22 : eksistensi
Dulu, baik hari sekolah atau hari-hari libur, tidak akan ada bedanya bagi Semesta. Terlebih setelah ia keluar dari sekolah lamanya. Kehidupan Semesta di apartemen jauh lebih menjenuhkan dibanding hari-hari yang ia lewati di rumah utama saat kecil.
Semesta lupa bagaimana caranya menikmati sesuatu. Ia tidak tahu bagaimana cara agar suasana hatinya bisa membaik. Hal ini membuat Semesta menjadi seseorang yang mudah marah. Jika ada sesuatu yang mengusik, ia tidak akan ragu untuk menangani dengan tangannya sendiri. Mau cara licik atau melanggar hak asasi, asalkan niatnya terpenuhi tentu tidak akan jadi masalah 'kan?
Putra tunggal Byandara itu menganggap dirinya adalah hal yang paling utama dan mereka yang menyebalkan hanyalah serangga tidak berguna, tetapi di waktu bersamaan, orang yang paling Semesta benci bukanlah Bara, Ariq, atau bahkan orang tuanya; melainkan dirinya sendiri.
Namun, belakangan Semesta berhenti memikirkan hal tersebut. Ia berhenti mencari-cari silet dan menyayat lengan jika pikiran sedang berkabut, ia juga berhenti mengonsumsi pil tidur dan makan lebih lahap dibanding sebelumnya. Lalu yang terpenting, Bara jadi jarang muncul.
Sore itu, Semesta berada dalam perjalanan pulang di dalam bus yang sering ia tumpangi bersama Ara. Setelah gadis itu turun di halte pemberhentian, Semesta menengok ke arah luar jendela. Mengamati jalanan yang padat dan disesaki oleh berbagai jenis kendaraan. Asap-asap knalpot menyengat hidung, semakin lama baunya semakin tajam dan mengganggu. Manusia benar-benar makhluk paling sibuk yang eksis di dunia ini.
Semesta belum ingin pulang ke apartemen. Maka saat bus berhenti, Semesta ikut turun bersama penumpang yang lain. Ia berjalan menyusuri jalanan seraya mencari tempat makan yang tepat untuk mengisi perut, pasalnya es krim dan camilan yang ia nikmati bersama Ara di Kafe Delight beberapa saat sebelumnya belum mampu mengenyangkan perut Semesta.
Belum sampai di depan rumah makan, pemuda itu malah terhenti tatkala melihat sebuah toko bunga di sebelah kanannya. Pemandangan toko bunga yang damai terasa kontras dengan kelabunya jalan yang super padat. Bunga-bunga di dalam sana tersenyum, menyambut Semesta ketika menginjakkan kaki ke dalam toko tersebut. Ia abaikan perutnya yang berteriak meminta makan dulu untuk sementara dengan pikiran untuk memesan sebuket bunga yang akan ia bawa saat kunjungannya besok ke ruang inap ayah Ara.
Ketika sang florist menoleh untuk menyapa pelanggan, raut Semesta seketika berubah 180°. Buru-buru pemuda itu membuang muka, bergegas angkat kaki sebelum akhirnya lelaki bertesmak di depannya angkat suara, "Mau ke mana? Bukannya lo masuk ke sini buat beli bunga?"
Ariq, si pegawai toko bunga yang lagi-lagi harus menggantikan posisi Fadil (temannya yang lepas tanggung jawab demi berpacaran), hanya mengembuskan napas panjang. Semesta dapat mengenali betul seragam sekolah yang menempel pada tubuh Ariq dari balik apron. Pemuda tersebut melirik Semesta dengan senyuman sarkas. "Kenapa kaget gitu? Kayak habis lihat hantu aja."
Semesta mengerutkan alis. Sesuatu yang mencekik membuat napasnya tersendat. "Lo ... kerja di sini?"
"Cuma sesekali aja." Ariq memperbaiki letak kacamatanya. "Ini toko punya kakaknya Fadil. Karena si Fadil lagi jalan sama pacarnya, makanya gue yang terpaksa gantiin dia sekarang."
Semesta menatap teman kecilnya itu. Di dalam kepalanya sudah berdering sirine tanda bahaya, menyuruhnya untuk cepat-cepat keluar dari radar Aditama Xatariq. Namun, sikap tak acuh Ariq membuat rasa penasaran Semesta tergelitik. Ia yakin bahwa lelaki tersebut punya banyak hal untuk dikatakan padanya, tapi sikapnya yang pura-pura cuek itu seakan berperan sebagai kamuflase. Entah apa yang akan ia lakukan jika Semesta berada di tempat ini lebih lama lagi.
"Bunganya buat siapa? Ara, ya?" Nama itu keluar begitu kasual dari lisan Ariq. Seakan-akan ia sudah terlatih untuk menyebut nama itu berkali-kali. Senyuman tipis berlesung pipi terbit tanpa ragu.
Firasat Semesta makin buruk. "Nggak usah sebut-sebut nama Ara."
Ketika Semesta mengucapkan kalimat itu, Ariq spontan menyemburkan tawa. Ia memegangi perutnya seraya menggeleng pelan. "Sekarang gue bahkan nggak bisa sebut nama Ara? Emang lo siapa, Ta?" Jeda tiga detik. "Mungkin lo nggak tau, tapi gue udah beberapa kali ketemu dia secara nggak sengaja. Kita juga sempat ngobrol bareng kok."
Kernyitan tak suka terlihat di wajah si pemuda beriris gelap. "Gue udah tahu." Semesta sudah siap untuk berbalik. Apa Ariq pikir dia bisa memisahkan Ara dari Semesta? Kalau memang Ariq berpikiran seperti itu, maka pemuda tersebut terlalu banyak berkhayal. Semesta mempunyai kepercayaan Ara dan hal itu merupakan sebuah jaminan yang sudah lebih dari cukup untuk si putra tunggal Byandara agar bisa mengabaikan segala hasutan Ariq saat ini.
"Oh ya?" Ariq tidak patah arang. Nada suaranya stabil, tak terguncang oleh tatapan tajam Semesta. "Kalau gitu ... lo pasti udah tahu dong tentang Ara yang kenal sama Bara."
Jantung Semesta mencelus. Ia mengamati iris hazel di depannya baik-baik. "Apa lo bilang?"
Ariq menarik sudut kiri bibirnya. "Iya. Ara kan kenal sama Bara Aditya, orang yang lo suruh lompat dari atap sekolah waktu itu." Pupil Semesta membesar, terkejut sekaligus ketakutan, dan Ariq menyadari persis hal tersebut. "Gue cuma kebetulan tau kalau ternyata si Ara dan Bara itu saling kenal. Yah ... kalau lo nggak percaya, tanya aja langsung sama Ara."
Pikiran Semesta kacau sekacau-kacaunya. Ia tidak bisa berpikir jernih lagi. Kabut yang menguasai benak Semesta kini beralih menutup matanya. Hampir saja ia tertabrak saat mencoba menyeberangi jalan. Beruntung Semesta bisa masuk ke dalam taksi dan sampai ke rumah utama dengan selamat tanpa satupun anggota tubuh yang terluka.
Satpam yang menjaga di depan rumah hanya melirik bingung ketika anak majikannya itu tiba-tiba turun dari taksi. Dengan wajah tak keruan, Semesta berucap kaku, "Papa sama Mama mana?"
"Pak Alan sedang ada keperluan di luar kota. Ibu Tarina sedang sakit, jadi dua hari belakangan beliau ada di rumah." Laki-laki kepala empat itu mengamati Semesta dari atas sampai bawah. "Aden Semesta ada keperluan apa, ya?" Tatapan tidak suka segera dilemparkan Semesta. Tanpa banyak basa-basi lagi, penjaga keamanan itu bergegas membukakan pagar, mengantar si tuan muda menuju pintu rumah.
Ada jeda yang mencekam sebelum Semesta mendorong pintu cokelat raksasa di hadapannya. Tangannya sudah keringat, bergetar tanpa bisa ia kontrol. Setelah Ariq mengucapkan kaitan antara Bara dan Ara di toko bunga tadi, satu-satunya orang yang terpikir di benak Semesta ialah kedua orang tuanya. Alan dan Tarina Byandara pasti tahu lebih banyak perihal asal-usul Bara. Semesta juga mengingat jelas, bahwa papa dan mamanya sendiri yang turun tangan membereskan masalah yang ia buat pasca insiden Bara, termasuk membungkam mulut panti asuhan tempat remaja laki-laki itu tinggal.
Usai pintu didorong, Semesta melangkah ke ruang tamu. Ia melihat mama di sana yang sedang duduk seraya fokus pada laptopnya kendati wajahnya terlihat pucat dan lemas. Ketika Tarina menyadari eksistensi Semesta, alisnya terangkat tinggi-tinggi. "Semesta?"
"Aku pengin tahu semuanya." Semesta menatap iris legam di depannya lamat-lamat. Beharap ada secercah harapan yang menyatakan bahwa ucapan Ariq hanya sebuah kesalahan.
"Maksud kamu?"
Semesta menelan ludah. "Aku mau tau tentang Bara." Ekspresi wajah mama sontak kaku. Namun, tatapan dingin dari wanita yang telah melahirkannya itu tak kunjung membuat Semesta ciut. Ada hal lain yang lebih ia takuti sekarang. Maka Semesta kenbali bersuara, "Dan semua hal tentang panti tempat dia tinggal. Tolong, Ma. Kasih tahu semuanya ke aku."
Ara terbangun dengan napas tersengal. Peluh membasahi sekujur tubuh. Dengan susah payah, ia bangkit dari seprei yang lengket karena keringat. Ara mengusap wajah, belakangan tidurnya tidak pernah nyenyak. Ia selalu terjaga saat hari masih terlalu dini. Ketika dirinya kembali menutup mata untuk tidur, pikirannya semakin berisik, riuh seperti berpesta pora tanpa minat mengundang Ara dalam kesenangan mereka.
Ara menyalakan sakelar. Duduk dengan wajah gelisah yang memucat pasi. Perutnya seperti dipelintir oleh sesuatu yang asing. Tatkala Ara sadar, ia segera berlari ke kamar mandi. Memuntahkan segala isi perut dan makan malam seadanya yang sempat ia konsumsi sebelum tidur.
Napas Ara semakin tidak beraturan. Kepalanya mau pecah, sedangkan jantungnya berdetak cepat, siap meledak kapan pun tanpa aba-aba. Ara seperti berada di ambang kematian, sekarat, dan kini hanya bisa pasrah. Gadis itu luruh di lantai kamar mandi yang kering, bersandar pada pintu.
Ia mencoba menenangkan diri, rehat dari segala pikiran buruk yang mencoba meracuni. Samar nan pasti, mimpi-mimpi Ara yang sempat terlupakan meluap dalam ingatan.
Batu nisan Bara, ranjang kematian sang ayah, peti mati mama, dan lemari tempat Ara menyaksikan bunda dihabisi oleh bedebah tukang mabuk itu. Ara mencoba berpikir lagi. Mencari-cari wajah orang yang dirinya sayangi dan tak lagi eksis di dunia ini.
Apakah ia takut akan kematian?
Ara menahan napas. Ia tidak pernah takut akan hal tersebut. Mau menghilang, terbunuh, atau bahkan mati secara tiba-tiba pun, Ara masih tak mengerti di mana letak seramnya. Hidupnya penting, tapi yang membuat itu berarti adalah orang-orang yang ia sayangi. Lantas, jika mereka semua sudah pergi, apa yang akan terjadi?
Pukul tiga pagi kala itu Ara merenungi banyak hal. Tentang kematian, ketakutan, dan mereka yang pergi lalu tak pernah kembali lagi. Ara kemudian sampai di satu titik temu bahwa dirinya bukan takut pada kematian, melainkan hanya takut pada rasa kehilangan yang diterima oleh mereka yang telah ditinggalkan untuk selamanya.
"Aku takut sendiri," Ara bergumam kecil. "Aku nggak mau sendirian."
.
.
.
Teman-teman, ayo kita pegangan. Habis chapter ini kita bakal masuk ke arc Bara.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top