Part 19

Awan dan Seruni berada di dalam satu ruangan yang sama, siap berlatih kembali. Tentu masih ditemani oleh Farrah, sahabat Seruni yang paling setia. Hanya tinggal menghitung hari seleksi selanjutnya akan dilakukan tentu itu sangat membuat Seruni berdebar tidak karuan.

Puk!

Farrah menepuk pundak Seruni pelan, tetapi sukses membuat sang sahabat tersadar dari lamunannya.

"Run, kamu kenapa sih dari tadi aku lihat kamu seperti tidak bersemangat hari ini?" Farrah membuka pembicaraan di tengah-tengah keheningan yang terjadi.

Ya, sedari tadi Seruni hanya diam melamun seperti ada yang disembunyikan.

"Aku tidak apa, Farrah," jawab Seruni, namun tidak membuat hati Farrah puas.

"Jika ada masalah ceritakan pada kita. Siapa tahu kita berdua bisa membantu," sahut Awan. Lelaki itu juga merasakan hal sama seperti yang Farrah rasakan. Diamnya Seruni membuat keduanya bertanya-tanya.

"Kamu tidak merasakan sakit di tubuhmu 'kan?" Farrah masih mencoba menyelidiki apa yang sedang terjadi. Namun, lagi-lagi Seruni menggeleng sebagai jawabannya.

"Kamu tidak sakit 'kan Seruni?" Awan pun semakin khawatir. Lelaki itu tidak mau terjadi apa-apa dengan Seruni.

"Aku baik-baik saja Kak," jawabnya, masih dengan senyuman yang sama.

"Aku baik-baik saja, Farrah. Sudah ya, kalian berdua tidak perlu sekhawatir itu," sambunganya.

Awan dan Farrah memilih diam. Karena menurut keduanya percumah saja bertanya, sebab Seruni tidak akan mau jujur kepada mereka.

Sedari tadi Seruni diam bukan karena gadis itu merasakan sakit di tubuhnya, melainkan dia sedang memikirkan mimpi aneh yang semalam sempat terjadi. dia meneliti busur biolanya, lalu beralih pada senar yang semalam dia mimpikan putus.

"Sebenarnya akan terjadi apa nantinya?" batinnya, matanya masih membidik benda yang sama.

Farrah dan Awan tahu Seruni sedang memikirkan sesuatu hal, tetapi mereka tidak berani bertanya lebih.

"Kita lanjut latihan satu kali lagi ya. Lalu setelah itu pulang," ujar Awan. Lelaki itu kembali mengambil biolanya lalu bermain dengan baik di sana. Begitu pula dengan Seruni.

Latihan siang ini telah usai, kini saatnya Seruni pulang ke rumah. Seperti biasa, Seruni menunggu angkutan umum di depan gerbang sekolahnya.

Farrah sudah pulang terlebih dahulu karena papanya menjemput. Sedangkan Awan, mungkin lelaki itu sudah sampai di kampusnya karena tadi masih ada kegiatan sisa kemarin yang belum terselesaikan.

Setelah menunggu penuh dengan kesabaran, akhirnya angkutan umum itu pun datang.

***

Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya Seruni sampai di rumahnya. Namun, dia kembali dalam keadaan bingung. Rumahnya berantakan. Apa yang sedang terjadi? begitu lah hatinya berkata.

Tanpa banyak berpikir dan berucap di dalam hati, Seruni bergegas naik ke atas menuju lantai dua berharap di sana dia menemukan sesuatu.

"Mama, Papa!" teriaknya saat masih menaiki anak tangga.

"Kenapa kamar Kak Lila sangat berantakan sekali," gumamnya lagi.

Setelah memasuki kamar sang kakak, Seruni melihat Semua barang berserakan di atas lantai. Seruni tidak tahu apa yang terjadi setelah dia berangkat ke sekolah.

"PAPA DAN MAMA TIDAK MAU TAHU POKOKNYA KAMU HARUS BAWA LAKI-LAKI ITU KE SINI!"

Teriakan Hadrian dari lantai bawah menyita penuh perhatian Seruni. Sedikit berlari kecil Seruni kembali menuruni anak tangga untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Tangis jerit Dalila seolah tidak didengar oleh Eliza dan juga Hadrian. Padahal Dalila sudah mengiba di bawah kaki mereka memohon ampun untuk semuanya.

Seruni melihat mereka berpakaian rapih. Mungkin saja baru pulang dari suatu tempat. Begitulah pikirnya berkata.

"Mama, Papa, ada apa ini?" tanya Seruni, sembari menghampiri ketiganya dengan raut wajah bingung.

"Kakakmu hamil," jawab Hadrian, nampak enggan menjelaskannya.

"Ha-hamil?" tanya Seruni sekali lagi untuk memastikan bahwa pendengarannya tidak salah.

"Dan dia sendiri tidak tahu siapa Ayah biologis bayi itu," sambung Hadrian.

Eliza sudah menangis tersedu di sana. Rasa kecewa yang dia alami sangat besar. Dalila adalah putri kesayangannya, tetapi dengan mudahnya Dalila mencoreng nama baiknya. Eliza tidak menyangka, ternyata keteledorannya dalam menjaga pergaulan Dalila akan berdampak memalukan seperti ini.

"Gugurkan bayi itu!" perintah Eliza, tanpa rasa bersalah.

"Mah, tidak seperti itu caranya menyelesaikan masalah ini!" bantah Seruni. Gadis itu mulai angkat bicara.

"Kamu tahu apa? Nama Mama dan Papa sudah tercoreng, Seruni. Lalu, kamu masih ingin mencegah kita untuk melenyapkan bayi itu? Belum tentu juga Ayah biologisnya mau mengakui janin yang ada di dalam kandungan Lila. Untuk apa kita mempertahankannya jika nantinya dia akan menjadi bahan ejekan semua orang," ujar Dalila.

"Cukup Seruni yang ingin Mama dan Papa lenyapkan dulu. Jangan anak Kak Lila. Dia hadir memang bukan di saat yang tepat, tapi sebab dia hadir juga karena kesalahan Kak Lila dan kekasihnya. Sedikit pun bayi itu tidak bersalah."

"Apa betul Ayah biologis bagi itu adalah kekasih kamu, Lila?" Hadrian kembali mengorek informasi, namun jawaban Dalila tetap sama, dia hanya menggelengkan kepala sambil terisak.

Hadrian mengusap wajahnya frustasi. Kejadian ini sangat membuatnya terpukul.

Seruni terduduk untuk melihat kondisi sang kakak yang sudah berantakan. Gadis itu mengusap air mata yang berlinang di kedua pipi Dalila. Meskipun sang kakak sudah sangat keterlaluan kepadanya, tetapi sedikitpun Seruni tidak pernah menaruh dendam. Yang dia rasakan saat ini adalah iba.

"Sebaiknya Kakak istirahat dulu ya. Kasian bayinya kalau Kakak terus menangis," ucap Seruni, dengan suara selembut mungkin.

"Peduli apa lo tentang kondisi gue!" sorot mata Dalila menajam. Wajahnya terlihat sangat marah padahal Seruni tidak menunjukkan gelagat mengejek.

"Kak, Seruni sangat peduli dengan kondisi Kakak dan bayi itu." Seruni menunjuk perut Dalila dengan kedua matanya.

"Meskipun dia hadir karena kesalahan, tapi dia tidak berdosa," sambung Seruni. Ucapan sang adik semakin membuat Dalila murka.

"Lo nggak ngerasain rasanya jadi gue!"

"Kakak juga tidak pernah merasakan jadi Seruni, 'kan? Tapi, meskipun begitu, Seruni bisa paham betul bagaimana rasanya jadi kamu, Kak."

Dalila diam. Seruni tersenyum karena melihat emosi sang kakak sudah semakin stabil. Eliza dan Hadrian pun sama, nampaknya mereka sudah meredam amarah masing-masing demi ketenangan Dalila.

Seruni mencoba membantu Dalila untuk berdiri, namun niatnya itu ditolak mentah-mentah oleh sang kakak. Saat tangan Seruni terulur, Dalila langsung menepisnya.

"Gue bisa sendiri!" lalu Dalila berusaha untuk bangkit, berkali-kali terjatuh tetapi ia masih enggan menerima bantuan dari sang adik.

Seruni hanya bisa diam dengan air mata berlinang menyaksikan langkah Dalila yang tertatih menaiki anak tangga.

"Sebaiknya Mama dan Papa istirahat," ucap Seruni, sebelum gadis itu kembali ke kamarnya.

Setelah kepergian Seruni, Eliza berlutut di hadapan suaminya memohon ampun atas kelalaiannya menjaga putrinya, Dalila.

"Maafkan kesalahan Mama, Pah." Eliza berucap dengan suara bergetar. Air matanya semakin berlinang deras, tetapi Hadrian tidak menghiraukan itu.

"Semuanya sudah terlambat, Mah," ujar Hadrian dengan nada dan wajah yang datar.

"Maaf tidak bisa membuat semuanya kembali seperti sedia kala." Lalu Hadrian pergi meninggalkan Eliza seorang diri di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top