23 : damba

Bara api itu menyala-nyala, menatap nyalang anak laki-laki yang tengah hilang dalam khayalan. Hangat benda oranye terang itu menjilati wajah Bara Aditya. Membuatnya terkesiap, menjauh ke belakang. Ibu panti yang menahan punggung Bara yang hampir jatuh menatap dengan senyuman. "Jangan terlalu dekat dengan api, ya," katanya.

Bara manut. Ia menjauh beberapa langkah. Menampilkan gigi geliginya ketika Ara datang seraya mengangkat sekotak kue tart dengan susah payah. "Kamu datang, Ra." Ara mengangguk semangat. Ia lalu bercerita tentang kue berlapis krim putih dengan ceri yang dia bawa. Di sebelahnya, orang tua angkat Ara ikut tersenyum melihat tingkah putri mereka. Hari Yudhiro menjabat tangan ibu panti, lantas ia dan istrinya bercakap-cakap sebentar kemudian menyerahkan sebuah amplop cokelat. Mungkin isinya uang, kartu ucapan tahun baru, atau apa pun itu Bara tidak tahu. Yang jelas setelah menerimanya, ibu panti berterima kasih. Ujung matanya berair, dan ibu angkat Ara menarik wanita pemilik panti itu ke dalam pelukan.

Suasananya hikmat, lengkap dengan Ara yang masih mengoceh tentang hari-hari barunya. Hari-hari dengan orang tua angkat yang menyanginya. Hari-hari yang begitu Bara damba, tapi tak pernah ia dapatkan.

Anak panti berlarian keluar. Menyambut Ara, kegirangan dengan kue cantik yang anak perempuan itu bawa. Sementara Ara sibuk dengan kue dan anak-anak panti lain, Bara kembali termenung. Api untuk bakar jagung masih terang-terangan memelototi Bara. Semakin ditatap, semakin ia galak. Semakin diamati, semakin ia berteriak.

Pikiran Bara untuk beberapa detik kembali tenggelam, berkecamuk hebat. Memangnya apa yang bisa dipikirkan oleh anak kecil hingga begitu seriusnya di malam tahun baru yang penuh suka cita itu? Bara tidak tahu. Ia lupa-lupa ingat akan kejadian itu. Entah apa yang dibisikkan asap yang mengusili indranya, yang jelas Bara bisa memastikan bahwa ada perasaan iri tak tertandingi yang ia rasakan di lubuk hati.

Sama seperti Ara yang datang karena kisah sedihnya--ayah yang pemabuk dan tidak sengaja membunuh bundanya ketika kalah judi di suatu malam. Alhasil Ara menjadi seorang piatu tanpa seorang sanak keluarga yang ingin mengurusnya. Mereka bilang, merawat bocah traumatis seperti Ara itu sangat berat, sudah di luar kuasa mereka katamya. Berikan saja ke panti asuhan, toh mereka lebih becus menanganinya.

Begitu kejam. Orang dewasa terlalu beringas. Mereka menakutkan dan Bara sudah lama tahu hal itu sebab ia sendiri berakhir di panti asuhan karena dibuang, ditelantarkan, tidak diinginkan. Wanita yang seharusnya menjadi ibu tempat berlindung Bara, justru meletakkan tubuh kecilnya di dalam kardus sendirian. Hanya selimut lusuh dan tangisan kesepian Bara yang terngiang malam itu sebelum akhirnya ibu panti memboyongnya masuk dan menghadiahkan Bara sebuah kehangatan, tempat untuk bernaung sementara.

Seandainya saja wanita yang melahirkan Bara berhenti di situ, maka dengan senang hati dirinya menganggap ibu kandungnya sudah mati. Namun, wanita itu terlalu lancang. Ia meninggalkan liontin, lengkap dengan foto seorang wanita yang tengah tersenyum ke arah kamera. Sekali lihat, tanpa ada seorang pun yang akan menyela, Bara tahu bahwa wanita inilah yang telah membawanya ke dunia, meninggalkannya di depan panti asuhan pada malam yang dingin dan gelap, tidak sudi memberikannya nama atau bahkan memberinya selimut yang jauh lebih tebal dan hangat sebelum menaruh Bara di dalam kardus lecek itu, dan ... orang yang sialnya membuat Bara berharap, menanti-nanti kedatangannya.

Bara benci dengan ketidakjelasan. Ia mendendam pada orang-orang yang ingkar. Mereka yang tidak tepat waktu akan membuat Bara kesal, karena dia adalah seseorang yang tidak pernah terlambat. Namun, wanita itu—ibunya—sudah sangat fatal. Ia tidak pernah hadir, abstrak, sosoknya begitu mengawan-awan. Kumpulan hal yang begitu Bara benci, tapi tetap Bara dambakan. Bahkan di hari terburuknya Bara berpikir, jika kelak mereka bertemu dan wanita itu mengucapkan kata maaf pada Bara, maka ia dengan senang hati memeluknya lantas memanggilnya dengan sebutan 'ibu'.

Bara tahu bahwa kapasitas otaknya berada di atas rata-rata. Kemampuannya mencerna suatu pelajaran juga tidak bisa dianggap sebelah mata. Ia cerdas, dan sebisa mungkin Bara mengambil manfaat dari hal itu. Salah satunya ialah dengan nekad mendaftar di salah satu sekolah swasta terbaik di kotanya. Jika ia mendapat beasiswa, mempertahankan prestasi akademik, dan berkelakuan baik selama bersekolah, maka Bara bisa saja mendapat tiket VIP untuk masuk ke PTN bergengsi yang ia inginkan.

Seperti yang telah ia usahakan, Bara menuai hasil yang ia inginkan. Ia lulus, berhasil mendapatkan beasiswa yang diincar siswa-siswa cerdas lain yang ingin bersekolah di sana. Bara duduk di kelas yang sama dengan kaum borjuis yang orang tuanya serba berada. Barang-barang branded, perawakan yang terawat, tingkah laku yang angkuh, dan wajah-wajah bahagia sebab mereka tidak perlu lagi mengkhawatirkan masa depan mereka sebab orang orang tua mereka sudah menjamin hal itu.

Tidak mudah bersekolah di sana. Bara selalu diabaikan. Ia tidak mampu mengikuti arus pembicaraan anak-anak kaya ini. Bara tidak paham. Ia tidak melihat sedikit pun celah tempatnya bisa masuk ke lingkar pergaulan mereka. Pada akhirnya Bara menyerah. Ia fokus pada apa yang ada di depan mata, apa yang harus ia pertahankan, dan apa yang harus ia raih kelak.

Namun, kehidupan Bara mulai terdistraksi ketika anak-anak borjuis itu mulai meliriknya. Awalnya hanya bisik-bisik. Lama-lama mereka terang-terangan menyerang Bara secara verbal, seperti mendapatkan mainan baru yang bisa mereka injak-injak dan serang sesuka hati. Hal itu karena mereka tahu, bahwa Bara tak punya kuasa untuk melawan sedikit pun. Entah si miskin, anak yatim piatu, pengemis, atau si tukang cari muka. Baru dua bulan bersekolah, Bara sudah muak berada di tengah-tengah siswa-siswa elit itu. Waktu istirahatnya pasti selalu ia habiskan menyendiri di kelas atau bermain ponsel hingga penat di dalam bilik toilet. Bara muak dengan makanan kantin, ia selalu mendapati dirinya mual dan memuntahkan isi perut usai menyantap makanan tersebut. Alhasil, Bara akan duduk termenung di dalam bilik toilet. Menutup wajah, berkali-kali memanipulasi, mendoktrin diri sendiri.

"Ini bukan apa-apa. Gue bisa lewati ini semua sendiri."

Di antara kata-kata penenang yang Bara cekoki untuk dirinya sendiri itu, potret wanita di liontin ikut berseliweran. Lantas wajah Ara pun ikut muncul. Disusul ibu panti, adik-adik panti, dan wajahnya sendiri tatkala menatap cermin.

Apa benar ini semua bukan apa-apa?

.
.
.

Gue balik. Entah masih ada yang nunggu atau gak, gue cuma pengin nulis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top