26 : sembunyi

"Mas Sam! Buka pintunya! Gue tau lo ada di dalam!"

Gedoran itu terdengar semakin mengganas. Ara dengan wajah geram semakin batu saat dipandangi tetangga apartemen Semesta yang merasa terganggu. Ia geram, kesal dan bingung. Semesta yang dikiranya sudah baik-baik saja kini kembali pada kebiasaan lamanya; menghilang. Semesta tidak mengabari Ara sama sekali mengenai alasannya membolos dan menghidar. Hal itu mendorong Ara untuk nekad menyambangi apartemen Semesta selama empat hari berturut-turut pula. Mulai dari menelepon, spam pesan, ataupun sekadar mengetuk pintu dan membunyikan bel. Bukan apanya, Ara hanya khwatir jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di balik pintu itu. Namun, harapan gadis tersebut selalu pupus tatkala sebuah pesan masuk di ponselnya tiap kali ia berdiri di depan pintu Semesta.

"Ara, gue baik-baik aja di apartemen. Tolong pulang, ya. Gue mau sendiri."

Hari pertama sampai kedua, Ara mafhum. Dengan berat hati, ia harus pulang kendati banyak tanya muncul di benaknya. Pesan-pesan yang dikirimkan Ara berikutnya pun diabaikan begitu saja membuat gadis bermata cokelat kopi itu tambah gusar. Apa ia melakukan sesuatu yang salah? Apa Semesta marah kepadanya karena setiap hari Ara minta traktiran dengan harga yang semakin melunjak? Ara hilang akal, maka dari itu ia memutuskan untuk tantrum hari ini dengan satu tujuan: agar si Mas Sam itu mau menampakkan batang hidungnya kepada Ara.

"Woi Mas Sam! Budeg ya? Ayo keluar!" teriaknya lagi.

Tetangga Semesta dengan wajah mendelik berusaha menghentikan Ara. "Dek, udah. Kamu mending pergi atau saya hubungi keamanan sekarang."

Ara merengut. Ia menatap wanita paruh baya itu dengan wajah sedih. Hanya ada satu cara yang bisa membuat Ara masuk ke dalam apartemen itu dan bertemu Semesta sekarang juga. "Bu, tolong saya." Ara meraih tangan wanita itu. "Mama saya sekarat di rumah sakit. Tapi Kakak saya ngurung diri di dalam apartemen. Tolong Bu, seenggaknya sebelum Mama saya pergi, biarin dia ketemu sama kakak saya dulu, ya? Ini permintaan terakhir Mama," ucap Ara sembari menyeka air mata dusta.

Semesta memilih menghindar. Menurutnya itu adalah keputusan paling tepat, tempat yang paling pantas, pilihan yang sudah semestinya. Ia mengabaikan telepon dan pesan Pak Jaya setiap pagi. Dia lantas mengabaikan Ara, orang yang mati-matian ingin ia hindari. Semesta tidak punya alternatif lain. Rasa bersalah itu terus bermunculan, penyesalan datang beramai-ramai setiap pagi, siang dan malam. Mereka merangkak pelan ke kasur Semesta, bergelayutan di kaki, tangan dan leher ketika Semesta mencoba bangkit untuk berjalan.

Kelam itu ikut-ikutan mengejek juga. Katanya, Bara-lah yang meminta secara khusus untuk menghantui Semesta, menghasutnya untuk gantung diri, lompat dari gedung, ataupun mengiris pergelangan tangan. Ia menceletuk, berkata tanpa beban bahwa dirinya hanya mengingatkan kembali kegemaran kelam yang dulunya sering dilakukan oleh Semesta, tapi tak kunjung berhasil.

Semesta mual. Ia membayangkan otak Bara yang berhamburan keluar, melilit wajahnya dengan bau amis darah. Ketika putra tunggal Byandara itu merasa tercekik, bayangan Bara ikut terkikik, tiba-tiba menghilang ketika Semesta berbalik. Ketika Semesta sibuk mengeluarkan isi perutnya yang semakin pedih, tiba-tiba bel apartemen berbunyi diikuti ketukan-ketukan yang tak sabar. Tak lama kemudian, ponsel Semesta ikut berdering, sebuah pesan masuk dari Ara yang menanyakan kabarnya muncul di layar ponsel diakhiri dengan kalimat, "Gue ada di depan."

Namun, Semesta tak percaya diri. Ia takut suatu saat nanti iris cokelat kopi itu akan memandangnya benci, jijik, sinis. Semesta belum siap, sampai kapan pun ia tak akan siap. Lagi pula dari semua panti asuhan yang ada, mengapa Ara dan Bara harus tinggal di tempat yang sama?

"Ara, gue baik-baik aja di apartemen. Tolong pulang, ya. Gue mau sendiri," balas Semesta. Semenit kemudian, bel yang meraung dan ketukan itu terhenti. Ara pulang dengan segudang pertanyaan dan bentuk protes diri yang gadis tersebut utarakan via pesan singkat. Semesta meletakkan ponsel. Jika ia hiraukan sekarang, maka Semesta akan semakin sulit untuk jauh dari Ara.

Hari pertama hingga hari ketiga respon Semesta tetap sama dan mau tidak mau, Ara manut pada permintaan Semesta. Namun, sepertinya Ara sudah hilang akal hari ini. Bukan ketukan atau suara bel yang menyambut Semesta sore itu melainkan gedoran yang menggelegar.

Semesta mengernyit. Menutup kepalanya dengan bantal, berharap bantal itu dapat mereda keributan yang disebabkan oleh gadis berambut sepanjang dada di luar sana. Syukur-syukur apabila napas Semesta berhenti karena sesak napas saat itu juga.

Tidak sampai lima menit, suara gedoran berhenti. Namun, dering telepon rumah yang jarang berbunyi kini bergantian memenuhi unit apartemen Semesta yang lengang. Telepon itu sudah seperti benda antik yang tidak pernah difungsikan. Apabila ia berdering, itu berarti hanya pihak-pihak tertentu dengan kepentingan tertentu pula yang menghubunginya, misalnya saja petugas keamanan apartemen yang memiliki semua nomor telepon untuk apartemen. Ada apa gerangan ia tiba-tiba dihubungi? Meskipun agak sangsi, pemuda itu perlahan bangkit menuju telepon rumah.

"Halo?" Semesta melongo mendengar ucapan petugas keamanan. Kini ia tak punya pilihan selain membiarkan Ara masuk ke dalam apartemennya.

"Sejak kapan lo jadi adik gue?" Ara disambut pertanyaan kecut dari Semesta setelah baru selangkah masuk apartemen. "Kenapa pake bohong segala? Mana lo bilang lo adik gue yang perlu kabarin kakaknya karena mamanya di rumah sakit lagi. Satpam sama tetangga gue pada percaya pula." Terdengar helaan napas. "Ara, gue cuma ... pengin sendiri dulu."

Ara menunduk. "Maaf, Mas Sam. Gue udah bikin lo nggak nyaman." Gadis itu mengangkat kepala. "Gue khawatir sama lo karena udah hampir seminggu nggak masuk sekolah. Lo ... baik-baik aja 'kan?"

"Gue baik-baik aja, Ra."

"Kalau gitu lo ada masalah apa? Apa gue justru ada salah sama lo?" Nada suara Ara yang lesu membuat Semesta menelan ludah kelu. Dialihkannya pandangan ke sembarang arah, ke mana saja asal bukan ke arah iris cokelat kopi itu. "Mas Sam, gue minta maaf, ya?"

Semesta hampir menangis mendengar itu. Andai saja ia bisa menumpahkan air mata dan berteriak sekarang juga bahwa dialah yang sudah bersalah. Byandara yang telah membunuh Bara, bahkan setelah tubuh Bara menyatu dengan bentala pun ia masih jua dibungkam dengan uang dan derita. Kematiannya yang tidak adil dikubur rapat-rapat oleh ayah dan mama Semesta atas dasar nama baik Byandara yang sangat mereka agung-agungkan itu.

"Lo nggak salah." Semesta memegang bahu Ara. Mendorongnya perlahan lantas meraih gagang pintu. "Gue cuma nggak mau lihat lo lagi."

Ara menatap Semesta lamat-lamat. "Kenapa?"

"Maaf, Ra." Pintu lantas ditutup, menyisakan Ara yang terpaku sendirian menatap pintu cokelat yang memunggunginya dengan angkuh. Pandangan Ara kosong, pun pikirannya diselimuti kabut tebal yang tak berujung.

Ariq tersenyum ketika Hani, teman sebangku Ara sekaligus adik dari Harun baru saja pulang dari sekolah. Ia memulai dengan berbasa-basi, "Baru nyampe, Han?"

Hani mengangguk. "Iya, Kak. Ada rapat ekskul tadi." Gadi berhijab itu kemudian melepaskan sepatu. Ia mendapati Ariq yang celingukan, seakan-akan mencari sesuatu. "Kenapa, Kak Ariq?"

Pemuda berkacamata itu menggeleng seraya tersenyum. Ia berdehem, memamerkan lesung manis di pipinya. "Teman kamu yang mukanya datar itu--si Ara--dia nggak main ke sini lagi ya?"

Si gadis berhijab menggelengkan kepala. "Ara jarang ke rumah, sih. Terlebih Ara juga sibuk urus ayahnya di rumah sakit. Belum lagi belakangan ini dia khawatir banget sama temannya dari kelas lain yang udah bolos berhari-hari itu," gerutu Hani sambil menaruh sepatu pada rak. Terlintas di benak tentang wajah Ara yang biasanya datar malah tambah datar lagi sehabis mengunjungi MIPA 9, kelas Semesta.

Hani Sanira lalu berpamitan kepada Ariq untuk segera bebersih di kamarnya sebelum makan malam. Sampai di kamar, Hani merasakan sesuatu yang janggal soal teman kakaknya itu. Mengapa tiba-tiba ekspresi Ariq menjadi semringah dan senyumnya semakin lebar ketika baru saja mendengar ucapannya barusan? Apa ada hal yang lucu dari gerutuan Hani saat melepas sepatu tadi?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top