Part 13
Seruni langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat dalam keadaan tidak sadarkan diri. Awan menunggu dengan cemas di depan ruangan UGD. Berkali-kali lelaki itu duduk lalu berdiri untuk memastikan keadaan Seruni yang masih berada di dalam sana bersama dokter dan tim medis.
Dari kejauhan, seorang gadis masih lengkap memakai seragam putih abu-abunya berlari ke arah Awan dengan raut wajah cemas.
"Kak, bagaimana keadaan Seruni?" tanya Farrah, sembari mengguncang tubuh laki-laki yang sedari tadi diam. Kesadaran Awan pun mulai terkumpul. Lelaki itu menatap Farrah yang sudah duduk di sampingnya masih dengan napas terengah.
"Seruni masih ada di dalam. Kamu jangan khawatir, semuanya pasti akan baik-baik saja." Awan menjawab pertanyaan Farrah dengan tenang. Namun, ketenangan itu hanya dipancarkan dari luar, pada kenyataanya di dalam hatinya merasakan cemas yang luar biasa.
"Orang tuanya ke mana?" tanya Farrah, mulai mencari keberadaan Hadrian dan Eliza.
Awan menggelengkan kepalanya, "Tadi mereka juga sempat mengantarkan Seruni, tapi aku tidak tahu setelah itu mereka ke mana."
Farrah mengusap wajahnya frustasi. Menurut Farrah, kedua orang tua Seruni memang sudah tidak mempunyai hati lagi. Putri mereka sedang berada di dalam sana dalam keadaan tidak baik-baik saja, tetapi pergi begitu saja seolah Seruni adalah orang lain di kehidupan mereka.
"Tenangkan diri kamu Farrah, tidak ada gunanya juga kamu marah sama mereka. Yang terpenting sekarang sudah ada kita berdua di samping Seruni. Karena aku tidak yakin jika kedua orang tuanya berada ada di sini akan membuat keadaan Seruni membaik."
"Kakak benar. Karena mereka manusia yang memiliki hati batu. Mau anaknya sesakit apapun tetap mereka akan mementingkan dunia mereka sendiri. Harta kekayaan, tahta, dan kedudukan adalah segalanya bagi mereka. Aku tahu Seruni, aku tahu bagaimana dia mencoba menyembunyikan kesedihannya. Tidak jarang aku melihat Seruni menahan sakit, tapi aku tidak berani bertanya. Hampir 3 tahun aku dan dia bersama dan selama itu pula dia tidak pernah bercerita tentang penyakitnya."
"Seruni adalah sosok gadis yang ingin selalu terlihat kuat untuk orang di sekitarnya. Seruni bukan tipe orang yang menyerah begitu saja atas penyakitnya. Dia terus berjuang melawan itu semua, meskipun aku tahu, itu pasti sangat berat untuknya. Rasa sakit tidak menjadi penghalang untuk dia meraih cita-citanya. Kemarin saja dalam keadaan yang seperti itu, di mana kebanyakan orang tidak mungkin bisa menguasai panggung dengan baik, tapi lihatlah dia! Dia bertahan dari awal sampai akhir dan menyajikan yang terbaik. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diri dia sendiri," ujar Awan.
Farrah mengangguk setuju, "Seruni anak yang baik, dia penurut, dan selalu mengalah dalam segala keadaan. Bahkan di saat dia berbicara benar, lalu disalahkan, dia tidak membela diri, melainkan hanya diam. Karena menurut dia sendiri 'diam' adalah cara paling terbaik untuk menenagkan emosi. Dengan begitu, dia tidak akan lagi menghadapi percekcokan yang sama," ucap Farrah.
Saat Awan dan Farrah asyik berbincang, tiba-tiba saja Hadrian datang bersama dengan istrinya Eliza. Farrah menatap keduanya sekilas lalu membuang pandangannya ke arah lain. Ia sangat tidak ingin melihat keberadaan dua orang yang mempunyai hati batu seperti Hadrian dan Eliza.
"Awan, apa dokter sudah memberitahukan kondisi Seruni?" tanya Hadrian.
"Belum, Om. Mereka masih memeriksa kondisi Seruni di dalam," jawab Awan singkat.
"Pah, ayo sebaiknya kita pulang. Di sini juga sudah ada Farrah dan Awan. Pasti mereka berdua akan menjaga dia dengan baik," ujar Eliza, sembari menarik-narik pergelangan tangan sang suami.
Seketika Farrah langsung berdiri dengan hati penuh amarah.
"Tante itu tidak punya hati nurani ya? Bagaimana bisa seorang Ibu meninggalkan anaknya sendiri di saat dia masih di dalam sana dan belum diketahui bagaimana kondisinya. Tante, tidak kah sedikit anda berpikir betapa sakitnya hati Seruni saat terasingkan di keluarganya sendiri?"
"Heh bocah! Tahu apa kamu tentang Seruni dan tahu apa kamu tentang keluarga saya! Tidak sepantasnya bocah SMA seperti kamu ini menasehati orang yang lebih tua. Fokus saja belajar untuk membahagiakan orang tuamu dari pada harus mengurusi keluarga orang lain. Memangnya kamu siapa berani-beraninya menasehati saya?"
"Saya manusia yang terlahir dengan hati nurani, tidak seperti Om dan Tante."
"Maksud kamu apa?!" teriak Eliza. Hadrian langsung menahan tubuh istrinya agar Eliza tidak menampar Farrah.
"Apakah bahasa saya tidak bisa dipahami oleh manusia seperti anda? Sudah jelas Tan, anda tidak memiliki hati seperti manusia pada umumnya. Anda kejam dan anda tidak berperasaan!"
Eliza mencoba meraih Farrah, namun dengan sigap Awan menjauhkan tubuh mungil itu dari jangkauan Eliza. Hadrian pun masih berusaha untuk menenangkan sang istri dari amarah.
"Ingat Farrah, kamu itu hanya anak kemarin sore, yang masih belum tahu apa-apa tentang kehidupan!"
"Sudah, Mah." Hadrian mencegah.
"APA PAH!" teriaknya, sembari menatap sang suami tajam.
"Papa membiarkan harga diri Mama diinjak-injak sama anak bawang itu? Iya?!"
"Bukan seperti itu masud Papa. Ini di rumah sakit, tempat umum, tidak enak dengan pasien yang lainnya jadi terganggu," jelas Hadrian dan emosi Eliza perlahan mereda.
"Suatu saat nanti Tante pasti akan menyesal!" ujar Farrah.
"Farrah, sudahlah! Lebih baik diam untuk memilih aman."
"Aku tidak bisa diam Kak! Mana mungkin aku bisa diam di saat sahabatku sendiri diperlakukan seperti itu! Dia berhak untuk mendapatkan keadilan!"
"Aku tahu. Tapi tenanglah! Keributan ini bisa mengganggu tim medis yang sedang memeriksa kondisi Seruni di dalam."
Napas Farrah mulai teratur. Gadis itu baru menyadari ternyata tindakannya bisa berakibat fatal untuk Seruni. Tidak berselang lama dokter pun keluar dari ruang UGD dan memanggil keluarga untuk dibawa ke ruang pribadinya.
"Bagaimana keadaan putri saya Dok?" tanya Hadrian setelah lelaki itu duduk di kursi yang telah disediakan.
"Jadi begini, sebenarnya saya membutuhkan beberapa tindakan untuk mengetahui kondisi Seruni lebih lanjut. Apakah Seruni terlahir dengan kondisi normal? Maksud saya tidak ada kelainan?"
Hadrian dan Eliza saling bertukar pandang.
"Ada Dok," jawab Hadrian. "Koarktasio Aorta," sambungannya.
Farrah yang tidak sengaja berdiri di sekitaran ruang dokter tersebut samar-samar mendengar pembicaraan di dalam sana karena pintu ruangan tersebut tidak ditutup dengan sempurna.
"Koarktasio Aorta?" gumamnya, batinnya masih terkejut dengan kabar yang baru saja dia terima.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top