Part 10

Sesampainya Dalila di rumah, gadis itu langsung dihadang oleh Seruni dan yang lebih membuatnya naik pitam lagi adalah Seruni menanyakan hal yang membuatnya tersinggung.

"Siapa lelaki itu Kak, kenapa Kakak diam saja?" tanya Seruni, terus menerus menanyakan hal yang sama meskipun gadis itu tahu sang kakak sedang marah padanya.

"Heh, kalo lo nggak tau apa-apa, lebih baik diem deh! Dia bukan siapa-siapa cuma teman biasa," jawab Dalila, dengan nada suara menaik. Kedua pancaran matanya semakin menatap Seruni sengit, pasalnya sang adik terus saja memojokkannya dengan rentetan pertanyaan yang sama.

"Tidak mungkin dia teman Kak Lila, usianya saja jauh di atas Kak Lila. Apa jangan-jangan Kakak mau jadi perusak hubungan orang ya?" tuduh gadis itu semakin membuat Dalila marah.

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Seruni membuat bibir gadis itu seketika terdiam. Sesaat setelah tamparan itu terjadi membuat seluruh permukaan pipi kanan gadis itu merasakan panas dan nyeri. Ia menoleh dan mendapati Eliza sebagai pelaku.

"Kamu itu benar-benar Adik tidak tahu diri! Bisa-bisanya kamu menuduh Kakak kamu sendiri sebagai gadis perusak rumah tangga orang?! Mikir dong kamu! Lila itu sedang mencari kerja untuk memperbaiki ekonomi keluarga, kamu anak tidak berguna lebih baik diam jangan banyak protes!" sarkas Eliza pedas.

Meskipun ucapan Eliza menusuk hati Seruni, tetapi tidak ada satu tetespun air mata yang mengalir di kedua pipinya. Akibat terlalu sering mendapat ketidak adilan, membuat Seruni sudah terbiasa akan hal itu.

"Mah, tapi aku lihat dengan mata kepala aku sendiri kalau laki-laki itu memegang tangan Kak Lila. Apa itu yang dinamakan mencari kerja?"

PLAK!

Tamparan itu kembali Seruni rasakan, tetapi kali ini lebih sakit dan perih. Eliza tidak lagi mempunyai rasa belas kasih kepada putrinya sendiri.

"SINI KAMU!"

Eliza berteriak, sembari menarik pergelangan tangan Seruni secara kasar. Dibawanya gadis malang itu ke dalam kamar mandi lalu diguyur menggunakan satu ember air penuh tanpa ampun. Tubuh Seruni sudah basah kuyup tanpa terkecuali. Menggigil kedinginan, namun tidak ada yang peduli.

"KAMU ITU HIDUP DI SINI SUDAH ENAK! MAKAN GRATIS, TEMPAT TINGGAL GRATIS, SEKOLAH PUN KAMI YANG MEMBIAYAI! MASIH BISA-BISANYA KAMU MENUDUH MAMA TIDAK BISA MENDIDIK KAKAK KAMU DENGAN BAIK! INGAT SERUNI, ANDAI SAJA DULU NENEK DAN KAKEK KAMU YANG SUDAH DI ALAM KUBUR TIDAK MENCEGAH KAMI UNTUK MELENYAPKAN KAMU, MUNGKIN SEKARANG KAMU SUDAH BERSAMA MEREKA! AKU MENYESAL MENURUTI APA KATA TUA BANGKA ITU! MEREKA PERGI DAN MENINGGALKAN KAMU BERSAMA KITA. SEHARUSNYA KELUARGA INI HIDUP ENAK, RUKUN, DAN DAMAI, TAPI GARA-GARA KAMU SEMUANYA BERANTAKAN!"

Napas Eliza terengah setelah berteriak tepat di depan wajah Seruni. Wanita itu tidak peduli dengan hati sang putri yang semakin sakit dan terluka. Bahkan setelah mengatakan kalimat-kalimat pedas seperti itu Eliza sedikit pun tidak merasa bersalah.

Seruni menggeleng tidak percaya, "Aku tidak ingin dilahirkan, bukan kemauanku juga terlahir seperti ini," ujarnya dengan suara terbata-bata. Tangis Seruni akhirnya pecah membuat ia tidak bisa mengeluarkan suara dengan sempurna.

"MAKANYA LO ITU HARUS TAHU DIRI! UDAH UNTUNG MAMA SAMA PAPA NGGAK MEMBUNUH LO WAKTU MASIH DI DALAM KANDUNGAN!" ujar Dalila, berucap keras di dekat telinga Seruni, menjambak rambut sang adik tanpa ampun.

"Kak Sakit," bisik Seruni dengan suara lirih terdengar pilu.

"Oh sakit?" tanya Dalila, gadis itu semakin menarik rambut Seruni ke belakang membuat kepala sang adik mendongak ke atas.

"Sudah Kak, ampun." Seruni semakin memohon agar Dalila segera melepaskan cengraman tangan itu pada rambutnya. Sungguh, kepala Seruni sakit saat sang kakak menarik rambutnya tanpa perasaan.

"Sekarang lo bisa minta ampun! Dari tadi kemana aja? Nuduh gua yang bukan-bukan. Lain kali kalo punya mulut dijaga! Giliran diginiin aja lo mewek, nangis, minta ampun! Dasar nggak guna!" Dalila melepaskan cengkraman tangannya pada rambut Seruni secara kasar, membuat kepala sang adik terhuyung ke depan sampai membentur dinding.

"Awas kamu ya kalau berbuat ulah lagi," ancam Eliza, lalu wanita itu melenggang pergi kemudian disusul oleh Dalila.

Darah segar mengalir deras melalui lubang hidung Seruni, gadis itu mencoba menghentikan cairan merah tersebut dengan cara mendongakkan kepalanya. Tidak berselang lama, disusul rasa sakit di bagian dada sebelah kirinya sampai membuat gadis itu meringis menahan sakit.

"Ya Allah, apa lagi ini?" gumam gadis itu lirih. Seruni masih terus mengatur pernapasannya, berharap rasa sakit yang menyerang jantungnya tidak semakin menyiksa.

Tangan Seruni mencoba menggapai benda apa saja yang bisa menopang tubuhnya. Gadis itu mencoba untuk berdiri. Susah payah gadis itu mencoba untuk menegakkan tubuhnya, meskipun berkali-kali harus bertekuk lutut sampai membuat kakinya terkilir. Meskipun harus menahan sakit, Seruni tidak menyerah begitu saja, dan akibat dari usahanya tersebut ia berhasil berdiri meskipun harus merambat dinding. Seruni mampu keluar dari kamar mandi dengan usahanya sendiri.

Perlahan kakinya menuju tangga, menaiki anak tangga tangga tersebut dengan langkah yang sangat pelan. Sempat ia terpeleset akibat tetesan air yang berasal dari tubuhnya membuat lantai tangga tersebut licin, tetapi untunglah tangannya terus berpegangan pada railing tangga membuatnya aman tidak tergelincir.

Di sepanjang anak tangga yang Seruni lalui, sepanjang itu pula darah terus mengalir melalui hidungnya. Mimisan itu belum juga usai meskipun berkali-kali Seruni mendongak mencoba menghentikan pendarahan tersebut. Akan tetapi, tidak berhasil. Tidak sedikit darah yang berceceran melumuri lantai putih itu.

Tertatih-tatih langkahnya menapaki setiap inci lantai tangga yang ada, akhirnya Seruni sampai juga pada anak tangga teratas. Sejenak gadis itu mengistirahatkan tubuhnya, lalu setelah rasa lelahnya sedikit berkurang, Seruni kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar.

Seruni masuk ke dalam kamarnya tidak lupa untuk mengunci pintunya. Kembali berjalan perlahan menuju laci meja belajarnya untuk mengambil beberapa pil yang biasa diminum ketika sedang kambuh. Pil tersebut biasanya ia tebus di salah satu apotek terdekat dengan harga yang tidak murah. Itu lah sebabnya mengapa Seruni sering kali disalahkan mengenai keuangan keluarga yang sedang memburuk.

Setelah pil-pil itu berhasil masuk ke dalam tubuhnya, Seruni terdiam menunggu beberapa saat obat itu bekerja. Seruni mendudukkan tubuhnya di atas kursi kayu usang miliknya dengan napas yang masih terengah. Seruni mengambil beberapa lembar tisu untuk menghilangkan noda darah di hidung dan bibirnya. Akibat terlalu deras darah itu keluar sampai membuat cairan merah tersebut memenuhi bibir Seruni. Setelah dipastikan bersih, gadis itu menoleh menatap dirinya di pantulan cermin. Ia tersenyum ke arah bayangannya sendiri. Akan tetapi, senyum itu terlihat mati.

"Nenek, Kakek, kenapa kalian tidak membawa Seruni pergi bersama kalian?" gumam gadis itu lirih, air matanya kembali menetes dan darah itu kembali mengalir. Buru-buru Seruni menarik selembar tisu lagi untuk menghilangkan darah tersebut. Gadis itu kembali mendongak untuk menghentikan darah itu agar tidak terus mengalir.

"Tuhan, sampai kapan aku akan hidup seperti ini?" gumam gadis itu lagi dengan kelopak mata yang tertutup lalu beberapa menit kemudian disusul satu tetes cairan bening mengalir di kedua sudut matanya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top