24 : lara

"Semuanya rusak. Semuanya salah saya. Si Byandara dan Xatariq benar, tapi saya tetap ingin mengutuk mereka. Maaf, maaf, maaf. Saya benar-benar minta maaf. Saya sudah tidak bisa lagi bertahan di sini. Terlalu berat, dada saya sesak. Saya tidak berharap apa-apa. Saya hanya ingin semuanya berakhir saja," ucap secarik kertas di belakang buku Bara yang didapati oleh Semesta.

Buku itu dengan tangan bergetar dibuang ke tempat sampah. Si penulisnya sudah mati, meregang nyawa. Satu-satunya hal yang harus diperbuat Semesta sekarang adalah patuh dan menghapus segala jejak derita Bara seakan semuanya baik-baik saja.

Pada akhirnya, hanya Bara yang sakit jiwa dan bermental lemah sementara Semesta dan sekolah swasta elit itu tidak tahu apa-apa.

Puncaknya adalah di sana. Ketika hari begitu tak jelas dan langit tiba-tiba menangis keras setelah Bara pulang sekolah. Pemuda itu segera berlari, menembus amarah langit yang temaram menuju kafe tempatnya bekerja paruh waktu. Ia memeluk ranselnya di depan dada. Menjaga buku-buku pelajaran yang sudah setara dengan nyawanya. Seharusnya Bara sudah sampai sedari tadi bila naik angkutan umum, tetapi uangnya menipis. Kalau ia mementingkan diri sendiri dan enggan berlari satu kilometer dari sekolah ke kafe, maka Bara tidak perlu kebasahan seperti ini. Hanya saja, ia terbayang wajah ibu panti yang sudah lelah dan adik-adiknya yang selalu menyambutnya manis ketika pulang kerja. Lebih baik uang tak seberapa itu ia tabung dan berikan ke panti saja.

Bara sudah terengah dengan pakaian hampir kuyup semua ketika sampai di kafe. Ia menyugar rambut yang lepek dan basah lantas memeriksa tasnya dengan saksama, aman, hanya sedikit cipratan di bagian depan. Lelaki itu menyempatkan diri untuk menoleh, mengawasi keadaan kafe yang kontras dengan langit abu yang mengamuk hebat di atas sana. Bara menghela napas, mendorong pintu kaca di depannya perlahan. Tersenyum kikuk kala melihat perempuan muda berapron cokelat susu— sang pemilik kafe—menatapnya tak habis pikir. "Dari mana aja? Kenapa kamu nggak pakai bus atau angkutan umum aja ke sini?" Ia menatap Bara dari atas sampai bawah. "Kamu basah kuyup, Bar."

Bara tidak buta dan tolol. Ia tahu akan hal itu, tapi hanya senyum yang ditampilkannya. "Maaf, Kak. Saya ketinggalan bus tadi. Saya punya baju cadangan kok di loker."

Si nona muda mendengus pelan. "Ya udah, ganti sana."

Tak lama sebelum Bara angkat kaki dari depan pintu, lonceng lembut kafe berbunyi. Kali ini agak nyaring dan membuat Bara terdistraksi. Petir menyambar, langit bergemuruh seperti meronta-ronta. Kelabu itu seketika memancar di wajah Bara kala melihat sosok yang baru saja masuk di hadapannya.

Rambut hitam menggantung di atas bahu, agak bergelombang di ujungnya. Tahi lalat di pipi kiri dan pandangan teduh. Wajah itu adalah wajah yang ia damba. Wajah yang selama ini Bara pelototi kala dirinya sukar tidur atau tengah mencari-cari alasan untuk hidup saja.

Bara terpana. Tidak menyangka dengan penglihatannya. Takdir begitu tiba-tiba mempertemukan ia selekas ini. Ah, tidak-tidak. Bara sudah menunggu cukup lama. Mungkin ini adalah jawaban dari keluhnya selama ini.

"Ibu?" lontar Bara tanpa aba-aba, tanpa bisa dibendung. Mata mereka bertemu, sama-sama terdiam seribu bahasa.

Semesta mengangkat alis. Bertemu dengan Bara di mini market waktu itu adalah hal paling terakhir yang ia ekspektasikan. Tangan mereka terulur, keduanya berdiri berdekatan untuk mengambil minuman dari kulkas yang sama. Kening Semesta spontan berkerut tatkala menghirup aroma yang begitu menyengat berasal dari pakaian Bara. "Lo ngerokok sampai berapa batang, sih?" celetuk Semesta spontan.

Bara mengangkat kepala. Sedikit terkejut dengan pertemuan tak sengaja ini. Ia membuang wajah. "Bukan urusan lo."

Semesta mengedikkan bahu tak acuh. Dia sendiri bukan perokok, tetapi Ariq ialah seorang perokok berat. Maka dari itu hidung Semesta sangat sensitif, sudah khatam, hafal mati dengan bau tembakau tersebut. "Baru tau siswa panutan juga ngerokok." Terdengar sindiran yang pekat dari suara menyebalkan itu. "Bukannya lo masih tinggal di panti? Emang panti asuhan lo ngebolehin anak asuhnya ngerokok? Lagian lo dapat uang dari mana buat beli rokok?" Saat Semesta telah mendapatkan sebotol youghurt stroberi di tangannya, ia pun berbalik pergi. "Well, good luck. Semoga lo gak ketahuan sama panti lo."

Rahang Bara mengetat. Perkataan Semesta justru membuat satu sudut hatinya tersentil. Rambut apek Bara yang kering selepas hujan, pakaian basah di kresek hitam yang ia jinjing, dan letih yang duduk bersimpuh di bahu Bara. Keramahan sudah pamit sejak lama dari akal sehat remaja laki-laki itu. "Sok tau."

Hening lima detik. "Apa?" Kerut-kerut di kening Semesta meminta penjelasan.

Bara tak peduli. Harinya buruk, bertemu Semesta malah makin membuatnya merasa lebih buruk. "Dasar orang kaya sok tau," ungkap Bara sembari menatap Semesta lurus. Tangannya dikepalkan kuat-kuat. "Berlagak paling bener, padahal sendirinya juga rusak. Bikin muak."

Semesta terheran sendiri. Tidak terbesit seikitpun di pikirannya untuk murka apalagi meninju bintang kelas di hadapannya ini. Ia hanya terpaku, tidak tahu apa yang salah dengan otak si ambisius kesayangan guru itu. Apa kebanyakan belajar membuat kepalanya error dan berhenti bekerja? Setelah melempar tatapan sinis, Bara berlalu pergi dengan menyambar sekaleng kopi dari kulkas. Kala itu Semesta tidak tahu — dan tidak akan pernah tahu — tentang hal menyebalkan apa saja yang Bara lalui di hari tersebut.

Hati yang berat menuntun Bara melangkah pergi dari mini market. Air matanya yang hampir-hampir jatuh, kini lolos dari tahanan. Bulir-bulir itu mengalir, bak gerimis yang menciumi pipi bara yang dingin. Air mata itu asin di ujung bibir, tetapi pahit di dalam jiwa.

Byandara itu tidak penting baginya, karena dunia Bara sudah hancur sejadi-jadinya sore tadi.

"Ibu—"

"Mama!" Jantung Bara mencelus. Ia berhenti bernapas, darahnya berhenti beredar. Di depannya seorang anak laki-laki berseragam SD memeluk lengan wanita di depan Bara dengan manja. Pipinya yang putih menyembul gemas ketika ia tersenyum manis tatkala wanita yang dipanggil mama melayangkan usapan di sepanjang kepalanya.

"Anak mama mau apa?" Wanita tersebut mengalihkan pandangan. Suaranya lembut, tapi menusuk tepat di degup jantung Bara. Ia lalu berbicara sebentar dengan putranya, kembali mendongak, melihat Bara yang kini menatapnya nanar. "Kenapa ya, Dek?" ucapnya risi.

'Dek'? Apa maksudnya itu 'adek'? Bahkan bukan 'nak', tapi 'dek'. Bara menelan ludahnya susah payah. Tangannya bergetar, menggigil kedinginan. Ia mengatupkan mulut rapat-rapat. Menyesal telah mengucapkan panggilan sakral kepada wanita yang bahkan tidak mengingatnya.

Wanita itu berlalu dengan pandangan bingung, tidak nyaman. Bara pun kena amuk pemilik kafe, rekan kerjanya yang lain ikut protes sebab kerjaan Bara tidak becus seharian itu. Entah melupakan orderan, salah membawa pesanan, atau menjatuhkan minuman yang harus diantarkan kepada pelanggan. Bara membuat satu kafe hectic dan pusing karena tingkahnya. Bahkan setelah wanita itu pergi, Bara tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak bisa menyampaikan rindu, menyalurkan peluk, dan tersenyum seraya dicium sayang. Tidak ada panggilan ibu dari mulut Bara, yang tersisa hanyalah panggilan mama dari wajah asing yang tak Bara harapkan, serta damba yang berujung lara.

.
.
.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top