Part 16

Seruni kembali berada di kamarnya. Gadis itu bahagia akhirnya bisa kembali menghirup aroma kamarnya yang dia rindukan selama beberapa hari. Ia tidak sendirian, melainkan ada Farrah juga di sana.

"Run, ini foto siapa?" Farrah memegang salah satu bingkai foto yang Seruni letakkan di atas meja belajar. Dua sosok di foto itu belum pernah Farrah lihat sebelumnya.

"Ohh, itu Nenek dan Kakekku," jawab Seruni. Gadis itu beranjak dari kasurnya menghampiri Farrah yang sedang duduk di meja belajarnya.

"Mereka berdua terlihat sangat harmonis," ujar Farrah, masih memperhatikan foto tersebut dengan kagum.

"Aku belajar banyak hal dari mereka. Ketulusan, kesabaran, tanggung jawab, dan masih banyak hal lain lagi."

Sepanjang Seruni bercerita betapa berartinya dua sosok di dalam foto itu, selama itu pula Farrah menatapnya tanpa berkedip.

"Karena mereka juga aku masih ada di sini," ujar Seruni, tanpa gadis itu sadar.

"Maksud kamu apa?" Farrah menatap dengan raut wajah bingung. Gadis itu meletakkan bingkai foto nenek dan kakekSeruni lalu ia kembali menatap sang sahabat dengan pandangan serius.

"Emm, bukan apa-apa kok." Seruni berusaha untuk mengelak, tetapi raut wajah gadis itu tidak bisa membohongi Farrah. Namun, sayang, saat Farrah ingin bertanya lebih lanjut, tiba-tiba saja pintu kamar Seruni diketuk.

"Mungkin Mama," ucap Seruni, lalu gadis itu berjalan menghampiri pintu untuk melihat siapa yang datang.

"Ehh Mama. Ada apa Mah?" Seruni bertanya dengan ramah meskipun Eliza selalu menampilkan wajah masam ketika bertemu dengannya. Bagi Seruni itu tidak masalah, karena sedari kecil ia sudah biasa dengan pemandangan seperti itu.

"Makan. Ajak sekalian teman kamu itu." Eliza berucap dengan nada dan wajah yang datar, lalu setelah itu ia pergi.

"Iya Mah," kata Seruni, setelah Eliza pergi dari kamarnya.

"Siapa Run?" tanya Farrah yang sudah berada tepat di belakang Seruni.

"Mama memanggil kita untuk turun. Makan sore sudah siap." Seruni menjelaskan sembari tersenyum simpul, membuat Farrah mengangguk paham. Lalu keduanya turun untuk makan sore bersama.

Seperti biasa tidak ada yang istimewa dari kebersamaan keluarga Hadrian. Suasana meja makan terasa sangat hening seperti keluarga mati. Farrah dan Awan yang dihadapkan dengan situasi tersebut pun menjadi canggung, tidak ada yang berani mengucapkan satu kata patah pun. Akan tetapi, Awan mulai memberanikan dirinya untuk berucap.

"Maaf Om, Tante, apakah bisa nanti kita berbicara sebentar? Ada hal penting yang ingin saya katakan," ujar Awan setelah lama bungkam.

Hadrian mendongak, meletakkan sendok dan garpunya. Menatap Awan penuh dengan keseriusan, "Apakah sangat penting sekali?"

Awan mengangguk, "Sangat penting, Om."

Hadrian mengangguk. "Baiklah, nanti kita biacarakan di ruang keluarga." Lalu lelaki itu kembali melanjutkan menyantap makanannya dengan khidmat.

***

Acara makan sore pun telah usai dan seperti ucapan Awan saat masih berada di meja makan tadi kini Hadrian, Eliza, dan juga Awan sudah berada di ruang keluarga untuk membicarakan sesuatu hal yang penting.

"Apa yang ingin kamu katakana, Awan?" tanya Hadrian.

Awan mendongak, menatap manik mata Hadrian penuh keseriusan lalu ia merogoh saku celananya mengambil sesuatu dari dalam sana. Awan menyodorkan kertas tersebut sembari berkata, "Ini hal penting yang ingin saya ucapkan kepada Om dan Tante."

Hadrian menerima secarik kertas tersebut, dibukanya, lalu ia membaca dengan seksama. Lelaki itu kembali meletakkan kertas pemberian Awan dengan wajah tidak suka.

"Sudah saya bilang berulang kali, Seruni tidak akan pernah saya izinkan untuk mengikuti perlombaan seperti itu. Apalagi tempatnya sangat jauh," tegas Hadrian.

"Tapi ini adalah mimpi putri Om dan Tante. Bisa jadi hanya datang satu kali seumur hidup. Apakah Om dan Tante tidak ingin melihat Seruni sukses di kemudian hari?"

"Kamu tidak akan pernah paham, Awan. Sebaiknya urungkan saja niat itu dan biarkan Seruni fokus pada sekolahnya." Kali ini Eliza yang menyahut.

"Tante, mimpi Seruni tidak banyak. Dia hanya ingin memenangkan perlombaan tersebut untuk menolong kondisi keuangan keluarganya. Apa itu salah?"

"Dia tidak akan pernah memenangkan perlombaan itu!" Eliza mulai mengeluarkan amarahnya. terjadi perdebatan sengit setelahnya.

"Mengapa Tante sangat yakin akan hal itu sedangkan Tante sendiri belum tahu kemampuan Seruni bermain biola. Mimpi dia sangat sederhana, dia ingin membuktikan kepada kalian kalau dia bisa. Dia ingin terlihat di mata Om dan Tante, karena selama ini dia tidak pernah diperhatikan."

"Tahu dari mana kamu jika Seruni tidak pernah kami perhatikan?" sanggah Hadrian, cepat.

"Kalian sangat membedakan kasih sayang antara Seruni dan Lila. Padahal Om dan Tante tidak tahu perilaku Lila ketika berada di luaran sana."

Eliza menggebrak meja, wanita itu tidak terima ketika Awan menuduh putri kesayangannya. "Semakin didiamkan, kamu semakin kurang ajar Awan! Kamu mau menjelekkan Lila? Tidak akan bisa! Dia itu anak kesayangan Tante, dia tidak akan pernah mengecewakan keluarga ini apalagi saya sebagai Mamanya." Eliza berucap sangat yakin sekali, seolah-oleh Lila memanglah gadis lugu dan polos.

Awan terkekeh, "Jika Tante tidak percaya, juga tidak masalah. Yang penting bagi saya sekarang adalah Om dan Tante mengizinkan Seruni untuk mengikuti kompetisi tersebut. Karena ini adalah mimpinya sedari kecil."

"Pah, jangan sampai Papa memberi dia izin untuk membawa Seruni ke ajang kompetisi itu. Jika itu terjadi, maka Mama tidak akan pernah memaafkan Papa!" Eliza kembali berucap tegas kepada suaminya. Wanita itu terlalu banyak mengekang. Dia tidak sadar dampak dari keburukannya tersebut bisa berakibat fatal di masa depan.

"Om, lelaki itu memimpin bukan dipimpin! Om boleh patuh kepada istri, tapi tujuannya untuk menghargai. Bukan malah tunduk lalu patuh dan menuruti apapun kemauan istri," ujar Awan, sembari menyeringai puas.

Hadrian masih terdiam. Lelaki itu juga mempertimbangkan ucapan Awan. Mau sampai kapan dia ditindas seperti itu oleh istrinya? Sudah saatnya memberontak untuk masa depan putrinya juga. Sedari Awal Hadrian mengizinkan Seruni untuk mengikuti kelas biola, tetapi karena kondisi Seruni juga yang tidak memungkinkan membuat dia harus mendengarkan ucapan Eliza untuk tidak membiarkan Seruni bermain biola lagi. Itulah mengapa sebabnya Hadrian melarang putrinya meraih cita-cita terbesar dalam hidup gadis itu.

"Jadi, bagaimana Om? Apa Om masih mau menuruti keegoisan Tante Eliza? Jika iya, maka Om akan menyesal seumur hidup nantinya. Karena ini adalah mimpi Seruni sejak kecil. Ayolah Om, pertimbangkan kembali. Saya berharap Om mengizinkan Seruni untuk mengikuti perlombaan tersebut. Hadiahnya bisa menutupi semua hutang Om, saya bisa menjamin itu semua."

Setelah lama terdiam untuk berpikir, perlahan tetapi pasti Hadrian mulai luluh dengan ucapan Awan. Tidak selamanya juga dia bisa dikendalikan oleh Eliza.

"Saya akan mengizinkan, tapi dengan satu syarat, jaga dan perhatikan kondisi Seruni."

Awan tersenyum bahagia, "Baik Om, saya berjanji akan terus menjaga Seruni."

Eliza yang masih berada di sana hanya diam menatap sengit ke arah Awan dan suaminya. Eliza tidak menyangka, bisa-bisanya suaminya itu menuruti ucapan Awan bocah ingusan yang baru dikenal.

Tanpa mereka sadar, ternyata Seruni dan Farrah mendengar pembicaraan tersebut dari awal hingga akhir. Keduanya berpelukan dalam suasana hati bahagia.

"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya sebentar lagi aku bisa mencapai cita-cita itu. Nenek, Kakek, sebentar lagi Seruni bisa mewujudkan mimpi kalian berdua," batin gadis itu menangis bahagia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top