni tidak akan berani bertindak.

"Sudah sore, kami berdua pamit pulang ya Kak," ujar Seruni, setelah gadis itu melirik pada jam yang tertempel di dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul empat sore.

"Baiklah, hati-hati di jalan."

Seruni dan Farrah mengangguk bersamaan. Lalu kedua gadis itu keluar dari ruang musik. Di sepanjang koridor yang mereka berdua lalui hanya ada keheningan yang terjadi.

Farrah menghadang langkah Seruni dan menatap serius sahabatnya, "Run, kenapa kamu menolak tawaran dari tawaran Kak Awan? Lumayan itu kan cita-cita kamu dari dulu."

Seruni tersenyum lembut, dibalik senyumnya terdapat seribu luka yang ia tutup sangat rapi.

"Far, aku mau. Tapi, aku tidak bisa egois." Lalu Seruni melenggang pergi meninggalkan Farrah.

Farrah berdecak kesal saat melihat punggung rapuh Seruni yang semakin menjauh. Farrah tidak marah, tetapi gadis itu hanya kesal. Entah apa yang ada di dalam pikiran sahabatnya itu sampai membuang kesempatan emas yang tidak datang dua kali. Farrah tahu bagaimana keluarga Seruni, tetapi membangkang demi masa depan tidak ada masalah bukan? Mimpi Seruni harus hangus begitu saja akibat keegoisan keluarganya sendiri. Adilkah? Tidak! Seruni tidak pernah mendapatkan keadilan di tengah-tengah keluarganya sendiri.

Farrah sebagai sahabatnya hanya bisa menatap Seruni dari kejauhan. Farrah hanya bisa memberikan semangat disaat Seruni terpuruk, meskipun Seruni jarang sekali menjelaskan masalah yang sesungguhnya.

***

Seruni tiba di rumahnya tepat jam lima sore. Tubuhnya yang lelah dan pikirannya penuh dengan masalah membuatnya semakin terlihat lusuh seperti tidak terurus.

"Dari mana saja kamu?" suara datar Eliza menyapa indera pendengaran Seruni, membuat langkah gadis itu terhenti.

"Dari sekolahan Mah," jawabnya singkat, lalu Seruni kembali menaiki anak tangga menuju kamarnya.

"Mama sedang bicara sama kamu Seruni! Tidak sepantasnya kamu mengabaikan Mama begitu saja!" Eliza mengikuti langkah Seruni, mencoba mencegah gadis itu agar langkah Seruni terhenti.

PLAK!

Satu tamparan keras Eliza berikan tepat di pipi kanan milik Seruni. Gadis itu hanya diam saat rasa panas itu mulai menjalar di sebagian pipinya. Sampai pada akhirnya rona merah tercetak jelas di sana.

"Sudah Mah?" tanya Seruni, pelan.

"Kamu ya, memang tidak ada sopan-sopannya sama orang tua. Sudah penyakitan, hidup pula! Kenapa sih aku bisa melahirkan anak tidak berguna seperti kamu! Salah apa aku dulu bisa mempunyai anak sepertimu!"

"Mama tidak salah," ucap Seruni cepat. "Ini semua salah Seruni kenapa hadir di tengah-tengah keluarga ini. Mah, jika saja saat di alam sana Seruni bisa memilih ingin dilahirkan dari rahim siapa, pasti Seruni akan memilih terlahir dari rahim seorang perempuan yang bisa mengerti perasaan putrinya. Tentu perempuan itu bukan Mama orangnya." Lalu Seruni pergi bersama dengan luka batin yang kembali terpupuk.

Eliza diam di tempatnya dengan amarah yang semakin memuncak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top