Part 17

Bagai menemukan titik cahaya terang di tengah lorong labirin yang gelap. Seruni bahagia tiada tara sampai gadis itu tidak bisa menjelaskannya. Di keheningan malam, Seruni termenung seorang diri. Sesekali udara malam yang dingin masuk lewat celah jendela membuat kamarnya yang berukuran sedang itu terasa dingin. Gadis itu berbaring, menatap langit-langit kamar yang sudah gelap. Wajar saja, ia terbangun di pertengahan malam di mana semua orang sudah lelap dalam tidur mereka masing-masing. Seruni tidak bisa tertidur, karena gadis itu terlampau bahagia. Ia masih tidak menyangka ternyata orang tuanya mengizinkannya untuk mengikuti perlombaan. Sungguh momen yang sangat langka. Seruni harus banyak-banyak berterima kasih kepada Awan, karena lelaki itu sang papa mau mendukungnya meraih cita-cita.

Detik jam berbunyi, memecahkan keheningan malam yang Seruni lalui seorang diri. Malam ini sangat berbeda dari sebelumnya, biasanya ia termenung memikirkan nasib untuk kedepannya, tetapi sekarang ia terjaga karena kebahagiaan.

Tidak terasa waktu bergulir begitu cepat, Seruni menoleh dan ternyata jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Kedua matanya sudah terasa berat, itu pertanda gadis itu akan kembali terlelap. Benar saja, belum ada lima menit dari ia melirik jam di dining, kini matanya tertutup dan kembali menikmati alam mimpi.

***

Awan biru yang cerah kembali menyapa pagi hari ini. Keceriaan terpancar jelas di wajah Seruni. Dengan langkah yang ringan tanpa beban gadis mungil dengan bata belo itu menuruni anak tangga.

"Selamat pagi Mama, Papa, dan juga Kak Lila," sapanya pada semua orang yang sudah duduk di meja makan tersebut.

Eliza dan Dalila menatap Seruni tidak suka. Keduanya bingung dengan perubahan sikap Seruni yang tiba-tiba.

"Abis ketiban durian dimana lo?" tanya Dalila.

Seruni tertawa, "Kak Lila bisa saja bercandanya."

"Gue lagi nggak bercanda!" Dalila berucap dengan nada tinggi membuat Seruni menghela napasnya pelan dan merubah sikap seperti hari-hari biasa.

"Seruni tidak pa-pa dan Seruni rasa Kak Lila tidak perlu tahu," jawabnya dengan nada yang dingin dan datar.

"Apa seperti itu cara kamu berbicara dengan Kakak kandungmu, Seruni!" Eliza mulai angkat bicara. Wanita itu tidak terima saat anak kesayangannya tidak dihargai oleh Seruni.

"Jika tidak seperti ini, lalu harus seperti apa Mah? Kak Lila saja tidak pernah menghargai Seruni sebagai adiknya. Lalu, apakah Seruni harus menghargainya, adilkah? Tidak Mah! Seruni mencoba untuk bersikap baik sama Kak Lila dan juga Mama, tapi apa balasan kalian? Kalian selalu menindasku seolah aku ini adalah parasit di rumah ini!"

"Lo kan emang parasite!" Dalila menggebrak meja makan sampai membuat Hadrian terkejut.

"LILA!" teriak Hadrian mencoba untuk mengoreksi tingkah sang putri yang mulai kelewat batas.

"Papa ini apa-paan sih? Kenapa jadi membela Seruni?! Papa lihat sendiri tadi Seruni berkata tidak sopan kepada Lila!" protes Eliza.

"Papa tidak membela siapapun di sini. Lila, tingkah kamu di meja makan sangat tidak baik. Ini di depan makanan, kamu tidak menghargai makanan ini dan kamu Seruni, Papa tahu kamu kecewa, tapi bukan seperti itu cara melampiaskannya."

Hadrian berubah, lelaki itu mulai terlihat sisi ketegasannya. Seruni tidak marah, justru gadis itu bahagia. Sang papa akhirnya kembali menemukan kewibawaanya.

"Semoga Papa akan terus seperti ini. Pertahankan posisi Papa di rumah ini jangan mau diambil alih," ujar Seruni, sembari melirik Eliza sekilas.

Hadrian hanya diam, lelaki itu kembali menyantap sarapan paginya. Di atas meja makan itu kembali terjadi keheningan sampai makanan yang tersaji di piring masing-masing tandas tidak tersisa.

***

Kedatangan Seruni di sekolah disambut sangat oleh Farrah. Sedari tadi gadis itu menunggu sang sahabat yang tidak kunjung datang dan saat ia melihat Seruni dari kejauhan, lantas Farrah menghampiri Seruni lalu memeluknya erat.

"Akhirnya kamu datang ke sekolah juga," ucap Farrah, masih dalam posisi berpelukan. Seruni mengerutkan keningnya bingung. Gadis itu mencoba melepaskan pelukannya tetapi Farrah menahannya kuat.

"Kamu kenapa?" tanya Seruni, masih berusaha melepaskan pelukan yang hampir saja membuat pasokan udara yang masuk ke rongga paru-parunya penipis.

"Aku merasa sangat kesepian sekali karena beberapa hari ini kamu tidak masuk sekolah. Aku kira kamu tidak masuk lagi karena ingin istirahat," jelas Farrah, lalu ia melepaskan pelukannya. Akhirnya Seruni bisa bernapas lega sekarang.

"Lihatlah! Aku sudah sehat sekarang." Seruni menunjukkan bahwa dirinya sudah baik-baik saja.

"Benar begitu? Tidak ada yang sakit lagi 'kan? Kalau ada apa-apa kamu wajib memberitahuku."

Seruni terkekeh. Lantas berucap, "Aku baik-baik saja Farrah. Seperti yang kamu lihat, aku sudah berada di sini."

Farrah mengangguk percaya, "Aku melihatmu sangat sehat sekarang dan aku bahagia sekali. Jangan sakit lagi, aku tidak bisa melihatmu terbaring tidak berdaya di rumah sakit."

Seruni mengangguk, "Iya, tapi aku tidak berjanji. Karena sakit bukan aku yang meminta, tapi Allah yang menghadirkan. Ya sudah, ayo kita ke kelas."

Seruni dan Farrah melangkah beriringan menaiki anak tangga menuju kelas mereka. Kegiatan belajar mengajar masih berjalan lancar seperti biasanya dan Seruni masih mengikutinya sampai selesai.

***

Tidak terasa matahari pagi yang bersinar hangat kini berubah panas terik menyiksa. Tepat jam dua belas siang matahari berada di atas kepala membuat Seruni harus mengeluarkan satu buku besarnya guna melindungi kepalanya dari serangan teriknya matahari sembari menunggu angkutan umum.

Setelah jam sekolah usai, Seruni langsung pulang ke rumah. Awan tidak bisa berlatih biola hari ini dikarenakan ada kegiatan kampus yang tidak bisa ditinggalkan.

Sedangkan Farrah, gadis itu pamit pulang terlebih dahulu karena ada kepentingan keluarga.

Kedua mata Seruni mengedar ke seluruh penjuru yang ada, namun ia tidak sengaja melihat sosok yang paling dia kenali.

"Kak Lila," gumamnya. Seruni semakin menajamkan penglihatannya ke arah seberang jalan. Di sana terdapat satu gadis dan satu orang pria berusia matang lengkap dengan jas dan mobil mewah. Keduanya nampak sedang terlibat dalam perdebatan hebat.

"Kak Lila sedang apa di sana?" tanyanya lagi, namun saat Seruni ingin menghampiri sang kakak yang sedang berada di seberang, tiba-tiba saja angkutan umum datang. Cepat-cepat Seruni mengambil ponselnya untuk mengambil gambar sebagai bukti untuk kedua orang tuanya.

"Dapat!" lalu Seruni kembali memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

***

Sesampainya di rumah, Seruni langsung mencari keberadaan sang kakak, namun ia tidak menemukan. Sepertinya belum pulang, begitu lah kata hati Seruni. Gadis itu pun memutuskan untuk naik ke lantai dua menuju kamarnya. Rumahnya sangat sepi, kedua orang tuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Sesampainya di kamar, Seruni langsung mengganti bajunya dengan pakaian rumahan yang membuatnya selalu nyaman. Lalu setelah itu Seruni kembali turun ke bawah untuk melakukan makan siang.

"Kosong?" tanya gadis itu saat membuka tudung makanan yang berada di atas meja. Gadis itu tidak kehilangan akal, ia membuka lemari pendingin dan menemukan telur di sana.

Seruni mengambil wajan dan peralatan lainnya guna memasak telur tersebut untuk menjadi makan siangnya kali ini. Hanya menu sederhana telur mata sapi saja aromanya sudah membuat perutnya berbunyi.

Seruni membawa hasil masakannya ke atas meja dengan perasaan bahagia, saat ia ingin melahap makanannya tiba-tiba saja Dalila datang lalu tidak berselang lama Hadrian dan Eliza pulang.

"Loh, tumben kamu makan pakai telur?" tanya Hadrian, menghampiri Seruni yang sedang menyantap makan siangnya.

"Iya Pah, mungkin tadi Mama tidak sempat masak jadi di meja sama sekali tidak ada makanan," jelas Seruni, sekilas menatap Eliza.

"Biarin kali Pah. Sesekali dia juga harus ikut prihatin dengan kondisi keuangan keluarga ini. Bukan cuma enaknya saja!" sahut Eliza.

Seruni menggeser piringnya menjauh dari hadapannya. Gadis itu beralih menatap sang mama dengan senyum di wajahnya.

"Dari dulu aku udah prihatin kok Mah sama kondisi keuangan keluarga kita. Bukannya selama ini Mama dan Kak Lila yang tidak peduli ya?" tanyanya, masih mempertahankan senyum yang membuat Eliza semakin murka.

"Apa tadi kata kamu? Lila tidak perihatin dengan keuangan keluarga ini? Apa kamu tidak sadar selama ini Kakak kamu bekerja."

"Ohhh, jadi selama ini Kak Lila bekerja?" tanya Seruni, seolah dia terkejut.

"Iya lah gue kerja, emangnya elo yang cuma leha-leha di rumah. Selama ini gue kerja buat keluarga ini, bantu Papa," ujar Dalila menyombongkan dirinya sendiri.

"Terus lelaki matang itu siapa Kak? Pakaiannya rapih banget loh, pasti dia kaya 'kan?"

Dalila menatap Seruni tajam, "Maksud lo apa? Jangan bikin Mama sama Papa salah paham."

"Iya Seruni, kamu ini berbicara apa?!" Eliza pun ikut angkat bicara untuk membela anak kesayangannya.

"Seruni punya bukti kok." Seruni mengambil ponselnya yang berada di atas meja makan lalu menunjukkan sebuah foto yang berhasil diambil tadi sebelum angkutan umum yang Seruni naiki berjalan.

"Bagaimana Kakakku tersayang?" tanya Seruni dengan seringaian.

"Selama ini aku diam, karena aku tidak mau memancing keributan. Tapi, semakin lama aku diam, maka semakin menjadi pula kelakuan Kakak di luaran sana. Sekarang terserah Mama dan Papa percaya atau tidak sama Seruni, yang jelas di sini aku sudah mengatakan kebenaran."

Saat Dalila ingin angkat bicara, Seruni langsung memotongnya.

"Apa? Kakak mau bilang itu bos Kak Lila? Tapi, apa pantas seorang bos mencium bibir karyawannya? Tidak mungkin bukan?" Seruni kembali menggenggam ponselnya. Lalu melenggang pergi.

Hadrian masih terkejut dengan apa yang dia lihat tadi. Eliza pun sama. Sementara Dalila, gadis itu hanya bisa diam berpikir keras untuk mencari alasan yang logis nantinya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top