Part 15

Dalila berjalan santai menuju anak tangga. Gadis itu baru saja kembali setelah satu malam penuh tidak pulang ke rumah dan masih menggunakan baju yang sama.

Hadrian tidak sengaja melihat Dalila yang mau menaiki anak tangga bergegas menghampiri sang putri.

"Lila, dari mana saja kamu!" Suara tegas Hadrian membuat langkah Dalila terhenti, gadis itu memutar tubuhnya untuk menatap sang papa.

"Papa sudah pulang? Kok tumben cepat sekali pulangnya?" tanya gadis itu, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

Hadrian menghampiri sang putri yang masih berada di anak tangga ketiga. Lelaki itu menarik pergelangan tangan Dalila untuk dibawa turun.

"Dari mana saja kamu?!" Hadrian menatap sang putri marah. Hadrian tidak suka dengan pakaian yang dikenakan Dalila yang sangat terbuka dan ketat. Selama ini ia tidak pernah melihat Dalila pulang terlambat apalagi sampai tidak pulang seperti semalam. Eliza selalu saja mengatakan Dalila sudah ada di rumah dan Hadrian percaya begitu saja. Akan tetapi, pada kanyataanya Dalila sering keluar malam bahkan sampai tidak tidak pulang ke rumah.

"Dan Papa mau bertanya sama kamu, kemana uang 300 juta yang kamu ambil dari kartu ATM yang Papa kasih? Kamu belanja apa saja di luaran sana sampai habis ratusan juta?"

Dalila diam, gadis itu bingung ingin menjelaskan seperti apa. Dalila memang diberi ATM sendiri, namun semua pengeluaran Dalila selalu dipantau oleh Hadrian. Kejadian belanja sampai habis ratusan juta tersebut bukanlah kali pertamanya Dalila lakukan, tetapi Hadrian bungkam. Akan tetapi, kali ini lelaki itu tidak akan tinggal diam lagi, karena keuangannya semakin menurun. Bahkan pengeluaran kian membengkak, namun penghasilan minim. Ditambah lagi biaya pengobatan Seruni yang tidak murah. Pikiran Hadrian semakin kacau.

"Ada apa ini, kok ribut-ribut?" Eliza menghampiri sang putri lalu memeluk tubuh Dalila.

"Pah, jangan kasar dong sama Lila, memang dia salah apa?" tanyanya.

"Kenapa Mama tidak melarang Lila keluar dengan pakaian seperti itu? Mama tahu dampaknya memakai pakaian serba minim akan mengundang para laki-laki untuk berbuat lebih. Lalu, kenapa Mama juga tidak memarahi Lila saat dia tidak pulang semalam penuh? Memangnya Mama tahu lingkungan pertemanan di luaran sana seperti apa?"

"Kok Papa jadi berpikiran buruk seperti itu sih sama anak sendiri?" Eliza tidak terima dengan tuduhan sang suami. Eliza yakin putrinya tidak melakukan hal seperti itu.

"Mah, Lila itu perempuan. Banyak resiko yang akan kita tanggung nantinya jika dia terus saja keluar malam tidak jelas."

"Papa bilang Lila keluar itu untuk hal yang tidak jelas?!" Eliza mulai tersulut emosinya.

"Asal Papa tahu saja, Lila keluar rumah itu untuk mencari pekerjaan. Sampai sekarang dia mencari cara untuk mendapatkan uang. Memangnya Seruni yang hanya duduk diam di rumah, malam-malam tidur dengan nyenyak di kamarnya! Anak itu yang sudah menghabiskan uangmu karena kelainannya itu!"

"Mah, kenapa harus Seruni yang salahkan lagi?" tanya Hadrian.

"Karena memang dialah sumber masalah di keluarga ini. Jika Papa tidak mau Mama menyalahkan Seruni, Mama juga minta Papa harus berhenti berpikiran buruk tentang Dalila. Dia keluar juga karena ingin mencari pekerjaan untuk membantu ekonomi keluarga!" sekali lagi Eliza berucap tegas membuat suaminya diam seribu bahasa.

"Dalila sayang, cepat kamu masuk ke kamar lalu bersih-bersih ya kamu pasti lelah," ujar Eliza dengan suara lembut kepada sang putri. Dalila pun mengangguk lalu kembali menaiki anak tangga.

"Sekali lagi Papa menyalahkan Lila, Mama tidak akan pernah tinggal diam!" lalu Eliza melenggang pergi.

Hadrian mengusap wajahnya frustasi. Kondisi otak dan tubuhnya saat ini sama-sama sedang tidak baik. Perusahaan yang dia bangun sejak dulu hampir saja diambang kebangkutan dan dia sendiri tidak tahu penyebab utamanya. Keuangan semakin menipis dan pengeluaran semakin membengkak. Dalila dan Eliza sama sekali tidak peduli dengan kondisi Hadrian saat ini. Malang sekali nasib lelaki itu harus menanggung bebannya seorang diri.

***

Tiga hari sudah Seruni berada di rumah sakit. Terus berbaring di sana membuat semua otot dan persendiannya kaku.

"Eehh, kamu mau ke mana?" tanya Farrah, mencoba mencegah Seruni untuk bergerak.

"Aku bosan Far," jawab Seruni, dengan wajah memelas.

"Boleh tidak keluar sebentar untuk mencari udara segar?" Seruni semakin menampilkan wajahnya yang memelas agar Farrah mau membawanya keluar ruangan yang membuatnya bosan itu, ditambah lagi bau obat-obatan yang semakin membuatnya muak.

"Tidak boleh Run. Sebentar lagi Kak Awan datang, tidak enak dia datang tapi kita malah pergi." Bukannya Farrah tidak ingin membawa Seruni keluar dari kamar rawat, tetapi ia tidak ingin membuat Awan mencari dan menunggu mereka. Karena kedatangan lelaki itu akan membawa kabar berita yang sangat penting.

"Begini saja, kamu mau makan apa hari ini? Mau cemilan mungkin atau mau buah? Aku kupasin ya." Tangan Farrah yang hendak mengambil buah jeruk ditahan oleh Seruni.

"Tidak Far, lebih baik kamu duduk deh. Dari tadi aku capek sendiri liat kamu mondar mandir tidak jelas seperti itu."

"Hei, siapa yang dari tadi berjalan tidak jelas? Dari tadi aku sibuk juga mempersiapkan barang bawaanmu. Kata dokter, nanti sore kamu sudah bisa dibawa pulang."

Wajah Seruni berbinar bahagia, "Sungguh?"

Farrah mengangguk, gadis itu juga memancarkan senyum kebahagiaan, "Iya Run, makanya hari ini kamu harus banyak-banyak istirahat biar sore nanti tubuhmu semakin sehat."

Seruni mengangguk cepat, "Baiklah, hari ini aku tidak akan kemana-mana. Sangat bosan sekali aku di sini."

Saat Seruni dan Farrah tengah asyik berbincang, tidak berselang lama Awan pun datang membawa beberapa bungkus plastik di tangannya.

"Makanan sebanyak ini Kak Awan dapat dari mana?" Farrah melemparkan tatapan penuh selidik.

"Beli lah," jawab Awan singkat.

Farrah menganggukkan kepalanya paham, "Aku kira mencuri," ujar Farrah seringan kapas. Ia tidak tahu akibat dari ucapannya itu membuat Awan kesal.

"Memangnya wajahku ini persis seperti pelaku kriminal?" gumam laki-laki itu kesal.

Seruni terkekeh pelan, "Kalian berdua ini suka sekali memancing keributan satu sama lain."

Ketiganya kembali berbincang. Sesekali Farrah dan Awan saling bertengkar, tetapi semakin membuat suasana seru. Sejenak Seruni melupakan masalahnya dengan tertawa lepas dia bisa membebaskan dirinya dari beban berat yang selama ini dipikulnya seorang diri.

"Oh iya, aku hampir lupa. Ada yang ingin aku kasih tau ke kalian," ujar Awan, di sela-sela candaan mereka.

"Apa itu Kak?" tanya Seruni dan Farrah secara bersamaan. Lalu tawa itu kembali teripta.

"Kita berdua lolos untuk mengikuti seleksi berikutnya!" Awan berteriak saat mengucapkan kabar bahagia tersebut.

"Alhamdulillah." Seruni dan Farrah berpelukan. Tangis haru kebahagiaan tercipta di sana. Namun, tidak berselang lama wajah Seruni berubah sendu.

"Tapi maaf Kak, aku tidak bisa melanjutkan seleksi berikutnya." Gadis itu menunduk sedih ketika mengingat biola pemberian Awan telah rusak tidak berbentuk.

"Loh kenapa?" Awan duduk di samping Seruni, menatap gadis itu penuh keseriusan.

"Biolanya sudah rusak, Seruni tidak punya uang untuk membelinya. Mama dan Papa juga pasti tidak akan pernah mengizinkan."

"Run, kamu tau kan ada kita berdua di sini?" tanya Farrah. "Kita akan membantu semampunya. Pasti Kak Awan punya cadangan biola lagi 'kan?"

Awan mengangguk, "Aku masih ada satu biola lagi di rumah."

"Sebenarnya bukan hanya itu pokok permasalahannya." Wajah Seruni semakin murung. Mengingat mama dan papanya sama sekali tidak mengizinkannya untuk kembali bermain biola.

"Apa itu?" tanya Awan.

"Mama dan Papa," jawab Seruni, sekenanya.

"Aku yang akan bilang sama mereka dan aku akan menunjukkan tiket ini. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja jika niat kita baik."

Seruni tersenyum, semangatnya yang hampir lenyap kini kembali berkobar seperti api. Farrah yang kembali melihat senyum bahagia Seruni pun ikut terharu. Seruni tidak tahu lagi jika mereka menghilang dari kehidupannya, apakah masalah yang Seruni lalui akan seringan ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top