Part 12

Hangatnya matahari pagi kembali menyapa, namu gadis manis malang itu masih terkurung di dalam kamarnya. Hadrian tidak sedikit pun membiarkan Seruni keluar dari kamar apalagi pergi dari rumah. Lelaki itu tidak menghiraukan jerit dan tangis putrinya yang terdengar memilukan di dalam sana.

"Kenapa lagi dia, Mah?" tanya Dalila, yang baru saja keluar' dari kamarnya karena mendengar suara keributan dari luar.

"Biasa lah, anak itu bisanya cuma bikin keributan di rumah ini," jawab Eliza.

Dalila menganggukkan kepalanya, "Bagus deh kalau Papa mulai bertindak tegas. Dengan begitu dia nggak lagi berhalusinasi memainkan biola itu. Sudah tahu' penyakitan, tapi tetap saja susah diatur." Lalu setelah itu Dalila kembali masuk ke kamarnya.

Di sana, di depan pintu kamar Seruni, hanya tersisa Hadiran dan Eliza. Keduanya hanya diam seolah tidak mendengarkan tangisan pilu dari dalam kamar tersebut.

"Papa kenapa masih ada di situ? Tinggalkan saja dia. Anak tidak pernah tahu diuntung buat apa dikasihani! Kalau Papa tidak meninggalkan tempat itu, jangan harap Papa bisa tidur di dalam!" gertakan Eliza mampu membuat Hadiran beranjak dari tempatnya, tetapi langkahnya masih terlihat ragu. Hati kecilnya tidak tega mendengar sang putri menangis terisak di dalam sana.

"Papa!" Eliza kembali berteriak dan kali ini benar-benar membuat Hadiran meninggalkan tempatnya.

***

Dalila mengintip dari balik jendela saat mendengar suara motor ninja berhenti di depan rumahnya. Hanya menggunakan celana dan kaos pendek gadis itu keluar untuk melihat siapa yang datang.

"Hai, Awan. Lagi cari siapa?" tanyanya, sembari memainkan rambutnya yang indah. Kedua matanya menatap penampilan Awan dari atas sampai bawah. Penampilan lelaki itu tidak pernah gagal, wajar bila semua gadis kampus menyukainya.

"Seruni ada?" tanyanya dengan wajah yang datar.

"Ada perlu apa mencari Seruni?" suara itu bukan berasal dari Dalila, melainkan dari Eliza.

"Ada satu hal yang harus saya bicarakan," jelasnya, sedikit senyuman menghiasi wajahnya.

"Seruni sedang tidak enak badan. Sebaiknya kamu pulang!" perintah Eliza.

"Hanya sebentar Tan." Awan tetap memaksa ingin bertemu, karena lelaki itu merasakan ada sesuatu hal yang terjadi dengan Seruni.

"Apa kamu tidak dengar saya bicara? Seruni sedang sakit, dia sedang tidak bisa diganggu sekarang." Eliza berucap dengan suara yang cukup keras.

Tanpa mereka sadari, Seruni yang berada di atas kamarnya melihat kedatangan Awan. Gadis itu mencoba berteriak, tetapi tidak ada yang bisa mendengarnya.

"Seruni benar sakit, atau anda hanya mengarang cerita?" Dengan berani Awan melemparkan pertanyaan tersebut. Lantas Eliza langsung menatapnya sengit.

"Saya ini orang tuanya Seruni, untuk apa saya berbohong tentang kondisi putri saya sendiri? Dia memang sedang sakit dan membutuhkan istirahat lebih untuk hari ini."

"Sejak kapan anda peduli dengan kondisi Seruni?" Awan berhasil memancing emosi Eliza. tidak berselang lama Hadiran datang.

"Siapa kamu? Kenapa pagi-pagi sekali sudah ribut di rumah saya?" tanya Hadiran, yang sudah berdiri di samping istrinya.

"Saya Awan Om. Jika Om masih ingat, kita pernah bertemu di rumah sakit saat Seruni dirawat," jelas Awan, nampak membuat Hadrian berpikir keras.

"Ohh, iya saya sudah ingat. Ada perlu apa ke sini?" tanyanya, masih terdengar ramah nada suaranya.

"Seruni-nya ada Om?" Awan masih mempertanyakan seseorang yang sama. Selama Awan berdiri di sana, kedua matanya mencoba mengintip ke dalam rumah Hadrian, tetapi ia tidak menemukan tanda-tanda Seruni ada di sana.

"Seruni sedang istirahat total dan tidak bisa diganggu." Wajah Hadrian sudah berubah tidak suka.

"Benarkah?" tanya Awan, lelaki itu tidak sengaja melirik ke arah atas, tepatnya pada jendela kamar lantai dua. Sekilas Awan melihat sosok bayangan gadis yang dia cari. Tanpa permisi, Awan langsung berlari ke dalam rumah Hadrian tidak peduli sang pemilik rumah akan murka nantinya.

"Mau ke mana kamu?!" teriak Hadrian, lalu lelaki itu menyusul langkah Awan yang sedang menaiki anak tangga.

BRAK!

Pintu itu terbuka setelah beberapa kali Awan mencoba untuk mendobrak secara paksa. Lelaki itu diam membisu dengan keadaan hati berdenyut nyeri saat melihat kondisi Seruni yang megenaskan.

Perasaan Awan kembali tertikam saat mata Seruni yang sayu tidak berdaya menatap ke arahnya seolah sedang meminta tolong.

"Kalian berdua memang orang tua tidak punya hati!" ujar Awan menatap Hadrian dan Eliza tatapan tajam. Lalu ia menghampiri Seruni yang meringkuk tidak berdaya di sana.

Hadrian diam, membekap mulutnya dengan tangan sendiri. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Batin lelaki itu bagai teriris saat melihat banyaknya bercak darah yang berceceran di atas lantai kamar sang putri, serta tisu yang sudah penuh dengan noda merah. Ia menatap wajah putrinya yang sembab dengan wajah terlihat pucat dan mata sayu. Tanpa lelaki itu sadari, air matanya menetes. Sementara Eliza, wanita itu menatap Seruni semakin tidak suka.

"Seruni, kita ke rumah sakit sekarang ya?" Awan menangkup kedua pipi gadis itu menatapnya iba.

"Tidak perlu Kak, Seruni baik-baik saja." Ia berucap dengan senyuman, seolah memperlihatkan dirinya sedang baik-baik saja padahal pada kenyataanya tidak demikian.

"Apa seperti ini cara kalian memperlakukan putri kandung sendiri?" Awan menatap sengit Hadrian dan Eliza secara bergantian.

"Sudah Kak, jangan salahkan Mama dan Papa. Mereka tidak salah, di sini aku lah yang salah." Gadis itu berucap dengan suara lirih. Tubuhnya semakin melemas membuatnya tidak bisa mengeluarkan suara lebih keras.

"Tapi Run ...."

"Ssssttt." Seruni menempelkan jari telunjuknya tepat di depan bibir Awan membuat ucapan lelaki itu terhenti. Pandangan mata keduanya saling bertemu.

"Maafkan Seruni tidak bisa menjaga biola itu. Sampaikan maafku juga kepada adikmu, aku tidak bisa menjaga biola kesayangannya." Ucapan Seruni semakin melemah dan membuat kekhawatiran Awan meningkat. Tidak berselang lama, kesadaran Seruni pun perlahan menghilang.

Awan mengguncang tubuh Seruni, berharap bisa membuat gadis itu tersadar. Namun, nyatanya sia-sia mata indah yang selalu ia pandang dalam diam itu kini berhasil tertutup rapat. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top