Part Delapan
"Hai Seruni."
Seruni dan Farrah tersentak kaget saat mendengar suara yang berasal dari belakang tumbuh mereka. Seruni menoleh, lalu melemparkan senyumnya untuk menyapa seseorang itu. Jam istirahat baru saja dimulai, Seruni dan Farrah memutuskan untuk ke kantin mengisi perut mereka yang keroncongan akibat pelajaran fisika yang mampu membuat keduanya kelaparan.
"Boleh bergabung tidak?" tanya Awan, tersenyum manis ke arah Seruni.
Farrah yang melihat gelagat aneh dari Awan pun mengerutkan keningnya bingung. Gadis itu menatap penuh selidik membuat lelaki itu langsung menatap ke arah Farrah.
"Kamu kenapa? Cacingan ya?" Awan bertanya sembari duduk di samping Seruni, berhadapan dengan Farrah.
"Enak saja! Badan gembul seperti ini dibilang cacingan," gerutu Farrah kesal.
Seruni terkekeh pelan melihat tingkah Farrah dan Awan bagaikan seekor kucing dan tikus. Mereka berdua tidak pernah rukun.
"Lalu, kenapa kamu melihat saya dengan ekspresi wajah yang seperti itu? Saya ini manusia, bukan jin Tomang!"
"Siapa juga yang bilang Kak Awan itu jin Tomang? Tidak ada!"
Keduanya semakin asyik berdebat sampai membuat pengunjung kantin menatap ke arah mereka heran. Seruni yang berada di samping Awan dan Farrah pun menutup telinganya rapat-rapat.
"Tapi secara tidak langsung raut wajahmu yang menatapku seperti tadi sudah jelas menggambarkan semuanya."
"Run, memangnya apa yang dikatakan Kak Awan itu benar?" tanya Farrah, menatap ke arah sahabatnya penuh tuntutan.
Seruni diam, kedua matanya menatap Awan dan Farrah secara bergantian. Gadis itu masih membungkam bibirnya rapat-rapat lantaran tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan dari sang sahabat.
"Oh iya Run, kamu masih mau mengikuti ajang lomba itu bersamaku 'kan?" Awan bertanya, tatapan matanya tidak lepas dari Seruni.
Seruni terdiam cukup lama, sampai pada akhirnya Farrah mengguncang lengan gadis itu sampai membuat lamunan sang sahabat buyar.
"Em, sebenarnya aku mau, tapi ...."
"Ya sudah tunggu apa lagi! Aku akan tetap memperhatikan kondisimu, bila sedang tidak enak badan pasti aku akan melarangmu untuk ikut latihan. Aku tidak mau melihat kamu seperti kemarin, jantungku hampir saja berhenti tahu," cerocos Farrah membuat kekian Seruni kembali terdengar.
Diam-diam Awan memperhatikan wajah Seruni yang ayu tanpa riasan. Mengagumi dalam diam adalah hobi Awan akhir-akhir ini.
"Memangnya lomba itu akan diselenggarakan kapan, Kak?"
"Kurang lebih tiga bulan dari sekarang. Kita masih punya banyak kesempatan untuk berlatih. Sebelum masuk ke perlumbaan, peserta wajib melewati beberapa tes, jika semua tes lolos maka kita akan ikut perlombaan itu."
"Tes pertama kapan akan dilakukan?"
"Satu minggu dari sekarang, selang antara tes pertama dan tes ke dua adalah dua minggu. Jadi, selama beberapa minggu kedepan kita akan berlatih. Aku tidak akan memaksamu untuk terus memegang biola itu, tetapi setidaknya satu atau dua jam per-hari kita bisa berlatih bersama. Yang ingin ikut perlombaan diringankan tugasnya. Nanti aku akan berbicara dengan kepala sekolah untuk meringankan tugasmu," jelas Awan, membuat Seruni mengangguk paham.
"Maaf Kak bila saya lancang bertanya seperti ini, kira-kira berapa hadiah untuk juara pertama?"
"Menurut informasi yang saya dapatkan hadiah untuk juara pertama itu 3 milyar, untuk kuara kedua adalah 2 milyar dan juara ke tiga 1 milyar. Itu masih belum termasuk yang lain-lainnya."
"Belum termasuk?" tanya Seruni semakin penasaran.
"Iya, ada banyak lagi hadiah, termasuk uang itu dan jalan-jalan keliling dunia dengan gratis, tetapi itu khusus untuk juara pertama."
Seruni mengangguk, gadis itu mulai tergiur untuk mengikuti perlombaan. Jika ia bisa juara pertama, maka semua uang akan ia berikan untuk membantu bisnis sang papa yang sedang diambang kehancuran, sedangkan untuk hadiah yang lainnya untuk kesenangan mama dan kakaknya.
"Seruni memutuskan untuk ikut Kak!" ujarnya, penuh semangat.
Farrah dan Awan tersenyum bahagia. Akhirnya semangat Seruni kembali bangkit, setelah beberapa hari sempat hilang semangat.
"Aku yakin kamu pasti bisa melewati tes itu dengan baik Run!" begitulah Farrah memberikan semangat.
Seruni semakin tersenyum lebar, semangat dari teman sekitar tampaknya cukup untuk menggiringnya menuju kompetisi. Meskipun pada kenyataannya, keluarganya sendiri acuh tak acuh kepadanya.
Ketiganya mengobrol bersama sampai tidak terasa bell masuk pun berbunyi nyaring membuat semua siswa dan siswi yang berada di luar kelas berhamburan masuk ke dalam kelas masing-masing untuk mengikuti pelajaran terakhir hari ini.
***
Seruni baru saja sampai di rumahnya dengan keadaan lelah dan lesu. Gadis itu berjalan ke arah dapur untuk mengambil air di dalam lemari pendingin. Saat gadis itu ingin duduk di bangku meja makan, pandangan matanya jatuh pada secarik kertas yang membuat rasa penasarannya muncul
"Apa ini?" tanyanya, sedikit bergumam. Tangannya terulur untuk mengambil secarik kertas tersebut yang membuatnya penasaran.
"Ini struk belanja punya siapa? Kenapa sampai habis 500 juta?"
"HEH! Lancang banget sih lo!"
secarik kertas struk belanja tersebut diambil paksa oleh Dalila.
"Kak, kenapa Kakak belanja sampai menghabiskan uang banyak sekali? Kakak juga tahu kan kalau kondisi keuangan Papa sedang memburuk?"
"Emangnya gua pikirin! Asal lo tahu ya, keuangan Papa menurun itu gara-gara lo masih ada di sini! Coba aja dari dulu lo itu mati, pasti keluarga ini aman dan damai!" lalu Dalila melenggang pergi begitu saja.
Seruni diam, gadis itu tidak habis pikir kakaknya begitu mudah menghabiskan uang begitu saja padahal hanya membeli satu buah tas dan sepasang sepatu tanpa memikirkan kondisi keuangan keluarga yang semakin memburuk.
***
Seruni memberanikan diri menghampiri sang papa di ruang kerja. Meskipun dengan perasaan ragu, tetapi ia tetap harus menanyakan hal itu agar tidak lagi membuat hatinya janggal.
"Pah." Gadis itu mengetuk pintu ruang kerja sang papa beberapa kali, lalu setelah mendapat sahutan dari dalam baru lah Seruni berani masuk.
"Papa sibuk tidak?" tanya Seruni, sembari menutup kembali pintu ruang kerja sang papa.
"Tidak, memangnya ada apa?" Hadrian melepaskan kacamatanya, menatap sang putri dengan senyum tipis.
"Pah, Seruni boleh bertanya?"
Hadrian menghadap sang putri yang sudah duduk di depannya. Lelaki itu kembali tersenyum lalu mengangguk.
"Jika Papa bisa menjawab, kenapa tidak?"
Seruni diam cukup lama, sampai menimbulkan pertanyaan di dalam hati Hadrian. Pasalnya tidak pernah Seruni datang ke ruang kerjanya untuk menanyakan sesuatu.
"Pah, apa selama ini Papa tidak membatasi uang belanja Kak Lila?" Seruni bertanya sembari menatap Hadiran takut.
"Tidak. Memangnya kenapa? Sudah hak dia untuk memakai uang Papa."
"Seruni tahu, tapi total dari belanja itu 500 juta, apa tidak terlalu banyak? Bukan Seruni iri, tapi kondisi keuangan Papa kan sedang tidak membaik."
"Sudah lah jangan terlalu dipikirkan. Sebaiknya kamu kembali ke kamar."
Dengan berat hati Seruni beranjak dari duduknya, sudah dia duga akan seperti itu pada akhirnya. Seruni akhirnya pamit untuk keluar dari ruangan itu dan hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh sang papa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top